• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Kadar Tanin

A. Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Lowenthal-Procter

Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter

berdasarkan jumlah gugus fenol pada tanin. Tanin termasuk golongan senyawa yang memiliki gugus fenol, sehingga jumlah gugus fenol ini diasumsikan mewakili jumlah tanin secara keseluruhan. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi. Sebagai indikator redoks digunakan larutan indigokarmin dan warna yang dihasilkan adalah kuning emas. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan persamaan berikut (Sudarmadji, 1997

23 Kadar Tanin

Keterangan:

Perhitungan : 1 ml KmnO4 0,1 N = 0,00416 g tanin

(A dan B) : Banyaknya KmnO4 yang diperlukan untuk titrasi (A merupakan senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin)

S : Berat sampel

B. Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy test

Metode kuantitatif untuk tanin salah satunya adalah Stiansy test. Reaksi yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin terkondensasi terhadap formaldehid. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Giner, 1997). Linggawati (2002) dalam penelitianya menentukan kadar tanin dengan metode stiansy test yaitu sebanyak 0,5 gram contoh tanin dilarutkan dalam 175 ml aquades, ditambahkan 28,5 ml HCl 0,28 N dan 1 ml formaldehid 37%. Larutan diaduk selama 5 menit dan disimpan selama 5 jam. Endapan yang terbentuk dibilas dengan aquades, endapan dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar tanin terkondensasi dihitung berdasarkan gravimetri.

24 4.2 Ekstraksi Senyawa Vlavonoid

Ekstraksi Metode Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan

pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi

pada keseimbangan (Voight, 1995 dalam Istiqomah, 2013). Menurut Yuliatiningrum (2008) dalam Wibisono (2012), simplisia adalah bahan

baku alamiah yang digunakan untuk membuat ramuan obat yang belum mengalami pengolahan atau dapat juga telah melalui proses pengeringan. Simplisia dapat berupa tumbuhan, hewani dan simplisia mineral. Penggunaan pelarut sangat berpengaruh untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan. Pernyataan ini didukung oleh Sucianti dkk. (2012), penggunaan pelarut dalam metode ekstraksi maserasi didasarkan pada tingkat kepolaran masing-masing pelarut, yakni polar, semi polar dan pelarut non polar. Dari pernyataan diatas maka pemilihan pelarut sangat penting untuk menarik lebih banyak jumlah metabolit sekunder. Suryanto dan Wehantouw (2009), menunjukkan bahwa pelarut metanol mampu menarik lebih banyak jumlah metabolit sekunder yaitu senyawa fenolik, flavonoid, dan tanin dalam daun Artocarpus altilis bila dibandingkan dengan pelarut etanol. 4.2.1 Identifikasi Senyawa Flavonoid

A. Metode Fitokimia

Tujuan utama dari metode fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk bahan obat-obatan. Pendekatan dengan metode fitokimia meliputi analisa kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau bagian dalam tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji)

25 terutama kandungan metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif seperti alkanoid, flavonoid, tannin, antrakuinon dan glikosa (Harborne,J.B., 1987 dalam

Wachidah, 2013). Menurut Sangi, dkk (2008), analisis fitokimia secara kualitatif ini merupakan suatu metode analisis awal untuk meneliti kandungan senyawa aktif yang ada pada tumbuhan obat dan diharapkan hasilnya dapat memberikan informasi dalam mencari senyawa dengan efek farmakologi tertentu sehingga dapat membantu dalam penemuan obat baru.

B. Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Teknik kromatografi yang paling umum untuk analisis pendahuluan ekstrak tumbuhan untuk menguji adanya flavonoid adalah kromatografi kertas. Namun analisis dengan KLT memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kromatografi kertas, diantaranya kesebangunan dari plat KLT, kecepatan saat proses migrasi, serta sensitivitasnya sehingga dengan sampel yang sedikit sudah mampu memberikan hasil yang baik (K.R. Markham, 1988 dalam Pambudi dkk, 2014).

