• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius (L) Müll. Arg. terhadap kadar albumin pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius (L) Müll. Arg. terhadap kadar albumin pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida."

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dengan melihat peningkatan kadar albumin serta mengetahui adanya kekerabatan antara dosis pemberian FHEMM pada penggunaan jangka panjang dengan peningkatan kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus betina galur Wistar, umur 2-3 bulan, dan berat ± 130-180 g. Tikus dibagi secara acak ke dalam enam kelompok perlakuan. Kelompok I (kontrol negatif) diberi CMC-Na 1% (137,14 mg/kgBB p.o). Kelompok II (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida 2 mL/KgBB secara i.p. Kelompok III (kontrol fraksi) diberi FHEMM Macaranga tanarius L. dosis 137,14 mg/kgBB tanpa pemberian karbon tetraklorida. Kelompok IV,V, dan VI (perlakuan) berturut-turut diberikan FHEMM M. tanarius L. dosis 34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB secara peroral sekali sehari selama enam hari berturut-turut dan pada hari ketujuh semua perlakuan diberi karbon tetraklorida dosis 2 mL/KgBB secara i.p. Darah diambil setelah 24 jam dari sinus orbitalis mata untuk diukur kadar albumin serum. Data kadar albumin dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk dilanjutkan analisis dengan

Kruskal-Wallis lalu uji Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan kadar

albumin serum antar kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jangka panjang FHEMM mempengaruhi kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dan tidak adanya kekerabatan antara dosis FHEMM dengan peningkatan kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

(2)

ABSTRACT

This study investigated the long-term influences of the hexane-ethanol fraction methanol-water extracts of Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM) againts carbon tetrachloride induced hepatotoxicity in rats. The albumin level in serum were measured for the evaluation of hepar function. This study also determined the relationship between the dose administration of FHEMM on the use of long-term with increased level of albumin serum in rat induced by carbon tetrachloride.

This research was done with purely experimental with a completely randomized design pattern undirectional. This research used 30 female Wistar rats, 2-3 months old, and weighing 130-180 grams. The rats were divided into six groups of five each. Group I (negative control) were treated with CMC-Na 1% (137.14 mg/kgBW p.o). The second group (hepatotoxin control) were additionally treated with carbon tetrachloride 2 mL/kgBW intraperitoneally. The third group (fraction control) received the FHEMM (137.14 mg/kgBW p.o) without carbon tetrachloride. The fourth until sixth group (treatment) were given FHEMM dose 34.28; 68.57; and 137.14 mg/kgBW orally once a day for six days successively and then in the seventh day all of the treatments group were given carbon tetrachloride 2 mL/kgBW by i.p. Twenty-four hours later, blood was collected from the orbital sinus eye to be measured albumin serum. Data of albumin level which obtained were analyzed using Shapiro-Wilk and continued analyze used

Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test was used to determine the differences in

albumin serum level of each group.

The result showed that extended of FHEMM influences albumin serum level in rats which induced carbon tetrachloride and there wasn’t relationship between the three doses of FHEMM dose with increased levels of albumin in rats induced by carbon tetrachloride.

(3)

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG FRAKSI HEKSAN-ETANOL DARI EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius

(L) Müll. Arg. TERHADAP KADAR ALBUMIN PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Cinthya Anggarini

NIM : 128114137

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG FRAKSI HEKSAN-ETANOL DARI EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius

(L) Müll. Arg. TERHADAP KADAR ALBUMIN PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Cinthya Anggarini

NIM : 128114137

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)

ii

cINTHYA

(6)

iii

Cinthya

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Akhir dari upaya terbaik kita adalah awal dari campur tangan Tuhan. Maka bekerjalah sebaik mungkin, lalu bersabarlah seyakin mungkin.

I CAN DO EVERYTHING THROUGH HIM GIVES ME STRENGTH.

Precious Lord, take my hand

Lead me on, let me stand

I am tired, I am weak and I am worn

Through the storm, through the night

Lead me on to the light

(

Precious Lord, Take My Hand – Lyrics by Thomas A. Dorsey)

Kupersembahkan tulisan ini untuk

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria sumber kekuatan,

pengharapan dan penuntun jalanku,

Papa, Mama, Kak Edine, Iwang yang selalu mendukungku,

(8)

v

CINTHYA

(9)

vi

SEMOGA

(10)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya

yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG FRAKSI

HEKSAN-ETANOL DARI EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius (L) Müll. Arg. TERHADAP KADAR ALBUMIN PADA TIKUS BETINA GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA” dengan

baik dan lancar. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S.Farm) Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa dalam proses

pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini ada banyak pihak yang telah memberi

bantuan dan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena

itu, penulis mengucakan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mengijinkan

penulis menjalankan pembelajaran selama masa studi.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Dosen

Penguji pada skripsi ini yang telah memberikan waktunya untuk

membimbing penulis dengan sabar, memberikan dukungan, memberi

(11)

viii

3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah

memberikan masukan dan motivasi yang begitu berharga sehingga penulis

bisa menyelesaikan skripsi dengan baik.

4. Dr. Erna Tri Wulandari., M.Si., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah

menuntun penulis dengan masukan dan semangat yang diberikan, serta setia

dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi.

5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Laboratorium Fakultas

Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan semua fasilitas

laboratorium untuk kepentingan dan keberlangsungan skripsi.

6. Bapak Heru, Bapak Suparjiman, Bapak Kayat, Bapak Agung, Bapak

Wagiran, Bapak Kunto, dan Bapak Parlan selaku Laboran Laboratorium

Fakultas Farmasi atas bantuan dan dukungannya kepada penulis selama

proses pengerjaan skripsi.

7. Keluargaku Papa Deddy Ferdinand, Mama Vinsensia Sudiyati, Kak Edine,

Iwang, atas segala cinta, doa, nasihat, dukungan, dan bantuan yang selalu

mengiringiku.

8. Evan Michael Atmaja sebagai teman, sahabat, dan kekasih yang selalu

memberi motivasi, mendampingi, mengajariku, dan membantu dalam

banyak hal.

9. Rekan-rekan Tim Macaranga tanarius L : Novita, Cyndi, Ria, Ayu, Penina,

(12)

ix

10. Sahabat kecilku Laurensia Maria Nindia Bernita dan Devita Widyana Putri,

atas motivasi, dukungan dan selalu mendengarkan keluh kesahku selama

proses pengerjaan skripsi.

11. Seluruh dosen dan teman-teman FKK B 2012, FSM D 2012, dan seluruh

teman-teman seangkatan 2012 atas kebersamaan selama masa studi.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu oleh penulis

yang telah membantu, baik dalam doa, motivasi, saran, hingga akhirnya

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan

mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penulis,

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada bidang farmasi maupun

masyarakat.

