• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.8 Penelitian Terdahulu

= �(1− ) ... (2.9) Apabila persamaan (2.9) disubstitusikan ke persamaan (2.5) maka diperoleh persamaan dalam bentuk (Fauzi 2010):

Persamaan (2.10) merupakan persamaan kuadratik dalam E dan karena parameter lainnya, yaitu r, q, dan K adalah konstanta, maka kurva produksi lestari berbentuk kurva logistik yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Sumber: Fauzi (2010)

Gambar 4 Kurva produksi lestari

Dalam perspektif Schaefer, pengelolaan sumberdaya ikan yang terbaik adalah pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva produksi lestari. Titik ini dikenal dengan maximum sustainable yield atau dikenal dengan MSY. Secara matematis dapat ditulis (Fauzi 2010):

=

2 ... (2.11)

ℎ = �

4 ... (2.12)

Setelah diperoleh nilai pada E dan h, maka tingkat stok pada level MSY yang sama dengan persamaan (2.3) dapat dihitung dengan cara (Fauzi 2010):

= �

2 ... (2.13)

MSY menjadi salah satu tujuan utama pengelolaan perikanan sejak ditemukan oleh Schaefer. Belakangan ini MSY banyak dikritik karena beberapa kelemahan mendasar. Kelemahan MSY menurut Conrad dan Clark (1987) misalnya menyatakan bahwa (Fauzi 2010):

1. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion).

2. Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi nonsteady state.

3. Tidak memperhitungkan nilai ekonomi apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value).

4. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya.

5. Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki spesies beragam (multi species).

Kelemahan pendekatan MSY tersebut membuat Gordon (1954) mengembangkan aspek ekonomi pengelolaan perikanan berbasis model biologi Schaefer. Model inilah yang kemudian dikenal sebagai model bioekonomi Gordon-Schaefer. Model ini mengasumsikan bahwa harga ikan (P) dan biaya per satuan upaya (C) dianggap konstan. Penggunaan kedua parameter ekonomi tersebut memungkinkan untuk diperolehnya manfaat ekonomi atau rente ekonomi dari aktivitas perikanan. Fungsi penerimaan total lestari (Total Sustainable Revenue/TSR) terhadap upaya (effort) dapat dituliskan sebagai berikut (Anderson dan Seijo 2010):

=�( − 2) ... (2.14) Keterangan:

a = qK

b = q2K/r

Penerimaan lestari adalah perubahan linear sederhana dari kurva produksi lestari. Hal tersebut menunjukkan jumlah penerimaan yang akan dihasilkan tiap tingkat upaya setelah stok disesuaikan dengan upaya tersebut. Kurva TSRE memiliki bentuk yang sama dengan kurva produksi lestari (berbentuk parabolik). Perbedaannya adalah ketika upaya dipetakan di sumbu horizontal pada kurva TSRE, maka yang berada di sumbu vertikal adalah Dollar (atau dalam penelitian ini Rupiah). Gordon juga mengasumsikan bahwa biaya total (Total Cost/TC) bersifat linear terhadap input. Fungsi TC terhadap effort, TCE, dapat ditulis sebagai berikut (Anderson dan Seijo 2010):

= ... (2.15) Jika penerimaan dan biaya tersebut dipetakan dalam grafik, maka akan terlihat seperti Gambar 5 berikut ini.

Sumber: Fauzi (2010)

Gambar 5 Kurva penerimaan lestari (TSRE) dan kurva biaya (TCE)

Rente ekonomi dapat dihitung dari selisih antara penerimaan dan biaya. Penggabungan kedua persamaan di atas (TSRE dan TCE) dapat menghasilkan manfaat ekonomi dari penangkapan ikan yang ditulis sebagai berikut (Fauzi 2010):

�= −

�= − 2−

�= � 1− − ... (2.16) Berdasarkan fungsi rente ekonomi tersebut, Gordon melihat adanya keseimbangan yang mendasari efisiensi ekonomi pengelolaan perikanan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber: Fauzi (2010)

Gambar 6 Kurva keseimbangan ekonomi model Gordon-Schaefer

Keseimbangan pertama terdapat pada titik A yang dikatakan oleh Gordon sebagai keseimbangan perikanan dalam kondisi akses terbuka (Open Access/OA). Keseimbangan ini terjadi saat kurva TSR bersinggungan dengan kurva TC, sehingga rente yang diperoleh adalah nol. Upaya yang dibutuhkan pada kondisi ini jauh lebih besar dibandingkan dengan upaya yang dibutuhkan pada kondisi lain. Oleh karena itu, Gordon menyebutkan bahwa kesimbangan akses terbuka tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan atau input yang terlalu besar.

