• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Bagi Hasil Perikanan Tuna Mata Besar di Teluk Palabuhanratu

6. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.8 Sistem Bagi Hasil Perikanan Tuna Mata Besar di Teluk Palabuhanratu

Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemilik modal dan pengelola modal. Sistem bagi hasil pada kapal pancing tonda di Teluk Palabuhanratu masih memakai sistem tradisional. Sistem bagi hasil ini didasarkan atas penerimaan bersih. Penerimaan bersih ini terdiri atas total penerimaan produksi yang dikurangi dengan biaya operasional dalam satu kali trip. Biaya operasional tersebut meliputi bahan bakar (solar), es balok, makanan, perawatan pancing, dan retribusi. Penerimaan bersih tersebut kemudian dibagi rata antara nelayan pemilik dan nelayan buruh. Persentase bagi hasil tersebut adalah 50%. Namun, untuk nelayan buruh, bagian 50% ini akan dibagi lagi sebanyak jumlah nelayan yang melaut. Lebih besarnya persentase bagi

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 P r o d u k si (To n ) Tahun

Produksi aktual (ton) Produksi lestari (ton)

hasil nelayan pemilik dikarenakan nelayan pemilik merupakan penyedia modal bagi kegiatan penangkapan.

Pancing tonda merupakan alat tangkap yang digunakan pada penelitian ini. Nelayan pancing tonda biasanya berjumlah 4-5 orang. Nelayan ini terdiri atas satu orang sebagai kapten kapal dan 3-4 orang sebagai ABK (Anak Buah Kapal). Tidak ada spesifikasi siapa yang berperan menjadi juru masak atau juru mesin karena berdasarkan hasil wawancara, masing-masing nelayan harus memiliki kemampuan tersebut. Posisi nelayan ini kemudian menentukan proporsi pembagian hasil penangkapan. Gambar 20 menunjukkan sistem bagi hasil perikanan tuna mata besar berdasarkan posisi nelayan pancing tonda.

Sumber: Hasil Analisis dari Wawancara Nelayan (2014)

Keterangan: --- > : Biaya penyusutan dapat dialokasikan pada bagian nelayan buruh setelah

Payback Period

Gambar 20 Skema sistem bagi hasil pancing tonda di Teluk Palabuhanratu

Gambar 20 menunjukkan sistem bagi hasil kapal pancing tonda di Teluk Palabuhanratu dalam bentuk diagram pohon. Sistem bagi hasil akan dilakukan apabila hasil jual tangkapan telah dikurangi dengan biaya operasional. Nelayan pemilik akan mendapatkan persentase sebesar 50%. Bagian ini sudah termasuk pendapatan pemilik dan biaya penyusutan kapal. Nelayan buruh juga akan mendapatkan bagian 50%, namun harus dibagi lagi sebanyak nelayan yang melaut. Nahkoda kapal akan mendapatkan 3 bagian dari 50% bagian nelayan buruh. Hal ini disebabkan oleh posisi nahkoda yang bertanggung jawab untuk menentukan daerah penangkapan, operasional penangkapan, dan menjaga keselamatan para

awak kapal. Sementara itu, ABK hanya mendapatkan 1 bagian dari 50% bagian nelayan buruh. Dapat dikatakan bahwa sistem pembagian pada nelayan buruh (nahkoda dan ABK) dibagi atas 7 bagian. Perlu diketahui, apabila telah mencapai masa balik modal (payback period), maka perolehan nilai yang seharusnya digunakan untuk menutupi besarnya biaya investasi (biaya penyusutan tiap tahun) dapat dialokasikan untuk bagian nelayan buruh (Gambar 20). Artinya persentase bagian yang diperoleh nelayan buruh dapat lebih besar dibandingkan dengan persentase nelayan pemilik. Setelah diketahui besar bagian yang diperoleh oleh masing-masing nelayan, maka pendapatan untuk masing-masing posisi nelayan pun dapat diperoleh. Rincian penerimaan dan pendapatan nelayan dari keseluruhan hasil tangkapan oleh pancing tonda dapat dilihat pada Lampiran 9.

