• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hati

digunakan sebagai senyawa model hepatotoksin pada penelitian ini.

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor).

berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.

Antioksidan juga merupakan senyawa yang mampu menghambat senyawa yang

dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul

yang sangat reaktif, akibatnya kerusakan sel akan dihambat. Cara yang mudah

untuk mencegah atau mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas radikal

bebas yaitu dengan mengkonsumsi makanan atau suplemen yang mengandung

antioksidan (Winarsi, 2007).

Berbagai tanaman dapat dikatakan sebagai pengobatan alternatif untuk

mengobati berbagai macam penyakit kronis, seperti gangguan ginjal, gangguan

hepar dan bahkan kanker. Salah satunya adalah Macaranga tanarius L. atau yang

disebut dengan daun senu yang tersebar di seluruh daerah tropis di dunia seperti

Filipina, Laos, Thailand, serta Indonesia (World Agroforestry Centre, 2002).

Menurut penelitian Lim, Lim, dan Yule (2009) dibuktikan bahwa daun M.

tanarius L. memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai antipiretik, antitusif, agen

emetik, dan antiinflamasi. Berdasarkan penelitian Matsunami, Takamori,

Shinzato, Aramoto, Kondo, dan Otsuka (2006), tanaman M. tanarius memiliki

aktivitas antioksidan yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Ditemukan juga

kandungan glikosida yaitu macarangaioside A-C dan mallophenol B dari ekstrak

metanol-air yang menunjukkan aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap

DPPH.

Penelitian ekstrak metanol-air-air daun M. tanarius telah dilakukan oleh

Windrawati (2013) dengan penginduksi karbon tetraklorida praperlakuan jangka

penelitian tersebut terbukti bahwa tanaman ekstrak metanol-air baik jangka

panjang maupun jangka pendek dengan penginduksi karbon tetraklorida memiliki

efek hepatoprotektif. Kumazawa, Murase, Momose and Fukumoto (2014) telah

melakukan penelitian pada daun M. tanarius dan didapatkan bahwa ekstrak

metanol-air M. tanarius L. memiliki senyawa prenylflavonoids yang berfungsi

sebagai antioksidan. Selain itu, telah dibuktikan dari penelitian Gunawan-Puteri

dan Kawabata (2010), bahwa ekstrak etanol daun M. tanarius L. memiliki

senyawa ellagitannins yaitu mallotinic acid, corilagin, macatanin A, chebulogic

acid¸dan macatanin B. Senyawa tanin adalah senyawa fenolik yang terdapat pula

pada M. tanarius L. juga berpotensi sebagai antioksidan.

Pemilihan heksan dan etanol sebagai pelarut fraksi karena memiliki

lipofilisitas yang sama dengan kandungan senyawa tanin yang terdapat pada daun

M.tanarius. Berdasarkan perhitungan lipofilisitas heksan-etanol menggunakan

aplikasi Marvin Sketch didapatkan lipofilisitas sebesar 2,97 dan campuran

senyawa tanin yang memiliki lipofilisitas mendekati heksan-etanol yaitu

macatanin B (2,94), macatanin A (2,76), dan chebulogic acid (2,64). Sehingga

pada penelitian ini heksan-etanol digunakan sebagai pelarut fraksi M. tanarius

untuk mendapatkan antioksidan.

Lama pemejanan jangka panjang selama enam hari FHEMM mengacu

pada penelitian Windrawati (2013) mengenai ekstrak metanol:air (50:50) daun M.

tanarius L yang dilakukan selama enam hari berturut-turut mampu memberikan

Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk diteliti lebih lanjut

mengenai pemberian FHEMM dengan penginduksi karbon tetraklorida jangka

panjang.

1. Perumusan masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah pemberian FHEMM dalam penggunaan jangka panjang dapat

memberikan pengaruh terhadap kadar albumin pada tikus betina galur

Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida?

2. Apakah ada kekerabatan antara dosis pemberian FHEMM dengan

kenaikan kadar albumin pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi

karbon tetraklorida?

