• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Isu-Isu Strategis

DINAS KETAHANAN PANGAN KABUPATEN BOGOR

3.5. Penentuan Isu-Isu Strategis

Perumusan isu-isu strategis didasarkan pada analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal yaitu peluang dan ancaman serta memperhatikan kekuatan dan kelemahan pada DKP Kabupaten Bogor dalam melaksanakan Tupoksi nya, maka isu-isu strategis yang menjadi acuan dalam menentukan program dan kegiatan prioritas selama beberapa tahun ke depan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu :

 Strategi S – O :

1. Meningkatkan kualitas manajemen produk pangan;

2. Meningkatkan kualitas regulasi sebagai landasan hukum pencapaian rencana aksi dan evaluasi pemantapan ketahanan pangan; dan

3. Meningkatkan kecukupan dan akurasi updated data / informasi dalam proses perumusan, penyelenggaraan dan evaluasi kebijakan strategis.

 Strategi W – O :

1. Mengembangkan koneksivitas informasi serta pemantauan distribusi dan akses pangan;

2. Mengembangkan kemandirian lembaga produktif masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pangan; dan 3. Mengembangkan mekanisme pengawasan dan pembinaan

keamanan pangan mandiri.

 Strategi S – T :

1. Memperluas pola pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam penyediaan dan penganekaragaman pangan; dan 2. Memperluas peran lembaga pemerintah dan dunia usaha

dalam upaya penjaminan stabilitas harga dan pasokan pangan.

 Strategi W – T :

1. Menciptakan keterpaduan peran dan fungsi pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan dan penanganan rawan pangan.

Ke sembilan strategi dimaksud, diperoleh berdasarkan analisa yang dilakukan dengan menggunakan SWOT Analysis pada masing-masing kuadran, sebagaimana terurai pada gambar III.1. berikut ini.

Gambar III.1. SWOT Analysis DKP Kabupaten Bogor

Internal

Eksternal

Kekuatan / Strengths (S) : 1. Peraturan Daerah Kabupaten

Bogor Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah;

2. Peraturan Bupati Bogor Nomor 62 Tahun 2010 tentang Peningkatan Daya Saing Produk Kabupaten Bogor;

Organisasi, Tugas dan Fungsi, serta Tata Kerja Dinas Pengujian Mutu Pangan Segar Kelas A Pada Dinas Ketahanan Pangan

Kelemahan / Weaknesses (W) :

1. Pada tahun 2018, aparatur penyelenggaraan ketahanan pangan hanya berjumlah 45 orang (9 orang atau 20% berusia diatas 50 tahun dan 36 orang atau peternakan yang diperbantukan, didukung oleh 35 orang outsourcing tenaga administrasi, 8 orang outsourcing tenaga kebersihan dan 9 orang outsourcing tenaga keamanan;

2. Baru memiliki 1 orang aparatur fungsional khusus Analis Ketahanan Pangan, serta belum memliki aparatur fungsional khusus Pengawas Mutu Hasil Pertanian dan Analis Pasar Hasil Pertanian, yang berperan sebagai inisiator serangkaian proses dan implementasi hasil analisis ketersediaan, distribusi, konsumsi dan keamanan pangan, sebagai bentuk aplikasi dari Pasal 24 Bab VI Peraturan Bupati Bogor Nomor 61 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi, serta Tata Kerja Dinas Ketahanan Pangan; dan

3. Belum terpenuhinya kelengkapan perlengkapan dan peralatan kantor penunjang kinerja aparatur, serta alat uji laboratorium portable sebagai upaya penjaminan keamanan pangan atas produk yang dihasilkan di tingkat produsen dan beredar di tingkat konsumen.

Peluang / Opportunities (O) :

1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi;

4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor

65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota;

5. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 27 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;

6. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Kemandirian Pangan Daerah;

7. Sejak tahun 2014, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menetapkan secara nasional upaya penekanan tingkat alih fungsi lahan produktif sekaligus penciptaan lahan sawah baru yang merupakan substitusi alih fungsi lahan dimaksud sebagai tolok ukur keberhasilan tata ruang wilayah, serta optimalisasi daya dukung Daerah Irigasi (DI), Jaringan Irigasi (JI) dan aksesibilitas jalan produksi perdesaan bagi pengembangan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan sebagai tolok ukur keberhasilan kebinamargaan dan pengairan; dan

8. Setiap tahun nya terbit berbagai dokumen Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis program / kegiatan ketahanan pangan dari lembaga koordinatif vertikal baik di tingkat pusat maupun provinsi, yang kemudian diterjemahkan dalam dokumen Petunjuk Teknis berdasarkan kebutuhan dan karakteristik masing-masing kabupaten / kota.