Yogyakarta, 7 Januari 2016

(13)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan masalah ... 6

2. Keaslian penelitian ... 6

3. Manfaat penelitian ... 7

a. Manfaat teoritis ... 7

b. Manfaat praktis ... 8

(14)
(15)

xii

BAB III. METODE PENELITIAN ... 28

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 28

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 28

(16)

xiii

2. Penetapan lama pemejanan FHEMM daun M. tanarius L. ... 44

3. Penetapan waktu pencuplikan darah ... 44

D. Hasil Uji Pengaruh Pemberian Jangka Panjang FHEMM Terhadap Kadar Albumin Pada Tikus Terinduksi Karbon Tetraklorida ... 50

1. Kontrol Negatif (CMC-Na 1%) ... 54

2. Kontrol Hepatotoksin ... 55

3. Kontrol FHEMM Dosis III ... 56

4. Kelompok perlakuan jangka panjang FHEMM dosis 34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 57

(17)

xiv

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 73

(18)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Komposisi dan konsentrasi reagen Albumin

BCG ... 31

Tabel II. Nilai purata ± SE aktivitas serum ALT darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida

dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24

dan 48 jam ... 44

Tabel III. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24

dan 48 ... 47

Tabel IV. Nilai purata ± SE aktivitas serum AST darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis

2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam ... 47

Tabel V. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24

dan 48 ... 50

Tabel VI. Purata kadar albumin ± SE pemberian FHEMM secara jangka panjang terhadap tikus terinduksi

karbon tetraklorida dosis 2mL/kgBB ... 52

Tabel VII. Hasil uji Mann-Whitney kadar albumin tikus

setelah pemberian karbon tetraklorida dosis

(19)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Hati ... 10

Gambar 2. Anatomi Mikroskopik Hati ... 11

Gambar 3. Struktur Jaringan Hati ... 12

Gambar 4. Struktur Karbon tetraklorida (CCl4) ... 17

Gambar 5. Daun Macaranga tanarius L. ... 19

Gambar 6. Senyawa ellagitannins dari ekstrak etanol daun M. tanarius : mallotinic acid (1), corilagin (2), macatannin A (3), chebulagic acid (4), and macatannin B (5) ... 21

Gambar 7. Diagram batang purata aktivitas serum ALT darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam ... 45

Gambar 8. Diagram batang purata aktivitas serum AST darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam ... 48

(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto daun M. tanarius L. ... 74

Lampiran 2. Foto serbuk daun M. tanarius L. ... 74

Lampiran 3. Foto fraksi kental heksan etanol daun M. Tanarius ... 75

Lampiran 4. Foto larutan FHEMM ... 75

Lampiran 5. Hasil uji determinasi M. tanarius L. ... 76

Lampiran 6. Surat Ethical Clearance ... 77

Lampiran 7. Surat IBM SPSS Statistics 22 Lisensi UGM ... 78

Lampiran 8. Analisis statistik data aktivitas ALT uji pendahuluan waktu pencuplikan darah hewan uji setelah diinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 79

Lampiran 9. Analisis statistik data aktivitas AST uji pendahuluan waktu pencuplikan darah hewan uji setelah diinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 83

Lampiran 10. Analisis statistik data kadar albumin kelompok Perlakuan ... 86

Lampiran 11. Perhitungan penetapan peringkat dosis FHEMM pada kelompok perlakuan ... 98

Lampiran 12. Perhitungan konversi dosis untuk manusia ... 100

Lampiran 13. Penetapan kadar air serbuk daun M. tanarius L. ... 101

(21)

xviii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dengan melihat peningkatan kadar albumin serta untuk mengetahui adanya kekerabatan antara dosis pemberian FHEMM pada penggunaan jangka panjang dengan peningkatan kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus betina galur Wistar, umur 2-3 bulan, dan berat ± 130-180 g. Tikus dibagi secara acak ke dalam enam kelompok perlakuan. Kelompok I (kontrol negatif) diberi CMC-Na 1% (137,14 mg/kgBB p.o). Kelompok II (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida 2 mL/KgBB secara i.p. Kelompok III (kontrol fraksi) diberi FHEMM Macaranga tanarius L. dosis 137,14 mg/kgBB tanpa pemberian karbon tetraklorida. Kelompok IV,V, dan VI (perlakuan) berturut-turut diberikan FHEMM M. tanarius L. dosis 34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB secara peroral sekali sehari selama enam hari berturut-turut dan pada hari ketujuh semua perlakuan diberi karbon tetraklorida dosis 2 mL/KgBB secara i.p. Darah diambil setelah 24 jam dari sinus orbitalis mata untuk diukur kadar albumin serum. Data kadar albumin dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk untuk melihat distribusi datanya kemudian dilanjutkan analisis dengan Kruskal-Wallis lalu uji Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan kadar albumin serum antar kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jangka panjang FHEMM mempengaruhi kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dan tidak adanya kekerabatan antara dosis FHEMM dengan peningkatan kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

(22)

xix

ABSTRACT

This study investigated the long-term influences of the hexane-ethanol fraction methanol-water extracts of Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM) againts carbon tetrachloride induced hepatotoxicity in rats. The albumin level in serum were measured for the evaluation of hepar function. This study also determined the relationship between the dose administration of FHEMM on the use of long-term with increased level of albumin serum in rat induced by carbon tetrachloride.

This research was done with purely experimental with a completely randomized design pattern undirectional. This research used 30 female Wistar rats, 2-3 months old, and weighing 130-180 grams. The rats were divided into six groups of five each. Group I (negative control) were treated with CMC-Na 1% (137.14 mg/kgBW p.o). The second group (hepatotoxin control) were additionally treated with carbon tetrachloride 2 mL/kgBW intraperitoneally. The third group (fraction control) received the FHEMM (137.14 mg/kgBW p.o) without carbon tetrachloride. The fourth until sixth group (treatment) were given FHEMM dose 34.28; 68.57; and 137.14 mg/kgBW orally once a day for six days successively and then in the seventh day all of the treatments group were given carbon tetrachloride 2 mL/kgBW by i.p. Twenty-four hours later, blood was collected from the orbital sinus eye to be measured albumin serum. Data of albumin level which obtained were analyzed using Shapiro-Wilk test to look at data distribution and continued analyze used Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test was used to determine the differences in albumin serum level of each group.

The result showed that extended of FHEMM influences albumin serum

level in rats which induced carbon tetrachloride and there wasn’t relationship

between the three doses of FHEMM dose with increased levels of albumin in rats induced by carbon tetrachloride.

Keywords : Macaranga tanarius, hepatoprotective, carbon tetrachloride, albumin, long-term.

(23)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat

kurang lebih 1,5 kg (Junqueira, 2007). Hati dianggap sebagai organ metabolisme

utama yang memiliki berbagai fungsi, yaitu proses metabolisme karbohidrat,

protein, lemak, pengaturan koagulasi dan detoksifikasi dari substansi toksik (The

Association of Physicians of India, 2012). Hati dapat mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh infeksi virus, obat-obat yang merusak hati, maupun induksi

senyawa kimia (Chandrasoma and Taylor, 1995). Adanya hepatotoksik akan

menyebabkan kerusakan hati berupa penurunan kadar albumin. Albumin

merupakan protein penting yang berfungsi untuk proses metabolisme dalam

tubuh. Adapun fungsi dari uji albumin, yaitu untuk mengukur kemampuan hati

dalam sintesis protein (Singh, Bhat, and Sharma, 2011). Pemeriksaan fungsi hati

memiliki beberapa parameter yang harus diperhatikan, antara lain aktivitas Alanin

Aminotransferase (ALT) yang akan meningkat 2-3 kali nilai normal, Aspartate Aminotransferase (AST) yang akan meningkat 3-4 kali nilai normal, kadar

bilirubin meningkat, Gamma-Glutamyl Transferase (GGT) meningkat, Alkaline

Phosphatase (ALP) meningkat, dan penurunan kadar albumin (Thapa dan Wilia,

2007). Oleh karena itu uji kadar albumin dapat digunakan sebagai salah satu

(24)

Salah satu contoh kerusakan hati yang saat ini cukup serius di kalangan

masyarakat yaitu perlemakan hati (steatosis). Steatosis merupakan hasil

penumpukan lemak dalam bentuk droplet di dalam sitoplasma sel hepatosit

(Brunt, 2001). Salah satu penyakit hati steatosis adalah Non-Alcoholic Fatty Liver

Disease (NAFLD) yang terjadi pada penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol.

