PALMIVORA BUTL INFECTION: RESPONSE OF 35 CACAO BASED ON DETACHED POD ASSAYS
B. Penelitian Aktivitas Kitinase dan Peroksidase Daun pada Beberapa Klon Kakao.
Waktu dan Tempat
Penelitian berlangsung mulai bulan Januari sampai Mei 2009, dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tumbuhan PAU Institut Pertanian Bogor.
Bahan Penelitian
Penelitian menggunakan 10 klon kakao (sama dengan penelitian A) yaitu ICCRI 3, GC 7, DR 2, TSH 858, ICS 13, Sca 6, DR 1, DRC 15, DRC 16 dan ICS 60 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Kaliwining, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Daun sehat berumur sekitar 3 minggu (warna hijau muda) dipilih dan diberi tanda untuk digunakan dalam penelitian. Salah satu daun dari pasangan daun dipilih untuk diinokulasi dengan
menempelkan potongan media V8 juice agar diameter 0,5 cm yang mengandung
miselia P. palmivora umur 14 hari pada permukaan daun, kemudian ditutup
dengan kapas basah. Daun disungkup dengan plastik transparan yang bagian ujungnya diikat dengan karet dan ditutup dengan selotip. Hal ini agar kelembaban yang tinggi dapat tercapai sehingga miselia dapat tumbuh dan berkembang. Setelah 7 hari dari saat inokulasi, daun yang diinokulasi dan telah terinfeksi oleh P. palmivora (ditandai dengan bercak kecoklatan membulat) dipetik dan diberi
label sesuai dengan klonnya lalu dimasukkan dalm cool box untuk dianalisis di
laboratorium. Daun sehat (tidak diinokulasi) dari pasangan daun dipetik untuk dijadikan pembanding (kontrol).
Ekstraksi Protein
Ekstraksi protein dari jaringan daun yang terinfeksi maupun yang sehat dilakukan dalam kondisi lingkungan yang bersuhu sekitar 4°C. Daun sebanyak 0,5 g basah digerus dalam larutan penyangga fosfat (50 mM pH 7) dingin dengan perbandingan 1:4 (b/v). Gerusan daun yang sehat maupun yang terinfeksi disentrifus pada kecepatan 5000 rpm dan suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditentukan total protein terlarutnya (TPT) menggunakan metode yang dijelaskan oleh Pujihartati et al. (2006a) dan Sukma (2008).
Analisis Total Protein Terlarut (TPT)
Untuk penetapan total protein terlarut digunakan bahan-bahan pereaksi A (Na2CO3 dalam NaOH 0,1 M), B (CuSO4. 5H2O 0,5% dalam Na-K-tartrat 1%), C (50 ml pereaksi A ditambah 1 ml pereaksi B yang dibuat segar) dan D (foline
ciocalteau yang dilarutkan dalam H2O dengan perbandingan 1:1). Penetapan TPT
dengan metode Lowry secara ringkas sebagai berikut: sebanyak 1 ml supernatant hasil ekstraksi protein ditambahkan 5 ml pereaksi C, divorteks, kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 10 menit. Larutan tersebut kemudian ditambah pereaksi D dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah inkubasi, absorbansi larutan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 500 nm. Total protein terlarut ditetapkan dengan menggunakan kurva standar dari Bovin Serum Albumin (BSA). Kadar protein jaringan ditentukan dengan membagi nilai TPT dengan bobot contoh yang digunakan dan memperhitungkan volume bufer pengekstraksi.