Selain titik keseimbangan terbuka, Gordon melihat jika ditarik garis sejajar antara total biaya dan slope kurva penerimaan atau kurva TSR, maka akan diperoleh jarak tertinggi antara penerimaan dan biaya. Jarak ini ditunjukkan dengan garis BC pada Gambar 6 yang menghasilkan rente paling maksimum. Tingkat input pada keseimbangan ini terjadi pada EMEY. Titik ini disebut sebagai

Maximum Economic Yield (MSY). Pengelolaan perikanan yang efisien dan optimal secara sosial adalah pada titik EMEY. Titik keseimbangan ini dapat diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan rezim kepemilikan yang jelas atau sering diistilahkan sebagai “sole owner”.

Antara kedua titik keseimbangan yang telah disebutkan, terdapat titik keseimbangan yang ketiga, yaitu ketika kurva TSR mencapai titik maksimum yang berhubungan dengan titik input sebesar EMSY. Pada titik input ini, meskipun kurva TSR mencapai titik maksimum, namun jarak dengan kurva TC bukanlah jarak terbesar. Dapat dikatakan pada keseimbangan ini tidak dihasilkan rente ekonomi yang maksimum, sehingga input pada EMEY tidak dikatakan sebagai input yang optimal secara sosial.

2.4 Analisis Laju Degradasi dan Depresiasi

Kerusakan lingkungan yang terjadi baik pada ekosistem laut maupun ekosistem lainnya biasanya dipicu oleh eksternalitas negatif yang dilakukan oleh pelaku ekonomi. Eksternalitas negatif adalah dampak negatif, atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost, dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain (Fauzi 2010).

Degradasi dan depresiasi merupakan istilah yang sering diartikan salah atau bahkan mengartikan dari kedua istilah tersebut dengan pengertian yang sama. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Degradasi mengacu pada penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam yang diperbarukan (renewable resources). Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbarukan untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya berkurang. Kondisi tersebut dapat terjadi baik karena kondisi alami maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Aktivitas tersebut berupa aktivitas produksi seperti penangkapan ikan secara berlebihan maupun non-produksi seperti pencemaran limbah (Fauzi dan Anna 2005).

Apabila degradasi lebih mengacu pada besaran fisik suatu sumberdaya, pengertian depresiasi sumberdaya lebih ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga dapat diartikan sebagai pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Nilai depresiasi ini mengacu pada nilai riil bukan nilai nominal yang merupakan indikator perubahan harga seperti inflasi dan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang berlaku untuk setiap sumberdaya alam (Fauzi dan Anna 2005).

2.5 Sistem Bagi Hasil Perikanan

Perjanjian Bagi Hasil Perikanan menurut Undang-Undang No.16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan penggarap dengan nelayan pemilik atau antara nelayan penggarap tambak dengan nelayan pemilik tambak, menurut perjanjian mana mereka masing-masing menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya (Muhartono 2004).

Umumnya model relasi antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh yang saling menguntungkan kedua belah pihak merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap komunitas nelayan dan terikat dalam kepentingan ekonomi kedua belah pihak. Kenyataannya di berbagai komunitas nelayan memperlihatkan bahwa pihak anak buah kapal (ABK) berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Hal ini terjadi karena pendapatan dari para ABK sangat kecil. Beberapa hasil penelitian (Susilo 1987, Wagito 1994, Masyhuri 1996 dan 1998) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dari pola bagi produksi sangatlah timpang diterima antara pemilik dan awak kapal. Secara umum hasil bagi bersih yang diterima awak kapal dan pemilik adalah separo-separo. Akan tetapi, bagian yang diterima awak kapal harus dibagi lagi dengan sejumlah awak yang terlibat dalam aktivitas kapal. Semakin banyak awak kapal, semakin kecil pula bagian yang diperoleh setiap awaknya (Subri 2005).

Ketidakmerataan bagi hasil dalam hubungan produksi menyebabkan sulitnya nelayan untuk mengakumulasi modal sehingga semakin sulit pola untuk melakukan mobilisasi secara vertikal. Pelapisan sosial yang terbentuk menempatkan nelayan pekerja dalam posisi paling bawah. Dalam rangka menaikkan posisi nelayan serta untuk menghindari adanya unsur perlakuan yang tidak adil dari nelayan pemilik, maka ditentukan mekanisme pembagian hasil usaha perikanan. Mekanisme ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan (dpr.go.id).