NAFLD adalah adanya perlemakan hati secara makrovesikular akibat kurang

mengkonsumsi 20 g alkohol perhari. Hal ini merupakan penyakit yang paling

umum terjadi di Amerika Serikat (Clark and Brancati, 2002) dan memiliki

spektrum luas dari berbagai macam penyakit hati dari NAFLD yang berujung

Non-Alcoholic Steato Hepatitis (NASH), dan pada akhirnya menyebabkan sirosis

dengan hipertensi portal (Marchesini and Bugianesi, 2003). Sebagian besar

NAFLD disebabkan atau berhubungan erat dengan satu atau beberapa komponen

sindroma metabolik (SM), yaitu resistensi insulin, intoleransi glukosa atau

diabetes melitus, dan hipertensi (Dowman, Tomlinson, and Newsome, 2011).

Pada masa kini prevalensi NAFLD di seluruh dunia mengalami

peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data epidemiologi, prevalensi NAFLD

di negara bagian barat sekitar 20-40%. Pada penderita obesitas di negara maju,

didapatkan 60% mengalami perlemakan hati sederhana, 20-25% mengalami

NASH, dan 2-3% mengalami sirosis. Pada penderita diabetes melitus tipe 2,

terdapat 70% pasien mengalami NAFLD dan 50-60% mengalami NAFLD pada

pasien dislipidemia (Sofia, Nurdjanah, and Ratnasari, 2009). Di beberapa negara

Asia seperti Jepang, menyebutkan prevalensi NAFLD pada populasi umum

(25)

sekitar 5%-28%, dimana obesitas sentral dan diabetes merupakan faktor

predisposisi yang paling sering terjadi (Amarapurkar, Hashimoto, Lesmana,

Sollano, Chen, and Goh, 2007). Prevalensi NAFLD di China sekitar 15% (Fan

and Farrell, 2009). Di Indonesia, prevalensi NAFLD diperkirakan sekitar 30%

berdasarkan studi di lingkungan urban (Sumantri, 2013). Di RSUP dr. Kariadi

Semarang dengan pemeriksaan USG hati pada tahun 2005-2009 didapatkan

peningkatan kasus perlemakan hati dari tahun ke tahun, masing-masing pertahun

adalah 4; 4,5; 5; 6, dan 7% (Sasdesi and Purnomo, 2010).

Hepatotoksin merupakan senyawa yang dalam penggunaan jangka

panjang atau pada dosis berlebih dapat menimbulkan gangguan hati (Zimmerman,

1978). Salah satu contoh senyawa model hepatotoksin yaitu karbon tertraklorida.

Pemberian dosis rendah karbon tetraklorida dapat menyebabkan perlemakan hati

dan kerusakan sitokrom P450. Karbon tetraklorida dimetabolisme oleh sitokrom

P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas triklorometil, radikal ini dapat

bereaksi dengan oksigen membentuk radikal triklorometilperoksidasi yang sangat

reaktif (Timbrell, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Ahmed,

Alam, Varshney, and Khan, 2002) melaporkan bahwa pemejanan karbon

tetraklorida menyebabkan meningkatnya purata aktivitas ALT serum serta terjadi

penurunan purata kadar albumin serum sebesar 25,87% dari kontrol. Spektrum

efek toksik karbon tetraklorida pada hati inilah sehingga karbon tetraklorida

digunakan sebagai senyawa model hepatotoksin pada penelitian ini.

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor).

(26)

berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.

Antioksidan juga merupakan senyawa yang mampu menghambat senyawa yang

dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul

yang sangat reaktif, akibatnya kerusakan sel akan dihambat. Cara yang mudah

untuk mencegah atau mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas radikal

bebas yaitu dengan mengkonsumsi makanan atau suplemen yang mengandung

antioksidan (Winarsi, 2007).

Berbagai tanaman dapat dikatakan sebagai pengobatan alternatif untuk

mengobati berbagai macam penyakit kronis, seperti gangguan ginjal, gangguan

hepar dan bahkan kanker. Salah satunya adalah Macaranga tanarius L. atau yang

disebut dengan daun senu yang tersebar di seluruh daerah tropis di dunia seperti

Filipina, Laos, Thailand, serta Indonesia (World Agroforestry Centre, 2002).

Menurut penelitian Lim, Lim, dan Yule (2009) dibuktikan bahwa daun M.

tanarius L. memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai antipiretik, antitusif, agen

emetik, dan antiinflamasi. Berdasarkan penelitian Matsunami, Takamori,

Shinzato, Aramoto, Kondo, dan Otsuka (2006), tanaman M. tanarius memiliki

aktivitas antioksidan yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Ditemukan juga

kandungan glikosida yaitu macarangaioside A-C dan mallophenol B dari ekstrak

metanol-air yang menunjukkan aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap

DPPH.

Penelitian ekstrak metanol-air-air daun M. tanarius telah dilakukan oleh

Windrawati (2013) dengan penginduksi karbon tetraklorida praperlakuan jangka

(27)

penelitian tersebut terbukti bahwa tanaman ekstrak metanol-air baik jangka

panjang maupun jangka pendek dengan penginduksi karbon tetraklorida memiliki

efek hepatoprotektif. Kumazawa, Murase, Momose and Fukumoto (2014) telah

melakukan penelitian pada daun M. tanarius dan didapatkan bahwa ekstrak

metanol-air M. tanarius L. memiliki senyawa prenylflavonoids yang berfungsi

sebagai antioksidan. Selain itu, telah dibuktikan dari penelitian Gunawan-Puteri

dan Kawabata (2010), bahwa ekstrak etanol daun M. tanarius L. memiliki

senyawa ellagitannins yaitu mallotinic acid, corilagin, macatanin A, chebulogic

acid¸dan macatanin B. Senyawa tanin adalah senyawa fenolik yang terdapat pula

pada M. tanarius L. juga berpotensi sebagai antioksidan.

Pemilihan heksan dan etanol sebagai pelarut fraksi karena memiliki

lipofilisitas yang sama dengan kandungan senyawa tanin yang terdapat pada daun

M.tanarius. Berdasarkan perhitungan lipofilisitas heksan-etanol menggunakan

aplikasi Marvin Sketch didapatkan lipofilisitas sebesar 2,97 dan campuran

senyawa tanin yang memiliki lipofilisitas mendekati heksan-etanol yaitu

macatanin B (2,94), macatanin A (2,76), dan chebulogic acid (2,64). Sehingga

pada penelitian ini heksan-etanol digunakan sebagai pelarut fraksi M. tanarius

untuk mendapatkan antioksidan.

Lama pemejanan jangka panjang selama enam hari FHEMM mengacu

pada penelitian Windrawati (2013) mengenai ekstrak metanol:air (50:50) daun M.

tanarius L yang dilakukan selama enam hari berturut-turut mampu memberikan

(28)

Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk diteliti lebih lanjut

mengenai pemberian FHEMM dengan penginduksi karbon tetraklorida jangka

panjang.

1. Perumusan masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah pemberian FHEMM dalam penggunaan jangka panjang dapat

memberikan pengaruh terhadap kadar albumin pada tikus betina galur

Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida?

2. Apakah ada kekerabatan antara dosis pemberian FHEMM dengan

kenaikan kadar albumin pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi

karbon tetraklorida?

2. Keaslian penelitian

Phomart, Sutthivaiyakit, Chimnoi, Ruchirawat, dan Sutthivaiyakit (2005)

melaporkan bahwa flavonoid dari ekstrak n-heksan dan kloroform daun M.

tanarius mempunyai aktivitas antioksidan terhadap DPPH. Macarangaoside A-C

yang diisolasi dari ekstrak metanol-air M. tanarius menunjukkan aktivitas yang

poten terhadap DPPH (Matsunami, et al., 2006). Pada penelitian in vivo

menunjukkan bahwa ekstrak metanol-air daun M. tanarius mempunyai aktivitas

hepatoprotektif pada tikus terinduksi parasetamol (Adrianto, 2011).

