VII. Peranan Filsafat Ilmu Dalam Penegakan Hukum Lingkungan
2. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
3. Kriteria menentukan wakil kelas (class representatif) dan kelas besar (class members) pada gugatan perwakilan.
4. Hubungan dan tanggung jawab hukum antara wakil kelas (class representatif) dengan kelas besar (class members)
1. Prinsip Tanggung Jawab mutlak (strict liability) dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan
Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditegaskan : setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3 menghasilakn dan/atau mengelola limbah B3 dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang teijadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam sistim Hukum Acara Perdata Indonesia yang masih berpedoman pada HIR dan RBg tidak mengenal prosedur beracara perdata lingkungan dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip strict liability atau atas tanggung jawab mutlak merupakan asas atau prinsip pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama, yakni berawal dari sebuah kasus di Inggris (Ryland V. Flectcher) tahun 1968. Asas ini telah diadopsi dalam berbagai Perundang-undangan dan konvensi-konvensi internasional.39 Strict Liability adalah doktrin pertanggungjawaban perdata dibidang lingkungan hidup, dimana
39 Syahrul Mahmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana Menurut UU No. 32 tahun 2009, Edisi Kedua, Cet. 1,2012, hal. 209.
tanggung jawab muncul seketika yang tidak harus berdasarkan atas kesalahan (liability without fault).40
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengandung konsep tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan, yang dapat dipersamakan dengan liability based on fault, seperti halnya doktrin pertanggungjawaban tradisional negligence dalam sistem hukum Anglo Saxon.41 Disamping itu juga doktrin pertanggungjawaban tradisional tidak mampu mengantisipasi kegiatan-kegiatan yang mengandung resiko besar (significant risk).42 Di Indonesia pihak yang merasa dirugikan yaitu penggugat dalam kasus- kasus lingkungan biasanya memiliki latar belakang ekonomi lemah maupun pendidikan rendah, sehingga sangatlah tidak adil apabila mereka dibebani pembuktian tentang pencemaran dan keterkaitannya dengan kerugian yang mereka alami. Oleh karenanya mempertahankan doktrin pertanggung jawaban tradisional untuk kasus-kasus yang memiliki resiko tinggi tidak akan mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam penegakan hukum lingkungan.43
Dilihat dari dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi bentuk hukum tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dikembangkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon termasuk juga Class Action (gugatan perwakilan) sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia, mengingat prosedur beracara dengan Class Action dan pembuktian tanpa kesalahan dapat mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan biaya murah. Dari dimensi ontologi adalah studi sungguh- sungguh ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang
401.M. Koopmans, De StrafBarstelling Van Milliu Veon Treening Course in Environmental Law and Administration for Indonesian Yurist, Reiden Ministry of Housing Spasial and Environment, (dalam Syahrul Mahmud, Penegakan Hukum Linghmgan Indonesia, Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana Menurut UU No. 32 tahun 2009), 1998, hal. 391-199 (dalam Syahrul Machmud).
41 Mas Achmad Santosa, et.al., Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, 1997, hal. 123.
42 Mas Achmad Santosa, Ibid, hal. 124.
43 Mas Achmad Santosa, Ibid.
filsafat yang mempelajari sifat dasar dan kenyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rational dari kenyataan (Kattsaff, 1986).44 Dengan terintegrasinya strict liability dan class action dalam hukum lingkungan, menurut Plato, hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani fenomena dunia yang penuh situasi ketidakadilan.45
Demikian juga menurut Socrates, sesuai dengan hakekat manusia maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum.46 Hukum untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.47 Menurut Yuyun S. Suriasumantri, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan perkataan lain sesuatu pengkajian mengenai teori tentang ada.48 Menganalisis pemikir-pemikir filosuf tadi, kelihatannya strict liability dan class action sangat bermanfaat dalam hukum lingkungan.
Dilihat dari dimensi epistemologi sering disebut teori pengetahuan (theory of know ledge). Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme, artinya pengetahuan dan logos artinya teori. Jadi epistemologi dapat didifinisikan sebagai dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan. Secara sederhana disebutkan saja bagaimana cara mempelajari, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslatan manusia.49 Epistemologi dapat memberikan suatu acuan dalam mengembangkan kerangka ilmu pengetahuan, pengembangan pengetahuan melalui perencanaan metodelogi ilmiah. Lebih jauh menurut Fuad Ihsan, untuk menyebut sebagai kesatuan
44 Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Cet. I, Jakarta, 2010, hal. 223.
45 Plato, (dalam Bernard L. Tanya, dkk), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Cet. IH, 2010, Yogyakarta, hal. 41.