Analisis Aktivitas Kitinase
Aktivitas kitinase dalam ekstrak kasar protein dari daun tanaman yang sehat
dan yang terinfeksi P. palmivora pada 10 klon kakao dianalisis berdasarkan
kemampuannya untuk mendegradasi substrat dimmer p-nitrophenil N-asetil β-D
glucosaminide (pNP-NacGluc) mengikuti prosedur yang digunakan oleh Pujihartati et al. (2006a). Sebanyak 100 µl supernatant hasil ekstrak kasar protein dicampur dengan 10 µl subtract pNP-NacGluc 5 mM, lalu divortek dan selanjutnya diinkubasi selama 0 dan 3 jam. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan
dengan menambahkan Trichlocetic Acid (TCA) 20% sebanyak 25 µl, divorteks, lalu disentrifus pada 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan hasil sentrifus diambil 0,3 ml dan ditambahkan 0,7 ml NaOH 0,5 mM. Kemudian larutan diinkubasikan selama 30 menit dan nilai absorbsi larutan setelah reaksi diukur dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ 405 nm. Aktivitas
kitinase dihitung berdasarkan banyaknya pNP NacGluc (nM)yang dibebaskan per jam per mg protein (mM pNP/jam/mg protein).
Analisis Aktivitas Peroksidase
Aktivitas enzim peroksidase dari ekstrak kasar protein daun kakao yang sehat dan yang sakit dari 10 klon kakao ditentukan dengan metode Kar & Mishra
(1976) dan Pujihartati et al. (2006b). Ekstrak kasar protein (100 µl) dari daun
yang diuji ditambahkan ke dalam larutan 2,5 ml pirogalol 0,2 M. Kemudian ke
dalam campuran ditambahkan 250 µl H2O2 (1%). Nilai absorbansi larutan sesudah
reaksi diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ
420 nm setiap 30 detik dalam periode 0 – 150 detik, dengan menggunakan blanko yang mengandung campuran larutan yang sama tetapi tanpa ekstrak kasar protein. Sebagai pengganti ekstrak kasar protein, ke dalam larutan blanko ditambahkan larutan penyangga fosfat. Aktivitas peroksidase dihitung sebagai peningkatan nilai
absorbansi persatuan waktu per bobot protein (ΔA420/menit/mg protein) pada
kondisi analisis.
Hasil dan Pembahasan Kerapatan Stomata
Berdasarkan hasil analisis kerapatan stomata pada daun kakao diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah stomata yang nyata antara klon kakao yang tahan dengan klon yang rentan. . Klon kakao ICCRI 3 dan ICS 13 yang masuk dalam kelompok agak tahan memiliki kerapatan jumlah stomata terkecil berturut-turut 82,14 dan 83,75/cm2, sedangkan klon yang lain memiliki kerapatan stomata berkisar antara 100,27 – 131,01/ mm.2 (Tabel 18).
Tabel 18. Rata-rata Kerapatan Stomata Daun dan Buah pada Beberapa Klon Kakao NO Klon Kakao Kerapatan Stomata Daun per cm2 Kerapatan Stomata Buah per cm2 1 DR1 115,48 a 17,78 a 2 ICS 13 83,75 a 10,22 a 3 TSH 858 120,14 a 7,78 a 4 ICCRI 3 82,14 a 8,89 a 5 SCA 6 125,73 a 18,89 a 6 ICS 60 122,97 a 10,00 a 7 DRC 15 100,27 a 11,11 a 8 DR 2 131,01 a 10,00 a 9 GC 7 123,87 a 14,44 a 10 DRC 16 123,97 a 13,33 a
Keterangan: angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada aras 0,05%.
Gambar 16. Stomata daun kakao klon TSH 858, ICCRI 3, GC 7 dan ICS 13
TSH 858 ICCRI 3
Gambar 17. Hubungan kerapatan stomata daun dan buah dengan luas bercak
yang disebabkan oleh infeksi P. palmivora
Hasil analisis regresi (Gambar 17) menunjukkan adanya kemiringan (slope) yang negatif antara jumlah stomata pada buah dengan luas bercak yang
disebabkan oleh infeksi P. palmivora pada beberapa klon kakao (R2 = 0,038) dan
pada stomata daun (R2 = 0,1519). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi
korelasi antara luas bercak dengan kerapatan stomata klon kakao baik terhadap stomata daun maupun stomata pada buah kakao, sehingga variabel ini tidak bisa digunakan sebagi tolok ukur ketahanan terhadap penyakit busuk buah yang di sebabkan oleh infeksi P. palmivora.