Penelitian ekstrak metanol-air daun M. tanarius telah dilakukan oleh

(29)

panjang dan jangka pendek oleh Tiala (2013) pada waktu yang bersamaan. Dari

penelitian tersebut terbukti bahwa tanaman ekstrak metanol-air baik jangka

panjang maupun jangka pendek dengan penginduksi karbon tetraklorida memiliki

efek hepatoprotektif. Penelitian yang dilakukan oleh Todingbua (2014) mengenai

efek antiinflamasi topikal ekstrak metanol-air daun M. tanarius L. pada mencit

betina terinduksi karagenin membuktikan bahwa ekstrak daun M. tanarius

memiliki efek antiinflamasi topikal dengan konsentrasi optimum yang

menunjukkan efek antiinflamasi topikal sebesar 3,75%.

Sejauh studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian terkait

dengan pengaruh pemberian jangka panjang FHEMM terhadap kadar albumin

pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida belum pernah

dilakukan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan bagi masyarakat, khususnya ilmu kefarmasian mengenai

pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun M. tanarius L.

(30)

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai manfaat daun M. tanarius L. yang dapat menaikkan kadar

albumin, terlebih albumin mampu membentuk jaringan baru pasca operasi.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh FHEMM terhadap kenaikan kadar albumin

pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang FHEMM terhadap

kadar albumin pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon

tetraklorida.

b. Mengetahui adanya kekerabatan dosis pemberian FHEMM dengan

kenaikan kadar albumin pada tikus betina galur Wistar terinduksi

(31)

9

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hati 1. Anatomi hati

Hati merupakan kelenjar terbesar pada tubuh manusia, dengan berat

sekitar 1.500 g atau 2,5% dari total berat tubuh manusia dewasa. Organ ini

terletak di kuadran kanan atas rongga abdomen, di bawah diafragma (Kahle,

Leonhardt, and Platzer, 1995). Di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi

kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam

empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun atau obat yang

masuk dalam tubuh (Gerard and Bryan, 2009). Dalam keadaan segar hati

berwarna merah tua atau merah cokelat, warna ini disebabkan karena adanya

darah yang sangat banyak (Guyton and Hall, 2006).

Hati bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas

abdominalis tepat di bawah diphragma. Sebagian besar hati terletak di profunda

arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hati dari pleura,

pulmo, pericardium, dan cor. Hati terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai

hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006).

Hati memiliki dua lobus, yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Berdasarkan

ukurannya, lobus kanan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan

lobus kiri (Gambar 1). Kedua lobus tersebut dipisahkan oleh ligamentum

(32)

Gambar 1. Anatomi hati (Misih and Bloomston, 2010).

Seluruh permukaan hati dilapisi oleh kapsul Glisson, jaringan ikat padat

irreguler yang melekat longgar pada seluruh permukaan hati, kecuali pada area

porta hepatika (Gartner and Hiatt, 2001). Porta hepatika yang terletak pada

permukaan interior hati merupakan saluran tempat masuknya

pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi, disamping tempat keluar duktus hepatikus

dekstra dan sinistra yang menyalurkan empedu ke kandung empedu (Sherwood,

2004).

Secara makroskopik, struktur hati menggambarkan suatu sistem yang

kompleks yang terdiri dari beberapa sel dan pembuluh darah (Gambar 2). Secara

fisiologis, jaringan hati terbagi menjadi unit-unit fungsional berbentuk segitiga

yang dikenal sebagai asimus hati. Sebuah asimus hati tersusun atas 3 traktus

portalis, masing-masing terletak di sudut “segitiga” asimus, dan sebuah vena

sentralis di pusatnya (Gartner and Hiatt, 2001). Hepatosit di area dekat vena

hepatika terminalis terletak paling jauh dari suplai darah, dan karenanya berada di

(33)

yang berasal dari traktus portalis yang mempenetrasi jaringan hati. Di dalam

asimus, parenkim dibagi menjadi 3 zona (Gambar 2), dengan zona 1 terletak

paling dekat dengan suplai vaskuler dari traktus portalis, zona 3 di sekeliling vena

hepatika, dan zona 2 berada di antaranya. Zona ini terbagi secara metabolik,

karena adanya gradien aktivitas lobuler untuk enzim-enzim hati. Selain itu,

berbagai bentuk kerusakan hati juga memiliki distribusi berdasarkan zona

(Crawford, 2005).

Gambar 2. Anatomi mikroskopik hati (Crawford, 2005).

Pembuluh darah yang berperan dalam menyuplai darah untuk hati yaitu

arteri hepatika dan vena porta. Arteri hepatika membawa darah yang kaya akan

oksigen (kejenuhan oksigen 95-100%) dengan kecepatan aliran ±500 mL/menit.

Vena porta membawa darah yang mengandung oksigen (kejenuhan oksigen 70%),

(34)

usus, pankreas, dan limpa) dengan kecepatan aliran darah ±1000 mL/menit (Tso

and McGill, 2003).

Gambar 3. Struktur jaringan hati (Encyclopedia Britannica, Inc. 2003)

Jaringan hati terdiri dari massa sel batang melalui saluran empedu dan

pembuluh darah. Kelompok kedua sel yang disebut sel Kupffer (Gambar 3)

merupakan garis saluran kecil sistem vaskular partikel asing. Parenkim hati

tersusun atas lempeng-lempeng hepatosit yang saling beranastomosis

(Encyclopedia Britanica, Inc, 2003).

Hepatosit yang berbatasan langsung dengan traktus portalis disebut

sebagai lempeng pembatas, yang membentuk batas inkotinu di sekeliling

mesenkim traktus portalis. Hepatosit tersusun radial di sekeliling vena hepatika

terminalis. Di antara jalinan hepatosit, terdapat sinusoid vaskuler. Darah melewati

sinusoid kemudian menuju vena hepatika terminalis. Setiap hepatosit berada di

antara sinusoid dengan pendarahan yang berasal dari vena porta hepatika dan

(35)

hepatosit salah satu sel yang paling kaya perfusi sekaligus tahan terhadap iskemia

(McPhee and Ganong, 2006).

Sinusoid dilapisi oleh sel-sel endotelial yang berpori dan inkontinu, yang

membatasi celah ekstrasinuoidal, celah Disse. Ke dalam celah Disse, mikrovilli

hepatosit berprotusi. Tersebar dan menempel di permukaan luminal sel-sel

endotelial adalah sistem fagosit monosit yang dikenal sebagai sel-sel Kupffer. Di

celah Disse banyak terdapat sel-sel stelata perisinusoidal yang berperan dalam

penyimpanan dan metabolisme vitamin A. Jika terjadi proses inflamasi pada

parenkim hati, sel-sel stelata ini berubah menjadi myofibroblast yang

memproduksi kolagen (Gartner and Hiatt, 2001).

2. Fisiologi hati

Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengeksresikan empedu;

saluran empedu mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan

dan mengeluarkan empedu ke dalam usus halus sesuai kebutuhan (Price and

Wilson, 2005).

Menurut Guyton and Hall (2008), hati memiliki beberapa fungsi yaitu:

a. Metabolisme karbohidrat, fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah

menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan

fruktosa menjadi glukosa.

b. Metabolisme lemak, yaitu mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi

bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebaian besa kolesterol, fosfolipid

(36)

c. Metabolisme protein, fungsi hati yaitu deaminasi asam amino, pembentukan

ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein

plasma dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain

dari asam amino.

d. Lain-lain, fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat

penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk

feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam

jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau mengekresikan obat-obatan,

hormon dan zat lainnya.

