• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

A. Penelaahan Pustaka 1.Definisi 1.Definisi

BAB II

A. Penelaahan Pustaka 1. Definisi

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg (Mancia, Fagard, Narkiewicz, Redon, Zanchetti, and Bohm, 2013). Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi, misalnya stroke, gagal ginjal, dan hipertrofi ventrikel kanan (Bustan, 2007).

Berikut klasifikasi tekanan darah (mmHg) yang mengacu pada ESH dan ESC 2013 yang didefinisikan mulai dari tingkat tekanan darah tertinggi, baik sistolik maupun diastolik.

Tabel II. Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESH dan ESC 2013 Klasifikasi Tekanan Darah SBP/DBP (mmHg)

Optimal <120 dan <80

Normal 120-129 dan/atau 80-84

Normal Tinggi 130-139 dan/atau 85-89

Hipertensi tingkat1 140-159 dan/atau 90-99 Hipertensi tingkat 2 160-179 dan/atau 100-109 Hipertensi tingkat 3 ≥180 dan/atau ≥110

Isolated Systolic Hypertension ≥140 dan <90

(Mancia et al., 2013). Penyebab hipertensi digolongkan menjadi dua bagian, yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer adalah kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik menekankan pada kemampuan gen dalam menjaga homeostatis natrium. Faktor lingkungan menekankan pada pengaruh gaya hidup, yaitu kebiasaan mengkonsumsi garam, alkohol, dan obesitas. Hipertensi sekunder disebabkan adanya gangguan pada ginjal, endokrin, gangguan genetik pada fungsi

14

renal tubular, dan hal terkait lainnya seperti kehamilan, induksi obat, sleep apnoea

(Ng, Stanley, and Williams, 2010).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesadaran adalah keinsafan, keadaan mengerti, dan hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran diri adalah kesadaran seseorang atas keadaan dirinya sendiri (Setiawan, 2014). Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengintrospeksi dan mengenali diri sendiri sebagai individu yang terpisah dari lingkungan dan orang lain (Ferris, 2012).

Secara keseluruhan, tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darah adalah kurang dari 140/90mmHg untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80mmHg untuk penderita diabetes mellitus serta ginjal kronik. Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan jika berat badan berlebih, melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga ≤2,4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobik, mengurangi konsumsi alkohol dan menghentikan kebiasaan merokok. Penderita hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya ditempatkan pada terapi modifikasi gaya hidupdan terapi obat secara bersamaan (Sukandar et al., 2009).

Pada terapi farmakologi, pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan keberadaan compelling indications. Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan diuretik thiazide.

Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi kombinasi, salah satunya diuretik thiazide kecuali terdapat kontraindikasi. Diuretik, β blocker, inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE), Angiotensin II Receptor Blocker (ARB), dan Calcium Channel Blocker (CCB) merupakan agen primer berdasarkan pada data kerusakan organ target atau morbiditas dan kematian kardiovaskular. Alfa bloker, alfa-2 agonis sentral, inhibitor adrenergik, dan vasodilator merupakan alternative yang dapat digunakan penderita setelah mendapatkan obat pilihan pertama (Sukandar et al., 2009).

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis. Pengurangan volume plasma dan stroke volume (SV) berhubungan dengan diuresis dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output¸ CO) dan tekanan darah pada akhirnya. Penurunan curah jantung yang utama menyebabkan peningkatan resistensi perifer (Sukandar et al., 2009).

ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam regulasi tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial. Kemudian, tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan ginjal. Inhibitor ACE mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Inhibitor ACE ini juga mencegah degradasi bradikinin dan menstimulus sintesis senyawa vasodilator lainnya termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin (Sukandar

et al., 2009).

ARBs menahan langsung reseptor angiotensin tipe I (AT1), reseptor yang memperantarai efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi

16

simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen glomerulus). ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin. Hal ini tidak memberikan efek samping batuk (Sukandar et al., 2009).

CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal kalsium dihidropiridini dapat menyebabkan aktivasi refleks simpatetik (Sukandar

et al., 2009).

