• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel Kimia Air Hujan Terukur Kota Bandung Tahun 2003

Bulan Minggu PH DH CA MG NA K NH4 CL SO4 NO3 KT AC AL CH OX

01 01 4.98 15.4 0.385 0.120 0.492 0.149 0.000 0.234 2.504 1.907 0.505 65.00 0.00 27.00 0.00 01 04 4.43 80.2 3.846 0.589 1.153 1.215 0.000 2.634 10.980 16.070 4.435 61.10 0.00 14.00 0.00 01 05 4.42 26.2 0.313 0.047 0.072 0.109 0.000 0.170 2.667 2.293 0.360 67.60 0.00 6.00 0.00 02 6 4.88 12.1 0.385 0.233 0.878 0.163 0.000 0.161 2.118 1.366 0.618 24.70 0.00 69.00 0.00 02 7 4.16 40.6 0.699 0.835 0.379 0.109 0.000 0.286 5.840 3.130 1.524 0.00 85.80 43.00 0.00 02 7 4.75 20.4 0.296 0.033 0.105 0.423 0.000 0.503 2.425 2.446 0.329 48.40 0.00 109.00 0.00 02 8 4.26 23.2 0.245 0.067 0.265 0.054 0.000 0.160 3.750 3.091 0.312 57.20 0.00 113.00 0.00 02 8 4.77 18.2 0.355 0.102 0.176 0.132 0.000 0.173 2.075 1.811 0.457 55.70 0.00 158.00 0.00 02 9 4.37 20.2 0.420 0.189 0.434 0.129 0.000 0.285 3.466 3.522 0.609 58.50 0.00 28.00 0.00 02 9 4.51 31.3 1.183 0.207 0.434 0.115 0.000 0.385 3.480 4.715 1.390 72.60 0.00 53.00 0.00 02 10 4.43 20.5 0.385 0.127 0.303 0.441 0.000 0.572 2.212 3.551 0.512 41.60 0.00 13.00 0.00 03 11 5.83 14.8 0.533 0.055 0.269 0.432 0.000 0.485 1.395 1.522 0.588 24.20 0.00 44.00 0.00 04 15 4.67 42.8 1.980 0.415 0.594 1.762 0.000 0.903 10.270 9.101 2.395 35.01 0.00 13.00 0.00 04 16 5.21 9.6 0.396 0.149 0.367 0.297 0.000 0.212 2.828 1.153 0.545 18.11 0.00 78.00 0.00 04 17 4.69 71.5 5.413 0.802 0.367 0.465 0.000 1.029 18.670 28.930 6.215 38.63 0.00 6.00 0.00 04 18 4.83 59.7 4.554 0.721 0.551 0.802 0.000 1.597 11.440 24.060 5.275 22.94 0.00 10.00 0.00 04 19 5.03 28.0 1.617 0.350 0.324 0.158 0.000 0.760 6.591 7.467 1.967 28.97 0.00 28.00 0.00 05 21 3.72 14.6 1.018 0.129 0.042 0.213 0.000 0.281 1.809 3.879 1.347 126.80 0.00 63.00 0.00 05 22 3.48 55.4 1.377 0.270 0.060 0.230 0.000 0.326 4.489 12.870 1.647 501.30 0.00 24.00 0.00 05 23 3.66 39.4 2.575 0.281 0.144 0.171 0.000 0.553 5.055 10.710 2.856 235.60 0.00 23.00 0.00 06 24 6.03 93.5 7.060 0.542 0.650 0.750 0.000 1.723 6.830 0.000 7.548 0.00 0.00 40.00 0.00 08 29 6.26 119.2 10.550 0.706 0.980 0.816 0.000 0.949 3.079 1.745 11.210 0.00 0.00 20.00 0.00 08 33 6.51 28.5 1.468 0.220 0.300 0.304 0.000 0.449 2.086 1.554 1.688 0.00 0.00 55.00 0.00 09 34 4.58 73.0 4.323 0.614 1.238 1.132 0.000 0.537 1.475 1.558 4.937 0.00 0.00 12.00 0.00 09 35 4.61 35.0 1.613 0.286 0.246 0.293 0.000 1.144 0.392 2.477 1.899 0.00 0.00 28.00 0.00 09 36 4.19 26.5 1.161 0.214 0.200 0.146 0.000 1.141 0.918 3.675 1.375 0.00 0.00 37.00 0.00 10 37 5.30 17.3 0.497 0.114 0.062 0.176 0.000 0.365 5.759 2.343 0.611 0.00 0.00 43.00 0.00 10 38 4.98 18.6 0.364 0.076 0.093 0.098 0.000 1.466 3.386 3.455 0.440 0.00 0.00 98.00 0.00 10 39 5.34 14.8 0.662 0.052 0.087 0.166 0.000 1.377 3.760 3.380 0.714 0.00 0.00 106.00 0.00 10 40 4.99 19.3 0.563 0.082 0.293 0.106 0.000 1.787 2.712 4.241 0.645 0.00 0.00 38.00 0.00 10 41 4.67 24.1 0.993 0.393 0.231 0.245 0.000 2.418 3.770 3.966 1.386 0.00 0.00 30.00 0.00