Hasil yang diperoleh dari analisis menggunakan KK atau KLT adalah warna bercak dan nilai Rf untuk menduga jenis senyawa yang terkandung dalam suatu sampel bahan. Nilai Rf didefinisikan sebagai kecepatan suatu senyawa saat bermigrasi dalam proses kromatografi. Nilainya dapat ditentukan dengan membagi jarak yang ditempuh suatu senyawa (jarak titik awal ke suatu bercak) dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pengembang (jarak titik awal ke garis akhir) (Zulharini dkk, 2013). Nilai Rf suatu senyawa spesifik, sehingga dengan mengetahui nilai Rf dapat diketahui jenis senyawa yang terkandung dalam suatu sampel. Selain warna bercak dan nilai Rf, sebagai konfirmasi dapat dilakukan pula pengukuran panjang gelombang serapan maksimum menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Tiap senyawa memiliki serapan maksimum yang khas pada panjang gelombang tertentu (Windriyati dkk, 2011).

26 4.2.2 Uji Kadar Flavonoid Kolorimetri Komplementer

A. Metode Alumunium Klorida

Penentuan konsentrasi flavonoid dari ekstak buah, daun, dan kulit batang dilakukan dengan metode kolorimetri AlCl3 yang mempunyai prinsip pengukuran berdasarkan pembentukan warna. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan jumlah flavonoid golongan flavon dan flavonol. Prinsip penetapan flavonoid dengan metode kolorimetri AlCl3 adalah terbentuknya kompleks antara AlCl3 dengan gugus keto pada atom C-4 dan juga dengan gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-4 yang bertetangga dari flavon dan flavonol. Pada pembuatan kurva kalibrasi digunakan kuersetin sebagai pembanding dimana kuersetin merupakan flavonoid golongan flavonol yang mempunyai gugus keto pada C-4 dan memiliki gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-5 yang bertetangga dari flavon dan flavonol (Chang et al, 2002). Metode kolorimetri alumuninum klorida menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis untuk menghitung absorbansi. Menurut Huda (2001), spektrofometer UV-Vis adalah alat yang umum digunakan di laboratorium kimia. Alat ini biasa digunakan untuk analisa kimia semi kualitatif. Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada fenomena penyerapan sinar oleh spesi kimia tertentu di daerah lembayung (ultra violet) dan sinar tampak (visible). Spektrofotometer UV-tampak atau UV-visibe (UV = 200–400 nm, sedangkan visible = 400–800 nm) berhubungan dengan eksitasi elektronik antara beberapa tingkat energi dari orbital molekul dari sistem senyawa yang dianalisis (Bismo, 2006).

B. Metode 2,4 dinitrofenilhidrazin

Pada penentuan jumlah flavonoid dengan metode kolorimetri 2,4-dinitrofenilhidrazin, prinsipnya adalah reaksi antara 2,4-2,4-dinitrofenilhidrazin, suatu senyawa yang mengandung gugus NH2 dengan gugus aldehid dan gugus keton

27 membentuk 2,4-dinitrofenilhidrazon. Flavon, flavonol, dan isoflavon yang memiliki ikatan rangkap pada atom C2-C3 tidak dapat bereaksi dengan 2,4-dinitrofenilhidrazin. Sehingga penentuan jumlah flavonoid dengan metode kolorimetri 2,4-dinitrofenilhidrazin spesifik untuk flavanon dan flavanonol. Naringenin merupakan flavonoid golongan flavanon yang memiliki gugus keto pada atom C-4 dan juga memiliki gugus hidroksi pada atom C-5, C-7 dan C-4. Pada saat pembuatan kurva kalibrasi naringenin, panjang gelombang maksimum yang dihasilkan adalah 494 nm (Hidayat, 2005 dalam Desmiaty dkk, 2009).

28 BAB V

KANDUNGAN BIOAKTIF MANGGROVE S.alba 5.1 Ekstraksi Tanin

Persiapan Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk proses ekstraksi, identifikasi tanin dan penentuan kadar tanin dalam penelitian ini adalah kertas saring, seperangkat alat gelas, corong pisah, rotary evaporator dan buret.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun, buah dan kulit batang mangrove Sonneratia alba yang berdiameter 15cm. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah metanol p.a, kloroform p.a, etil asetat p.a, FeCl3, larutan gelatin, larutan indigokarmin, KmnO4, NaCl.