Penetapan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan sebagai salah satu sarana untuk menciptakan suatu keteraturan dan dicapainya suatu keserasian antara ketertiban dan keteraturan. Undang-Undang ini

diharapkan dapat berfungsi sebagai pengendali sosial dan juga sebagai alat untuk merubah masyarakat (Murtadi 1982 dalam Muzdalifah 2006).

Menurut ketentuan Undang-Undang Bagi Hasil Perikanan Nomor 16 Tahun 1964:

Pasal 3 disebutkan:

(1) Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut:

1. Perikanan laut:

a. Jika digunakan perahu layar: minimum 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih,

b. Jika digunakan kapal motor: minimum 40% (empat puluh perseratu) dari hasil bersih

Pasal 4 disebutkan:

Angka bagian pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak sebagai yang tercantum dalam pasal 3 ditetapkan dengan ketentuan, bahwa beban-beban yang bersangkutan dengan usaha perikanan itu harus dibagi sebagai berikut:

1. Perikanan laut

a. Beban-beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan pihak nelayan penggarap: ongkos lelang, uang rokok/jajan, dan biaya perbekalan untuk para nelayan penggarap selama di laut, biaya untuk sedekah laut (selamatan bersama) serta iuran-iuran yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan seperti untuk koperasi, dana pembangunan kapal, dana kesejahteraan, dana kematian, dan lain-lainnya. b. Beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik: ongkos

pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta alat-alat lain yang digunakan, penyusutan, dan biaya eksploitasi usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es, dan lain sebagainya.

Usaha perikanan, khususnya di bidang penangkapan ikan secara terus menerus perlu dilakukan pengenalan pemanfaatan sumberdaya ikan secara terus

menerus juga agar tidak melampaui potensi yang tersedia. Selain itu, pemerataan pembagian hasil dari produksi juga perlu dilakukan.

2.6 Kebijakan Pengelolaan Perikanan

Pada awal perkembangan lahirnya teori ekonomi perikanan, tiga ekonom yaitu Gordon (1954), Scott (1955), dan Crutchfiled (1961) secara berturut-turut mempublikasikan mengenai pembuktian bahwa perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat yang melebihi tingkat optimal. Huppert (1988) juga menunjukkan bahwa banyak sekali bukti empiris dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa perikanan tangkap cenderung menguras stok dan mengakibatkan overcapitalism. Huppert juga menyatakan bahwa overfishing bukan semata-mata disebabkan oleh kerakusan nelayan, melainkan ketiadaan regulasi yang mengatur sistem perikanan tangkap tersebut (Fauzi 2010).

Selain itu, ada beberapa alasan lain mengapa regulasi perikanan diperlukan, Scott (1979) yang diacu dalam Fauzi (2010) secara eksplisit mengupas dengan rinci empat alasan utama mengapa diperlukan regulasi dalam sistem perikanan tangkap, yaitu:

1. Regulasi perikanan diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan perikanan yang notabene bersifat barang publik.

2. Regulasi perikanan diperlukan untuk meningkatkan kualitas serta bobot dan ukuran ikan yang ditangkap.

3. Perairan umum seperti laut memiliki sifat multi guna, dimana pihak lain juga memanfaatkan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Regulasi diperlukan untuk menangani konflik yang sering timbul atas akses pemanfaatan sumberdaya tersebut.

4. Regulasi perikanan diperlukan untuk mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal serta untuk mendorong alokasi sumberdaya yang efisien.

Regulasi perikanan di zaman modern dimulai ketika konflik atas akses dan pemanfaatan sumberdaya ikan semakin marak karena keinginan yang besar untuk menguasai sumberdaya ikan. Terdapat beberapa instrumen rasionalisasi yang bisa diterapkan dalam regulasi perikanan, yaitu pajak terhadap input, pajak terhadap

output, dan penerapan kuota terhadap produksi (tangkap). Disebut instrumen rasionalisasi karena tujuan dari instrumen-instrumen tersebut adalah merasionalkan tingkat input dari “open access” yang cenderung tidak rasional

tersebut ke tingkat yang rasional secara ekonomi (Fauzi 2010). 2.7 Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)

Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambilan keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. MPE mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis.

Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif, semakin besar pula skor alternatif tersebut (Marimin 2004).