Aktivitas Kitinase
Pada umumnya aktivitas kitinase meningkat pada klon kakao yang diinokulasi (Tabel 19). Aktivitas kitinase tertinggi pada daun sakit dihasilkan oleh klon ICS 60 (3,27) dan GC 7 (3,07). Klon Sca 6 yang dikategorikan klon agak tahan memiliki kandungan kitinase tertinggi (0,65) dibandingkan dengan klon yang lainnya. Apabila fungsi kitinase digunakan sebagai indikator fungsi ketahanan terhadap penyakit ini, enzim tersebut mampu berfungsi dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas kitinase pada daun yang sakit meningkat menjadi 1,17, sehingga diduga ada peran kitinase dalam aspek pertahanannya terhadap infeksi penyakit busuk buah pada daun klon Sca 6. Peningkatan aktivitas
Hubungan Kerapatan Stomata dan Luas Bercak Buah
y = -0,0088x + 13,856 R2 = 0,0382 6 8 10 12 14 16 18 20 0 50 100 150 200 250 300 350 Luas bercak (cm2) K er apat an s tom at a buah k ak ao ( c m 2) Luas Bercak Linear (Luas Bercak)
Hubungan Kerapatan Stomata dan Luas Bercak Daun
y = 0,0828x + 97,735 R2 = 0,1519 66 76 86 96 106 116 126 136 0 50 100 150 200 250 300 350 Luas bercak (cm2) K er apat an s tom at a daun k ak ao ( c m 2) Luas Bercak Linear (Luas Bercak)
kitinase tertinggi adalah ICS 13 (9700%) dan terkecil TSH 858 (19,2%).
Tabel 19. Kandungan dan aktivitas kitinase (µM pNP/mg protein/jam) pada daun kakao sehat dan terinfeksi P. palmivora
Klon kakao Kandungan
Kitinase daun sehat (A) Kandungan Kitinase daun sakit (B) Peningkatan aktivitas kitinase (%) (PKt) DR 1 0,05 0,09 80,0 ICS 13 0,01 0,98 9700,0 TSH 858 0,73 0,87 19,2 ICCRI 3 0,02 1,41 6950,0 SCA 6 0.65 1,17 80,0 ICS 60 0,18 3,27 1716,7 DRC 15 0,55 0,41 -25,5 DR 2 0,59 2,14 262,7 GC 7 0,24 3,07 1179,2 DRC 16 0,08 0,75 837,5
Keterangan: persentase peningkatan aktivitas kitinase (PKt) dihitung dengan rumus: PKt={(B-A)/A}x100%. A= Aktivitas kitinase pada jaringan sehat dan B= pada jaringan terinfeksi.
Aktivitas Peroksidase
Tabel 20 Kandungan dan Aktivitas Peroksidase (µM pNP/mg protein/jam)
pada daun kakao sehat dan terinfeksi penyakit busuk buah P.
palmivora
Klon kakao Kandungan
Peroksidase daun sehat (A) Kandungan Peroksidase daun sakit (B) Peningkatan aktivitas peroksidase (%) (PPr) DR 1 0,003 0,003 0 ICS 13 0,000 0,006 500 TSH 858 0,002 0,004 100 ICCRI 3 0,000 0,003 200 SCA 6 0,003 0,008 166,67 ICS 60 0,000 0,013 1200 DRC 15 0,002 0.002 0 DR 2 0,001 0,004 300 GC 7 0,002 0,004 100 DRC 16 0,003 0,003 0
Keterangan: persentase peningkatan aktivitas peroksidase (PK) dihitung dengan rumus: PK={(B-A)/A}x100% (Rumus 7). A= Aktivitas peroksidase pada jaringan sehat dan B= pada jaringan terinfeksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan peroksidase dan aktivitasnya mengalami peningkatan pada beberapa klon (Tabel 20). Meskipun
demikian, klon DR 1, DRC 15, dan DRC 16 yang merupakan klon kelompok
sangat rentan terhadap infeksi P. palmivora, menunjukkan aktivitas peroksidase
yang sama, baik pada daun yang sehat maupun daun yang terinfeksi. Artinya ketiga klon tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengeluarkan peroksidase untuk pertahanan akibat adanya infeksi patogen. Klon GC 7 yang juga termasuk kelompok sangat rentan menghasilkan peningkatan aktivitas peroksidase (PPr) 100 %. Ada kecenderungan peningkatan aktivitas peroksidase selaras dengan aras ketahanan klon kakao.
