BAB III. METODE PENELITIAN
E. Tata Cara Penelitian
Determinasi tanaman M. tanarius dilakukan dengan mencocokkan
ciri-ciri morfologi M. tanarius dengan buku acuan determinasi. Determinasi
dilakukan di Unit II Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2. Pengumpulan bahan
Bahan uji yang digunakan adalah daun M. tanarius yang masih segar dan
diperoleh dari daerah Paingan, Depok, Sleman, Yogyakarta pada bulan
Februari.
3. Pembuatan serbuk
Daun M. tanarius dicuci bersih dibawah air mengalir. Setelah bersih,
daun diangin-anginkan atau dilap dengan lap bersih hingga daun tidak tampak
basah kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven. Tujuan dari
pengeringan adalah melindungi daun dari kerusakan sinar matahari langsung.
Pengeringan dengan oven dilakukan pada 40ºCselama 72 jam.Setelah kering
daun diremas kecil-kecil dan dibuat serbuk lalu diayak dengan ayakan nomor
50. (Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan, 1989) supaya
kandungan fitokimia yang terkandung dalam daun M. tanarius lebih mudah
terekstrak karena luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut semakin
besar.
4. Penetapan kadar air serbuk kering daun M. tanarius
Penetapan kadar air dilakukan termopan, yaitu dengan menguji susut
penguapan dari simplisia serbuk daun M. tanarius berdasarkan Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (1989),
penetapan kadar air secara sederhana menggunakan alat moisture balance.
Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan sampel kurang lebih 5 g
sampel dan menimbang bobot serbuk sebagai bobot sebelum pemanasan
(bobot a). Kemudian alat dipanaskan pada suhu 110ºC selama 15 menit, dan
setelah itu menimbang bobot serbuk setelah pemanasan (bobot b). Selisih
kadar air dilakukan perhitungan pada serbuk setelah pemanasan untuk
memenuhi standarisasi simplisia yang ditentukan. Penetapan kadar air pada
ekstrak dan fraksi tidak dilakukan dalam penelitian.
5. Pembuatan FHEMM
Sebanyak 40,0 g serbuk kering daun M. tanarius diekstraksi secara
maserasi dengan melarutkan serbuk dalam 100 mL pelarut metanol dan 100
mL pelarut aquadest pada suhu kamar selama 24 jam. Tujuan dilarutkan
dalam pelarut metanol-air agar senyawa kimia yang terkandung dalam daun
M. tanarius dapat larut dalam pelarut. Setelah itu dilakukan perendaman dan
penggojogan menggunakan shaker, hasil maserasi disaring menggunakan
corong buchner dilapisi kertas saring. Larutan hasil saringan dipindahkan
dalam labu alas bulat untuk dievaporasi. Tujuan proses evaporasi adalah
menguapkan cairan penyari pada proses maserasi. Prinsip alat vaccum
evaporator adalah menguapkan pelarut dengan suhu rendah dan berputar
dengan menggunakan tekanan tinggi untuk membantu proses penguapan.
Hasil evaporasi dituangkan dalam cawan porselin yang telah ditimbang
sebelumnya, agar mempermudah perhitungan rendemen ekstrak yang akan
diperoleh. Cawan porselin yang berisi larutan hasil maserasi dimasukkan
dalam oven untuk diuapkan selama 24 jam dengan suhu 50ºC untuk
mendapatkan ekstrak metanol-air daun M. tanarius yang kental dengan bobot
pengeringan ekstrak yang tetap.
Selanjutnya pembuatan FHEMM dilakukan secara maserasi
dilarutkan dengan pelarut heksan-etanol 1:1 ke dalam labu erlenmeyer
dimana volume pelarut disesuaikan dengan bobot ekstrak 1:5. Hasil maserasi
disaring menggunakan kertas saring dan corong buchner dengan bantuan
pompa vakum. Hasil saringan diuapkan menggunakan rotary evaporator dan
kemudian dimasukkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 50°C hingga
didapat bobot tetap fraksi.
