• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Insentif Riset untuk Peneliti dan

Dalam dokumen Laporan Tahunan P2E LIPI Tahun 2009 (Halaman 62-81)

BAB 3 PELAKSANAAN KEGIATAN

3.3 Penelitian Insentif Riset untuk Peneliti dan

1. Link and match Dunia Pendidikan dan Industri dalam Meningkatkan Daya Saing Tenaga Kerja dan Industri

Tim Peneliti : Dra. Endang S. Soesilowati, MA, PhD (Koordinator), Inne Dwiastuti, SE, M.PP, Drs. Darwin, M.Sc, Dr. Zamroni, dan Bachtiar Rifai, SE.

Abstrak :

Program link and match telah dicanangkan sejak tahun 1989, dirancang untuk menjembatani kompetensi tenaga kerja dengan kebutuhan pasar kerja. Namun demikian, berdasarkan data statistik angka pengangguran, tingginya lowongan kerja tak terisi, rendahnya kualitas pekerja, maupun hasil analisis data sakernas menunjukkkan bahwa mismatch pendidikan dan tuntutan dunia industri masih tinggi. Studi ini bertujuan mengukur implementasi link and match dunia pendidikan dan industri. Selain mengkaji berbagai kebijakan bidang pendidikan, industri, dan tenaga kerja, studi ini juga menggunakan metode survey terhadap para pekerja di beberapa industri terpilih di propinsi Kepri (Batam) dan Banten yang merupakan daerah dengan pangsa industri tertinggi, dan tingkat pengangguran yang juga tinggi. Dengan melakukan kajian tentang implementasi link and match dunia pendidikan dan industri, diharapkan akan diperoleh pemahaman terhadap inti permasalahan, sehingga dihasilkan rumusan strategi untuk menyelaraskan sistem pendidikan menengah ke atas yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pasar kerja. Kesesusaian kompetensi dengan jenis pekerjaan, akan meningkatkan daya saing tenaga kerja dan juga industri (usaha), yang pada gilirannya akan

Hasil studi menunjukkan bahwa tingginya tingkat pengangguran di dua daerah penelitian, diakui oleh dinas tenaga kerja setempat lebih disebabkan tingginya pencari kerja pendatang, bukan semata karena ketidak cocokan antara kualifikasi pendidikan pencari kerja dengan tuntutan pasar kerja. Program link and match masih terkonsentrasi pada tenaga kerja berpendidikan menengah dengan target komposisi SMK yang lebih tinggi daripada SMU. Hal ini masih perlu dikaji ulang, oleh karena para pemberi kerja masih lebih suka mempekerjakan lullusan SMU daripada SMK, dengan alasan fleksibilitas pelatihan. Istilah link and match sendiri tidak terlalu dipahami oleh beberapa narasumber dari industri terpilih. Keahlian yang dibutuhkan oleh pasar kerja tidak mengacu pada keahlian berdasarkan ijazah yang dimiliki. Tahap seleksi pekerja yang paling ditakuti oleh para pencari kerja adalah test ketrampilan/keahlian. Hal ini mengindikasikan ketidak yakinan baik si pencari kerja maupun pemberi kerja terhadap kualifikasi yang diperoleh dari pendidikan. Atas dasar itu pula, perusahaan (industri) seringkali enggan memberikan pelatihan pada pekerja baru tanpa pengalaman kerja. Mengacu pada beberapa temuan tersebut, peneliti selanjutnya mengukur implementasi link and match berdasarkan pendapat responden atas pertanyaan tentang kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan jenis pekerjaan yang sedang digelutinya, ketimbang mencocokkan data kesesuaian bidang studi dengan jenis pekerjaan. Atas 200 kuesioner yang disebarkan, hanya 164 kuesioner yang dapat diolah. Dari beberapa temuan penting, menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki

kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaannya, cenderung memiliki prestasi kerja yang lebih bagus dibandingkan dengan yang tidak sesuai.