Simpulan
1. Berdasarkan hasil pengamatan stomata pada 10 klon, kerapatan stomata pada
daun maupun buah kakao tidak berkorelasi dengan ketahanan kakao. Klon kakao yang tahan tidak selalu menghasilkan jumlah kerapatan somata yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang rentan, atau klon kakao yang rentan tidak selalu memiliki jumlah stomata yang banyak pada daun maupun buah.
2. Aktivitas kitinase dan peroksidase pada klon kakao yang diuji
mengindikasikan ada peran kitinase terhadap ketahanan kakao terhadap
infeksi P. palmivora. Peningkatan aktivitas kitinase klon yang tahan
umumnya lebih konsisten, begitu juga pada enzim peroksidase.
3. Klon kakao yang tidak memiliki peningkatan aktivitas enzim peroksidase
adalah klon DR 1, DRC 15 dan DRC 16. Ketiga klon tersebut termasuk dalam kelompok sangat rentan.
Daftar Pustaka
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Academic Press.New York.4th Ed.803.p.
Akai S & Fukutomi M. 1980. Preformed internal Physical Defenses. In J.A.
Bailey & B.J. Deverall (Eds). Dynamic of Host Defence: Academic Press. Sydny.
Akrofi AY, & Opoku IY. 2000. Managing Phytophtora megakarya pod root
disease. Ghana experience. Proc. 3rd Int. Seminar of International
Permanent Working Group for Cocoa Pest and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17th October.
Chittor JM, Leach JE, & White FF. 1999. Induction of peroxidase during defense
against pathogens. In Datta SK, Muthukrishnan S (ed). Pathogenesis-
Related Proteins in Plannts. p171-188. Science
Duniaway JM. 1983. Role of Physical Factors in Development of Phytophthora
Diseases. In D.C.Erwin SB Gracia, PH Tsao (eds) Phytophtora Its
Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology. 175-188. APS. St. Paul, Minnesota.
El-Katatny MH, Gudelj M, Robra KH, Elnaghy MA, & Gobitz GM. 2001. Characterzation of chitinase and endo-beta-1,3-glucanase from Trichoderma harzianum Rifai T24 involved in control of phytopathogen Sclerotium rolfsii. Appl Microbiol Biotechnol. 56: 137-143.
Fry WE. 1989. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New
York. 376p.
Goodwin TW & Mercer EI. 1990. Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press, Oxford. 677p.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1995. Differential reaction of cocoa
clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies,
Trinidad: 79-85.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1997. Phytophthora palmivora
resistance in cocoa (Theobroma cacao): Influence of pod morphological
characteristics. Plant Pathology 46: 557-565.
Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P. 1998. Cocoa resistance to Phytophthora: Effects of pathogen spesies, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol 46: 557-565.
Jacob VJ & Toxopeus. 1971. The effect of pollinator parent on the pod value of
hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo,
Lagrimini LM, Joly RJ, Dunlap JR & Liu T-TY. 1997. The consequence of peroxidase overexpression in transgenic plants on root growth and development. Plant. Mol. Biol. 33: 887- 895.
Muller RA. 1974. Integrated Control Methods. In P.H. Gregory (Eds.)
Phytophthora Disease of Cocoa: 259-265. Longman, London.
Neuhaus JM. 1999. Plant chitinase (PR-3, PR-4, PR-8, PR-11). In Datta SK,
Muthukrishnan S (ed). Pathogenesis-Related Proteins in Plants.
London:CRC Pr. 77-105.
Oku H. 1994. Plants Pathogenesis and Disease Control. Lewis Pub. CRC Press. Tokyo. 119p.