Fungsi detoksifikasi hati dalam tubuh dilakukan oleh enzim hati dengan

cara oksidasi, hidrolisis, reduksi atau konjugasi senyawa-senyawa berbahaya bagi

tubuh yang selanjutnya diubah menjadi bentuk tidak aktifnya (DiPiro, Robert,

Gary, Gary, Barbara, and Michael, 2008). Hati yang normal mempunyai kapasitas

cadangan yang besar untuk melakukan fungsinya. Dalam keadaan normal, 80%

bagian dari hati dapat dihentikan aktivitasnya tanpa harus mengurangi fungsinya

(Chandrasoma and Taylor, 1995).

3. Kerusakan hati

Kerusakan hati disebabkan karena adanya kerusakan yang parah pada

sel-sel hepatosit atau kerusakan berulang sel parenkim. Hati memiliki kapasitas

cadangan sehingga manifestasi klinis dari kerusakan hati baru muncul ketika telah

terjadi kerusakan hati mencapai 80-90%. Kerusakan hati dibagi menjadi tiga

kategori, yaitu kerusakan hati akut, kerusakan hati kronis dan disfungsi hati tanpa

(37)

Berdasarkan manifestasi klinik dan pola spesifik pada histopatologi

kerusakan hati, dibagi menjadi:

a. Perlemakan hati (Steatosis), kerusakan sel hati yang ditandai dengan

penumpukan lemak pada sel hati. Obat-obat yang dapat menyebabkan

terjadinya steatonecrosis dengan cara mempengaruhi proses oksidasi asam

lemak di mitokondria.

b. Phospholipidosis, merupakan akumulasi dari fosfolipid sebagai pengganti

asam lemak. Fosfolipid dapat menelan badan lisosom pada sel hati.

c. Nekrosis sentrolobuler, sering terjadi pada induksi obat hepatotoksik yang

bergantung pada dosis. Nekrosis sentrolobuler biasanya terjadi karena

produksi metabolit beracun dari suatu senyawa. Kerusakan yang terjadi

menyebar ke luar mulai dari tengah lobus.

d. Nekrosis hepatoseluler tergeneralisasi, hampir mirip dengan terjadinya

perubahan karena adanya infeksi hati oleh virus. Waktu terjadinya satu

minggu setelah terinduksi zat beracun (DiPiro et al., 2008) .

e. Kolestasis, didefinisikan sebagai disorder sekresi empedu dan kolepoiesis

yang menyebabkan kemacetan saluran empedu intrahepatik maupun

ekstrahepatik. Kolestasis dapat menimbulkan penyakit kuning. Kolestasis

ditandai dengan meningkatnya asam empedu, enzim spesifik, dan

kolesterol dalam serum (Kuntz and Kuntz, 2008).

4. Perlemakan hati

Perlemakan hati dapat ditandai dengan adanya timbunan lemak melebihi

(38)

hati terjadi karena adanya akumulasi lipid terutama dalam bentuk trigliserida pada

hepatosit yang merupakan akibat kelebihan suplai asam lemak dari jaringan

adiposa. Perlemakan hati ditandai dengan meningkatnya enzim-enzim biokimia

dalam darah seperti AST dan ALT. Gangguan ini dapat terjadi akibat dari

gangguan sintesis protein, penurunan sintesis fosfolipid, dan gangguan pada

transfer VLDL melalui membran sel (Hodgson, 2009).

Penumpukan lemak pada hati dapat menimbulkan beberapa hal yang

tidak diinginkan diantaranya peningkatan apoptosis, pengingkatan regulasi TNF-ɑ

yang merupakan faktor pro-inflammatory dan pro-steatotic, disfungsi

mitokondria yang dapat meningkatkan reactive oxygen species (ROS) dan

menginduksi peroksidasi lipid pada membran sel (Tolman and Dalpiaz, 2007).

B. Hepatotoksin

Hepatotoksin adalah senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan atau

gangguan pada sel-sel hati. Senyawa atau obat-obat yang dapat menyebabkan

kerusakan sel hati dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Hepatotoksin teramalkan (Tipe A), yaitu senyawa yang memiliki efek

hepatotoksik hampir pada seluruh populasi yang terpejankan senyawa

tersebut. Contohnya tetrasiklin, asetaminofen, karbon tetraklorida dan alkohol

b. Hepatotoksin tak teramalkan (Tipe B), yaitu senyawa yang memiliki efek

hepatotoksik pada sebagian kecil populasi yang terpejankan senyawa tersebut.

Beberapa bergantung pada dosis pemberian, dan frekuensi kejadiannya sangat

jarang. Contoh agen hepatotoksik tak teramalkan adalah fenitoin, isoniazid

(39)

C. Karbon Tetraklorida

Karbon tetraklorida merupakan senyawa berupa cairan jernih yang

mudah menguap, tidak berwarna, memiliki bau khas, memiliki bobot molekul

153,82 dan sangat sukar larut dalam air (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat

dan Makanan, 1995). Struktur kimia ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Struktur karbon tetraklorida (CCl4)

(Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).

Karbon tetraklorida merupakan xenobiotik yang lazim digunakan untuk

menginduksi peroksidasi lipid dan keracunan (Panjaitan, Handharyani, Chairul,

Masriani, Zakiah, and Manalu, 2007). Dalam endoplasmik retikulum hati, karbon

tetraklorida dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) yang menjadi

radikal bebas triklorometil, selanjutnya triklorometilperoxi menyebabkan

peroksidasi lipid sehingga mengganggu homeostatis Ca2+, dan akhirnya

menyebabkan kematian sel (Shanmugasundaram and Venkataraman, 2006).

Jenis kerusakan hati yang timbul akibat pemberian karbon tetraklorida

yang sering terjadi adalah perlemakan atau steatosis. Steatosis terjadi karena lipid

yang terbentuk akan menghambat sintesis protein sehingga menurunkan produksi

lipoprotein sehingga transport lipid terganggu dan akan menyebabkan akumulasi

(40)

D. Albumin

Albumin merupakan protein yang paling banyak ditemukan di dalam

darah manusia. Albumin berfungsi sebagai sumber asam amino pada kasus

malnutrisi dan berguna untuk transport protein seperti bilirubin, urobilin, asam

lemak, hormon dan substansi asing, seperti penisilin, sulfonamid dan merkuri.

Albumin diproduksi oleh hati dan mewakili 50% dari produksi protein hepatik

(Atara and Lanza, 2002).

Sintesis albumin terutama di hati yitu ebanyak 12-25 g/hari pada manusia

dewasa normal dan merupakan 25% dari total protein hati setiap hari.

Katabolisme albumin terjadi di sel hati, dimana sebanyak ± 15% albumin yang

sudah tua usianya akan diurai kembali menjadi berbagai komponen asam amino

yang dibutuhkan tubuh. Distribusi albumin terjadi di dalam pembuluh darah

maupun di luar pembuluh darah (cairan intertitial). Pada penderita sirosis hati

akan dijumpai rendahnya produksi albumin (Kakizaki, Sohara, Yamazaki,

Horiguchi, Kanda, and Kenji, 2008).

Penilaian kerusakan fungsi hati dapat dilakukan dengan pemeriksaan

antara lain kadar enzim AST-ALT, kadar albumin, bilirubin dalam sampel darah,

dan faktor pembekuan (Lee, 2012). Albumin memainkan peranan penting dalam

kesehatan dan penyakit. Albumin merupakan penyumbang utama untuk tekanan

onkotik koloid (COP), mengikat endogen dan eksogen molekul, menengahi

koagulasi, dan membantu untuk mempertahankan permeabilitas mikrovaskuler

(41)

Nilai normal albumin pada manusia dewasa sekitar 3,8-5,1 g/dL atau

52-68% protein total, untuk anak-anak 4,0-5,8 g/dL, lalu untuk bayi 4,4-5,4 g/dL, dan

untuk bayi baru lahir berkisar 2,9-5,4 g/dL (Sutedjo, 2006). Sedangkan serum

albumin normal pada tikus yaitu 3,0-3,5 mg/dL (Triznarizki, 2007). Penurunan

albumin dapat dilihat bersamaan dengan pemeriksaan lain yaitu kenaikan ALT.