Lampiran 14 11 42 4.85 18.1 0.321 0.000 0.000 0.116 0.101 0.241 1.554 1.492 0.321 0.00 0.00 57.00 0.00 11 43 4.32 56.4 1.363 0.103 0.093 0.329 0.371 0.482 2.234 2.835 1.466 0.00 0.00 8.00 0.00 11 44 4.47 51.8 2.286 0.116 0.210 0.197 0.802 0.764 2.833 2.846 2.402 0.00 0.00 115.00 0.00 11 45 4.59 27.6 0.645 0.030 0.000 0.091 0.128 0.313 1.968 2.207 0.675 0.00 0.00 38.00 0.00 11 46 4.63 15.3 0.109 0.000 0.000 0.008 0.283 0.252 1.050 1.632 0.109 0.00 0.00 68.00 0.00 12 47 4.58 15.9 0.336 0.011 0.000 0.161 0.725 0.221 1.118 1.526 0.347 0.00 0.00 54.00 0.00 12 48 3.38 15.8 0.220 0.000 0.000 0.083 0.223 0.117 1.193 1.199 0.220 0.00 0.00 99.00 0.00 12 49 3.03 50.5 0.699 0.042 0.112 0.448 1.233 0.497 1.630 1.942 0.741 0.00 0.00 24.00 0.00 12 50 3.15 14.6 0.321 0.004 0.000 0.325 0.488 0.206 1.037 1.033 0.325 0.00 0.00 20.00 0.00

PENDUGAAN pH AIR HUJAN BERDASARKAN KONSENTRASI GAS SO2

DENGAN PENDEKATAN HUKUM HENRY : DISTRIBUSI SPASIAL & TEMPORAL DI KOTA BANDUNG

OLEH : JULIANA ANGGRAINI

G24103003

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PENDUGAAN pH AIR HUJAN BERDASARKAN KONSENTRASI GAS SO2

DENGAN PENDEKATAN HUKUM HENRY : DISTRIBUSI SPASIAL & TEMPORAL DI KOTA BANDUNG

JULIANA ANGGRAINI G24103003

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Program Study Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pendugaan pH Air Hujan Berdasarkan Konsentrasi Gas SO2 dengan Pendekatan Hukum Henry : Distribusi Spasial & Temporal di Kota Bandung

Nama : Juliana Anggraini

NRP : G24103003

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Imam Santosa M.S Dr. Eng. Esrom Hamonangan NIP : 130804894 NIP : 770000139

Mengetahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. Hasim, DEA NIP : 131578806

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Topik seputar kimia air hujan, termasuk diantaranya hujan asam, kian mendapat perhatian khusus dan merupakan suatu topik utama dalam isu lingkungan. Hujan asam merupakan masalah lingkungan yang serius karena dapat menyebabkan korositas pada bangunan/gedung atau bersifat korosif terhadap bahan bangunan, merusak tanaman dan hasil produksinya dan merusak kehidupan biota di danau-danau/aliran sungai, sehingga hujan asam perlu diprediksi, dan dikontrol.