46 Socrates, (dalam Bernard L. Tanya, dkk), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III, 2010, Yogyakarta, hal. 31.
47 K. Barents, Sejarah Filsafat Yunani, (dalam Bernard L. Tanya, dkk.), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Cet. III, Yogyakarta, 2010, h.31.
48 Yuyun S. Suriasumantri, Tentang Hakekat Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Gramedia, Cet. VI, 1985, hal. 5.
49 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Cet. 1,2010, Jakarta, hal. 225.
pengetahuan, dibutuhkan persyaratan tertentu, karena secara epistemologi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang memiliki persyaratan metodelogi tertentu yaitu disusun dengan cara-cara tertentu agar ilmu memiliki paradigma keilmuan yang telah diakui oleh masyarakat keilmuan tertentu pula.50 Pengetahuan yang berdasarkan atas ide (idealisme) mengandung implikasi pendekatan yang rationalitis. Rationalitis mengandung pendekatan rasional. Sifat idealisme lebih menekankan proses berfikir deduktif yang terimplikasi dalam premis- premis yaitu premis mayor, premis minor dan simpulan. Realisme mengandung pendekatan emfirik. Pengetahuan yang berdasarkan emfiris memandang pengetahuan itu adalah kenyataan dan menganut pendekatan induktif, sehingga untuk mencapai kebenaran pengetahuan didasarkan realitas kongkrit yang parsial.51 Dapat dikatakan alur berpikir untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang timbul, haruslah melalui proses dengan menentukan landasan teori atau memilih teori-teori yang tepat dengan berbagai penalaran-penalaran dengan pengujian atau verifikasi dari bahan-bahan hukum primer, sekunder, tersier untuk dapat mengambil keputusan-keputusan.
Jadi pada dasarnya sebuah kegiatan memperoleh pengetahuan melibatkan kita sebagai subyek dan obyek yang kita pelajari, serta metodologi yang menghubungkan kita dan objek yang kita amati menjadi terhubung. Yang tadinya diandaikan terpisah ada jarak antara subjek dengan obyek, maka oleh metodologi subjek dihubungkan dengan objek subjek tidak saja terhubung tapi juga dekat dengan objek. Karena itu kita sering pula menyebut secara umum, metodologi sebagai pendekatan atau approach.52 Pilihan-pilihan terhadap metodologi, ialah metodologi yang
50 Fuad Ihsan, Ibid, hal. 226.
51 Fuad Ihsan, Ibid, hal. 226.
52 Antonius Cahyadi, E Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Cet. IV, 2011, Jakarta, Frenanda Media Group, hal. 14.
kita pilih menentukan tempat kita dalam mengamati hal yang kita amati.53 Ia membuat kita mengambil sebuah perspektif tertentu (sudut pengamatan atau point of view) dalam kegiatan pengamatan.
Terlebih dahulu haruslah kita mengerti dan memahami objek yang menjadi kajian, ada langkah-langkah dalam mencapai pemahaman antara lain : pemahaman dalam filsafat dilakukan menurut langkah-langkah berikut antara lain:
a. Mengerti dan memahami problem yang terkandung dalam pertanyaan filosophis yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memahami dan mengerti pertanyaan.
b. Setelah memahami problem yang muncul (pertanyaan-pertanyaan) kita harus melihat berbagai kemungkinan jawaban yang ada beserta argumen-argumen baik yang menguatkan atau melemahkan.
c. Yang terakhir coba kita melihat sekali lagi pernyataan yang memungkinkan jawaban yang kita ajukan sendiri dalam rangka afirmasi terhadap jawaban yang kita miliki.54
Dilihat dimensi Aksiologi
Secara etimologis aksiologi berasal dari kita aksios yang berarti nilai dan logos, berarti ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakekat nilai, sehingga disebut filsafat nilai.55 Jadi fungsi dari aksiologi ialah : ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu jalur keija aksiologi (1) menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung. (2) dalam pemilihan objek penelaan dapat
53 Ibid, hal. 15.
54 Ibid, hal. 20.
55 Fuad Ihsan, Op. Cit., hal. 231.
dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik. (3) pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan tarap hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.56
Menurut The Liang Gie, beberapa pandangan ilmuan yang berprinsip, bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Menurut Victor Reiskop berpendapat, The Primary aim of science is not in application.