Prosedur Kerja

Sampel yang digunakan yaitu daun muda, buah tanpa biji dan kulit batang mangrove S.alba. Sampel dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir kemudian diangin-anginkan dan dikeringkan dengan pengering mekanik kemudian dihaluskan lalu diekstraksi. Pelarut pengekstraksi tanin yang digunakan adalah pelarut polar yaitu metanol. Hasil ekstrak diuji menggunakan metode fitokimia kemudian dilanjutkan dengan metode Lowenthal-Protecter. Tahapan meliputi preparasi sampel, ekstraksi tanin dengan metode maserasi, identifikasi dengan

29 metode fitokimia dan penentuan kadar tanin menggunakan metode lowenthal-procter.

Preparasi Sampel

Sampel tumbuhan mangrove diambil di Desa langge Kecamatan Anggrek kabupaten Gorontalo Utara. Sampel yang diambil kurang lebih sebanyak 5 kg. Proses preparasi sampel menurut Nuraini, (2002) yaitu:

a. Buah: dicuci dengan air mengalir kemudian dipotong kecil-kecil dan biji buah dipisahkan. Kemudian sampel dikeringkan dengan pengering

mekanik pada suhu 60ºC selama 6 jam, selanjutnya diangin-anginkan dan dihaluskan menggunakan blender sampai menjadi serbuk halus.

b. Daun: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dikeringkan

menggunakan pengering mekanik selama 6 jam pada suhu 60ºC. Sampel yang telah kering diangin-anginkan dan kemudian dihaluskan dengan blender sehingga diperoleh serbuk halus.

c. Kulit batang: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dipotong kecil-kecil dan selanjutnya diangin-anginkan. Kemudian sampel dikeringkan menggunakan pengering mekanik selama 7 jam pada suhu 60ºC. Sampel yang telah kering kemudian dihaluskan dengan blender sehingga

30 Ekstraksi (Metode Maserasi)

Sampel ditimbang sebanyak 250 gram serbuk buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba dan direndam menggunakan 1,5 L pelarut metanol didiamkan selama 24 jam kemudiaan disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator, kemudiaan ekstrak pekat diekstraksi kembali dengan 50 ml kloroform menggunakan corong pisah sehingga terbentuk dua lapisan dan dilakukan pengulangan 3 kali. Lapisan bawah (kloroform) dipisahkan dan lapisan air diekstraksi dengan etil asetat sebanyak 50 ml sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan etil asetat (atas) dipisahkan dan lapisan air (bawah) dipekatkan kembali dengan menggunakan rotary evaporator, sehingga diperoleh ekstrak tanin (Nuraini, 2002).

Identifikasi Tanin Dengan Metode Fitokimia

Uji tanin pada penelitian ini menggunakan FeCl3 dimana ekstrak direaksikan dengan FeCl3. Jika larutan mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua (Widowati, 2006).

Penentuan Kadar Tanin Dengan Metode Lowenthal-procter

Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procteradalah berdasarkan jumlah gugus fenol pada senyawa tanin. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi.Tanin termasuk golongan senyawa yang memiliki gugus fenol, sehingga

31 jumlah gugus fenol ini diasumsikan mewakili jumlah tanin secara keseluruhan (Sudarmadji, 1997).

Gambar 6 Prosedur Kerja Prosedur Analisa

Identifikasi Tanin (Metode Fitokimia)

Ekstrak mangrove dari masing-masing sampel diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ekstrak direaksikan dengan 1 ml larutan FeCl3, jika larutan mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua (Widowati, 2006).