Hujan dikatakan bersifat asam apabila memiliki pH di bawah 5,6. Batas rata-rata pH air hujan adalah 5,6 dan merupakan nilai yang dianggap normal atau hujan alami seperti yang telah disepakati secara internasional oleh badan dunia WMO (BMG, 2003). Air hujan alami bersifat asam karena besarnya konsentrasi CO2 di udara, yang apabila bereaksi dengan uap air akan membentuk asam.

Penambahan gas SO2 di atmosfer dapat menambah keasaman air hujan, karena walaupun konsentrasinya di udara lebih kecil daripada CO2, namun kelarutan dan konstanta kesetimbangan SO2 lebih besar daripada CO2. Selain itu H2SO3 merupakan asam yang lebih kuat daripada H2CO3 sehingga dalam konsentrasi yang kecil sekalipun SO2 mempengaruhi keasaman air hujan (Brimblecombe, 1986). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Nurhayati dan Hara (2000) yang menyatakan bahwa ion SO4

2-

merupakan kontributor yang memiliki pengaruh dalam pengasaman air hujan di Indonesia.

Nilai pH air hujan merupakan salah satu indikator terjadinya hujan asam, sehingga nilai ini perlu diketahui. Analisa mengenai tingkat konsentrasi unsur-unsur kimia yang terlarut dalam air hujan, termasuk derajat keasamannya (pH) telah dilakukan oleh BMG yaitu dengan melakukan pengukuran air hujan di beberapa kota di Indonesia dan menganalisisnya, namun jumlah stasiun pemantau kualitas air hujan hanya satu untuk setiap kota dan umumnya terletak pada daerah rural sehingga kurang mewakili kondisi sebenarnya di lapang. Selain itu metode sampling dilakukan seminggu sekali, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi nilai pH air hujan karena kemungkinan air hujan yang tertampung bukan merupakan air pada hujan pertama melainkan beberapa kejadian hujan. Akumulasi dari partikel debu yang tercampur dalam air hujan

selama waktu sampling juga dapat mempengaruhi pH.

Berdasarkan hasil penelitian Tuti Budiwati et al (2005) beberapa kota besar di Indonesia telah mengalami hujan asam. Hal ini diindikasikan dengan pH air hujan yang rendah, yaitu berkisar antara 4,5 – 5,0. Salah satu kota yang telah mengalami hujan asam adalah kota Bandung. Bandung adalah salah satu kota yang mengalami perkembangan dalam segala bidang. Semakin pesatnya kemajuan ekonomi mendorong semakin bertambahnya kebutuhan akan transportasi. Perkembangan pusat bisnis dan industri memacu penggunaan bahan bakar dan emisi. Selain itu topografi Bandung yang unik ikut mempengaruhi potensi polusi udara di kota ini. Topografi dapat mengubah arah dan kecepatan angin secara tiba-tiba dan profil kota besar yang cukup kasap merupakan peredam energi kinetik dan melemahkan angin, sehingga dengan kombinasi yang dimiliki kota Bandung, menyebabkan potensi polusi udara di kota ini cukup tinggi. Konsekuensi peningkatan polutan-polutan di atmosfer inilah yang dapat menyebabkan terjadinya hujan asam.

Untuk memudahkan analisa kualitas air hujan diperlukan suatu pendekatan yang dapat menduga pH air hujan secara langsung. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Hukum Henry dan kesetimbangan fase cair, yang menyatakan bahwa pada saat kesetimbangan tekanan parsial gas di atas suatu campuran sama dengan konsentrasi gas dalam campuran tersebut (Brimblecombe, 1986). Hukum Henry telah banyak digunakan di negara lain baik sebagai metode perhitungan maupun dalam bentuk software sebagai pendekatan dalam memprediksi jumlah gas yang terlarut dalam air hujan atau droplet awan dan pH air hujan.

1.2 Tujuan

1. Menduga pH air hujan di beberapa stasiun pengukuran kualitas udara kota Bandung berdasarkan konsentrasi SO2 dengan menggunakan pendekatan hukum Henry.