2. Keaslian penelitian

Phomart, Sutthivaiyakit, Chimnoi, Ruchirawat, dan Sutthivaiyakit (2005)

melaporkan bahwa flavonoid dari ekstrak n-heksan dan kloroform daun M.

tanarius mempunyai aktivitas antioksidan terhadap DPPH. Macarangaoside A-C

yang diisolasi dari ekstrak metanol-air M. tanarius menunjukkan aktivitas yang

poten terhadap DPPH (Matsunami, et al., 2006). Pada penelitian in vivo

menunjukkan bahwa ekstrak metanol-air daun M. tanarius mempunyai aktivitas

hepatoprotektif pada tikus terinduksi parasetamol (Adrianto, 2011).

Penelitian ekstrak metanol-air daun M. tanarius telah dilakukan oleh

panjang dan jangka pendek oleh Tiala (2013) pada waktu yang bersamaan. Dari

penelitian tersebut terbukti bahwa tanaman ekstrak metanol-air baik jangka

panjang maupun jangka pendek dengan penginduksi karbon tetraklorida memiliki

efek hepatoprotektif. Penelitian yang dilakukan oleh Todingbua (2014) mengenai

efek antiinflamasi topikal ekstrak metanol-air daun M. tanarius L. pada mencit

betina terinduksi karagenin membuktikan bahwa ekstrak daun M. tanarius

memiliki efek antiinflamasi topikal dengan konsentrasi optimum yang

menunjukkan efek antiinflamasi topikal sebesar 3,75%.

Sejauh studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian terkait

dengan pengaruh pemberian jangka panjang FHEMM terhadap kadar albumin

pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida belum pernah

dilakukan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan bagi masyarakat, khususnya ilmu kefarmasian mengenai

pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun M. tanarius L.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai manfaat daun M. tanarius L. yang dapat menaikkan kadar

albumin, terlebih albumin mampu membentuk jaringan baru pasca operasi.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh FHEMM terhadap kenaikan kadar albumin

pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang FHEMM terhadap

kadar albumin pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon

tetraklorida.

b. Mengetahui adanya kekerabatan dosis pemberian FHEMM dengan

kenaikan kadar albumin pada tikus betina galur Wistar terinduksi

9

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hati

1. Anatomi hati

Hati merupakan kelenjar terbesar pada tubuh manusia, dengan berat

sekitar 1.500 g atau 2,5% dari total berat tubuh manusia dewasa. Organ ini

terletak di kuadran kanan atas rongga abdomen, di bawah diafragma (Kahle,

Leonhardt, and Platzer, 1995). Di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi

kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam

empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun atau obat yang

masuk dalam tubuh (Gerard and Bryan, 2009). Dalam keadaan segar hati

berwarna merah tua atau merah cokelat, warna ini disebabkan karena adanya

darah yang sangat banyak (Guyton and Hall, 2006).

Hati bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas

abdominalis tepat di bawah diphragma. Sebagian besar hati terletak di profunda

arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hati dari pleura,

pulmo, pericardium, dan cor. Hati terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai

hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006).

Hati memiliki dua lobus, yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Berdasarkan

ukurannya, lobus kanan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan

lobus kiri (Gambar 1). Kedua lobus tersebut dipisahkan oleh ligamentum

Gambar 1. Anatomi hati (Misih and Bloomston, 2010).

Seluruh permukaan hati dilapisi oleh kapsul Glisson, jaringan ikat padat

irreguler yang melekat longgar pada seluruh permukaan hati, kecuali pada area

porta hepatika (Gartner and Hiatt, 2001). Porta hepatika yang terletak pada

permukaan interior hati merupakan saluran tempat masuknya

pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi, disamping tempat keluar duktus hepatikus

dekstra dan sinistra yang menyalurkan empedu ke kandung empedu (Sherwood,

2004).