Pendapatan yang diperoleh masing-masing nelayan kemudian dibandingkan dengan besarnya UMK (Upah Minimum Kabupaten) dan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) Kabupaten Sukabumi pada tahun 2013. Melalui perbandingan ini, diperoleh informasi apakah pendapatan nelayan (terutama nelayan buruh) yang diperoleh telah memenuhi standar. Besarnya UMK di Kabupaten Sukabumi tahun 2013 adalah sebesar Rp 1.201.000 (BPS Kabupaten Sukabumi 2013). Sementara itu besarnya KHL Kabupaten Sukabumi tahun 2013 yang ditetapkan oleh Bupati Sukabumi adalah sebesar Rp 1.200.000 (Antara News 2013). Pendapatan yang diperoleh nelayan melalui sistem bagi hasil serta perbandingannya dengan UMK dan KHL Kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Pendapatan nelayan pancing tonda berdasarkan klasifikasi posisi nelayan dan perbandingannya dengan UMK dan KHL di Teluk Palabuhanratu tahun 2013 Rincian Musim Puncak Musim Peralihan Musim Paceklik Rata-rata Penerimaan (Rp/Kapal/Bulan) 74.281.425 44.849.475 33.935.175 51.022.025 Biaya Operasional (Rp/Kapal/Bulan) 21.326.425 21.326.425 21.326.425 21.326.425 Pendapatan (Rp/Kapal) 52.954.999 23.523.049 12.608.749 29.695.599 Pendapatan Bagi Hasil

(Rp/Orang/Bulan): 1. Pemilik 26.477.499 11.761.524 6.304.374 14.847.799 2. Nahkoda 11.347.499 5.040.653 2.701.874 6.363.342 3. ABK 3.782.499 1.680.217 900.624 2.121.114 UMK (Rp)* 1.201.000 KHL (Rp)** 1.200.000

Tabel 17 menunjukkan rata-rata penerimaan dari kapal pancing tonda dalam berbagai musim penangkapan. Jumlah penerimaan ini kemudian akan dikurangi dengan rata-rata biaya operasional yang diasumsikan konstan, sehingga akan menghasilkan pendapatan per kapal. Hasil pendapatan ini kemudian dibagi berdasarkan proporsi yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 50% untuk nelayan pemilik dan nelayan buruh. Bagian 50% dari nelayan buruh akan dibagi lagi sesuai dengan posisinya, dimana nahkoda mendapat 3 bagian dan ABK mendapat 1 bagian.

Pendapatan tertinggi yang diperoleh nelayan terdapat pada musim puncak. Nelayan pemilik mendapatkan Rp 26.477.499/bulan, nahkoda mendapatkan Rp 11.347.499/bulan, dan ABK mendapatkan Rp 3.782.499/bulan. Hal ini disebabkan oleh tingginya hasil tangkapan dan tingginya hasil penerimaan pada musim ini. Stok ikan yang tersedia di laut sedang mengalami peningkatan pada saat musim puncak atau musim barat tersebut. Pendapatan pada musim paceklik adalah pendapatan terendah yang diperoleh nelayan. Tabel 17 menunjukkan pemilik mendapatkan Rp 6.304.374/bulan, nahkoda mendapat Rp 2.701.874/bulan, dan ABK mendapat Rp 900.624/bulan. Sementara itu, pada musim peralihan, pemilik mendapat Rp 11.761.524/bulan, nahkoda mendapat Rp 5.040.653/bulan, dan ABK mendapat Rp 1.680.217/bulan. Pendapatan pada musim paceklik menjadi pendapatan yang paling sedikit diperoleh karena saat musim tersebut stok ikan akan mengalami penurunan dan cuaca menjadi terlalu ekstrem. Akibatnya, nelayan akan melakukan penangkapan dalam waktu yang lebih lama dari biasanya atau sama sekali tidak melaut untuk menghindari kerugian. Apabila nelayan tidak melaut, tentu tidak terjadi sistem bagi hasil. Nelayan pemilik (juragan) biasanya akan tetap memberi gaji sekitar Rp 25.000/orang hingga Rp 40.000/orang setiap harinya pada musim paceklik. Hal ini mengakibatkan nelayan yang tidak memiliki pekerjaan sampingan akan tetap memiliki penghasilan pada musim paceklik. Beberapa nelayan mengaku sering menabung dan uang tabungan tersebut biasanya digunakan pada saat musim paceklik. Beberapa nelayan lainnya yang tidak memiliki simpanan uang biasanya akan meminjam uang pada juragannya masing-masing. Rata-rata pendapatan yang diperoleh pemilik, nahkoda, dan ABK berturut-turut sebesar Rp 14.847.799/bulan, Rp 6.363.342/bulan, dan Rp

2.121.114/bulan. Bila dikonversi dalam bentuk tahun, pemilik akan memperoleh Rp 178.173.596/tahun, nahkoda memperoleh Rp 76.360.112/tahun, dan ABK memperoleh Rp 25.453.370/tahun. Telah disampaikan sebelumnya bahwa bagian nelayan pemilik berbeda dengan nelayan buruh. Bagian nelayan pemilik mencakup pendapatan pribadi dan biaya penyusutan tiap tahunnya. Biaya penyusutan diperoleh dari persamaan (4.17). Rincian biaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Biaya penyusutan kapal pancing tonda di Teluk Palabuhanratu