2. Menggambarkan penyebaran pH air hujan dan SO2 di Kota Bandung baik secara spasial maupun secara temporal.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer

2.1.1 Komposisi Atmosfer

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udara adalah atmosfer yang berada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup. Gas-gas yang berada di permukaan bumi ada yang memiliki konsentrasi yang sama (permanent gases) sedangkan sebagian lagi konsentrasinya berbeda menurut waktu dan tempatnya

(variable gases). Perubahan konsentrasi gas-

gas ini terjadi karena penggunaannya oleh makhluk hidup atau karena perubahan kondisi alam.

2.1.2 Polusi Udara

Polusi udara adalah kondisi atmosfer dengan kandungan substansi yang sudah melebihi batas normal, yang dapat menimbulkan pengaruh pada hewan, tumbuhan, bahan bangunan dan manusia (Seinfield, 1986). Substansi tersebut adalah unsur kimia alami atau antropogenik hasil aktivitas manusia atau senyawa yang terbentuk di udara, berupa gas, butir cairan atau partikel padat yang bersifat membahayakan maupun aman.

Pada beberapa daerah perkotaan, kendaraan bermotor menghasilkan 85% dari seluruh pencemaran udara yang terjadi (Siregar, 2005). Kendaraan bermotor merupakan sumber pencemar bergerak yang menghasilkan CO, hidrokarbon yang tidak terbakar sempurna, NOx, SOx dan partikel. SOx, khususnya belerang dioksida (SO2) dan belerang trioksida (SO3) yang merupakan senyawa gas berbau tidak sedap, yang banyak dijumpai di kawasan industri yang menggunakan batu bara dan kokas sebagai bahan bakar dan sumber energi utamanya.

2.1.3 Pengaruh Kondisi Meteorologi terhadap Dispersi

2.1.3.1 Stabilitas Atmosfer

Kondisi stabilitas atmosfer terbagi menjadi dua, yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis (Stull dalam Turyanti, 2005). Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor

buoyancy (daya apung udara akibat pemanasan

dari radiasi matahari) dan wind shears (gesekan yang terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah angin berbeda), sedangkan stabilitas statis hanya

mempertimbangkan faktor buoyancy. secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan, yaitu stabil, tidak stabil dan netral.

Menurut Prawirowardoyo (1986), kondisi stabil adalah kondisi yang terjadi pada saat suhu paket udara lebih kecil daripada suhu udara lingkungan sehingga massa udaranya menjadi lebih besar dan menyebabkan paket tersebut tidak dapat bergerak vertikal ke atas namun akan kembali ke ketinggian semula. Hal ini menyebabkan paket tersebut cenderung stabil di tempatnya. Kondisi stabil biasanya terjadi pada malam hari.

Kondisi tidak stabil terjadi saat suhu paket udara lebih tinggi daripada suhu udara lingkungannya sehingga massa dan tekanan udaranya menjadi rendah dan menyebabkan paket akan mengembang secara vertikal. Kondisi tidak stabil biasanya terjadi pada siang hari akibat pemanasan radiasi matahari yang tinggi.

Kondisi netral terjadi jika suhu paket udara sama dengan suhu udara lingkungan, sehingga suhu keduanya akan sama pada ketinggian yang sama. kondisi ini biasa terjadi pada siang ataupun malam.

Menurut Oke (1978) pergerakan vertikal polutan di boundary layer (lapisan perbatas), secara umum dikendalikan oleh stabilitas udara. Konveksi bebas dan ketebalan lapisan percampuran berperan penting dalam mendifusikan material ke dalam volume yang lebih besar dan membuat suatu batas atas terhadap dimensi vertikal dari volume tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang konvektif, kondisi terbaik untuk terjadinya dispersi polutan adalah pada saat kondisi tidak stabil yang kuat dan lapisan percampuran yang tebal, sebaliknya kondisi terburuk untuk terjadinya dispersi polutan adalah pada saat terjadi inversi suhu dan lapisan perbatas stabil. Inversi terjadi saat udara yang hangat dikelilingi oleh udara yang dingin.

2.1.3.2 Kecepatan Angin dan Topografi Angin horizontal memainkan peranan penting dalam transport dan pengenceran polutan. Seiring dengan peningkatan kecepatan angin, volume pergerakan udara oleh suatu sumber dalam suatu periode waktu juga akan meningkat.