It is in gaining in sights into the cause and laws governing natural processes. (Tujuan pokok ilmu bukan pada penerapan, tujuan ilmu adalah mencapai pemahaman-pemahaman terhadap sebab dan kaedah-kaedah tentang proses-proses ilmiah.57 Dalam dimensi aksiologi penerapan ilmu untuk dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
2. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan
Tugas Hakim dalam mengadili suatu perkara ialah : menerima, memeriksa dan mengadili dan akhirnya memutus perkara tersebut sampai mengambil putusan. Dalam tugasnya tersebut hakim tidak boleh menolak mengadili dan memeriksa perkara tersebut dengan alasan UU atau hukum tidak mengatur (rechtsvacuum) tetapi hakim wajib untuk mengadili. Hakim harus tahu hukumnya (ius curia novit). Apabila hakim tidak menemukan hukumnya baik dalam hukum tertulis atau tidak tertulis, maka hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
56 Fuad Ihsan, Op. Cit., hal. 233
57 Fuad Ihsan, Op. Cit., hal. 240.
yang hidup dalam masyarakat. Menurut Pasal 20 AB, hakim harus mengadili menurut Undang-undang dalam tugasnya yang lebih luas tersebut (ius curia novit) dituntut keterampilan dan intelektualitas dari hakim.58
Dalam sistem penemuan hukum, pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem hukum yang ada. Penemuan hukum yang pada dasarnya pada Undang-undang saja disebut sebagai system oriented, tetapi apabila sistem tidak memberikan solusi, maka sistem harus ditinggalkan dan menuju problem oriented. Latar belakang timbulnya problem oriented, yaitu ada kecendrungan masyarakat pada umumnya yang membuat Undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu hakim mendapat kebebasan lebih.59 Wiarda dalam bukunya Drie Typen van Rechtvinding membedakan penemuan hukum ada 3 yaitu, penemuan hukum otonom, penemuan hukum hiteronom dan penemuan hukum campuran.60 Sedangkan menurut Van Eikema Hommes membedakan, penemuan hukum menjadi typisch logicitisch dan materiel juridisch. Penemuan hukum heteronom hakekatnya sama dengan typisch logicitisch, sedangkan otonom sama dengan materiel juridisch.61 Menurut pandangan klasik dari:
Montesqueu dan Emmuel Kant terhadap penemuan hukum heteronom, hakim hanyalah penyambung lidah atau corong dari Undang-undang, sehingga ia tidak mengubah kekuatan hukum Undang-undang tidak dapat menambah dan mengiringi.62 Dalam penemuan hukum yang otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong Undang-undang, tetapi sebagai pembentuk
58 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet I, Liberty, Yogyakarta, 1993, haL 10.
59 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 62.
60 Wiarda, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 62.
61 Van Eikema Hommes, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 62.
62 Montiquen dan Emanuel Kant, (dalam Bambang Sutiyoso), Metode Penemuan Hukum, Cet.
IV, UII Press, Yogyakarta, 2012, hal. 63.
hal. 63.
hukum yang secara mandiri memberi bentuk pada isi Undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan atau perkembangan masyarakat63. Hakim harus menyesuaikan kasus yang diperiksa apabila tidak ada Undang-undang / hukum, perkembangan hukum dalam masyarakat selalu diantisipasi sesuai dengan makna hakim sebagai pembentuk hukum secara kongkrit.
Mencermati kedua sistim hukum di dunia yang mempengaruhi kehidupan hukum, ada 2 sistim hukum yaitu sistem hukum civil law (Eropa Continental) dan sistem hukum Anglo-Saxon. Indonesia berdasar atas sistem hukum Eropa Continental dengan HIR dan RBg sebagai hukum procedural tidak mengenal strict liability dan class action, sehingga dalam kaitannya dengan ini hakim selalu menolak untuk menerapkan strict liability, meskipun telah diatur dalam Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009, yang sama seperti class action yng diatur dalam UU No. 23 tahun 1997, gugatan class action selalu tidak diterima dengan alasan Indonesia bukan sistem hukumnya Anglo Saxon, tapi civil law, baru setelah Mahkamah Agung mengelurkan PERM A No. 1 tahun 2002 baru gugatan class action diterima, hanya perlu dimaknai dalam penemuan hukum yang otonom hakim tidak lagi dipandang sebagai corong Undang- undang, tetapi sebagai pembentuk hukum, apakah perasaan keadilan atau tuntutan kedilan dan kemanfaatan dikesampingkan karena bentuk hukum strict liability dan class action tidak diatur dalam sistem hukum civil law dalam hal ini perlu kajian-kajian yang mendalam.