Penghambat reseptor α1 menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vaskular perifer yang memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor α2 sehingga tidak menimbulkan efek takikardia. Antagonis α2 (pusat) menurunkan tekanan darah pada umumnya dengan cara menstimulasi reseptor α2 di otak, yang mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotor dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor α2 presinaptik secara perifer menyebabkan penurunan tonus simpatetik. Oleh karena itu, dapat terjadi penurunan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer total, aktivitas rennin plasma, dan reflex baroreseptor (Sukandar et al., 2009).

Vasodilator arteri langsung menyebabkan relaksasi langsung otot polos arteriol. Aktivitas reflex baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor, meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan rennin. Oleh karena itu, efek hipotensif dari vasodilator langsung berkurang pada

penderita yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik (Sukandar et al., 2009).

2. Epidemiologi

Masalah hipertensi yang terjadi di Indonesia cenderung meningkat. Penderita hipertensi di Indonesia menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 sebesar 8,3% dan mengalami peningkatan pada tahun 2004 menjadi 27,5% (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Daerah tahun 2007, Yogyakarta merupakan provinsi kelima dengan kasus hipertensi terbanyak.

Hipertensi dapat menjadi masalah kesehatan publik karena hipertensi menyebabkan kerusakan organ tubuh dan dapat menginduksi penyakit kardiovaskuler, penyakit jantung koroner, gagal jantung, gagal ginjal, dan komplikasi lainnya (Qiao et al., 2013). Pengontrolan tekanan darah secara rutin dapat mengurangi angka kejadian penderita hipertensi.

Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), hipertensi tidak menimbulkan gejala dan tanda yang khas pada awal terjadinya penyakit. Hal ini memperburuk keadaan penderita karena akan menyadari mengalami penyakit ini dalam waktu yang lama. Hal ini tidak jarang berisiko pada terjadinya stroke dan gangguan fungsi jantung.

Kesadaran masyarakat untuk mengontrol tekanan darah masih rendah. Hingga saat ini, angka kesadaran hipertensi di Indonesia mencapai 50%. Persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan Amerika. Angka kesadaran

18

hipertensi di Amerika mencapai 69%. Dari data tersebut kurang dari 10% yang tekanan darahnya terkontrol dengan baik (Bustan, 1997).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 menyatakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di Indonesia belum terdiagnosa. Pernyataan ini didasarkan pada prevalensi hasil pengukuran tekanan darah pada usia di atas 18 tahun sebesar 31,7%. Dari data tersebut hanya 7,2% dari populasi yang telah mengetahui bahwa mereka mengidap hipertensi dan hanya 0,4% dari populasi yang menjalani terapi (Depkes, 2012). Menurut survei tahun 2002, angka prevalensi hipertensi tanpa pengobatan di Indonesia sebesar 37,32% dari populasi dewasa yang berusia 40 tahun ke atas yang berasal dari berbagai pulau besar di Indonesia (Setiati dan Sutrisna, 2005).

3. Etiologi

Faktor penyebab penyakit hipertensi sangat bervariasi. Penganjuran untuk memulai gaya hidup sehat, seperti mengurangi kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, memulai melakukan aktivitas seperti yoga atau meditasi, dapat mengurangi prevalensi hipertensi. Peningkatan pemahaman tentang hipertensi, serta penghimbauan untuk mematuhi mengonsumsi obat-obat antihipertensi juga dapat mengendalikan faktor-faktor risiko yang relevan (Qiao et al., 2013).

Faktor risiko hipertensi memiliki korelasi yang signifikan dengan usia, aktivitas fisik, body mass index (BMI), dan pola hidup. Penelitian di Suburban (Nepal) menemukan bahwa adanya peningkatan prevalensi hipertensi terhadap usia (Sharma et al., 2006). Aktivitas fisik dan BMI berhubungan dengan

peningkatan tekanan darah. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara hipertensi dan BMI (Chataut, Adhikari, and Sinha, 2011). Pola hidup dilihat dari kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol, maupun jumlah garam yang dikonsumsi. Seseorang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol memiliki risiko hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak memiliki riwayat tersebut (Wang et al., 2006).