Seiring dengan kenaikan ALT pada kondisi hati yang tidak normal, albumin juga

mengalami penurunan (Sivakrishnan and Kottaimuthu, 2014).

E. Macaranga tanarius L. 1. Morfologi

M. tanarius L. merupakan pohon kecil dengan dahan agak besar (Gambar

5). Daun berseling agak membundar seperti jantung, tipis, dengan stipula besar

yang luruh, ujung daun bergerigi halus, dengan pangkal bulat. Perbungaan

bermulai di ketiak, bunga ditutupi oleh daun gagang. Buah kapsul berkokus 2, ada

kelenjar kekuningan di luarnya (Heim, 2015). Ukuran daun berkisar 8-32 x 5-28

cm. Panjang tangkai daun 6-27 cm (World Agroforesty Centre, 2002).

(42)

2. Taksonomi

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

Sub-divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)

Sub-kelas : Rosidae

Ordo : Euphorbiales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Macaranga

Jenis : Macaranga tanarius (L) Müll. Arg.

(World Agroforesty Centre, 2015)

3. Sinonim

Ricinus tanarius L., Macaranga molliuscula, Macaranga tomentosa

Druce, Mappa tanarius Blume (Starr, Star, and Loope, 2003).

4. Nama daerah

Tutup ancur (Jawa), mapu (Batak), mara (Sunda) (Proseanet, 2012).

5. Kandungan kimia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kumazawa, Murase,

Momose, dan Fukumoto (2014) melaporkan bahwa ekstrak metanol air M.

tanarius L. memiliki senyawa prenylflavonoids yang berfungsi sebagai

(43)

Berdasarkan penelitian Matsunami, et al., (2006) melaporkan bahwa

dalam daun M. tanarius mengandung macarangiosida A, macarangiosida B,

macarangiosida C, macarangiosida D dan mallophenol B, lauroside E, methyl brevifolin carboxylate, dan hyperin dan isoquercitrin. Pada tahun 2009, Matsunami, et al., menemukan tiga kandungan glukosida baru yaitu

(+)-pinoresinol 4-O-[6”-O-galloyl]-β-D-glukopiranoside, macarangioside E dan

macarangioside F.Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan-Puteri dan Kawabata (2010) yang melaporkan bahwa ekstrak etanol daun M. tanarius L. memiliki

senyawa ellagitannins yaitu mallotinic acid, corilagin, macatannin A, chebulogic

acid, dan macatannin B (Gambar. 6).

(44)

6. Khasiat dan kegunaan

Macaranga merupakan genus besar yang diklasifikasikan lebih dari 30

spesies. Secara tradisional, bioaktivitas dari berbagai macam spesies Macaranga

dapat dijadikan sebagai pengobatan tradisional di wilayah tropis. Pengobatan

tradisional di Malaysia dan Thailand, dekok dari akar M. tanarius dimanfaatkan

sebagai antipiretik dan antitusif. Akar keringnya digunakan sebagai antiemetik,

dan daun segarnya dimanfaatkan sebagai antiinflamasi (Chulabhorn, Prawat,

Prachyawarakorn, and Ruchirawat, 2002). Di China, tanaman M. tanarius

dikomersilkan dalam pembuatan produk, seperti minuman sehat, dan ekstraknya

dimanfaatkan untuk pembuatan pasta gigi (Grosvenor, Gothard, Mc William,

Supriono, and Gray, 1995).

Berdasarkan penelitian Fukumoto dan Goto (2007), dikembangkan agen

antimikroba yang mengandung ekstrak M. tanarius, sebagai bahan aktif yang

berguna dalam produk oral untuk mencegah dan mengobati karies gigi, gingivitis,

dan peradangan gusi. Fukumoto dan Goto (2007) juga mengembangkan

penggunaan ekstrak M. tanarius dalam makanan dan minuman sehat dalam

mencegah dan mengobati kanker. Menurut penelitian (Matsunami, et al., 2006)

dibuktikan bahwa ekstrak metanol M. tanarius juga menunjukkan penangkapan

aktivitas radikal dari DPPH.

Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan oleh Windrawati (2013)

mengenai efek hepatoprotektif jangka panjang ekstrak metanol-air daun M.

(45)

(2011) melaporkan bahwa ekstrak metanol-air daun M. tanarius dapat

menurunkan kadar glukosa darah pada tikus yang terbebani glukosa.

7. Penyebaran dan budidaya

M. tanarius tersebar luas, dari Kepulauan Andaman dan Nicobar,

Indo-Cina, Cina Selatan, Taiwan dan Kepulauan Ryukyu, seluruh Malaysia, sampai ke

Australia Utara dan Timur. Jenis ini umum dijumpai di daratan Asia Tenggara

(Thailand Selatan, Semenanjung Malaya), dan pada banyak pulau di Malaysia.

Selain itu M. tanarius ditemukan di daerah bersemak di sepanjang Asia Selatan

dan Timur, khususnya bagian Selatan Cina, Korea, dan Okinawa, Jepang (World

Agroforesty Centre, 2011).

F. Ekstraksi dan Fraksinasi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa kimia yang terdapat

pada tanaman atau hewan ataupun komponen lain dengan menggunakan pelarut

yang sesuai. Senyawa kimia yang didapatkan dari proses ekstraksi merupakan

campuran dari hasil metabolit ataupun senyawa lain yang terdapat pada tanaman

(Khoddami, Wilkes, and Roberts, 2013).

Metode ekstraksi memiliki beberapa metode ekstraksi, yaitu ekstraksi

cara dingin dan ekstraksi cara panas. Dengan cara ini bahan kering hasil

penyerbukan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut

yang kepolarannya makin tinggi: pertama heksana (atau petroleum eter),

kemudian kloroform (atau diklorometana), etil asetat, aseton, metanol dan

(46)

Hasil dari proses ekstraksi disebut ekstrak yang merupakan sediaan pekat

yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani

menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut

diuapkan dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga

memenuhi baku yang ditetapkan (Departemen Kesehatan RI, 1995).

Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan

kelarutan senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling

bercampur, biasanya antara pelarut air dan pelarut organik. Metode ini merupakan

ekstraksi suatu senyawa dari satu fasa ke fasa yang lain. Teknik pemisahan

ekstraksi cair-cair biasanya dilakukan dengan menggunakan corong pisah

(Separatory funnel). Ekstraksi akan semakin efektif bila dilakukan berulang kali

menggunakan pelarut dengan volume yang sedikit demi sedikit (Adijuwana and

Nur, 1989). Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang

mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari tidak

mengandung benzoin, tiraks dan lilin (Sudjadi, 1986).

Fraksinasi bertingkat umumnya diawali dengan pelarut yang kurang

polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut

dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Tahapan fraksinasi

bertingkat dengan menggunakan tiga macam pelarut yaitu n-heksan sebagai

pelarut non-polar, etil asetat sebagai pelarut semi polar, dan air yang berperan

(47)

G. Antioksidan

Secara biologis pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu

menangkal atau meredam dampak dari oksidan dalam tubuh. Antioksidan adalah

senyawa pemberi elektron. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu

elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa

oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi, 2007).