Secara makroskopik, struktur hati menggambarkan suatu sistem yang

kompleks yang terdiri dari beberapa sel dan pembuluh darah (Gambar 2). Secara

fisiologis, jaringan hati terbagi menjadi unit-unit fungsional berbentuk segitiga

yang dikenal sebagai asimus hati. Sebuah asimus hati tersusun atas 3 traktus

portalis, masing-masing terletak di sudut “segitiga” asimus, dan sebuah vena

sentralis di pusatnya (Gartner and Hiatt, 2001). Hepatosit di area dekat vena

hepatika terminalis terletak paling jauh dari suplai darah, dan karenanya berada di

yang berasal dari traktus portalis yang mempenetrasi jaringan hati. Di dalam

asimus, parenkim dibagi menjadi 3 zona (Gambar 2), dengan zona 1 terletak

paling dekat dengan suplai vaskuler dari traktus portalis, zona 3 di sekeliling vena

hepatika, dan zona 2 berada di antaranya. Zona ini terbagi secara metabolik,

karena adanya gradien aktivitas lobuler untuk enzim-enzim hati. Selain itu,

berbagai bentuk kerusakan hati juga memiliki distribusi berdasarkan zona

(Crawford, 2005).

Gambar 2. Anatomi mikroskopik hati (Crawford, 2005).

Pembuluh darah yang berperan dalam menyuplai darah untuk hati yaitu

arteri hepatika dan vena porta. Arteri hepatika membawa darah yang kaya akan

oksigen (kejenuhan oksigen 95-100%) dengan kecepatan aliran ±500 mL/menit.

Vena porta membawa darah yang mengandung oksigen (kejenuhan oksigen 70%),

usus, pankreas, dan limpa) dengan kecepatan aliran darah ±1000 mL/menit (Tso

and McGill, 2003).

Gambar 3. Struktur jaringan hati (Encyclopedia Britannica, Inc. 2003)

Jaringan hati terdiri dari massa sel batang melalui saluran empedu dan

pembuluh darah. Kelompok kedua sel yang disebut sel Kupffer (Gambar 3)

merupakan garis saluran kecil sistem vaskular partikel asing. Parenkim hati

tersusun atas lempeng-lempeng hepatosit yang saling beranastomosis

(Encyclopedia Britanica, Inc, 2003).

Hepatosit yang berbatasan langsung dengan traktus portalis disebut

sebagai lempeng pembatas, yang membentuk batas inkotinu di sekeliling

mesenkim traktus portalis. Hepatosit tersusun radial di sekeliling vena hepatika

terminalis. Di antara jalinan hepatosit, terdapat sinusoid vaskuler. Darah melewati

sinusoid kemudian menuju vena hepatika terminalis. Setiap hepatosit berada di

antara sinusoid dengan pendarahan yang berasal dari vena porta hepatika dan

hepatosit salah satu sel yang paling kaya perfusi sekaligus tahan terhadap iskemia

(McPhee and Ganong, 2006).

Sinusoid dilapisi oleh sel-sel endotelial yang berpori dan inkontinu, yang

membatasi celah ekstrasinuoidal, celah Disse. Ke dalam celah Disse, mikrovilli

hepatosit berprotusi. Tersebar dan menempel di permukaan luminal sel-sel

endotelial adalah sistem fagosit monosit yang dikenal sebagai sel-sel Kupffer. Di

celah Disse banyak terdapat sel-sel stelata perisinusoidal yang berperan dalam

penyimpanan dan metabolisme vitamin A. Jika terjadi proses inflamasi pada

parenkim hati, sel-sel stelata ini berubah menjadi myofibroblast yang

memproduksi kolagen (Gartner and Hiatt, 2001).

2. Fisiologi hati

Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengeksresikan empedu;

saluran empedu mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan

dan mengeluarkan empedu ke dalam usus halus sesuai kebutuhan (Price and

Wilson, 2005).

Menurut Guyton and Hall (2008), hati memiliki beberapa fungsi yaitu:

a. Metabolisme karbohidrat, fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah

menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan

fruktosa menjadi glukosa.

b. Metabolisme lemak, yaitu mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi

bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebaian besa kolesterol, fosfolipid

c. Metabolisme protein, fungsi hati yaitu deaminasi asam amino, pembentukan

ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein

plasma dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain

dari asam amino.

d. Lain-lain, fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat

penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk

feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam

jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau mengekresikan obat-obatan,

hormon dan zat lainnya.