Dispersi polutan juga dipengaruhi oleh variabilitas arah angin (Godisg dalam Liu dan Liptak, 2000). Jika arah angin relatif tetap dan secara terus menerus menuju pada area yang sama, konsentrasi polutan di daerah tersebut akan tinggi. Jika arah angin berubah secara konstan, polutan akan didispersikan ke daerah

yang lebih besar, dan konsentrasi di sekitar daerah tujuan akan menjadi lebih rendah. Perubahan besar dalam arah angin dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat.

Topografi dapat berdampak secara mikro dan skala meso pada daerah titik dan daerah sumber. Pegunungan menyebabkan aliran udara lokal yang disebabkan oleh peningkatan kekasapan permukaan sehingga menurunkan kecepatan angin. Sebagai tambahan, pegunungan dan perbukitan membentuk barrier terhadap pergerakan udara.

2.2 Hujan Asam 2.2.1 Definisi Hujan Asam

Hujan asam merupakan istilah umum untuk menggambarkan turunnya asam dari atmosfer ke bumi. Sebenarnya turunnya asam dari atmosfer ke bumi bukan hanya dalam kondisi "basah" tetapi juga "kering". Sehingga dikenal pula dengan istilah deposisi (penurunan/pengendapan) basah dan deposisi kering. Masalah deposisi asam terjadi di lapisan atmosfer terendah, yaitu di troposfer.

Deposisi basah mengacu pada hujan asam, kabut dan salju. Ketika hujan asam ini mengenai tanah, dapat berdampak buruk bagi tumbuhan dan hewan, tergantung dari konsentrasi asamnya, kandungan kimia tanah, buffering capacity (kemampuan air atau tanah untuk menahan perubahan pH), dan jenis tumbuhan/hewan yang terkena.

Deposisi kering mengacu pada gas dan partikel yang mengandung asam. Sekitar 50% keasaman di atmosfer jatuh kembali ke bumi melalui deposisi kering. Kemudian angin membawa gas dan partikel asam tersebut mengenai bangunan, mobil, rumah dan pohon. Ketika hujan turun, partikel asam yang menempel di bangunan atau pohon tersebut akan terbilas, menghasilkan air permukaan (run off ) yang asam.

2.2.2 Proses Pembentukan Hujan Asam Emisi sulfur dan nitrogen yang berasal dari bahan bakar fosil merupakan penyebab utama timbulnya deposisi asam. Ketika kedua unsur polutan bercampur dengan uap air di udara, terbentuklah asam sulfur dan nitrat (H2SO4 dan HNO3).

Seperti halnya asam hidroklorik (yang berasal dari gas HCl yang diproduksi oleh industri berat) dan asam karbonat, di dalam air H2SO4 dan HNO3 akan terurai menjadi ion H

+ dan ion-ion Cl-, CO32-, SO42- dan NO3-. Penambahan ion H+ dan ion-ion negatif ini akan menurunkan nilai pH, yang dipakai

sebagai indikasi tingkat keasaman suatu sampel air hujan.

Secara sederhana, reaksi pembentukan hujan asam adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Proses Pembentukan Deposisi Asam

Sumber : Environmental Protection Agency, 2006

2.2.3 Efek Hujan Asam

Hujan asam berdampak langsung pada lingkungan seperti perubahan pH tanah yang menyebabkan perubahan pola adsorption

dan desorpstion sehingga terjadi perubahan

nutrisi pada run off permukaan maupun dari infiltrsi air ke dalam tanah. Hujan asam dapat menurukan laju pertumbuhan tanaman, pertumbuhan tanaman pertanian dan pertumbuhan tanaman hutan. Hujan asam dapat mempercepat pelapukan dan erosi logam, bahan bangunan dan monument- monumen. salah satu dampak yang paling penting adalah hujan asam dapat mengubah kualitas air permukaan dan meracuni spesies perairain.

2.3 Sulfur Dioksida (SO2)

Gas penyebab utama terjadinya hujan asam adalah gas SO2, yang umumnya diemisikan sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara).