Philips-Mora, W. 1999. Studies on Resistance to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 41-50. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Pudjihartati E, Ilyas S & Sudarsono. 2006b. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif, peroksidase, dan kandungan lignin kacang tanah terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13:166-172
Pudjihartati E, Siswanto, Ilyas S & Sudarsono. 2006. Aktivitas Enzim Kitinase
pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolfsii.
Hayati 13: 73-78.
Rocha HM. 1974. Breeding Cacao for resistance to Phytophthora palmivora. In
P.H Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: 211-218 Longman
London.
Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono. 2008. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.
Saikia R, Kumar R, Arora DK, Gogoi DK & Azad P. 2006. Pseudomonas
aeruginosa inducing rice resistance against Rhizoctonia solani Folia: production of salicylic acid and peroxidase. Microbiol 51: 375-380
Soria J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora In P.H Gregory
(ed.) PhytophthoraDisease of cocoa: 197-202. Longman London.
Simmonds NW. 1994. Horizontal resistance to cocoa disease. Cocoa Growers
Bull. 47:42-52.
Toxopeus H. (1999). Search for Phytophthora Pod Rot resistance and Escape at
the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc.
Int.Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: 159-166. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.
Tarjot M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec
Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf.
p:379-397. St Augustine, Trinidad. 8-18thJanuary.
Tarjot M. 1974. Physiology of Fungus. In P.H. Gregory (Ed) Phytophthora
Disease of cocoa: 103-116. Longman London.
Wood GAR. 1985. Establisment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa:
119-165. Longman, London.
Wirianata H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi S3 UGM Yogyakarta (tidak diterbitkan), 130p.
Wang S, Wu J, Rao P, Ng TB & Ye X. 2005. A chitinase with antifungal activity from the mung bean. Protein Expr Purif. 40: 230-236.
Zhang M, Melouk HA, Chenault K, & El Rassi Z. 2001. Determination of cellular carbohydrates in peanut fungal pathogens and bakers Yeast by capillary
electrophoresis and electrochromatography. J Agric Food Chem.
49:5265-5269.
KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora.)
Abstrak
Metode cepat untuk pemuliaan ketahanan sebagai upaya mendapatkan klon kakao unggul berdaya hasil dan bermutu hasil yang tinggi serta resisten
terhadap penyakit utama seperti busuk buah akibat infeksi Phytophtora palmivora
perlu dicari. Untuk itu, tersedianya informasi tentang berbagai parameter genetik akan sangat membantu dalam program pemuliaan kakao di Indonesia. Salah satu metode pendugaan parameter genetik yang dapat digunakan adalah analisis silang dialel. Penelitian bertujuan untuk menduga parameter genetik ketahanan tanaman
kakao terhadap penyakit P. palmivora, menggunakan silangan setengah dialel.
Persilangan menggunakan lima klon kakao sebagai tetua (ICCRI 3, TSH 858, DR 1, ICS 13 dan Sca 6). Klon kakao tersebut merupakan klon terpilih hasil pengujian ketahanan dari penelitian sebelumnya, dengan tingkat ketahanan rentan sampai tahan. Jumlah genotipe dalam penelitian ini adalah 15, terdiri dari 10 F1, dan 5 tetua. Penelitian berlangsung di Kebun Percobaan Kaliwining, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember, Jawa Timur berlangsung pada tahun 2007- 2008. Bibit hasil persilangan yang digunakan untuk penelitian tiap kombinasi terdiri dari 20 bibit diulang 3 kali. Jenis inokulum yang digunakan miselia, dari inokulum yang terpilih pada penelitian sebelumnya. Inokulasi dilakukan pada daun dan untuk menjaga kelembaban (90%) disungkup dengan plastik. Pengamatan dilakukan 3 hari setelah inokulasi terhadap luas bercak yang
diakibatkan infeksi P. palmivora. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
interaksi gen yang terjadi dalam menentukan ketahanan terhadap P. palmivora,
yang banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif. Kd/Kr adalah 1,3594 menunjukkan bahwa gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Nilai heritabilitas dalam arti luas maupun heritabilitas dalam arti sempit masuk kelompok tinggi. Tetua ICCRI 3, TSH 858 dan Sca 6 mempunyai DGU yang paling tinggi dibandingkan dengan tetua lainnya. Sedangkan yang mempunyai DGK tertinggi kombinasi ICCRI 3 x Sca 6 sehingga kombinasi ini berpeluang menjadi penghasil hibrida. Heterosis tertinggi adalah silangan dari DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 dan ICS 13 x Sca 6.