2. Pengembangan Energi Alternatif dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Tim Peneliti : Dr. Latif Adam (Koordinator), Dr. Siwage Dharma Negara, Esta Lestari, SE., M. Econ. St., dan Putri Irma Yuniarti, SE

Abstrak :

SMEs spend more than 50% of their production cost to consume energy (oil and electricity). This suggests that the development of alternative energy could help SMEs to improve their performance. Thus, this study is aimed to examine to what extent have alternative energy developed and harnessed by SMEs to improve their productivity and efficiency. Unfortunately, there is no information available which indicates that alternative energy has been used by SMEs in the two research location. Alternatively, the study paid more focus on household rather than on SMEs.

The study indicates that the development of alternative energy in West Java and Lampung remained stagnant owing to lack of commitment from the government, including local government. Local governments in both West Java and Lampung have not had applicable strategy of how to accelerate the promotion of

central government or among different local/regional government agencies is relatively weak. Accordingly, community only used alternative energy in a very limited amount, and moreover they could not enjoy economic benefits from the alternative energy that they have developed.

The study suggest that the government should take several action to promote alternative energy successfully

Building a comprehensive energy policy, covers many sectors and users based on the energy type to avoid similarities of implementatioon of energy for each community. This policy should lead to efforts of achievieng energy security.

Creating market for new energy, especially renewable energy. Identification is required to build precise and strategic steps. Moreover, development of renewable energy should consider its intersection with conventional energy to make the market competitive for each type of energy. Competitiveness will be built not only based on the price but also considering other aspects, such as location, resources or endowment. On the other side, to a create market for renewable energy supporting elements need to develop, such as technology for renewable energy and also policies supporting it like technical assistence for maintaining renewable technologies, or impor for spareparts.

Increasing awareness for clean energy. This effrot could be maintain through continous campaign to change community behaviour and paradigm towards clean energy.

3. Peran Value chain (Rantai Nilai) dalam meningkatkan Kinerja UKM

Tim Peneliti : M. Soekarni, S.E, M.Si (Koordinator), Joko Suryanto, S.E, M.Si., Purwanto, M. Econ. St., Teddy Lesmana, M. Mngt., dan Cahyo Pamungkas, S.E, M.Si.

Abstrak :

Rantai nilai (value chain) adalah rangkaian kegiatan - mulai dari

penyediaan input, proses produksi, proses akhir (merk, kemasan, penyimpanan), pemasaran, dan layanan purna jual bagi konsumen – yang membutuhkan berbagai kegiatan pendukung dari sisi infrastruktur perusahaan, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan ketersediaan bahan baku dalam lingkup aktivitas yang luas untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai pasar tinggi dan berdaya saing kuat. Pada umumnya UKM di Indonesia belum berjalan dalam suatu lingkungan bisnis yang bai dan alur rantai nilai yang stabil, sehingga perkembangannya masih relatif lambat dan daya saingnya juga relatif lemah. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menemukan hubungan antara rantai nilai dengan peningkatan kinerja UKM dalam perekonomian dan lingkungan bisnis di

Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta. UKM yang dijadikan sampel adalah UKM yang memproduksi alas kaki (di Bandung), barang-barang logam (di Sidoarjo), dan mebel (di Klender, Jakarta Timur). Temuan penting dari penelitian ini adalah UKM yang dijalankan dalam alur rantai nilai yang baik memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan UKM yang dijalankan secara individu.

Kata Kunci: UKM, rantai nilai, lingkungan bisnis, kinerja UKM

4. Analisis Manajemen Transportasi Publik di DKI Jakarta

Tim Peneliti : Jiwo Sarana, SE, MM (Koordinator), Dr.

Wijaya Adi, Tuti Ermawati, SE, M. Si, dan

Prof. Dr. Carunia Mulya Firdausy, MA.

Abstrak :

Transportasi publik khususnya bus merupakan salah satu jenis pelayanan masyarakat yang sangat penting. Keberhasilan transportasi publik tergantung bagaimana pemerintah pusat/daerah menangani manajemen transportasi publiknya baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Dengan manajemen transportasi

publik yang baik yang meliputi dari perencanaan,

pengaorgansasian, pelaksanaan dan pengendalian maka kondisi transportasi publik juga akan tertata dengan baik. DKI Jakarta sebagai ibukota negara saat ini mengalami masalah dengan