Sumber-sumber sulfur secara alami adalah evaporasi percikan air laut, erosi debu dari tanah kering yang mengandung sulfur, uap letusan gunung berapi, emisi H2S secara biogenik dan persenyawaan organik yang mengandung sulfur. SO2 terdapat di alam secara normal pada konsentrasi 0.3 – 1 ppm. Nilai Ambang Batas untuk SO2 adalah 0.01

ppm (BMG, 2003). Sumber Buangan Sulfat lainnya adalah :

• Hasil pencucian mineral

(GIPS:CaSO4.2H2O)

• Oksidasi mineral sulfida (PIRIT: FeS2) • Industri deterjen

• Limbah domestik

Pembakaran 1000 kg bahan bakar minyak dapat menghasilkan 60 kg SO2 di atmosfer. Gas SO2 tidak dapat terbakar namun sangat mudah larut dalam air pada suhu ruang sedangkan SO3 tidak reaktif. SO2 larut dalam uap air untuk membentuk asam, dan berinteraksi dengan gas-gas dan partikel lain di udara untuk membentuk sulfat dan produk lain yang dapat membahayakan manusia dan lingkungan. Lebih dari 65% SO2 dilepaskan ke udara atau lebih dari 13 juta ton per tahun, yang berasal dari alat elektronik, khususnya yang menggunakan batu bara. Siklus Sulfur dapat dilihat pada lampiran 1.

Gas SO2 yang dilepaskan dapat dioksidasi oleh OH untuk membentuk H2SO4, Gas ini menjadi higroskopik (kemampuan menyerap air) dan menjadi reaktif dan menyerap H2O dan uap NH3 secara cepat untuk membentuk aerosol NH4HSO4 dan (NH4)2SO4. Hal ini ditunjukkan pada lampiran 2.

Sumber pelenyap senyawa sulfur adalah

rainout dan washout. Rainout adalah proses di

dalam awan melalui aerosol higroskopis dari senyawa sulfur yang bertindak sebagai inti kondensasi dan melalui mekanisme tangkapan dan penggabungan menjadi tetes hujan dan jatuh ke permukaan tanah. Washout adalah proses penangkapan aerosol oleh tetes air hujan yang jatuh, yang meliputi proses yang terjadi di bawah awan.

2.4 Tingkat Kelarutan Gas

Kelarutan suatu gas dalam droplet air hujan merupakan salah satu kontrol yang paling penting dalam kimia air hujan. Kelarutan suatu gas dalam air hujan secara umum dijelaskan oleh suatu persamaan yang dikenal sebagai Hukum Henry, yang menyatakan bahwa pada saat kesetimbangan, tekanan parsial suatu gas dalam larutan sebanding dengan konsentrasi gas dalam larutan tersebut. Dalam mempelajari kimia atmosfer penting untuk mengasumsikan hubungan antara konsentrasi dalam fase gas dan fase cair berada dalam bentuk kesetimbangan.

( )g

A

( )aq

A

=

Kondisi gas yang bereaksi dalam air sedikit rumit sehingga hukum Henry hanya menghitung disolusi yang sederhana bukan hidrolisis berikutnya.

2.4.1 Kelarutan Gas berdasarkan Suhu. Variasi kelarutan gas dengan suhu dapat terlihat dari gambar 8. Seiring dengan peningkatan suhu, kelarutan gas menurun secara perlahan seperti ditunjukkan oleh penurunan trend dalam grafik (Ophardt, 2003).

Larutan lebih banyak berada pada suhu yang lebih rendah dan sangat sedikit yang berada pada suhu yang tinggi.

Sifat kelarutan gas dengan suhu sangat mirip dengan sifat tekanan uap yang meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan energi kinetic. Energi kinetik yang lebih besar menyebabkan lebih banyak gerakan molekul yang memecah ikatan intermolekul dan keluar dari padatan.

Gambar 2. Kelarutan Gas Berdasarkan Suhu (Sumber : virtual chembook, 2003)

2.4.2 Kelarutan Gas berdasarkan Tekanan. Kelarutan suatu gas akan meningkat seiring dengan peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan akan menyebabkan molekul-molekul gas dipaksa masuk ke dalam larutan (Ophardt, 2003).