Pelarut metanol

Analisis Data

(Deskriptif kualitatif dan kuantitatif) Preparasi tumbuhan Mangrove S. alba

(daun, buah dan kulit batang)

Ekstraksi (metode maserasi)

Identifikasi senyawa tanin (metode fitokimia)

Uji kadar tanin (Lowenthal-Procter)

32 Uji Kadar Tanin (Metode Lowenthal-Procter)

Prosedur pengujian kadar tanin metode Lowenthal-Procter yaitu sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambah 100 ml aquades, kemudian diambil 50 ml ditambah dengan 2 ml larutan indigokarmin kemudian dititrasi dengan larutan KmnO4 0,1 N sampai warna kuning emas (A ml). Selanjutnya diambil 50 ml ditambah berturut-turut 5 ml larutan gelatin, 10 ml larutan NaCl jenuh, 1 gram serbuk kaolin kemudian dikocok selama beberapa menit dan dicampur dengan larutan indigokarmin sebanyak 2 ml dan selanjutnya titrasi dengan KmnO4 0,1 N (B ml) (Sudarmadji, 2007).

Kadar Tanin Keterangan:

Perhitungan : 1 ml KmnO4 0,1 N = 0,00416 g tanin

(A dan B) : Banyaknya KmnO4 yang diperlukan untuk titrasi (A merupakan senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin)

S : Berat sampel

33 Hasil Preparasi Sampel Buah, Daun dan Kulit Batang Mangrove S.alba

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan mangrove jenis Sonneratia alba yang terdiri dari buah tanpa biji, daun muda dan kulit batang, karena pada ketiga bagian tumbuhan mangrove mengandung tanin (Akiyama et al, 2001 dalam Risnasari, 2012).

Sampel dicuci dengan air mengalir dan selanjutnya dikeringkan menggunakan pengering mekanik. Sampel buah dan daun dikeringkan selama 6 jam sedangkan kulit batang dikeringkan selama 7 jam menggunakan alat pengering mekanik. Proses pengeringan pada kulit kayu cukup lama disebabkan oleh perbedaan ketebalan sampel. Sampel kulit kayu mangrove S.albalebih tebal bila dibandingkan dengan buah dan daun. Menurut Norman (2010), cara pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya Face hardening yakni bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini dapat disebabkan oleh bahan yang akan dikeringkan terlalu tebal atau suhu yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan penguapan air pada permukaan bahan jauh lebih cepat daripada air dari dalam. Proses pengeringan ini dilakukan agar mempermudah proses penghalusan. Selain itu, proses pengeringan juga bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam sampel agar mudah dalam proses ekstraksi dan juga mencegah terjadinya perubahan kimia (daun dan buah cepat busuk sehingga

34 dapat menghasilkan mikroorganisme yang dapat merubah komposisi senyawa

kimia yang terkandung pada daun dan buah tersebut) (Sa’adah, 2010).

Berdasarkan hasil pengeringan, terjadi perubahan warna dan tekstur pada buah, daun dan kulit batang. Setelah dikeringkan, buah mangrove S.albayang tadinya berwarna hijau menjadi hijau kecoklatan dan memiliki tekstur yang kering. Daun mangrove setelah dikeringkan menjadi warna coklat dan memiliki tekstur kering. Kulit batang mangrove S.albasetelah dikeringkan tetap memiliki warna yang sama seperti yang sebelum dikeringkan dan memiliki tekstur yang kering dan keras.

Sampel yang telah kering dihaluskan menggunakan blender sehingga menghasilkan serbuk. Penghalusan sampel bertujuan untuk memperluas permukaan serta membantu pemecahan dinding dan membran sel, sehingga mempermudah

dalam proses ekstraksi (Sa’adah, 2010). Sampel yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

35 Pengambilan Sampel

Pemotongan Sampel Pengeringan Sampel

36 Hasil Ekstraksi Senyawa Tanin dari Buah, Daun dan Kulit Batang Mangrove S.alba

Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen yang terdapat dalam suatu bahan menggunakan pelarut yang sesuai. Tanin dapat diperoleh dari proses ekstraksi dengan cara maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman bahan dalam suatu pelarut, tujuannya untuk mengekstrak senyawa-senyawa aktif yang ada dalam sampel. Proses ekstraksi ini tidak dilakukan dengan metode Soxhletasi karena dikhawatirkan ada golongan senyawa tanin yang tidak tahan panas, selain itu senyawa tanin mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi yaitu 98,89-101,67 . Sampel yang digunakan adalah buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba yang telah dihaluskan menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan 100mesh.

