• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE

B. Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dibentuk dalam era globalisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila berbagai doktrin hukum mempengaruhi isi dari UUPT 2007 2007 di atas, termasuk doktrin hukum dari negara

Common Law System. Sehubungan hal tersebut, maka dalam pem- bahasan tanggung jawab direksi perseroan terbatas akan dikait- kan dengan doktrin-doktrin hukum, terutama yang telah diwu- judkan dalam pasal-pasal pada UUPT 2007. Badan hukum sebagai subyek hukum yang berhubungan hukum dengan subyek hukum lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat diala- matkan kepada badan hukum lainnya. Sekalipun dalam bertindak

badan hukum tersebut diwakili oleh direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap merupakan hubungan hukum antara sub- yek hukum. Namun demikian, direksi yang merupakan salah satu organ perseroan dari badan hukum itu mempunyai hubungan dan tanggung jawab secara intern perseroan. Dimaksudkan, hubungan hukum intern perseroan dalam buku ini adalah hubungan hukum antara pemegang saham, RUPS, komisaris, dan direksi.

Secara intern, perseroan yang berbentuk perseroan terbatas itu sendiri sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku 2. Anggaran dasar perseroan

3. Doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.117 Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang- wenangan pemegang saham, direksi, dan komisaris, yang sekali- gus meletakkan tanggung jawab masing-masing. Hal-hal tersebut di atas memberikan arah apa yang diperintahkan (imperare), apa yang dilarang (prohibere), serta apa yang diperbolehkan (pemittere) kepada pemegang saham, komisaris, dan direksi.

Berkaitan dengan tanggung jawab dan hubungan intern perseroan tersebut, terdapat beberapa doktrin hukum penting dalam corporate law. Doktrin hukum ini sangat erat dengan per- tanggungjawaban para pemegang saham, komisaris, dan direksi. Doktrin hukum ini dapat digunakan, baik untuk membuat suatu peraturan hukum perseroan yang lebih komprehensif, dengan mengacu pada doktrin hukum yang berlaku universal, juga seka- ligus sebagai warning kepada para pemegang saham, komisaris, dan direksi dalam menjalankan usaha dan kepada berbagai pihak untuk memanfaatkan doktrin hukum ini dalam menegakkan hak dan keadilan.

Chatamarrasjid Aismengatakan bahwa “Apabila terbukti bah- wa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang sa- ham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham 117 Tri Widiyono, Op-Cit, hal. 30.

untuk memenuhi tujuan pribadinya”. Dalam keadaan demikian, maka para pemegang saham, direksi dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, yang bersangkutan berdasarkan prinsip di atas harus bertanggungjawab sampai dengan harta pribadinya dan atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun perdata. Oleh karena itu, secara luas dapat diar- tikan bahwa termasuk pelanggaran doctrine piercing the corporate veil, apabila seperti berikut ini:118

1. Direksi tidak melakukan prosedur hukum dalam proses pendirian perseroan sebagaimana ditentukan dalam perun- dang-undangan, yaitu direksi tidak melakukan permintaan pengesahan/persetujuan/pelaporan, pendaftaran dan pe- ngumuman sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPT 2007. 2. Pemegang saham bertanggungjawab sampai harta pribadi,

jika melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT 2007, juga pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (6), Pasal 12, dan Pasal 13 UUPT 2007, yaitu:

a. persyaratan perseroan sebagai badan hukum, belum atau tidak terpenuhi;

b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung mau- pun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi; c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam per-

buatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung mau- pun tidak langsung secara melawan hukum menggunak- an kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan;

e. setelah perseroan disahkan pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang dan dalam waktu 6 bulan setelah itu, peme- gang saham tetap 2 (dua) orang, maka pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas segala perikatan 118 Ais Chatamarrasjid, Op-Cit, hal. 4.

atau kerugian perseroan dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut;

f. perbuatan hukum yang dilakukan para pendiri untuk ke- pentingan perseroan sebelum memperoleh status badan hukum, tetapi perbuatan hukum tersebut oleh perseroan: 1) tidak secara tegas dinyatakan diterima semua perjan- jian yang dibuat oleh pendiri atau orang lain yang di- tugaskan pendiri dengan pihak ketiga;

2) tidak menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri atau orang lain yang ditugaskan pendiri, wa- laupun perjanjian tidak dilakukan atas nama perse- roan;

3) tidak mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama perseroan.

