• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.8. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang hasilnya terkait adalah sebagai berikut : Maryunani (1999) melakukan penelitian tentang “Model Pemberdayaan Penduduk Lokal Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Pesisir Barat Pulau Lombok, Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat). Penelitian mempunyai tujuan utama untuk memperoleh pemahaman faktor-faktor sistem internal penduduk lokal yang dominan berpengaruh terhadap kondisi wilayah berdasarkan kerusakan terumbu karang, sebagai dasar untuk menyusun model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Penelitian dengan menggunakan model empirik peubah ganda (multivariate análysis) dan model kuantifikasi Hayashi I menyimpulkan bahwa operasionalisasi Model Pemberdayaan Penduduk Lokal (MPPL) dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang tidak dapat diperlakukan secara seragam (homogen), tergantung keragaan spasial karakteristik sosial ekonomi penduduk lokal, serta pola dan intensitas pemanfaatan terumbu karang yang berbeda di setiap wilayah. Kemampuan institusi lokal dalam mengendalikan pengelolaan ekosistem terumbu karang di

setiap wilayah studi sangat diutamakan, dan sangat tergantung pada pengalaman dan kemampuan penduduk lokal menjadi penggerak dalam mengendalikan (diri dan pihak lain) eksploitasi ekosistem terumbu karang secara besar-besaran.

Pekuwali (2000) melakukan kajian ”Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang Pulau Kera Taman Wisata Alam Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur”. Penelitian bertujuan untuk menganalisis skenario pemanfaatan yang optimal di dalam pengelolaan terumbu karang Pulau Kera dan memperkirakan daya dukung fisik Pulau Kera dalam menunjang kegiatan pariwisata bahari. Kajian ini menggunakan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Proces). Hasil kajian menyimpulkan bahwa prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Kera adalah pengelolaan kawasan wisata yang memperhatikan konservasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemasalahan yang paling dominan adalah kurangnya koordinasi dengan sektor terkait, pelestarian fungsi lingkungan, masalah ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya Priyono (2004) melakukan penelitian dengan judul ”Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan terumbu karang di perairan Kelurahan Pulau Panggang serta menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Penelitian menggunakan metode A’WOT, yaitu penggabungan antara AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesess, Opportunities, and Threats) menyimpulkan bahwa komponen kekuatan (S) menempati urutan teratas dalam menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Panggang, kemudian berturut-turut diikuti oleh komponen kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T). Adapun prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Panggang berturut-turut adalah konservasi, wisata bahari, dan budidaya perikanan.

Husni (2001) melakukan penelitian dengan judul ”Kajian Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat), bertujuan menganalisis nilai ekonomi total dari manfaat ekosistem terumbu karang mengkaji alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang yang optimal dan berkelanjutan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa nilai ekonomi total

terumbu karang seluas 448,76 ha adalah Rp. 25.897.263.024,-/tahun atau Rp. 57.708.046,65,-/ha/tahun. Pengelolaan ekosistem terumbu karang harus memperhatikan aspek biofisik dan lingkungan, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan.

Manengkey (2003) melakukan penelitian dengan judul ”Tingkat

Sedimentasi dan Pengaruhnya pada Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya Provinsi Sulawesi Utara”, bertujuan mengukur dan menganalisis banyaknya material sedimen pada kawasan terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat sedimentasi di daerah studi cukup tinggi, yaitu mencapai 525. 250 mg/l terutama di muara sungai dan diduga berasal dari daratan. Di daerah terumbu karang ditemukan sedimentasi yang tinggi yaitu mencapai 141.800 mg/l. Kandungan bahan organik dalam sedimen diduga berasal dari limbah rumah tangga dan bahan organik dari daratan. Kerusakan terumbu karang di lokasi studi disebabkan karena adanya sedimentasi, dan pengeboman. Selanjutnya Partini (2009) dengan judul

penelitian ”Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur

Kabupaten Bintan”. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dan menganalisis hubungan dan pengaruh laju sedimentasi terhadap komunitas terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari, menyimpulkan bahwa laju sedimentasi di lokasi penelitian kategori ringan – berat (4,00 – 78,24 mg/cm2

Arifin (2008) dengan judul penelitian “Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolalaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung”, bertujuan menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu

karang. Penelitian menggunakan pendekatan Rap–Insus COREMAG (Rapid

Appraisal-Index Sustainability of Coral Reef Management). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penyebab degradasi terumbu karang di Selat Lembeh diduga disebabkan oleh menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, pelabuhan dan aktivitas manusia. Berdasarkan penilaian terhadap 4 dimensi akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang (ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan), diperoleh bahwa dimensi kelembagaan dan

/hari). Laju sedimentasi berkorelasi negatif terhadap tutupan karang dan berkorelasi positif terhadap indeks mortalitas.

teknologi merupakan dimensi yang paling rendah indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh. Selanjutnya dikatakan bahwa indeks akuntabilitas terbukti dapat mempengaruhi perubahan pada sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang saat ini di lokasi penelitian akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan, karena itu diperlukan upaya perbaikan.

Febrizal (2009) melakukan penelitian dengan judul ” Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya”. Penelitian dengan menggunakan metode transek kuadrat dan dianalisis dengan software Image-J serta untuk melihat hubungan antara parameter lingkungan perairan dengan penutupan substrat menggunakan PCA, menyimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di kawasan yang dekat dengan permukiman nelayan dan daratan memiliki tutupan karang hidup relatif rendah dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan yang jauh dari aktivitas daratan. Aktivitas di daratan mengakibatkan buruknya kualitas perairan yang berdampak pada terumbu karang.

Dari penelitian-penelitian tersebut di atas belum ada penelitian yang dilakukan secara spesifik dan komprehensif dalam membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Dengan demikian topik yang diambil sejauh ini masih dapat dianggap asli.

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur Kepulauan Riau. Secara administrasi lokasi penelitian mencakup dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir. Lokasi pengamatan ditetapkan 11 stasiun, yaitu Karang Masiran, Pulau Manjin, Muara, Penyerap, Pulau Beralas Bakau, Pulau Busung Bujur (Nikoi), Pulau Penyusuk, Pulau Cengom, Pulau Kelong, Pulau Gin Besar dan Pulau Gin Kecil (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 hingga September 2011, terhitung sejak penyusunan proposal sampai penyusunan disertasi.