Menghitung rata-rata rendemen enam replikasi ekstrak metanol-air
daun Macaranga tanarius kental yang telah dibuat.
Rendemen ekstrak = berat cawan ekstrak kental – berat cawan kosong Rata-rata rendemen =
6. Pembuatan larutan sediaan FHEMM
Larutan FHEMM dilarutkan dalam CMC-Na 1% dengan perbandingan
1:5. Sebanyak 0,6 g FHEMM dilarutkan dalam 20 mL CMC-Na 1%,
kemudian dimasukkan dalam labu ukur 25 mL, dan diadd sampai tanda batas.
7. Pembuatan larutan CMC-Na 1% sebagai pelarut FHEMM
Ditimbang sebanyak 5,0 gram CMC-Na, kemudian dilarutkan
menggunakan aquadest 400,0 mL dan didiamkan selama 24 jam hingga
CMC-Na mengembang. Larutan tersebut kemudian diadd dengan aquadest
hingga 500,0 mL pada labu ukur 500,0 mL.
8. Pembuatan larutan karbon tetraklorida (CCl4)
Larutan hepatotoksin yang digunakan adalah karbon tetraklorida,
dibuat dalam konsentrasi 50% dengan perbandingan karbon tetraklorida dan
9. Uji pendahuluan
a. Penetapan dosis toksin karbon tetraklorida. Dosis karbon tetraklorida
sebagai hepatotoksik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), bahwa dosis 2mg/kgBB terbukti
mampu meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST dan penurunan
kadar albumin pada tikus bila diberikan secara intraperitonial.
b. Penetepan dosis FHEMM. Penetapan dosis FHEMM dapat ditentukan
dengan melakukan orientasi dosis. Dosis tertinggi yang dapat ditetapkan
yaitu 137,14 mg/kgBB. Peringkat dosis II ditetapkan dengan menurunkan
seperdua dari dosis tertinggi (½ x (2 mL/350 gBB=68,57 mg/kgBB) dan
peringkat dosis I ditetapkan dengan menurunkan seperdua dari peringkat
dosis II (½ x 1 mL/350 gBB= 34,28 mg/kgBB).
c. Penetapan waktu pencuplikan darah. Penetapan waktu pencuplikan darah
ditentukan melalui orientasi dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yaitu
pada jam ke–0, 24, dan 48 setelah pemejanan karbon tetraklorida. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 hewan uji yang pengambilan darahnya
dilakukan melalui pembuluh sinus orbitalis mata. Kemudian aktivitas
ALT serum tikus yang terinduksi karbon tetraklorida diukur.
10. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji
Sejumlah tiga puluh ekor tikus betina galur Wistar dibagi secara acak ke
a. Kelompok I (kontrol negatif) diberi CMC-Na 1% selama enam hari
berturut-turut, pada jam ke-24 setelah pemberian diambil darahnya pada
daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan kadar albumin.
b. Kelompok II (kontrol hepatotoksin) diberi hepatotoksin karbon
tetraklorida yang dilarutkan dalam olive oil secara i.p, pada jam ke-24
setelah pemberian diambil darahnya pada daerah sinus orbitalis mata
untuk penetapan kadar albumin.
c. Kelompok III (kontrol ekstrak dosis 3) diberi FHEMM dengan dosis
137,14 mg/kgBB selama enam hari berturut-turut secara per oral, dan
setelah 24 jam pemberian hari ke enam diambil darahnya pada daerah
sinus orbitalis mata untuk penetapan kadar albumin
d. Kelompok IV, V, VI (kelompok perlakuan) diberi FHEMM dosis 1, 2 dan
3 masing-masing 34,28; 68,57; dan 137,14 mg/kgBB secara per oral
sekali sehari selama enam hari berturut-turut, setelah itu diberi karbon
tetraklorida secara i.p pada hari ke tujuh. Pada jam ke-24 setelah
pemberian karbon tetraklorida, semua kelompok diambil darahnya pada
daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan kadar albumin.
11. Pengukuran albumin
Pengukuran kadar albumin dilakukan di Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta menggunakan alat Architect c8000 dengan reagen albumin Brom