AGAINST BLACK POD DISEASE (Phytophthora palmivora) IN CACAO (Theobroma cacao L.)
Abstract
Method for cacao breeding as an effort to produce high productivity and quality cacao clones which are resistant to black pod disease caused by Phytophthora palmivora, needs to be investigated. For that reason, providing the information about various genetic parameters will really assist to solve the problems in cacao cultivation and farming in Indonesia. One of the estimation methods of some genetic parameters which is eligible to be used is diallel crossing analysis. The research aims at estimating genetic parameter of cacao resistance to the disease caused by P. palmivora, using half dialel crossing. The cross used five cacao clones as parental clones (ICCRI 3, TSH 858, DR 1, ICS 13 and Sca 6). The clones represented selected clones resulted from resistance evaluation of previous research, with the resistance level from susceptible to resistant. The number of genotypes in this research was 15, consisting of 10 F1, and 5 parental clones. Research took place from 2007 till 2008 in Kaliwining Experimental Garden,, Indonesian Coffee and Cacao Research Center, Jember, East Java. Seedlings from the crossing used for the research of every combination consisted of 20 seedlings replicated 3 times. Inoculum type used was mycelia, from selected inoculum in previous research. Inoculation was done in leaf and to maintain moisture (90%) it was covered by plastic. Observation was
conducted 3 days after inoculation to the spot area caused by P. palmivora
infection. The research indicated that there was no gene interaction that occurred
in determining resistance to the disease caused by P. palmivora, mostly
influenced by additive gene actions. Kd/kr was 1.3594 indicating that more dominant gene in parental. Heritability values in narrow and bigger senses belong to a high group. Parental clones such as ICCRI 3, TSH 858 and Sca 6 have the highest GCA compared to others. While the combination which has the highest SCA is between ICCRI 3 x Sca 6 and this could be a candidate for a potential hybrid. The highest heterosis is the crossing between DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 and ICS 13 x Sca 6.
Pendahuluan
Peningkatan daya hasil dan perbaikan mutu kakao Indonesia, dapat dilakukan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi penanaman kakao. Penerapan kedua program tersebut di Indonesia memerlukan tersedianya bahan tanam (bibit dan benih) kakao unggul. Kakao yang merupakan tanaman perkebunan penting di Indonesia, bahan tanamnya dikembangkan secara vegetatif
(kakao mulia/edel cocoa) atau dengan menggunakan benih hibrida F1 (kakao
lindak/bulk cocoa)(Suhendi et al., 2004).
Program pemuliaan tanaman kakao yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan klon kakao unggul baru yang lebih baik dibandingkan dengan klon kakao yang sudah ada. Selain mampu berproduksi tinggi, pemuliaan kakao di Indonesia ditujukan untuk mengembangkan klon unggul yang resisten terhadap penyakit utama yang menyerang kakao, seperti busuk buah akibat infeksi Phytophthora palmivora dan vascular-streak dieback (VSD) akibat infeksi Oncobasidiumtheobromae (Iswanto & Junianto, 1987; Suhendi et al., 2005).