Apabila hal tersebut, dihubungkan dengan pendapat Ahmad Rifai dalam bukunya penemuan hukum oleh hakim dalam persepektif hukum progresif, tugas pokok hakim adalah mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi seorang hakim untuk tidak menerima atau menolak suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Bagi hakim
63 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Cet. IV, UII Press, Yogyakarta, 2012,
memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya merupakan kewajiban, sedangkan tugas utama dari hakim adalah menghubungkan aturan abstrak dalam Undang-undang dengan fakta kongkrit dari perkara yang diperiksanya.64 Penemuan hukum yang progresif berangkat dari hukum progresif, bahwa hukum tu adalah untuk manusia, yang termasuk didalamnya nilai-nilai akan kebenaran dan keadilan yang menjadi titik pembahasan hukum, sehingga faktor etika dan moralitas tidak terlepas dar perubahan itu.65
Seandainya Hakim berani melakukan penemuan hukum dalam hukum acara dalam menerapkan prinsip strict liability dan class action menurut hemat saya, lingkungan sudah masuk dalam HAM dunia ketiga, dalam UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 28H, setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, akibat pencemaran yang menghasilkan limbah berbahaya dan beracun bentuk hukum strict liability memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Untuk pengintegrasian strict liability perlu pemahaman pendapat dari Ahcmad Ali. Indonesia realitas adanya hukum-hukum lokal dan itu sangat identik dengan keberadaan common law, customary law, state local law di Amerika Serikat.66
3. Kriteria Menentukan Wakil Kelas (Class Representatif) dan Kelas Besar pada Gugatan Perwakilan
Konsep class action sudah sejak lama dianut di negara-negara yang menganut tradisi hukum Anglo-Saxon, sedangkan di negara-negara yang menganut tradisi sistem hukum Eropa continental seperti Indonesia dalam hukum Acara Perdata HIR dan RBg tidak mengenalnya. Hukum Acara Perdata di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon
64 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Cet. 1.2010, Jakarta, hal. 28.
65 Ahmad Rifai, Ibid, hal. 96.
66 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Yudicial Prudence, Termasuk Interpretasi Undang-undang (Begesprudence), Edisi I Cet. Ke 2, Karisma Putra Utama, Jakarta Kencana, 2009, hal. 497.
telah secara tegas memberikan dasar bagi penerapan gugatan perwakilan (class action). Ketentuan hukum yang mengatur class action dilakukan pada tahun 1966 setelah hukum acara perdata pada tingkat federal telah diubah dengan penambahan Pasal 23 dari Federal Rule khusus yang terkait dengan prosedur class action.
Persyaratan class action yang pertama kali dikenal dalam Pasal 23 US. Federal of Civil Procedure kemudian menjadi insfirasi penyusunan class action dibeberapa negara termasuk Indonesia.
Pasal 23 Federal Rule menetapkan persyaratan class action sebagai berikut:
1. Numerasity (jumlah orang yang mengajukan sedemikian banyaknya)
Persyaratan pertama ini mensyaratkan class yang diwakili (class members) harus sedemikian besar jumlahnya, sehingga apabila gugatan yang diajukan satu demi satu (individual) sangat tidak praktis dan tidak efesien.
2. Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of law untuk pihak yang mewakili dengan yang diwakili.
3. Typicality artinya tuntutan (bagi flaintiff class action), maupun pembelaan (bagi defendant class action) dan seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis.
4. Adequacy of representation (kelayakan perwakilan) persyaratan ini mewajibkan perwakilan kelas (class representatif) untuk menjamin secara jujur dan adil serta mampu melindungi kepentingan mereka yang diwakilkan.67
Menurut Mas Achmad Santosa memberi pengertian class action sebagai berikut class action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak), misal satu atau dua orang sebagai perwakilan class (class action representative) mewakili
67 Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan, Cet. II, ICEL, Jakarta, 1998, hal. 10-11.
kepentingan mereka sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga menjadi korban. Ratusan atau ribuan lainnya diistilahkan dengan class members.68 Ketentuan class action yang diatur dalam Pasal 23 Federal Rule of Procedure dikaitkan dengan Pasal 37
Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang UUPLH, menurut Siti Sundari Rangkuti, gugatan kelompok merupakan bahan pemikiran bagi hukum acara perdata mengenai lingkungan.69 Oleh karena gugatan perwakilan tidak dikenal dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, sehingga pengaturan terhadap prosedur class action oleh UUPLH jelas membutuhkan penyesuaian yuridis hukum acara perdata yang berlaku dewasa ini.70
Dalam kaitannya menentukan class members dan class representative tidak ada ketentuan yang tegas yang penting hanya mensyaratkan karbon banyak orang ribuan bahkan jutaan. Berpedoman pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2000 dalam perkara dinaikkannya harga jual LPG oleh pemerintah dan pertamina, konsumen merasa dirugikan dan mengajukan gugatan ganti rugi dengan prosedur class action (hukum acara gugatan perwakilan kelompok). Putusan No. 550/Pdt.G/2000/PN Jakarta Pusat, class representative ialah 9 orang, class membersnya masyarakat se-Jabotabek.