Faktor risiko hipertensi sangat penting untuk dikendalikan dalam mencegah komplikasi kardiovaskuler. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain tekanan darah, kelainan metabolik (diabetes mellitus, lipid darah, asam urat dan obesitas), merokok, alkohol, dan inaktivitas, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, dan faktor genetik (Gunawan, Setiabudy, Nafrialdi, Elysabeth, 2007).

a. Usia

Hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Pasien berusia 60 tahun ke atas, 50–60% memiliki tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya (Oktora, 2005). Pada kelompok usia 31-55 tahun, penyakit hipertensi paling banyak dialami. Pada umumnya kejadian hipertensi cenderung meningkat pada usia paruh baya, khususnya usia lebih dari 40 tahun, bahkan pada usia lebih dari 60 tahun (Krummel, 2004).

Pada usia 45 tahun ke atas, dinding arteri akan mengalami penebalan akibat adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. Peningkatan umur

20

akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada usia lanjut terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik (Kumar, 2005).

b. Jenis Kelamin

Wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.Wanita yang belum menopause memiliki proteksi berupa hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein

(HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Pada premenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen. Umumnya proses ini mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar, 2005).

LDL mudah menembus plak dalam dinding nadi pembuluh darah jika dalam keadaan teroksidasi. Estrogen pada wanita juga berfungsi sebagai antioksidan dengan cara mencegah proses oksidasi LDL sehingga kemampuan LDL untuk menembus plak menurun. Estrogen pada wanita juga berfungsi dalam melebarkan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah lancar dan suplai oksigen ke jantung cukup (Khomsan, 1996).

c. BMI

Menurut National Institutes for Health USA (NIH, 1998), prevalensi hipertensi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional) (Cortas, 2008). BMI atau Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang.

Pengukuran ini hanya berlaku bagi orang dewasa berusia diatas 18 tahun. Seseorang yang mengalami obesitas memiliki risikoterkena berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes mellitus (Supariasa, 2002). Berikut tabel klasifikasi status gizi menggunakan BMI orang dewasa.

Tabel III. Klasifikasi BMI pada Orang Dewasa

Kategori BMI (kg/m2) Kurus <18,5 Normal ≥18,5 - <25,0 BB lebih ≥25,0 - <27,0 Obesitas ≥27,0 (Depkes RI, 2008). d. Pola makan

Konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan dalam porsi yang memadai dapat menjadi sumber asupan antioksidan bagi tubuh. Adanya antioksidan dapat menangkap radikal bebas dan mencegah kerusakan pada pembuluh darah (Almatsier, 2003). Konsumsi pangan tinggi lemak dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis). Lemak yang terdapat dalam minyak goreng tersusun dari asam lemak jenuh rantai panjang (long-saturated fatty acid). Lemak yang berada dalam waktu yang lama dalam tubuh, menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan pembuluh darah semakin sempit dan terjadi penurunan elastisitas pembuluh darah (Almatsier, 2003).

e. Merokok

Kandungan nikotin dan karbondioksida yang terkandung dalam rokok dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan berkurangnya elastisitas

22

pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan tekanan darah meningkat (Depkes, 2007). Merokok dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah dan menurunkan kadar HDL. Merokok juga dapat meningkatkan pengaktifan platelet (sel-sel penggumpal darah) (Khomsan, 1996). Asap rokok yang mengandung karbonmonoksida, memiliki kemampuan menarik eritrosit lebih kuat dibandingkan kemampuan menarik oksigen. Hal ini menyebabkan penurunan kapasitas eritrosit pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya (Karyadi, 2002).

f. Alkohol

Kebiasaan ini diduga dapat meningkatkan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit, serta kekentalan darah yang berperan dalam meningkatkan tekanan darah (Suyono dan Slamet, 2001). Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal tingginya tekanan darah jika dilakukan perbandingan antara orang bukan peminum alkohol dan orang peminum alkohol. Konsumsi alkohol 3 kali dalam sehari dapat memicu peningkatan tekanan darah dan berhubungan dengan peningkatan 3mmHg (Krummel, 2004).

g. Aktivitas fisik

Orang yang jarang melakukan aktivitas fisik, seperti olahraga, dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah. Olahraga teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (Suyono dan Slamet, 2001). Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap

kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Sheps, 2005, dalam Aris, 2007).

h. Riwayat Penyakit Penyerta yang berhubungan dengan Kardiovaskuler

Hipertensi sering muncul dengan faktor risiko lain yang timbul sebagai sindrom metabolik, yaitu hipertensi dengan gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus (DM), dislipidemia (tingginya kolesterol darah) dan obesitas (Krummel, 2004). Kondisi fisiologis lainnya yang dapat menyebabkan hipertensi diantaranya adalah aterosklerosis (penebalan dinding arteri yang menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh darah), bertambahnya jumlah darah yang dipompa ke jantung, penyakit ginjal, kelenjar adrenal, dan system saraf simpatis (Ganong, 1998).