Pengembangan kakao mulia (edel cocoa)di Indonesia relatif terbatas karena
kendala dalam budidayanya (Sunaryo & Sudarsono, 1980). Sebaliknya,
pengembangan kakao lindak (bulk cocoa) saat ini dilakukan dengan menggunakan
bahan tanam yang berasal dari benih hibrida F1 (Iswanto et al., 1994). Benih
hibrida F1 dihasilkan dari kebun benih kakao yang dirancang secara khusus dengan menggunakan induk betina dan induk jantan, berdaya hasil dan bermutu hasil tinggi, mempunyai sifat-sifat penting seperti ketahanan terhadap penyakit
utama yang menyerang kakao, serta ditanam dengan pola tanam tertentu(Iswanto
et al., 1999). Benih hibrida diproduksi secara open pollination (OP) dengan memanfaatkan sifat inkompatibilitas yang dimiliki oleh tanaman kakao pada
umumnya (Suhendi et al., 2000). Penggunaan kombinasi klon tetua yang tepat
dalam produksi benih hibrida F1 berpotensi untuk mendapatkan heterosis di antara populasi bibit asal benih F1 yang didapat (Rubiyo et al., 2000).
Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh P. palmivora merupakan
salah satu penyakit utama yang menyerang kakao di Indonesia (Sri-Sukamto &
Mawardi, 1986; Purwantara, 1990; Sudarmadji & Pawirosoemardjo, 1990). Pengembangan kakao di berbagai sentra produksi kakao menghadapi kendala
penyakit busuk buah karena merupakan daerah endemik penyakit ini (McMahon & Purwantara, 2004). Penggunaan isolat P. palmivora indigenus Indonesia untuk mengembangkan klon yang resisten melalui pemuliaan merupakan langkah
penting yang harus dilakukan. Isolasi dan karakterisasi isolat indigenus P.
palmivora telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya (Rubiyo et al., 2008a). Klon kakao yang ditanam diketahui mempunyai tingkat ketahanan yang
berbeda terhadap infeksi P. palmivora. Evaluasi ketahanan klon kakao yang diuji
terhadap penyakit busuk buah biasanya dilakukan dengan cara inokulasi secara
alamiah di lapangan atau dengan inokulasi buatan di laboratorium (Winarno &
Sri-Sukamto, 1986). Pengelompokan ketahanan klon yang diuji didasarkan pada jumlah organ yang sakit atau tingkat keparahan penyakit (Rocha, 1974). Indikator ini hanya menunjukkan reaksi jaringan kakao terhadap serangan patogen tetapi tidak mengungkapkan secara tepat mekanisme ketahanan yang bekerja pada satu
atau beberapa tahapan dari daur penyakitnya (Muller, 1974; Agrios, 1997).
Pengujian ketahanan dapat dilakukan pada buah kakao yang dipetik (detachedpod
assay) atau pada buah yang masih menempel di pohon (attached pod assay) (Iwaro et al., 2000). Uji buah dipetik banyak diminati tetapi hasil pengujiaan ini mengabaikan pengaruh faktor lingkungan terhadap perkembangan penyakit
sehingga kurang sesuai dengan kondisi lapangan(Purwantara, 1990; Iwaro, 1995).
Pengembangan metode pengujian ketahanan klon kakao telah dilaporkan sebelumnya (Rubiyo et al., 2008b).
Informasi tentang kendali genetik dan heritabilitas sifat ketahanan terhadap penyakit busuk buah pada kakao sangat diperlukan dalam rangka mendukung program pemuliaan kakao di Indonesia. Perilaku genetik dari gen pengendali sifat
ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dapat diduga melalui pendugaan
parameter genetik dengan metode analisis silang dialel (Falconer, 1981). Metode
silang dialel merupakan evaluasi genetik menyeluruh serta merupakan pendekatan secara sistematik dan analitik yang berguna untuk mengidentifikasi persilangan
dan seleksi awal pasangan tetua yang terbaik(Allard, 1966). Selain itu, pendugaan
daya waris terhadap klon-klon yang ada dengan persilangan dialel juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasangan tetua yang dapat menghasilkan
Persilangan dialel juga akan menghasilkan informasi tentang daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK), daya waris (heritabilitas) dan heterosis yang sangat penting untuk pemuliaan kakao yang gentipenya mayoritas heterosigot (Welsh, 1981; Falconer, 1989; Phoelman & Sleper, 1995).
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan informasi dasar untuk pemuliaan kakao ke arah pengembangan klon yang tahan terhadap penyakit