> Class members : masyarakat se-Jabotabek
> Class representative:
1. Class representative Jakarta Pusat 2. Class representative Jakarta Selatan 3. Class representative Jakarta Timur 4. Class representative Jakarta Barat 5. Class representative Jakarta Utara
68 Mas Achmad Santosa, Ibid, hal. 10.
69 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi II, Airlangga University Press, 2000, hal. 318.
70 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Sttelement of Environmental Dispute), Cet.
I. Airlangga University Press, 1991, hal. 46.
6. Class representative Bekasi 7. Class representative Bogor
8. Class representative Tangerang, dan 9. Class representative Depok
Class representative (9 orang) ini yang menguasakan pada kuasa dan kuasa akan mengumumkan akan ada gugatan class action.
4. Hubungan dan tanggung jawab hukum antara wakil kelas (class representatif) dengan kelas besar (class members)
Gugatan perwakilan (Class Action) dalam sistem hukum Anglo Saxon di Amerika Serikat dikenal dengan istilah Anglo America dan penerapannya dalam kasus-kasus gugatan Class Action tidak ada ketentuan yang tegas, misalnya dalam bentuk tertulis terhadap hubungan hukum antara komponen perwakilan kelas (Class Representative) dengan anggota kelas (Class Members). Dalam praktek guagatan perwakilan (Class Action) di Indonesia perwakilan kelas tersebut menguasakan pada penasehat hukumnya apabila perwakilan kelas tersebut menghendaki. Pasal 123 HIR/147 RBg pihak materiil bisa langsung berhadapan di persidangan sehingga perwakilan kelas dapat disebut sebagai pihak formil dan pihak materiil. Perumusan Pasal tersebut sama dengan Class Action yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon. Hubungan hukum yang selama ini beijalan dalam praktek Class Action dalam sistem hukum Anglo Saxon adalah kejujuran yang dilandasi dengan itikad baik, oleh karena perwakilan kelas (Class Representative) adalah sama-sama sebagai pihak korban dengan Class Members. Perwakilan kelas sebagai pihak korban memiliki kepentingan yang sama dengan anggota kelas dan tidak membuat surat kuasa khusus.
Demikian juga di Indonesia dalam kasus LPG yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya : Put.No.550/Pdt.G/
2000/PN.Jak.Pst, 9 Oktober 2001, perwakilan kelas tidak perlu membuat surat kuasa khusus, dengan Option Out gugatan
perwakila cukup diumumkan saja dalam media masa (public notice).
Aspek-aspek hukum yang kemungkinan timbul terhadap hubungan hukum tersebut antara perwakilan kelas dengan anggota kelas adalah dapat ditinjau
dari beberapa aspek hukum : 1. Aspek Hukum Perdata
1.1. Mempunyai tanggung jawab perdata yang sama antara perwakilan kelas (Class Representative) dengan yang diwakilinya (Class Members).
1.2. Akibat hukum yang timbul adalah pemberian kuasa antara perwakilan kelas dengan anggota kelas atau pemberian tugas diantara perwakilan kelas yang mewakili anggota kelas tanpa menerima upah.
1.3. Penyimpangan dari tujuan Class Action yang asli dari sistem hukum Anglo Saxon dapat menimbulkan pertanggung jawaban perdata dan pidana yang berdiri sendiri.
2. Aspek Hukum Acara Perdata.
Perwakilan kelas (Class Representative) yang merupakan wakil dari anggota kelas apabila dilengkapi dengan surat kuasa seperti dapat dilihat dalani legal standing (hak gugat) dapat mengikat dan memberikan jaminan kepastian hukum.
Dapat mengikat secara tegas agar perwakilan kelas sebagai wakil bersungguh-sungguh memperjuangkan kepentingannnya, sebab tidak menutup kemungkinan perwakilan kelas berhenti secara sepihak di tengah jalan sementara perkara belum diputus. Dengan membuat kuasa ini, perwakilan kelas dapat menguasakan melalui kuasa substitusi.
Sehingga akibat hukum yang timbul adalah timbulnya suatu perjanjian yang mengikat antara perwakilan kelas dengan anggota kelas.
Menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Reg. No.2884
Menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Reg. No.2884