Saat gas bersentuhan dengan permukaan cairan, jumlah gas yang akan masuk ke dalam larutan adalah sebanding dengan tekanan parsial gas tersebut. Pernyataan ini dikenal dengan hukum Henry. Prinsip hukum ini adalah bahwa jika tekanan parsial gas dua kali lebih besar, rata-rata molekul yang akan menyentuh permukaan cairan pada suatu rentang waktu adalah dua kalinya, sehingga molekul yang akan masuk ke dalam larutan juga dua kalinya. Untuk percampuran gas, hukum henry membantu untuk memperkirakan jumlah tiap-tiap gas yang akan masuk ke

dalam larutan, tetapi setiap gas memiliki daya kelarutan yang berbeda-beda dan hal ini juga mempengaruhi lajunya. Sehingga konstanta kesetimbangan dalam hukum henry harus disertakan dalam perhitungan.

2.5 Kesetimbangan Penyerapan dan Hukum Henry

Penyerapan suatu jenis gas dalam air dapat ditampilkan dalam bentuk :

A (g) + H2O ↔ A.H2O A (g) ↔ A (aq)

Dimana A.H2O dan A (aq) merupakan dua cara penulisan yang berbeda dari gas A dalam keadaan terlarut. Kesetimbangan antara gas A dalam fase gas dengan gas A dalam keadaan terlarut dapat ditunjukkan dalam bentuk konstanta kesetimbangan penyerapan, KA,

[

. 2

][

−1 −1

]

= moleL atm p O H A K A A

Satuan konvensional tersebut merupakan koefisien hukum Henry, HA

[

A.H2O

]

=HApA

Dimana PA merupakantekanan parsial gas A dalam fase gas dan [A.H2O] adalah konsentrasi dari gas A terlarut dalam larutan. Satuan umum koefisien hukum Henry HA adalah [mole l-1 atm-1], sehingga terlihat bahwa KA dan HA adalah identik. Satuan mole l-1 secara umum ditulis sebagai M.

Jika kedua konsentrasi dalam bentuk gas maupun cair dari gas A ditunjukkan dalam sebuah basis molar maka persamaan dapat ditulis sebagai :

[

]

( )

[

]

A A A A A

H

RTH

RT

P

P

H

g

A

O

H

.

A

2

=

=

&&

Dimana ĤA merupakan bentuk koefisien hukum Henry yang tidak berdimensi. Untuk mengubah HA menjadi ĤA gunakan R = 0.082 atm M-1 K-1.

Tabel 1 memberikan koefisien hukum Henry dari beberapa gas atmosfer di udara pada suhu 298 K. Nilai yang diberikan dalam tabel tersebut hanya menggambarkan kelarutan gas secara fisik, yaitu hanya kesetimbangan A (g) + H2O ↔ A . H2O. Beberapa jenis gas dalam tabel, sekali terlarut akan berada dalam kesetimbangan asam-basa atau bereaksi dengan air. Suatu jenis gas yang memiliki koefisien hukum Henry yang besar ( > 103 ), secara esensial akan diserap sempurna oleh air.

Tabel 1. Koefisien Hukum Henry dari Gas- Gas Atmosfer yang Terlarut dalam Air Gas H, M atm-1 (298 K) O2 1.3 x10 -3 NO 1.9 x10 -3 C2H4 4.9 x10 -3 O3d 9.4 x10-3 NO2 b 1 x 10-2 N2O 2.5 x 10 -2 CO2c 3.4 x 10-2 SO2c 1.24 HNO2c 49 NH3 b 62 HCl 2.5 x 103 HCHOf 6.3 x 103 H2O2 7.1 x 104e HNO3 c 2.1 x 105 a

diadaptasi dari Schwartz (1983) dan Martin (1984a)

b

NO2 yang terlarut bereaksi dengan air

c

Jenis gas ini berpartisipasi dalam kesetimbangan asam- basa yang tidak terlihat dalam nilai H yang diberikan.

d

ozon sebenarnya terlarut dalam air (Roth dan Sullivan, 1981). Untuk tujuan ini hanya akan digunakan koefisien hukum Henry yang ditampilkan disini dan sebagai fungsi dari temperature. Koefisien hukum Henry dari Roth dan Sullivan adalah H = 3.84 x 107

[OH-

]0.035

exp(-2428/T) [atm mole fraction-1

], didefinisikan oleh PA = HAxA

e

pengukuran koefisien hukum Henry terbaru adalah yang dilakukan oleh Yoshizumi et al (1984) yang mendapatkan nilai koefisien HH2O2 = 1.42 x 105 pada

suhu 293 K.

f

HCHO eksis dalam larutan secara umum dalam bentuk gem-diol: HCHO + H2O ↔ H2C(OH)2. koefisien hukum

Henry yang diberikan dalam table berlaku untuk HCHO dan H2C(OH)2.