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang terkait dengan sumberdaya ikan tuna mata besar dilakukan oleh Marpaung (2001). Penelitian ini membahas mengenai sebaran hook rate tuna mata besar di Perairan Indonesia karena rawai tuna merupakan salah satu alat tangkap dalam rangka pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 200 mil (ZEEI). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola sebaran hook rate tuna mata besar di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Metode yang digunakan adalah menghitung hook rate. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hook rate tuna mata besar sebagian besar berada di Samudera Hindia Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai Selatan Bali-Nusa Tenggara. Sebagian lagi menyebar dari Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi, dan Utara Irian Jaya.

Muhartono (2004) melakukan penelitian mengenai alternatif pola bagi hasil nelayan gillnet di Muara Baru, Jakarta Utara. Bagi hasil merupakan salah

satu cara yang dilakukan pemilik kapal untuk membagi produksi dengan nelayan buruh. Pembagian proporsi yang selama ini terjadi hanyalah sesuai kehendak pemilik kapal. Hampir tidak ada kesempatan untuk nelayan buruh untuk mengajukan proporsi yang lebih adil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada sistem bagi hasil gillnet terdapat dua sistem bagi hasil, yaitu sistem 1 dan sistem 2. Sistem bagi hasil kedua terdapat pembagian proporsi yang cenderung menguntungkan pemilik dan nahkoda. Hal ini disebabkan adanya potongan sebesar 15% yang diperuntukkan bagi: pemilik sebesar 10% dan nahkoda sebesar 5%.

Berkademi (2011) melakukan penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr) di Danau Singkarak, Sumatera Barat.Penelitian ini dilakukan karena ikan bilih merupakan jenis ikan endemik yang hidup di perairan Danau Singkarak, Sumatera Barat yang terus mengalami peningkatan tingkat upaya setiap tahunnya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengelolaan yang tepat terhadap sumberdaya ikan bilih di Danau Singkarak menggunakan analisis bioekonomi. Hasil analisis bioekonomi pada penelitian ini berdasarkan fungsi logistik dengan pendekatan Clark, Yoshimoto, dan Pooley (CYP) diperoleh kondisi optimal nilai biomassa (x) 2.245,92 ton/tahun, produksi lestari (h) 953,24 ton/tahun, dan effort (E) nelayan sebesar 630,40 unit standar alat tangkap/tahun, sehingga diperoleh rente ekonomi sebesar Rp 10.196.741.207,25 per tahun. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi pada penelitian ini, diduga telah terjadi biological overfishing dan economic overfishing

pada sumberdaya ikan bilih di Danau Singkarak.

Selain itu, Erlinda (2012) melakukan penelitian mengenai analisis bioekonomi ikan layur di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ikan layur merupakan jenis ikan demersal yang memiliki nilai ekonomi dan menjadi komoditi ekspor perikanan Indonesia. Produksi ikan layur cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi produksi, effort, dan rente ekonomi pada kondisi optimal dan aktual pemanfaatan ikan layur di Teluk Palabuhanratu, menganalisis laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan layur di Teluk Palabuhanratu, dan mengkaji persepsi Dinas Kelautan dan Perikanan Sukabumi dan PPN

Palabuhanratu sebagai pembuat kebijakan dan para nelayan mengenai kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layur di Teluk Palabuhanratu. Hasil analisis bioekonomi berdasarkan model Walters-Hilborn diperoleh pada kondisi MSY, jumlah produksi ikan layur adalah 249,90 ton per tahun dengan jumlah effort

sebanyak 523 unit dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 952.791.574, pada kondisi MEY, jumlah produksi per tahun adalah 249,34 ton dengan effort

sebanyak 498 unit dan rente ekonomi sebesar Rp 955.122.910. Produksi ikan layur pada kondisi OA adalah 44,84 ton dengan effort sebanyak 997 unit dan rente ekonomi sebesar Rp 0. Berdasarkan hasil analisis, sumberdaya ikan layur di Teluk Palabuhanratu belum mengalami degradasi maupun depresiasi.

Penelitian Marpaung (2001) memiliki persamaan pada penelitian ini dalam hal komoditas, yaitu ikan tuna mata besar. Penelitian Muhartono (2004) memiliki persamaan pada penelitian ini dalam hal sistem bagi hasil nelayan. Penelitian Berkademi (2011) dan Erlinda (2012) memiliki persamaan dalam penelitian ini, yaitu alat analisis berupa analisis bioekonomi dalam menentukan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Perbedaan yang mendasar dari penelitian ini adalah analisis sistem bagi hasil lebih difokuskan pada perikanan tuna mata besar untuk mengetahui pendapatan nelayan buruh. Pendapatan ini kemudian dibandingkan dengan standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Kabupaten Sukabumi untuk mengetahui kelayakan pendapatan yang telah diperoleh.

Dokumen terkait