Kewenangan perseroan mengukuhkan perbuatan hukum tersebut berada pada RUPS.Dalam hal RUPS be- lum dapat diselenggarakan, maka pengukuhan dilaku- kan oleh seluruh pendiri, pemegang saham dan direksi. Selama belum dikukuhkan, baik karena perseroan tidak jadi didirikan atau disahkan atau karena perseroan tidak melakukan pengukuhan, maka perseroan tidak terikat. g. Perolehan saham yang tidak sesuai ketentuan yang diatur

dalam Pasal 37 ayat (3) yang menyatakan, direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas semua kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat batal demi hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

h. Dokumen perhitungan tahunan yang disediakan tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (3), yaitu dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang dise- diakan ternyata tidak benar dan atau menyesatkan, ang- gota direksi dan komisaris secara tanggung renteng ber- tanggungjawab terhadap pihak yang dirugikan.

i. Direksi tidak melaksanakan, fiduciary duty yang diberikan oleh perseroan yang diatur dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT 2007.

j. Dalam hal kepailitan yang diakibatkan kesalahan direksi, yaitu diatur dalam Pasal 104 ayat (2), yang menyatakan, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kel- alaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung- jawab atas kerugian tersebut.

k. Komisaris telah melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT 2007, yaitu tidak mempunyai itikad baik, tidak ber- hati-hati dan tidak bertangyungjawab dalam menjalankan tugas pengawsan dan pemberian nasehat kepada Direksi. Sebagai perbandingan dan sekaligus sebagai pelengkap dari pendapat di atas, di bawah ini dikemukakan pendapat mengenai penerapan teori piercing thecorporate veil, secara uni- versal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu. 2. Badan-badan hukum yang hanya terpisah secara arti-

fisial.

3. Berdasarkan hubungan kontraktual.

4. Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. 5. Hubungan dengan holding company dan anak peru-

sahaan.119

Berkaitan dengan perusahaan yang tidak mengikuti for- malitas tertentu, dapat diartikan sama dengan pendapat yang telah dijelaskan di atas, yakni persyaratan perseroan terbatas sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Termasuk formalitas tertentu ini adalah tidak dijalaninya prosedur tata cara pengangkatan direksi dan atau komisaris, penyetoran modal yang tidak sesuai, dan lain-lain.

Badan hukum yang terpisah secara artifisial dimaksudkan

bahwa perusahaan yang sebenarnya adalah tunggal, tetapi pe- rusahaan tersebut dibagi ke dalam beberapa perseroan yang terpisah. Walaupun secara formal suatu perseroan sebagai badan hukum berdiri sendiri, tetapi hakikatnya beberapa per- seroan tersebut menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, tang- gung jawabnya menjadi satu kesatuan dan saling mengkait.

Penerapan masalah ini dalam UUPT 2007 sangat sulit un- tuk diungkap, satu lainhal, di Indonesia menganut hukum kontinental, di mana dalam penegakannya lebih condong pada positivisme hukum. Sedangkan doktrin piercing the corporate veil bersumber pada anglo saxon. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil

ini, sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Sebagaimana diketahui juga bahwa penerapan teori piercing the corporate veil

ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggung- jawaban hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya.

Menurut Munir Fuadypenerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya, juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain seperti di- reksi atau komisarisp.Karena itu pula, maka Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 mengakui teori

piercing the corporate veil dengan membebankan tanggung ja- wab kepada pihak-pihak sebagai berikut: 120

1. Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Peme- gang Saham.

2. Beban Tanggung jawab Dipindahkan ke Pihak Direk- si.

3. Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Komisaris.

1. Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Pemegang Saham

Seperti telah dijelaskan bahwa dalam sistem hukum Indo- nesia prinsip kemandirian badan hukum dari suatu perseroan terbatas diakui secara tegas oleh UUPT 2007, lewat Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “pemegang saham persero- an tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimilikinya”

Keterpisahan tanggung jawab hukum antara perseroan dengan pribadi pemegang saham tersebut lebih mempertegas ciri dari suatu perseroan terbatas di mana pemegang saham bertanggungjawab secara terbatas, yakni hanya bertanggung- jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Akan tetapi, ketentuan tersebut ti- dak berlaku mutlak.Sebab ada banyak kekecualian dari keten- tuan tersebut. Pengecualian tersebut mengisyaratkan bahwa memang Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Ta- hun 2007 mengakui doktrin piercing the corporate veil itu. Keke- cualian tersebut, khususnya yang membebankan tanggung jawab kepada pihak pemegang saham dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT 2007.

Pasal 3 ayat (2) dari UUPT 2007 mengintrodusir tang- gung jawab pemegang saham dari suatu perseroan terba- tas dalam 4 (empat) hal berikut:

1.) Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Dalam hal ini pihak pemegang saham (dalam tampilannya sebagai pendiri/pro- motor) perusahaan yang bertanggungjawab sampai dengan disahkannya badan hukum perseroan oleh Menteri Kehakiman. Dan setelah itu, tanggung jawab beralih kepada pihak direksi sampai dengan pendaf- taran dan pengumuman. Setelah pendaftaran dan pengumuman, maka yang bertanggungjawab hanya- lah perseroan yang bersangkutan, kecuali ada alasan

untuk diterapkan teori piercing the corporate veil karena alasan-alasan lain.

2.) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk meman- faatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

3.) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh per- seroan.

4.) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengaki- batkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup un- tuk melunasi hutang-hutang perseroan.121

Dalam hal terjadi pembauran antara kekayaan per- seroan dengan kekayaan pribadi, maka pihak pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi. Dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud an- tara lain apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata se- bagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.

b. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perse- roan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 .

Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu persero- an terbatas, pemegang saham minimal harus berjumlah 2 (dua) orang. Jumlah 2 (dua) orang dari pemegang saham ini sampai kapan pun haruslah dipertahankan oleh perse- roan. Ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas me- miliki minimal 2 (dua) orang pemegang saham tersebut tidak berlaku jika perseroan terbatas tersebut:

1) Seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau 121 Ibid, hal. 19.

2) Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga peyimpanan dan penye- lesaian dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undang-undang pasar modal.

Bagaimana halnya jika dalam perjalanannya, suatu perseroan terbatas karena hal apa pun akhirnya hanya mempunyai 1 (satu) orang pemegang saham. Maka dalam hal ini, dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak saat mulai terjadinya 1 (satu) orang pemegang saham, peme- gang saham seorang diri tersebut haruslah mengalihkan sebagian saham-sahamnya kepada pihak lain.

Dalam hal ini tidak ada batas minimal dari penga- lihan.Jadi, 1 (satu) saham saja yang dialihkan itu sudah cukup. Bagaimana jika setelah lewat waktu 6 (enam) bu- lan tersebut, pemegang saham masih saja 1 (satu) orang. Dalam hal yang demikian, berlakulah teori piercing the corporate veil itu. Artinya, yang bertanggungjawab ter- hadap pihak ketiga bukan hanya perseroan, melainkan juga pribadi pemegang saham tersebut. Dalam hal ini, menurut Munir Fuady ”atas permohonan dari pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut”. 122

c. Ketentuan dalam pasal-pasal lainnya dari undang-un- dang, Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.

Selain dari pasal-pasal seperti tersebut di atas, ma- sih terdapat hal-hal lain yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung jawab hukum ke pundak pemegang saham, meskipun tanggung jawab tersebut sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh suatu perseroan terbatas, yang nota bene merupakan suatu badan hukum (legal entity).

Dalam kelompok ini termasuk tindakan-tindakan dalam 5 (lima) kategori sebagai berikut:

1) Tidak menyetor modal

Pemegang saham tidak melaksanakan tugasnya un- tuk menyetor modal, padahal setiap saham harus disetor penuh oleh pemegang sahamnya pada saat pengesahan oleh Menteri Kehakiman, atau pada saat saham dikelu- arkan lebih lanjut. Apabila tindakan tersebut merugikan perusahaan atau pihak ketiga, maka doktrin piercing the corporate veil layak diterapkan.

2) Campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan

Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan apabila terjadi pencampuradukan antara urusan perusa- haan dengan urusan pribadi, sehingga tanggung jawab pribadi pemegang saham yang bersangkutan dapat di- mintakan. Contoh pencampuradukan antara urusan-uru- san perseroan dengan urusan pribadi adalah:

a) Dana perusahaan digunakan untuk urusan priba- di

b) Aset milik perseroan diatasnamakan pribadi c) Pembayaran perseroan dengan cek pribadi tanpa

justifikasi yang jelas.

3) Alter Ego

Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan kepada pemegang saham manakala pihak pemegang sa- ham terlalu dominan dalam kegiatan perusahaan tersebut melebihi dari peran pemegang saham yang sepantasnya. Dengan demikian, dalam hal ini perusahaan hanya ber- fungsi sebagai “instrumen” mencari untung pribadi dari pihak pemegang sahamnya. Dalam hal ini, perseroan tersebut dikatakan sebagai alter ego (kadang-kadang dise- but juga sebagai instrumentality, dummy atau agent) dari pemegang saham yang bersangkutan.123

Hanya saja, pemakaian kata “agent” di sini kurang pada tempatnya. Sebab jika dibilang bahwa perseroan

hanya merupakan agen dari pemegang saham, hal ini ber- arti pihak perseroan sebagai agen mestinya mempunyai kewenangan untuk mengikat pihak prinsipal (pemegang saham) dengan pihak ketiga.Padahal, kewenangan terse- but tidak terdapat pada perusahaan, meskipun perusa- haan tersebut merupakan alter ego atau instrumen dari pemegang sahamnya.

4) Jaminan Pribadi dari Pemegang Saham

Apabila pihak pemegang saham memberikan jaminan pribadi bagi kontrak-kontrak atau bisnis yang dibuat oleh perusahaannya, berarti pihak pemegang saham memang menginginkan untuk dibebankan tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh perseroan tersebut. Sehingga dengan sendirinya, pihak emegang sa- ham ikut bertanggungjawab manakala adanya gugatan dan pihak ketiga atas kerugian yang terbit dari kegiatan yang digaransi tersebut. Kapan dan sejauhmana pihak pe- megang saham bertanggungjawab, bergantung pada isi dari perjanjian jaminan garansi tersebut.Ini adalah salah satu contoh penerapan doktrin piercing the corporateveil se- cara kontraktual.

5) Permodalan yang Tidak Layak

Permodalan yang tidak layak, misalnya modal ter- lalu kecil padahal bisnis perusahaan adalah besar. Kare- na kewajiban pemegang sahamlah yang harus menyetor tambahan modal dan ketidaklayakan permodalan ini me- nimbulkan suatu transfer tanggung jawab dari pemegang saham kepada pihak kreditur. Ini sama sekali tidak fair. Namun demikian, selain pemegang saham yang bertang- gungjawab sampai batas-batas tertentu, pihak direksi juga dapat dimintakan tanggung jawabnya dalam hal ini.

2. Beban Tanggung Jawab Dipindahkan Kepada Pihak Direksi

Pada prinsipnya dan secara klasik, dengan diterapkannya

lah yang biasanya dimintakantanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan oleh perseroan. Akan tetapi, dalam tersebut, beban tanggung jawab dipindahkan juga dari perseroan ke- pada pihak lainnya selain pemegang saham. Misalnya, beban tanggung jawab tersebut dipindahkan ke pundak direksi atau komisaris.

Berdasarkan tanggung jawab direksi akibat penerapan teori piercing thecorporate veil ini, dari segi yang lain dapat juga dilihat sebagai akibat penerapan doktrin fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan. Menurut UU Perseroan Terbatas, teori piercing the corporate veil dapat diterapkan yang dapat menyebabkan pihak direksi yang bertanggungjawab atas ke- giatan yang dilakukan oleh perseroan. Tanggung jawab di- reksi karena penerapan teori piercing the corporate veil ini di- lakukan dalam hal-hal berikut:

a. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perse- roan.