Peran antioksidan pada penyakit hati adalah terjadinya stress oksidatif

yang diperantarai oleh radikal bebas. Beberapa penyakit hati seperti hepatitis

(A,B, dan C), serta perlemakan hati melibatkan stress oksidatif. Proses tersebut

dapat menyebabkan kerusakan sel sekunder dimana progresivitas dan regresivitas

yang berlangsung tergantung pada keseimbangan antara oksidasi dan antioksidasi

(Manco, Devito, Marcellini, Mingrone, and Nobili, 2008).

H. Landasan Teori

Hati merupakan salah satu organ terbesar di dalam tubuh terletak di

dalam rongga perut sebelah kanan (Wibowo, 2008). Salah satu peranan penting

hati di dalam tubuh adalah mendetoksifikasi senyawa-senyawa toksik yang masuk

dalam tubuh (Seifter, Ratner and Sloane, 2005). Kerusakan hati terjadi karena

adanya kerusakan yang parah pada sel-sel hepatosit atau kerusakan berulang pada

sel parenkim (Crawford and Liu, 2010). Salah satu kerusakan hati yang sering

terjadi adalah perlemakan (steatosis) yang merupakan penumpukan trigliserida di

hepatosit.

Kerusakan hati ditandai dengan peningkatan nilai ALT-AST, kadar ALP,

(48)

menyebabkan penurunan produksi albumin di hati. Albumin merupakan protein

penting yang berfungsi untuk proses metabolisme dalam tubuh. Adapun fungsi

dari uji albumin, yaitu untuk mengukur kemampuan hati dalam sintesis protein

(Singh dkk., 2011). Oleh karena itu uji kadar albumin dapat digunakan sebagai

salah satu parameter untuk mengetahui kerusakan yang terjadi di hati.

Karbon tetraklorida merupakan senyawa model hepatotoksin yang

menginduksi kerusakan hati khususnya steatosis. Karbon tetraklorida

dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas

triklorometil. Triklorometil dengan oksigen akan membentuk radikal

triklorometilperoksi yang sangat reaktif, radikal ini dapat menyerang lipid

membran endoplasmik retikulum yang menyebabkan gangguan homeostatis Ca2+

dan akhirnya akan menyebabkan kematian sel (Timbrell, 2009).

Pada penelitian Matsunami, et al., 2006 melaporkan kandungan dari M.

tanarius yang diisolasi dari ekstrak metanol daun M. tanarius mempunyai

aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH yang dapat berpotensi sebagai zat

antioksidan. Penelitian ekstrak metanol-air daun M. tanarius telah dilakukan oleh

Windrawati (2013) dengan penginduksi karbon tetraklorida praperlakuan jangka

panjang dan jangka pendek oleh Tiala (2013) pada waktu yang bersamaan dan

terbukti bahwa tanaman ekstrak metanol-air dengan penginduksi karbon

tetraklorida memiliki efek hepatoprotektif. Berdasarkan penelitian sebelumnya

mengenai efek hepatoprotektif ekstrak metanol-air daun M. tanarius sudah pernah

dilakukan, untuk itu penelitian ini akan mengembangkan penelitian sebelumnya

(49)

dengan pemberian FHEMM kadar albumin pada tikus terinduksi karbon

tetraklorida dapat dinaikkan dan melihat apakah ada kekerabatan antara

peningkatan dosis FHEMM dengan peningkatan kadar albumin.

I. Hipotesis

Pemberian oral FHEMM secara jangka panjang dapat meningkatkan

kadar albumin dan adanya kekerabatan dosis FHEMM dengan kenaikan kadar

(50)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni yang

dilakukan perlakuan terhadap sejumlah variabel penelitian. Rancangan penelitian

ini termasuk rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi

dosis pemberian FHEMM yang dibuat dalam 3 peringkat dosis.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah

kadar albumin serum tikus betina galur Wistar terinduksi karbon

tetraklorida setelah pemberian jangka panjang FHEMM.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali. Hewan uji yang digunakan yaitu tikus

betina galur Wistar dengan berat badan 130-180 g dan berumur 2-3

bulan, frekuensi pemberian FHEMM satu kali sehari selama enam

hari berturut-turut dengan waktu pemberian yang sama, cara

pemberian FHEMM secara per oral dan karbon tetraklorida secara

intraperitonial, dan bahan uji yang digunakan berupa daun M.

tanarius L. yang diperoleh dari daerah Paingan, Depok, Sleman,

(51)

b. Variabel pengacau tak terkendali. Kondisi patologis dari tikus betina

galur Wistar yang digunakan sebagai hewan uji.

3. Definisi operasional

a. Ekstrak metanol-air daun M. tanarius. Ekstrak kental yang diperoleh

dengan mengekstraksi serbuk kering daun M. tanarius seberat 40,0 g

yang dilarutkan dalam 200,0 mL pelarut metanol-air secara maserasi

selama 24 jam. Kemudian disaring dengan kertas saring, dievaporasi

dan diuapkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50ºC, hingga

bobot pengeringan tetap.

b. Fraksi heksan-etanol daun M. tanarius. Fraksi dihasilkan dari proses

maserasi ekstrak metanol-air daun M. tanarius L. Sejumlah ekstrak

pekat yang diperoleh, ditimbang dan dilarutkan dengan pelarut

heksan-etanol 1:1 dimana perbandingan antara pelarut dan ekstrak

pekat adalah 1:5. Setelah dilarutkan dalam labu erlenmeyer,

dilakukan penggojogan menggunakan shaker selama 24 jam.

Kemudian disaring menggunakan corong buchner yang dilapisi

kertas saring dengan bantuan pompa vakum lalu dioven selama 24

jam pada suhu 50°C hingga bobot pengeringan tetap.

c. Kadar albumin. Kemampuan FHEMM pada dosis tertentu untuk

meningkatkan kadar albumin yang signifikan dibanding kontrol

hepatotoksin pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon

(52)

d. Jangka panjang. Pemberian FHEMM satu kali sehari selama enam

hari berturut-turut dengan waktu pemberian yang sama.

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

a. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus betina

galur Wistar dengan berat badan 130-180 g dan umur 2-3 bulan yang

diperoleh dari dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Bahan uji yang digunakan adalah daun M. tanarius L. yang diperoleh

dari daerah Paingan, Depok, Sleman, Yogyakarta.

2. Bahan kimia

a. Bahan hepatotoksin yang digunakan adalah karbon tetraklorida yang

diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Kontrol negatif yang digunakan CMC-Na 1%.

c. Pelarut hepatotoksin digunakan olive oil (Bertolli®).

d. Pelarut ekstrak digunakan metanol teknis dan aquadest yang diperoleh

dari toko CV General Labora dekat rs. Sardjito Yogyakarta.

e. Etanolteknis diperoleh dari toko CV General Labora dekat rs. Sardjito

Yogyakarta

f. Heksan teknis diperoleh dari toko CV General Labora dekat rs.

Sardjito Yogyakarta

(53)

Komposisi dan konsentrasi dari reagen Albumin BCG (Thermo Scientific) yang

digunakan adalah sebagai berikut.

Tabel I. Komposisi dan konsentrasi reagen Albumin BCG

Komposisi Konsentrasi

Brom Cresol Green 0,27 mmol/L

TRIS 55 mmol/L

Succinic Acid 100 mmol/L

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven, timbangan

analitik, mesin penyerbuk, sendok kayu, ayakan, beaker glass, gelas ukur, batang

pengaduk, cawan porselin, penangas air, rotary evaporator, shaker, corong

Buchner, erlenmeyer, stopwatch, kertas saring, labu alas bulat, labu ukur, pipet

tetes, pipet volume, pipa kapiler, spuit injeksi per oral, syringe 3 cc Terumo®,

syringe 1 cc Terumo®, moisture balance, dan syringe 6 cc Terumo®.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman M. tanarius

Determinasi tanaman M. tanarius dilakukan dengan mencocokkan

ciri-ciri morfologi M. tanarius dengan buku acuan determinasi. Determinasi

dilakukan di Unit II Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

2. Pengumpulan bahan

Bahan uji yang digunakan adalah daun M. tanarius yang masih segar dan

(54)

diperoleh dari daerah Paingan, Depok, Sleman, Yogyakarta pada bulan

Februari.