No. Investasi Awal Biaya (Rp/Kapal) Biaya Penyusutan (Rp/Tahun) 1 Mesin (2 buah) 60.000.000 7.500.000,00 2 Kapal (12,5 meter x 3,5 meter) 75.000.000 10.714.285,71

3 Rumpon 12.500.000 3.125.000,00

Jumlah 147.500.000 21.339.285,71 Sumber: Hasil Analisis Data (2014)

Tabel 18 diperoleh informasi bahwa investasi awal nelayan pemilik berupa mesin sebanyak 2 buah sebesar Rp 60.000.000/kapal, kapal sebesar Rp 75.000.000/kapal, dan rumpon (alat bantu penangkapan ikan) sebesar Rp 12.500.000/kapal. Biaya sebenarnya pembuatan rumpon adalah sebesar Rp 50.000.000. Namun biasanya biaya ini ditanggung oleh 4 pemilik kapal, sehingga biaya investasi rumpon per kapal menjadi Rp 12.500.000. Umur teknis untuk mesin kapal merk “Yanmar” adalah 8 tahun, umur teknis untuk kapal adalah 7 tahun, dan umur teknis rumpon adalah 4 tahun. Melalui persamaan (4.17), diperoleh biaya penyusutan untuk mesin, kapal, dan rumpon berturut-turut sebesar Rp 7.500.000, Rp 10.714.285, dan Rp3.125.000. Total dari biaya penyusutan ketiganya diperoleh sebesar Rp 21.339.285/tahun. Apabila telah mencapai

payback period, besarnya biaya penyusutan dapat dialokasikan kepada bagian dari nelayan buruh. Artinya, pendapatan nelayan buruh khususnya ABK dapat meningkat.

Pendapatan yang telah diperoleh masing-masing nelayan kemudian dibandingkan dengan UMK dan KHL yang berlaku di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2013. Pendapatan nelayan pemilik dan buruh sudah melampaui standar UMK dan KHL pada musim puncak dan musim peralihan. Sementara pada musim paceklik, hanya nelayan ABK yang memperoleh pendapatan di bawah standar UMK dan KHL. Secara rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan pemilik dan nelayan buruh telah melampaui standar UMK dan KHL Kabupaten Sukabumi.

Adapun dibuat penghitungan bagi hasil dari kapal pancing tonda dengan hanya memperhitungkan jumlah tangkapan ikan tuna mata besar. Rincian penerimaan dan pendapatan nelayan dari hasil tangkapan ikan tuna mata besar menggunakan pancing tonda dapat dilihat pada Lampiran 10. Secara ringkas, penerimaan dan pendapatan dari ikan tuna mata besar yang ditangkap menggunakan pancing tonda dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Pendapatan nelayan pancing tonda dari hasil tangkapan tuna mata besar berdasarkan klasifikasi posisi nelayan dan perbandingannya dengan UMK dan KHL di Teluk Palabuhanratu tahun 2013

Rincian Musim Puncak Musim Peralihan Musim Paceklik Rata-rata Penerimaan (Rp/Kapal) 16.783.350 5.044.800 6.368.250 9.398.800 Biaya Operasional (Rp/Kapal) 1.636.173 1.636.173 1.636.173 1.636.173 Pendapatan (Rp/Kapal) 15.147.176 3.408.626 4.732.076 7.762.626 Pendapatan Bagi Hasil

(Rp/Orang/Bulan): 1. Pemilik 7.573.588 1.704.313 2.366.038 3.881.313 2. Nahkoda 3.245.823 730.419 1.014.016 1.663.419 3. ABK 1.081.941 243.473 338.005 554.473 UMK (Rp)* 1.201.000 KHL (Rp)** 1.200.000