Fungsi detoksifikasi hati dalam tubuh dilakukan oleh enzim hati dengan

cara oksidasi, hidrolisis, reduksi atau konjugasi senyawa-senyawa berbahaya bagi

tubuh yang selanjutnya diubah menjadi bentuk tidak aktifnya (DiPiro, Robert,

Gary, Gary, Barbara, and Michael, 2008). Hati yang normal mempunyai kapasitas

cadangan yang besar untuk melakukan fungsinya. Dalam keadaan normal, 80%

bagian dari hati dapat dihentikan aktivitasnya tanpa harus mengurangi fungsinya

(Chandrasoma and Taylor, 1995).

3. Kerusakan hati

Kerusakan hati disebabkan karena adanya kerusakan yang parah pada

sel-sel hepatosit atau kerusakan berulang sel parenkim. Hati memiliki kapasitas

cadangan sehingga manifestasi klinis dari kerusakan hati baru muncul ketika telah

terjadi kerusakan hati mencapai 80-90%. Kerusakan hati dibagi menjadi tiga

kategori, yaitu kerusakan hati akut, kerusakan hati kronis dan disfungsi hati tanpa

Berdasarkan manifestasi klinik dan pola spesifik pada histopatologi

kerusakan hati, dibagi menjadi:

a. Perlemakan hati (Steatosis), kerusakan sel hati yang ditandai dengan

penumpukan lemak pada sel hati. Obat-obat yang dapat menyebabkan

terjadinya steatonecrosis dengan cara mempengaruhi proses oksidasi asam

lemak di mitokondria.

b. Phospholipidosis, merupakan akumulasi dari fosfolipid sebagai pengganti

asam lemak. Fosfolipid dapat menelan badan lisosom pada sel hati.

c. Nekrosis sentrolobuler, sering terjadi pada induksi obat hepatotoksik yang

bergantung pada dosis. Nekrosis sentrolobuler biasanya terjadi karena

produksi metabolit beracun dari suatu senyawa. Kerusakan yang terjadi

menyebar ke luar mulai dari tengah lobus.

d. Nekrosis hepatoseluler tergeneralisasi, hampir mirip dengan terjadinya

perubahan karena adanya infeksi hati oleh virus. Waktu terjadinya satu

minggu setelah terinduksi zat beracun (DiPiro et al., 2008) .

e. Kolestasis, didefinisikan sebagai disorder sekresi empedu dan kolepoiesis

yang menyebabkan kemacetan saluran empedu intrahepatik maupun

ekstrahepatik. Kolestasis dapat menimbulkan penyakit kuning. Kolestasis

ditandai dengan meningkatnya asam empedu, enzim spesifik, dan

kolesterol dalam serum (Kuntz and Kuntz, 2008).

4. Perlemakan hati

Perlemakan hati dapat ditandai dengan adanya timbunan lemak melebihi

hati terjadi karena adanya akumulasi lipid terutama dalam bentuk trigliserida pada

hepatosit yang merupakan akibat kelebihan suplai asam lemak dari jaringan

adiposa. Perlemakan hati ditandai dengan meningkatnya enzim-enzim biokimia

dalam darah seperti AST dan ALT. Gangguan ini dapat terjadi akibat dari

gangguan sintesis protein, penurunan sintesis fosfolipid, dan gangguan pada

transfer VLDL melalui membran sel (Hodgson, 2009).

Penumpukan lemak pada hati dapat menimbulkan beberapa hal yang

tidak diinginkan diantaranya peningkatan apoptosis, pengingkatan regulasi TNF-ɑ

yang merupakan faktor pro-inflammatory dan pro-steatotic, disfungsi

mitokondria yang dapat meningkatkan reactive oxygen species (ROS) dan

menginduksi peroksidasi lipid pada membran sel (Tolman and Dalpiaz, 2007).

Dokumen terkait