2.6 Gambaran Umum Kota Bandung 2.6.1 Kondisi Geografis Kota Bandung.

Kota Bandung merupakan daerah penyangga Ibukota Provinsi Jawa Barat. Letak wilayahnya yang strategis, menjadikan Kota Bandung sebagai pintu gerbang kabupaten lain yang terletak disekitar Ibukota Propinsi Jawa Barat. Secara geografis Kota Bandung terletak pada 1070 20’ 50” – 1070 42’ 12” BT dan 060 43’ 55” – 070 06’ 51” LS, dengan luasan sekitar 16.729,65 Ha. penggunaan lahan dari

total luas Kota Bandung, (berdasar luasan peta penggunaan lahan Kota Bandung oleh Bappeda Kota Bandung) yang terlihat hijau kira-kira 35% (4% tegalan, 25% sawah, 4,65% kebun, taman kota 0.63%).

Kota Bandung terdiri dari 26 Kecamatan dengan batas-batas administratif sebagai berikut (gambar 3):

• Sebelah utara : Kota Lembang dan Cisarua

• Sebelah barat : Kota Padalarang dan

Cimahi

• Sebelah selatan : Kota Dayeuhkolot dan Buah Batu

• Sebelah timur : Kota Cileunyi

Lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, perekonomian maupun keamanan. Hal tersebut disebabkan :

1) Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan raya :

a. Barat - Timur yang memudahkan

Gambar 3. Batas Administrasi Kecamatan Kota Bandung Sumber : Bappenas, 2006.

Gambar 4. Peta Kemiringan Lahan Kota Bandung Sumber : Yogantara, Indotravelers.com.

hubungan dengan Ibukota Negara b. Utara - Selatan yang memudahkan

lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan).

2). Letak yang tidak terisolasi dan dengan komunikasi yang baik akan memudahkan aparat keamanan untuk bergerak kesetiap penjuru (Pemerintah Kota Bandung, 2007).

Bentang alam kota bandung mempunyai kemiringan lahan ke arah selatan dan berbukit di bagian utara sehingga berbentuk menyerupai cekungan (Gambar 4).

Kota Bandung bagian utara memiliki ketinggian sekitar 1225 m dpl dan memiliki kemiringan yang cukup curam (diatas 8%), bagian tengah kota Bandung memiliki ketinggian rata-rata 675 m dpl, sedangkan bagian selatan memiliki ketinggian sekitar 750 m dpl dengan kemiringan lahan yang relatif datar.

2.6.2 Kondisi Iklim Kota Bandung

Iklim kota Bandung dicirikan dengan udara lembab yang panas, curah hujan yang tinggi dan kecepatan angin yang sedang. Suhu minimum rata-rata adalah 18°C dan suhu maksimum rata-rata mencapai 30°C. Dari aspek klimatologi, Kabupaten Bandung termasuk dalam tipe iklim B1 (Pemerintah Kota bandung, 2007).

2.6.3 Kondisi Geologi dan Fisiografi

Jenis batuan yang terdapat di kota Bandung terdiri dari tufa pasir dan tufa berbatu apung. Jenis tanah di bagian utara dan selatan kota Bandung berbeda. Jenis tanah di bagian utara umumnya andosol yaitu tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 1% dan kejenuhan basa (NH4OAc) lebih dari 50%, sedangkan di bagian selatan serta timur tersebar tanah alluvial kelabu bahan endapan liat yaitu tanah yang berasal dari endapan baru berlapis-lapis dengan bahan organik yang jumlahnya tidak teratur dengan kedalaman dan memiliki kandungan pasir kurang dari 60%, sedangkan di bagian tengah dan barat tersebar

Dokumen terkait