transportasi publiknya. Berbagai kebijakan dikeluarkan dengan harapan agar masalah trasnportasi publik dapat diminimalisir khususnya masalah kemacetan. Tapi bagaimanapun kebijakan tersebut dikeluarkan, tidak akan berhasil dengan baik selama manajemen transportasi publiknya dibenahi, disisi lain juga faktor daerah kondisi daerah penyangga (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) juga harus menjadi perhatian dalam merencanakan transportasi di Jakarta . Pada Penelitian ini akan mengkaji bagaimana manajemen transportasi publik DKI Jakarta saat ini, bagaimana peersepsi masyarakat mengenai transportasi publik, bagaimana rekomendasi kebijakannya. Diharapkan kajian ini dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Indonesia dan Pemerintah DKI Jakarta pada khususnya dalam membuat kebijakan mengenai manajemen transportasi publik di DKI Jakarta. Kata kunci : Manajemen, Transportasi Publik, Kebijakan, Penawaran, Permintaan

5. Optimalisasi Peran Jasa Transportasi Kereta Api: Pendekatan Model Diamond’s Porter

Tim Peneliti : Agus Syarip Hidayat, SE, MA. (Koordinator), Maxensius Tri Sambodo,SE, MIDEC, Drs. Sairi Erfanie, Dhani Agung Darmawan, SE., dan Nurlia Listiani, SE, M. Ec.

Abstrak :

Studi ini diarahkan pada upaya untuk memformulasikan sebuah model untuk optimalisasi peran kereta api commuter dalam sistem transportasi Jabodetabek. Studi ini akan dilakukan selama dua tahun dengan model dasar yang digunakan sebagai rujukan adalah Diamond’s Porter Model. Pada tahun pertama, tujuan antara yang

akan dicapai adalah membuat pemetaan atas berbagai

permasalahan umum dan pemetaan kesenjangan penawaran dan permintaan kereta api commuter. Ada tiga target untuk mencapai tujuan ini, ayitu (a) mengidentifikasi sisi penawaran atau faktor

input; (b) mengidentifikasi sisi permintaan dan (c)

mengidentifikasi berbagai peraturan seputar transportasi yang terkait langsung dengan perkeretaapian.

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner dan wawancara mendalam dengan beragam pemangku kepentingan. Sementara data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber terpercaya seperti BPS, PT. KAI, PT. KAI Commuter Jabodetabek dll.

Secara umum studi ini menyimpulkan bahwa peran kereta api commuter dalam sistem transportasi Jabodetabek masih jauh dari optimal. Kesenjangan antara penawaran dan permintaan kereta api commuter sangat jelas terjadi di beberapa wilayah. Hal ini terjadi karena adanya berbagai masalah di sisi faktor input, masalah umum yang mendasar dan masalah regulasi. Di sisi faktor input,

identifikasi akan kondisi prasarana dan sarana menunjukkan bahwa banyak dari mereka memiliki usia yang terbilang tua, sehingga kinerjanya kurang maksimal. Pemeliharaan akan faktor input pun masih jauh dari memadai. Survey akan kepuasan konsumen terhadap faktor input tersebut menunjukkan bahwa secara umum konsumen merasa tidak puas akan kondisi faktor input, khususnya yang terkait langsung dengan konsumen seperti gerbong kereta api commuter. Sementara itu, tiga masalah umum yang dianggap signifikan mempengaruhi belum optimalnya peran kereta api

commuter adalah: Pertama, manajemen pengelolaan kereta api

commuter masih belum memadai; Kedua, harmonisasi

kelembagaan diantara para pemangku kepentingan masih sangat

lemah; Ketiga, integrasi kereta api commuter dan moda

transportasi publik lainnya belum terjalin secara sistematis. Hal ini diperparah dengan belum lengkapnya berbagai regulasi pendukung bidang perkeretaapian sebagai penjabaran dari UU Nomor 23 Tahun 2007.

Kata Kunci: Kereta api commuter Jabodetabek, Diamond’s Porter Model, Faktor Input dan Faktor Permintaan

6. Pilkada dan Pergeseran Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten Bandung dan Kota Bogor)

Tim Peneliti : Dr. Syarif Hidayat (Koordinator), Drs. Sairi

Erfanie, Dr. Erwiza Erman, Prof. Drs. Hari

Susanto, MA, Dra. R. Siti Zuhro, MA.