3. Pembuatan serbuk

Daun M. tanarius dicuci bersih dibawah air mengalir. Setelah bersih,

daun diangin-anginkan atau dilap dengan lap bersih hingga daun tidak tampak

basah kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven. Tujuan dari

pengeringan adalah melindungi daun dari kerusakan sinar matahari langsung.

Pengeringan dengan oven dilakukan pada 40ºCselama 72 jam.Setelah kering

daun diremas kecil-kecil dan dibuat serbuk lalu diayak dengan ayakan nomor

50. (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan, 1989) supaya

kandungan fitokimia yang terkandung dalam daun M. tanarius lebih mudah

terekstrak karena luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut semakin

besar.

4. Penetapan kadar air serbuk kering daun M. tanarius

Penetapan kadar air dilakukan termopan, yaitu dengan menguji susut

penguapan dari simplisia serbuk daun M. tanarius berdasarkan Direktorat

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (1989),

penetapan kadar air secara sederhana menggunakan alat moisture balance.

Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan sampel kurang lebih 5 g

sampel dan menimbang bobot serbuk sebagai bobot sebelum pemanasan

(bobot a). Kemudian alat dipanaskan pada suhu 110ºC selama 15 menit, dan

setelah itu menimbang bobot serbuk setelah pemanasan (bobot b). Selisih

(55)

kadar air dilakukan perhitungan pada serbuk setelah pemanasan untuk

memenuhi standarisasi simplisia yang ditentukan. Penetapan kadar air pada

ekstrak dan fraksi tidak dilakukan dalam penelitian.

5. Pembuatan FHEMM

Sebanyak 40,0 g serbuk kering daun M. tanarius diekstraksi secara

maserasi dengan melarutkan serbuk dalam 100 mL pelarut metanol dan 100

mL pelarut aquadest pada suhu kamar selama 24 jam. Tujuan dilarutkan

dalam pelarut metanol-air agar senyawa kimia yang terkandung dalam daun

M. tanarius dapat larut dalam pelarut. Setelah itu dilakukan perendaman dan

penggojogan menggunakan shaker, hasil maserasi disaring menggunakan

corong buchner dilapisi kertas saring. Larutan hasil saringan dipindahkan

dalam labu alas bulat untuk dievaporasi. Tujuan proses evaporasi adalah

menguapkan cairan penyari pada proses maserasi. Prinsip alat vaccum

evaporator adalah menguapkan pelarut dengan suhu rendah dan berputar

dengan menggunakan tekanan tinggi untuk membantu proses penguapan.

Hasil evaporasi dituangkan dalam cawan porselin yang telah ditimbang

sebelumnya, agar mempermudah perhitungan rendemen ekstrak yang akan

diperoleh. Cawan porselin yang berisi larutan hasil maserasi dimasukkan

dalam oven untuk diuapkan selama 24 jam dengan suhu 50ºC untuk

mendapatkan ekstrak metanol-air daun M. tanarius yang kental dengan bobot

pengeringan ekstrak yang tetap.

Selanjutnya pembuatan FHEMM dilakukan secara maserasi

(56)

dilarutkan dengan pelarut heksan-etanol 1:1 ke dalam labu erlenmeyer

dimana volume pelarut disesuaikan dengan bobot ekstrak 1:5. Hasil maserasi

disaring menggunakan kertas saring dan corong buchner dengan bantuan

pompa vakum. Hasil saringan diuapkan menggunakan rotary evaporator dan

kemudian dimasukkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50°C hingga

didapat bobot tetap fraksi.

Menghitung rata-rata rendemen enam replikasi ekstrak metanol-air

daun Macaranga tanarius kental yang telah dibuat.

Rendemen ekstrak = berat cawan ekstrak kental – berat cawan kosong

Rata-rata rendemen =

6. Pembuatan larutan sediaan FHEMM

Larutan FHEMM dilarutkan dalam CMC-Na 1% dengan perbandingan

1:5. Sebanyak 0,6 g FHEMM dilarutkan dalam 20 mL CMC-Na 1%,

kemudian dimasukkan dalam labu ukur 25 mL, dan diadd sampai tanda batas.

7. Pembuatan larutan CMC-Na 1% sebagai pelarut FHEMM

Ditimbang sebanyak 5,0 gram CMC-Na, kemudian dilarutkan

menggunakan aquadest 400,0 mL dan didiamkan selama 24 jam hingga

CMC-Na mengembang. Larutan tersebut kemudian diadd dengan aquadest

hingga 500,0 mL pada labu ukur 500,0 mL.

8. Pembuatan larutan karbon tetraklorida (CCl4)

Larutan hepatotoksin yang digunakan adalah karbon tetraklorida,

dibuat dalam konsentrasi 50% dengan perbandingan karbon tetraklorida dan

(57)

9. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis toksin karbon tetraklorida. Dosis karbon tetraklorida

sebagai hepatotoksik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada

penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), bahwa dosis 2mg/kgBB terbukti

mampu meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST dan penurunan

kadar albumin pada tikus bila diberikan secara intraperitonial.

b. Penetepan dosis FHEMM. Penetapan dosis FHEMM dapat ditentukan

dengan melakukan orientasi dosis. Dosis tertinggi yang dapat ditetapkan

yaitu 137,14 mg/kgBB. Peringkat dosis II ditetapkan dengan menurunkan

seperdua dari dosis tertinggi (½ x (2 mL/350 gBB=68,57 mg/kgBB) dan

peringkat dosis I ditetapkan dengan menurunkan seperdua dari peringkat

dosis II (½ x 1 mL/350 gBB= 34,28 mg/kgBB).

c. Penetapan waktu pencuplikan darah. Penetapan waktu pencuplikan darah

ditentukan melalui orientasi dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yaitu

pada jam ke–0, 24, dan 48 setelah pemejanan karbon tetraklorida. Setiap

kelompok perlakuan terdiri dari 5 hewan uji yang pengambilan darahnya

dilakukan melalui pembuluh sinus orbitalis mata. Kemudian aktivitas

ALT serum tikus yang terinduksi karbon tetraklorida diukur.

10. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Sejumlah tiga puluh ekor tikus betina galur Wistar dibagi secara acak ke

Gambar

Tabel II.
Gambar 1.      Anatomi Hati  ................................................................
Gambar 1. Anatomi hati  (Misih and Bloomston, 2010).
Gambar 2. Anatomi mikroskopik hati (Crawford, 2005).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan yang dapat diambil bahwa peran brosur berbahasa China disini sangat membantu sebagai media untuk mengenalkan objek wisata Sapta Tirta Karanganyar

Apalagi dalam pelaksanaan studi banding juga diiringi dengan pelatihan yang dihubungkan pada tugas dan tanggung jawab anggota Badan Legislasi.Sehingga pelaksanaan

Hasil penelitian Febriana dan Suaryana (2011) mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi kebijakan pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan pada perusahaan

kfu*hdhjd{ndsdFliPd!@!.

[r]

cflb{n€ruP*u$Ld$fuloD!di]ek sdda4LinaPdd.klqdddFogtd@arb.Unqoapdo] 'l'i0,1'l!1Ln!Fb' sqdode^@F*eob4utb&nod d4kl*uhsnFit@ddag\d n{gmb'gls6nnigb*orM. a& &L$4a hLi!r3 najldi

[r]

dioFij 6 Pedu &pd nqopt l..