Prinsip fiduciary duty bagi direksi ini bersumber dari Pasal 97 ayat (2) UUPT 2007. Pasal 97 ayat (2) tersebut yang menyatakan “Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan”. Apabila direksi ber- salah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty tersebut, yaitu tidak dengan itikad baik dan bertanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroannya, maka pihak direksi bertanggungjawab se- cara pribadi. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 bahkan mengatur lebih jauh dengan mem- berikan kewenangan mengajukan gugatan, melalui teori

piercing the corporate veil bukan hanya kepada pihak ketiga yang dirugikan oleh perseroan, melainkan juga kepada pemegang saham perseroan yang dalam hal ini pemegang saham tersebut bertindak untuk dan atas nama perseroan, minimal 1/10 (satu persepuluh) dari seluruh saham de- ngan suara yang sah.

b. Perusahaan belum melakukan pendaftaran dan pengu- muman.

Suatu perusahaan sudah menjadi badan hukum sejak disahkan anggaran dasarnya oleh Menteri Hukum dan HAM. Akan tetapi, sampai dengan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM tersebut, sungguhpun badan hukumnya sudah eksis, tetapi badan hukum tersebut belum berlaku kepada pi- hak ketiga sebelum perusahaan tersebut didaftarkan dalam daftar perusahaan, dan diumumkan dalam berita negara. Karena itu, sebelum pendaftaran dan pengumuman, tetapi setelah anggaran dasar disahkan, maka yang bertanggung- jawab atas tindakan yang dilakukan oleh perseroan bukanlah pihak perseroan tersebut dan bukan juga pemegang saham, melainkan yang bertanggungjawab adalah direksi yang ber- sangkutan, berdasarkan teori piercing the corporate veil.

c. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar.

Direksi berkewajiban untuk menyediakan perhitungan ta- hunan perseroan yang benar. Apabila laporan tahunan terse- but ternyata tidak benar (dengan pembuktian biasa), maka direksi bersama dengan komisaris bertanggungjawab secara renteng, berdasarkan doktrin piercing thecorporate veil. Namun dalam hal ini UUPT 2007 memberikan pembuktian terbalik bagi anggota direksi atau komisaris yang bersangkutan. Se- bab, menurut Pasal 97 ayat (5) UUPT 2007, para anggota di- reksi atau komisaris dibebaskan dari tanggung jawabnya tersebut apabila dapat membuktikan :

1) Keadaan yang bersangkutan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.

2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik lang- sung maupun tidak langsung atas tindakan penguru- san yang mengakibatkan kerugian, dan

4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Dengan demikian bisa saja ada anggota direksi atau dewan komisaris yang harus bertanggungjawab secara hukum, tetapi dewan komisaris atau ada juga anggota di- reksi yang lain yang dapat membuktikan tidak bersalah sehingga dia tidak bertanggungjawab.

d. Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit. Apabila suatu perseroan pailit, maka tidak serta merta (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggungjawab secara pribadi. Agar pihak anggota direksi dapat dimintakan tanggung jawab pribadi ketika suatu perusahaan pailit, harus- lah memenuhi semua syarat sebagai berikut:

1.) Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau ke- lalaian dari direksi (dengan pembuktian biasa). 2.) Untuk membayar hutang dan ongkos-ongkos kepaili-

tan, haruslah diambil terlebih dahulu dari asset-asset perseroan. Bila asset perseroan tidak mencukupi, ba- rulah diambil asset direksi pribadi.

3.) Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van be- wijslast) bagi anggota direksi yang dapat membukti- kan bahwa kepailitan perseroan bukan karena kesala- han (kesengajaan) atau kelalaiannya. Anggota direksi bisa saja harus bertanggungjawab secara hukum jika perusahaan pailit, tetapi ada juga anggota direksi yang lain yang dapat membuktikan tidak bersalah se- hingga dia tidak bertanggungjawab.

e. Permodalan yang tidak layak.

Permodalan yang tidak layak, misalnya modal terlalu kecil padahal bisnis perusahaan adalah besar. Dalam hal ini, selain pemegang saham yang berkewajiban menyetor saham yang harus bertanggungjawab, pihak direksi juga bertang- gungjawab secara hukum, mengingat direksi sebagai pihak