Strategi S – O :

1. Meningkatkan kualitas manajemen produk pangan;

2. Meningkatkan kualitas regulasi sebagai landasan hukum pencapaian rencana aksi dan evaluasi pemantapan ketahanan pangan; dan

3. Meningkatkan kecukupan dan akurasi updated data / informasi dalam proses perumusan, penyelenggaraan dan evaluasi kebijakan strategis.

Strategi W – O :

1. Mengembangkan koneksivitas informasi serta pemantauan distribusi dan akses pangan;

2. Mengembangkan kemandirian lembaga produktif masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pangan;

3. dan Mengembangkan mekanisme pengawasan dan pembinaan keamanan pangan mandiri.

Ancaman / Threats (T) :

1. Pada skala nasional hingga Juni 2016, Institut Pertanian Bogor (IPB) melansir bahwa laju pertumbuhan penduduk sangat rawan pangan sekitar 5,96%/tahun, penduduk rawan pangan sekitar 3,32%/tahun dan penduduk tahan pangan sekitar minus 1,95%/tahun. Sedangkan kondisi di Kabupaten Bogor hingga Desember 2016, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Kabupaten Bogor menjelaskan bahwa masih terdapat jumlah penduduk miskin sebanyak 498.500 jiwa atau 8,92% dari total penduduk sebanyak 5.587.390 jiwa;

Strategi S – T :

1. Memperluas pola pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) stabilitas harga dan pasokan pangan.

Strategi W – T:

1. Menciptakan keterpaduan peran dan fungsi pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan dan penanganan rawan pangan.

2. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Kabupaten Bogor, menjelaskan bahwa kondisi di Kabupaten Bogor hingga Desember 2017 masih terdapat jumlah rumah tangga miskin sebanyak 171.483 KPM (Keluarga Penerima Manfaat);

3. Sejak tahun 2015, telah berlangsung Asean Free Trade Area (AFTA) / area bebas bea masuk impor diantara negara asean, yang mengancam persaingan pasar produk pertanian, perikanan dan kehutanan Kabupaten Bogor yang umumnya masih belum memenuhi standar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dalam penerapan teknologi budidaya, pengolahan dan pengemasan, sekaligus berdampak pula terhadap keamanan &

kehalalan produk yang di impor dari negara asean lainnya;

4. Sejak tahun 2014, hasil analisa dan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa seluruh kepulauan di Indonesia akan dilalui oleh fenomena anomali alam El Nino (meningkatnya suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik, terutama bagian timur dan tengah) dan La Nina (menurunnya suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik), yang berdampak terhadap ketidak-menentuan waktu dan volume musim penghujan dan kemarau serta intensitas badai angin dan hujan pada tiap kawasan, yang turut berpengaruh terhadap stabilitas dan kontinuitas ketersediaan produk pangan;

5. Pada skala nasional Kementerian Pertanian RI melansir bahwa sejak tahun 2013 sekitar 80.000 Ha/tahun lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi sektor lain, sedangkan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) menyimpulkan bahwa di Provinsi Jawa Barat setidaknya terdapat 50.000 – 100.000 Ha/tahun lahan sawah yang beralih fungsi maupun yang tidak lagi tergarap oleh petani (dari 826.000 rumah tangga petani, sebanyak 66,00% memutasi lahan sawahnya karena alasan ekonomi dan sebanyak 34,00% karena tergusur proyek pemerintah dan tidak mampu mengelola lahannya lagi). Sekalipun Kementerian Pertanian RI sejak tahun 2010 – 2014 telah berhasil mencetak lahan pertanian baru seluas 347.984 Ha, namun tingkat kualitas lahan dan produktivitasnya masih jauh di bawah lahan yang telah dialihfungsikan; dan

6. Menurunnya minat, orientasi dan motivasi usaha pada angkatan kerja usia muda terhadap usaha tani dan usaha mina, khususnya yang berdomisili pada wilayah hinterland pengembangan sektor non pertanian, perikanan dan kehutanan. Berdasarkan data dari Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk kondisi di Provinsi Jawa Barat hingga Juni 2016, dari 3.058.387 rumah tangga usaha pertanian untuk usia < 25 tahun sebesar 0,59%, untuk usia 25 – 44 tahun sebesar 32,68%, untuk usia 45 – 64 tahun sebesar 50,77% dan untuk usia > 65 tahun sebesar 15.96%.