Abstrak :

Praktik pemilihan kepala Daerah (Pilkada) secara langsung telah menorehkan catatan sejarah penting dalam rentang perjalanan sejarah reformasi sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Bagi kalangan yang optimistik, pilkada telah diartikulasikan sebagai bagian dari langkah penting satu diantara issu penting yang menarik untuk disimak seiring dengan dilaksanakannya Pilkada

secara langsung tersebut adalah, adanya pergeseran sistem

perencanaan pembangunan daerah. Bila pada periode sebelumnya, “landas-pijak” dalam menyusun perencanaan pembangunan adalah Pola Dasar Pembangunan Daerah, maka dengan diterapkannya sistem Pilkada, konsep perencanaan pembangunan daerah tidak lagi merujuk pada Pola Dasar Pembangunan Daerah, tetapi diturunkannya dari Visi/Misi Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada.

Peratanyaan sekarang adalah sejauh mana Visi/Misi itu sendiri

telah mencerminkan Potensi dan Kemampuan rril yang dimiliki daerah, serta telah melibatkan masyarakat dalam penyusunannya?, mengingat visi/misi Kepala dan Wakil Kepala Daerah lebih banyak merupakan hasil kerja dari “Tim Sukses” ketika Pilkada berlangsung. Pertanyaan inilah, selanjutnya menjadi fokus uta dalam penelitian dengan tema PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ini.

Hasil penelitian di Provinsi Jawa Barat, mengindikasikan, bahwa visi/misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung telah banyak merujuk pada potensi yang dimiliki oleh daerah (utamnya potensi Sumber Daya Manusia/SDM). Bahkan pada tingkat tertentu, issu SDM, khusunya terkait dengan persoalan “penyerapan ternaga kerja” dan :kemiskinan”, telah dijadikan sebagai “iklan politik” yang dikemas dalam “janji politik” untuk menarik dukungan suara pada kampanye Pilkada. Namun demikian, sangat menarik untuk dicatat, bahwa terdapat beberapa potensi ekonomi penting lainnya yang nyaris terlupakan.

Kesimpulan umum berikutnya yang menarik untuk digarisbawahi adalah, kenyataan tentang adanya beberapa inkonsistensi dalam proses penurunan “misi” yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung kedalam “misi pemerintah daerah” pada periode pasca Pilkada. Hal ini, antara lain, ditunjukkan oleh “tidak kentaranya” atau bahkan “hilangnya” beberapa butir misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah pada saat Pilkada, tatkala diturunkan kedalam misi pemerintah daerah sebagaimana tertuang didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Dengan mempertimbangkan dua kesimpulan umum di atas, maka cukup beralasan bila kemudian penelitian ini mengajukan proposisi

lahirnya para pasangan kandidat Kepala dan Wakil Kepala Daerah untuk memiliki Visi dan Misi. Namun demikian, mengingat proses penyusunan Visi dan Misi itu sendiri lebih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan politik praktis daripada pertimbangan potensi daerah, maka secara substansial, masih terlalu dini untuk mengartikulasi Visi dan Misi pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah terpilih sebagai sesuatu yang dimiliki legitimasi kuat untuk dikonversikan menjadi Visi/Misi Pemerintah Daerah pada Periode pasca Pilkada, dan selanjutnya berperan sebagai rujukan utama dalam penyusunan Rencana pembangunan Daerah.

7. Penilaian Biaya-Manfaat Perubahan Fungsi Kawasan Bogor, Puncak, Cianjur (Sebuah Studi Kasus)

Tim Peneliti : Prof. Drs. Hari Susanto, MA. (Koordinator), Ir. Endang Tjitroresmi, dan Prof. Drs. Sukarna Wiranta, MA.

Abstrak :

Perubahan fungsi kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur telah pula mempengaruhi perubahan pada berbagai aktivitas sosial dan ekonomi. Kawasan yang dahulunya ditumbuhi oleh komoditas pertanian bahan makanan, perkebunan maupun kehutanan dan berfungsi sebagai daerah resapan dan/atau penyangga air serta koleksi keragaman hayati, kini telah mengalami perubahan menjadi kawasan pemukiman, baik dalam bentuk perhotelan maupun perumahan mewah.