Masing-masing serbuk buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba

sebanyak 250 gram dimaserasi dengan 1,5 L metanol selama 24 jam. Pelarut metanol digunakan dalam maserasi karena bersifat universal yang dapat mengikat semua komponen kimia yang terdapat dalam tumbuhan alam baik yang bersifat polar dan non polar. Selama perendaman sampel, akan terjadi proses pemecahan membran sel, sehingga senyawa-senyawa metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan senyawa akan terekstraksi

37 sempurna (Lenny, 2006). Selain itu metanol mempunyai titik didih yang relatif rendah sehingga mudah diuapkan.

Setelah proses maserasi dilakukan selama 24 jam, sampel buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 30-45 sampai terbentuk ekstrak kental. Tujuan dari evaporasi adalah untuk menguapkan pelarut yaitu metanol sehingga yang tersisa hanya senyawa aktif atau ekstrak kental.Hukmah, (2007) dalam penelitiannya menyebutkan jika sampel tidak dipekatkan terlebih dahulu tidak akan terbentuk dua lapisan setelah difraksinasi dengan kloroform, karena jumlah pelarut masih terlalu banyak sehingga terbentuknya dua fase tidak terlihat. Ekstrak yang diperoleh dari masing-masing bagian tumbuhan mangrove S.alba memiliki warna yang sama. Hasil dari ekstrak buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

38 Proses ekstraksi Maserasi

Proses evaporasi

39 Fraksinasi etil asetat buah, daun dan kulit batang angrove

Hasil ekstrak tanin

Tabel 1. Warna dari ekstrak buah, daun dan kulit batang mangrove S.alba

Tumbuhan Mangrove Warna

Buah Coklat kehitaman

Daun Coklat kehitaman

Kulit batang Coklat kehitaman

Dalam ekstrak metanol masih terdapat berbagai kelompok senyawa metabolitr sekunder sehingga perlu dilakukan pemisahan senyawa melalui proses fraksinasi. Maka pada penelitian ini, fraksinasi dengan menggunakan corong pisah. Penambahan kloroform menyebabkan terbentuknya dua fase yaitu fase air dan fase kloroform karena keduanya memiliki berat jenis dan tingkat kepolaran yang berbeda. Ekstrak dimasukkan kedalam corong pisah kemudian ditambahkan metanol sebanyak 50 ml, air 100 ml dan kloroform 50 ml. Tujuan penambahan metanol dan air yaitu untuk mengencerkan ekstrak yang kental. Penambahan kloroform sebanyak 50 ml diulang 3 kali untuk memaksimalkan proses

40 pengambilan senyawa yang bersifat non polar seperti lemak, klorofil, triterpen (Ummah, 2010)

Setelah terbentuk dua lapisan, fase kloroform ditampung dan fase air difraksinasi kembali dengan etil asetat sebanyak 50 ml. Penambahan etil asetat berfungsi untuk mengambil senyawa flavonoid atau polifenol lainnya selain tanin karena tanin sangat sedikit bahkan tidak larut dalam etil asetat. Penambahan etil asetat diulang sebanyak 3 kali untuk memaksimalkan pengambilan senyawa polifenol lainnya yang larut dalam etil asetat. Langkah selanjutnya adalah fase etil asetat ditampung dan fase air dari masing-masing sampeldiambil.

Fase air yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 30-45°C untuk memisahkan pelarutnya yaitu etil asetat yang terlarut dalam ekstrak dan air, sehingga diperoleh ekstrak tanin. Warna dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada lampiran 3.

Tabel 1 Warna ekstrak tanin dari buah, daun dan kulit batang Mangrove S.alba

Tumbuhan MangroveSonneratia alba Warna Buah Coklat Daun Coklat

Kulit batang Coklat

Warna ekstrak dari masing-masing sampel didominasi oleh warna coklat. Hal ini dimungkinkanadanya senyawa tanin. (Robinson dalam Ummah,

Dokumen terkait