Sumber: Hasil Analisis Data (2014), *)BPS Kabupaten Sukabumi (2014), **)Antara News (2014) Tabel 19 menunjukkan pendapatan nelayan pancing tonda dari hasil tangkapan tuna mata besar. Pendapatan tertinggi juga terdapat pada musim puncak, yaitu pemilik memperoleh Rp 7.573.588/bulan, nahkoda memperoleh Rp 3.245.823/bulan, dan ABK memperoleh Rp 1.081.941/bulan. Pendapatan nelayan pada musim peralihan merupakan pendapatan terendah. Pemilik memperoleh Rp 1.704.313/bulan, nahkoda memperoleh Rp 730.419/bulan, dan ABK memperoleh Rp 243.473/bulan. Sementara itu pendapatan pada musim paceklik untuk pemilik, nahkoda, dan ABK berturut-turut adalah Rp 2.366.038/bulan, Rp 1.014.016/bulan, dan Rp 338.005/bulan, Secara rata-rata, pemilik memperoleh pendapatan sebesar Rp 3.881.313/bulan, nahkoda memperoleh Rp 1.663.419/bulan, dan ABK memperoleh Rp 554.473/bulan. Bila dibandingkan dengan UMK dan KHL, pada musim puncak hanya ABK yang memperoleh pendapatan di bawah standar UMK dan KHL. Pada musim peralihan, baik nahkoda maupun ABK memperoleh pendapatan di bawah standar UMK dan KHL. Sementara itu, hanya pendapatan yang diperoleh nelayan pemilik yang melampaui standar UMK dan KHL pada musim paceklik. Secara rata-rata, hanya ABK yang memperoleh pendapatan di bawah standar UMK dan KHL Kabupaten Sukabumi.

Hasil pada Tabel 17 dan 19 membuktikan bahwa sebenarnya ABK masih belum memiliki pendapatan yang layak dari sistem bagi hasil yang ditetapkan. Akibatnya, banyak ABK yang tergolong miskin dan tidak dapat berbuat banyak untuk meminta kenaikan pendapatan sesuai dengan standar upah yang ditetapkan. Rendahnya pendapatan yang diperoleh nelayan buruh, terutama ABK juga dikarenakan dalam sistem bagi hasil tidak diperhitungkan biaya penyusutan kapal. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa seharusnya apabila telah mencapai masa balik modal (payback period), besarnya angka untuk menutupi biaya investasi (biaya penyusutan tiap tahun) dapat dialokasikan pada bagian nelayan buruh. Artinya, pendapatan yang diperoleh nelayan buruh (ABK) dapat meningkat dan diharapkan mencapai standar UMK dan KHL. Namun, hal ini jarang terjadi pada kondisi yang sebenarnya. Kebanyakan nelayan pemilik menganggap biaya penyusutan tidak perlu dimasukkan dalam sistem bagi hasil, sehingga nelayan buruh terutama ABK akan tetap berada dalam kemiskinan.

Bertentangan dengan hasil perbandingan pendapatan dengan UMK dan KHL, sistem bagi hasil perikanan tuna mata besar ini diakui mayoritas nelayan responden sudah tepat. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas nelayan mengatakan bahwa nelayan pemilik memang berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar. Hal ini dikarenakan nelayan pemilik yang mengeluarkan biaya investasi atas kapal dan alat tangkap. Sementara itu terdapat sebagian kecil nelayan responden yang mengaku bahwa sistem bagi hasil ini dirasa kurang adil. Seharusnya, persentase bagi hasil nelayan buruh lebih besar dibandingkan nelayan pemilik. Alasan mereka adalah nelayan buruh merupakan pekerja utama pada aktivitas penangkapan, dimana nelayan buruh ini yang harus lebih sering menghadapi banyak risiko di laut.

Keadaan sebenarnya di lapang agak berbeda dengan hasil perhitungan bagi hasil nelayan. Banyak nelayan buruh yang sering tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya kepada juragannya. Banyak nelayan buruh menjual hasil tangkapannya di tengah laut kepada kapal lain (kebanyakan kapal asing). Keuntungan dari hasil jual tersebut hanya akan diambil oleh nelayan buruh. Setelah transaksi jual-beli di laut tersebut, nelayan buruh biasanya akan menyisakan sedikit hasil tangkapan dan mendaratkan hasil tangkapannya. Hasil

tangkapan tersebutlah yang dilaporkan ke juragan. Kejadian ini tentu akan merugikan juragan (nelayan pemilik). Apabila melalui penghitungan sistem bagi hasil nelayan buruh terutama ABK mendapatkan bagian yang kecil, belum tentu pendapatan yang diperoleh juga kecil. Nelayan buruh telah memperoleh pendapatan sebelumnya dalam transaksi jual-beli di laut. Hal inilah yang dikatakan berbeda dengan hasil analisis sistem bagi hasil yang telah dilakukan. Transaksi jual-beli ilegal ini disebabkan oleh kurang baiknya manajemen usaha perikanan yang diterapkan. Apabila manajemen usaha diperbaiki, dapat diprediksi penerimaan kapal dari penangkapan ikan (terutama tuna mata besar) akan meningkat, sehingga pendapatan nelayan pemilik dan nelayan buruh juga akan meningkat.

6.9 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna Mata Besar di Teluk

Dokumen terkait