Perubahan fungsi tersebut tentunya juga mempengaruhi perubahan nilai dari kawasan tersebut. Dilihat secara sesaat, pemanfaatan lahan menjadi pemukiman telah menimbulkan nilai positif bagi

kegiatan wisata dan kegiatan ekonomi non-pertanian, off-farm.

Namun secara jangka panjang, hilangnya lahan pertanian bahan

makanan, perkebunan dan kehutanan, pada gilirannya

menyebabkan banjir di beberapa lokasi yang berada di bawah kawasan tersebut, seperti Jakarta (lihat Lampiran 3 : Peta Tematik 1 dan 2). Tentu perubahan fungsi itu tidak hanya merugikan kawasan tersebut saja, akan tetapi juga merugikan kawasan lainnya yang berada di bawah kawasan tersebut.

Melihat kenyataan tersebut, perlu dilakukan suatu kajian terhadap seberapa besar manfaat maupun biaya yang diperoleh dengan terjadinya perubahan fungsi kawasan tersebut dari sebelumnya yang masih digunakan sebagai lahan pertanian dengan setelah dijadikan sebagai daerah pemukiman. Hasil kajian memperlihatkan perlunya kebijakan yang komprehensif agar fungsi ekologi kawasan tersebut tetap dipertahankan dengan tidak mengabaikan fungsi produksi dan fungsi sosial, tentunya.

8. Efektivitas Model Pembiayaan Syariah dalam Meningkatkan Sektor Pertanian

Tim Peneliti : Drs. Mahmud Thoha, MA, APU (koordinator), Drs. M. Nadjib, Drs. Firmansyah, dan Dr. Masyhuri

Abstrak :

Saat ini alokasi kredit pada sektor pertanian masih minim karena masih terdapat anggapan bahwa usaha pertanian beresiko tinggi. Padahal, secara empirik sektor pertanian adalah sektor yang mampu mencapai tingkat pertumbuhan yang positif di saat kondisi krisis ekonomi melanda perekonomian nasional beberapa tahun lalu. Agar masalah minimnya pembiayaan di sektor pertanian dapat dipecahkan, maka diperlukan adanya alternatif pembiayaan di sektor pertanian dengan mengembangkan pola pembiayaan syariah dengan prinsip bagi hasil.

Penelitian ini bertujuan untuk (1)mengkaji proses penyaluran pembiayaan terhadap sektor pertanian dengan menggunakan skim syariah; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyaluran pembiayaan syariah pada sektor pertanian, (3) menganalisis efektivitas pembiayaan syariah dalam meningkatkan usaha/pendapatan petani; (4) mengkaji bagaimana prospek pembiayaan syariah dalam mengembangkan sektor pertanian; (5) menganalisis kebijakan pemerintah dalam mengembangkan pembiayaan syariah pada sektor pertanian.

Untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang isu-isu tersebut, maka penelitian ini dilakukan pada kelima sub-sektor pertanian yaitu : subsektor tanaman pangan, hortikultura, perikanan, peternakan dan perkebunan di daerah penelitian Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Sleman serta Kabupaten Kulomprogo Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pembiayaan syariah cukup efektif dalam meningkatkan

produktivitas sektor pertanian, meskipun masih dijumpai beberapa kendala yang dihadapi terutama jumlah pembiayaan masih sangat terbatas dan beberapa kendala operasional lainnya.

Kata Kunci : Pertanian, Pembiayaan, Skim Syariah, Bagi Hasil

9. Kebijakan Anti Kemiskinan: Analisis Komparatif terhadap Conditional dan Unconditional Cash Transfer

Tim Peneliti : Prof. Dra. Jusmaliani, ME (Koordinator), DR. Agus Eko Nugroho, SE, MApl.Econ, Drs. Toerdin S. Usman, MA, Umi Karomah Yaumidin, SE, M.Econ. St., dan Diah Setiari Suhodo, SE, M.Econ. St.