Hipertensi lama dan/atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan organ pada jantung, otak, ginjal, mata dan pembuluh darah perifer. Kerusakan pada jantung yang dapat terjadi adalah hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung, pada otak dapat terjadi stroke akibat pecahnya pembuluh darah serebral dan pada ginjal dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal. Hipertensi juga merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dengan akibat penyakit jantung koroner dan stroke iskemik. Pengendalian berbagai faktor risiko hipertensi sangat penting dalam mencegah komplikasi kardiovaskuler (Gunawan, Setiabudy, Nafrialdi, Elysabeth, 2007).

4. The Rule of Halves

The Rule of Halves untuk hipertensi menyatakan bahwa setengah dari orang dengan tekanan darah tinggi tidak mengetahuinya (aturan pertama),

24

setengah dari mereka tidak diterapi (aturan kedua), dan setengah dari orang yang diterapi tidak melakukan kontrol (aturan ketiga) (Hooker, Cowab, Freeman, 1999). The Rule of Halves merupakan teori penyajian median dalam statistik yang mencakup populasi dalam bentuk apapun dan dapat menggunakan ukuran apapun. Setengah dari populasi akan berada pada satu sisi median dan setengahnya pada sisi yang lain (Deepa, 2003).

Aturan pertama menggambarkan status kesadaran tentang penyakit dan efektivitas program skrining yang berlaku dalam mendiagnosis penyakit sejak dini. Aturan kedua menggambarkan status pengobatan untuk hipertensi antara mereka yang didiagnosis dan kesadaran tentang perawatan diri dalam pencegahan terjadinya risiko komplikasi. Aturan ketiga membahas status kecukupan dalam pengobatan untuk hipertensi (Varadaraja and Arun, 2014).

5. Pengukuran Tekanan Darah

Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik. Nilai tekanan darah normal orang dewasa berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80. Pengukuran tekanan darah secara rutin perlu dilakukan untuk mengendalikan tekanan darah. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada metode langsung, kateter arteri dimasukkan ke dalam arteri. Walaupun hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini sangat berbahaya dan

dapat menimbulkan masalah kesehatan lain. Pada pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop.

Sphgmomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan rongga dalam manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer sesuai dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis (Smeltzer and Bare, 2001).

Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan posisi responden dalam keadaan duduk. Lengan kanan responden dikondisikan dalam keadaan rileks, lengan baju diatur agar tidak mengganggu proses pengukuran tekanan darah. Setelah itu, manset dipasang dengan lebar dapat melingkar sekurang-kurangnya dua per tiga panjang lengan atas dan tidak menempel baju. Lalu, lakukan pemompaan (pengukuran) tekanan darah dan catat hasil pengukuran. Pengukuran dilakukan dua kali berturut-turut dengan interval dua menit. Apabila terdapat selisih tekanan darah >10 mmHg pada pengukuran pertama dan kedua, baik pada sistolik dan atau pada diastolik, lakukan pengukuran ketiga (Handayani, 2013).

Tujuan dilakukan kalibrasi alat kesehatan adalah meningkatkan keamanan dan keakurasian informasi hasil pengukuran peralatan kesehatan. berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.363/Menkes/Per/IV/1998, Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) sebagai institusi penguji dan kalibrasi alat kesehatan, diberi wewenang melakukan pengujian dan kalibrasi peralatan kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk menjamin mutu (ketelitian, ketepatan dan keamanan) peralatan kesehatan. Peraturan

26

Pemerintah (PP) No.72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan merupakan kebijakan yang mendukung pengujian dan kalibrasi (Depkes RI, 2007).