Abstrak :

Kemiskinan merupakan masalah kritis yang terus dihadapi Indonesia dari waktu ke waktu. Begitu kronisnya permasalahan ini dalam pembangunan ekonomi Indonesia hampir-hampir nada pesimis muncul dalam setiap kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan anti kemiskinan dapat diberikan berupa

Kebijakan pemberian pancing maupun stimulus seperti Operasi Pasar Tebuka, Inpres Desa Tertinggal, P2KP dan sebagainya bagi penduduk miskin merupakan kebijakan yang paling populer dan dianggap sesuai dengan karakteristik penduduk miskin Indonesia. Tetapi, ketika pemerintah dihadapkan pada sebuah gejolak ekonomi yang temporer, kebijakan yang diambil justeru pemberian

uang tunai langsung (Bantuan Langsung Tunai/BLT). Cash

transfer, sebenarnya bukan strategi baru bagi Indonesia untuk pengentasan kemiskinan. Namun, dalam tiga kali pelaksanaannya strategi ini terus menuai kritik dan kecaman.

Oleh karena itu, untuk mendesain sebuah strategi pengentasan kemiskinan dengan pendekatan transfer pendapatan melalui pemberian uang tunai, perlu menjadi perhatian penting. Penelitian ini akan mencoba mengevaluasi dan membandingkan kebijakan anti kemiskinan dengan pendekatan transfer pendapatan baik yang bersyarat maupun tanpa syarat, melalui telaah efektifitas program tersebut terhadap kondisi masyarakat Indonesia. Disamping itu penelitian ini juga mencoba menyusun sebuah model yang mendesain sebuah program anti kemiskinan yang menggunakan transfer pendapatan dan transfer sosial, mulai dari penyusunan hingga bagaimana mengakhirinya dan menggantikannya dengan strategi yang baru, sehingga tumpang tindih kebijakan dapat dihindari.

10.Pengembangan Kewirausahaan Sektor Informal: Studi Kasus Pedagang Kaki Lima

Tim Peneliti : Ir. Zarmawis Imail, M. Si. (Koordinator), Ir. Ernany Dwi Astuty, M. Si, Dra. Zarida, MA, Yani Mulyaningsih, SE, M. Si, dan Chitra Indah Yuliana, SE

Abstrak :

Secara umum penelitian bertujuan untuk menemukan konsep yang tepat bagi pengembangan kewirausahaan PKL sehingga menjadi sektor formal dalam upaya peningkatan kesejahteraan mereka. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian adalah (1) mengkaji karakteristik PKL di suatu daerah, (2) mengkaji perkiraan kontribusi PKL terhadap perekonomian daerah, (3) mengkaji

peranan stakeholders(pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi)

dalam membina dan mengembangkan PKL, dan (4) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi jiwa kewirausahaan bagi keberhasilan PKL.

Dengan pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial, serta data/informasi yang diperoleh dari Kota Bandung dan Kota

Yogyakarta sebagai lokasi penelitian, dianalisis dengan

menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Dari analisis dengan menggunakan kedua metode ini, dihasilkan temuan berikut: (1) PKL memiliki karakteristik beragam, selain daerah asal, pendidikan, jenis usaha dll, namun satu hal yang menarik

mandiri; (2) PKL telah berkontribusi dalam penyerapanan tenaga kerja, sewa lokasi/tempat usaha, retribusi kebersihan, dan retribusi keamanan yang merupakan penerimaan pemerintah kota; (3) PKL sudah dibina oleh pemerintah, swasta, dan asosiasi/organisasi, namun belum optimal. Karena sampai saat ini PKL belum memperoleh bantuan pinjaman modal dari institusi keuangan, seperti BRI dan koperasi; (4) Penanganan PKL terutama oleh pemerintah kota, mulai dari pendataan, perizinan usaha, pengadaan lokasi/tempat usaha, dan promosi penjualan dagangan PKL kecendrungannya lebih baik di Kota Yogyakarta dibanding Kota Bandung; dan (5) Kewirausahaan PKL dilihat aspek-aspek percaya diri, berorientasikan tugas dan hasil, pengambil risiko, kepemimpinan, dan berorientasi ke masa depan, melalui uji validitas menunjukkan bahwa PKl secara minimal telah memiliki

kadar kewirausahaan dan tinggal lagi bagaimana

mengembangkannya. Sementara kewirausahaan PKL hubungannya dengan faktor-faktor pendidikan, pengalaman berusaha, umur, gender, dan pelatihan, hasil analisis korelasi menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara variabel gender dengan kadar

Dalam dokumen Laporan Tahunan P2E LIPI Tahun 2009 (Halaman 62-81)

Dokumen terkait