• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Sanitasi Pada Pengolahan Produk Pindang di PHPT

3. METODOLOGI

4.2. Penerapan Sanitasi Pada Pengolahan Produk Pindang di PHPT

Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dari tempat produksi, persiapan, penyimpanan, dan penyajian makanan serta air sanitasi pangan. Hal ini merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap kegiatan menyiapkan makanan, khususnya dalam cara penanganan pangan. Program sanitasi dijalankan bukan untuk mengatasi masalah kotornya lingkungan atau kotornya pemrosesan bahan, tetapi untuk menghilangkan kontaminan pada makanan dan mesin pengolahan makanan serta mencegah kontaminasi kembali maupun kontaminasi silang. (Winarno dan Surono 2004).

Standar baku sanitasi yang diterapkan di pengolahan pindang UPT PHPT Muara Angke meliputi bagian-bagian sebagai berikut lokasi dan lingkungan, konstruksi bangunan, keamanan air, es, garam, penanganan limbah, toilet, ruang pemeliharaan peralatan, wadah dan alat lain, kontrol sanitasi, perlengkapan anti serangga dan binatang pengganggu lainnya.

4.2.1 Sanitasi bangunan

Sanitasi bangunan harus diperhatikan mencakup lay-out desain arsitektur, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi, dan penerangan. Lay-out tempat pengolahan pindang ikan tongkol berada di kawasan industri yang telah disetujui. Ruangan produksi tidak disekat sehingga tidak dapat mencegah terjadinya konstaminasi silang. Selain itu, area pengolahan tidak memungkinkan pekerja untuk melakukan pekerjaan secara saniter dan higiene. Hal itu berpotensi terjadinya penyimpangan kritis. Tata letak ruangan produksi dengan ruangan penerimaan bahan baku serta penyimpanan berdasarkan prosedur sanitasi yang baik harus terpisah sehingga mencegah terjadinya kontaminasi silang dan pekerja dapat melakukan pekerjaan secara saniter dan higiene (Lisyanti et al. 2009). Bangunan unit pengolahan dapat disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Bangunan unit pengolahan ikan pindang

Dinding pada bagian pengolahan pindang di UPT PHPT Muara Angke tidak halus, retak, kusam serta tidak mudah dibersihkan dan didesinfeksi. Pertemuan antara lantai dan dinding serta dinding dan dinding sulit dibersihkan. Dinding dalam ruangan produksi tidak disekat dengan ruang penerimaan bahan baku dan ruangan penyimpanan produk pindang. Selain itu, permukaan dalam dinding tidak kedap air dan tidak tahan lama. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan antara dinding dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati dan harus melengkung serta rapat air (Depkes RI 1978). Penyimpangan-penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis. Dinding ruang pengolahan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Dinding ruang pengolahan

Langit-langit pada pengolahan pindang di UPT PHPT Muara Angke tidak dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur serta pengelupasan. Selain itu, terdapat retak dan celah serta tidak mudah dibersihkan. Hal ini dapat berpotensi terjadinya kontaminasi silang serta mengganggu proses produksi. Munurut Lisyanti et. al. (2009), langit-langit dalam

ruang proses harus dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, kondensasi, pertumbuhan jamur dan pengelupasan. Konstruksi jendela dan bagian yang dapat dibuka pada bangunan dirancang untuk dapat mencegah akumulasi kotoran atau debu serta dilengkapi dengan kasa pencegah masuknya serangga dan mudah dilepas untuk dibersihkan. Permukaan bagian dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas dan mudah dibersihkan, permukaan rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan (Depkes RI 1978)

Lantai unit pengolahan di UPT PHPT Muara Angke memiliki permukaan kasar, retak, sulit dibersihkan dan didesinfeksi serta lembab. Lantai pengolahan terbuat dari tanah yang tidak kedap air, licin, mudah pecah dan tidak memiliki kemiringan lantai yang sesuai dan menyebabkan air tergenang. Konstruksi lantai tidak dibuat miring 5 ˚. Menurut Winarno dan Surono (2004), lantai harus berbentuk sudut di bagian tengah dan masing-masing ke bagian pinggir kiri dan kanan dengan kemiringan 5º terhadap horizontal. Terjadi penyimpangan kritis pada bagian lantai, yaitu lantai ruang produksi yang jarang dilakukan pengujian laboratorium serta permukaan lantai yang tidak mendukung proses produksi yang saniter. Gambar 11 menunjukkan lantai ruang pengolahan.

Gambar 11 Lantai ruang pengolahan

4.2.2 Pintu

Pintu ruangan pengolahan terbuat dari bambu dan terbuka. Pintu tidak dirancang dengan baik untuk mencegah kontaminasi dari luar ruang pengolahan. Pembatas ruangan tidak dilengkapi dengan alat pencegah serangga yaitu berupa

lampu penarik serangga (insect killer). Terjadi penyimpangan kritis disebabkan ruangan tidak dilengkapi pintu dengan desain yang baik. Menurut (Swastawati et al. 2007) ruangan unit pengolahan harus terdapat pintu yang terbuat dari bahan yang tahan lama dan tahan korosi serta menutup secara otomatis serta mudah dibersihkan dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat. Pintu ruang produksi disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Pintu ruang pengolahan

4.2.3 Saluran pembuangan

Instalasi saluran pembuangan di ruang proses terbuat dari bahan yang tahan karat, halus, rata dan tidak membentuk sudut. Saluran ini terbenam ± ½ meter dari permukaan lantai dilengkapi dengan penutup berlubang yang terbuat dari bahan yang tahan karat. Sistem pembuangan air atau saluran kotor dan pembuangan yang tidak lancar sehingga memungkinkan arus balik ke dalam ruang pengolahan. Selain itu, terdapat tumpukan sampah di dalam saluran pembuangan di luar unit pengolahan yang dapat menghambat aliran sistem pembuangan limbah. Penyimpangan-penyimpangan tersebut termasuk Penyimpangan-penyimpangan serius. Saluran pembuangan yang ke luar melalui dinding ruangan pengolahan harus dilengkapi dengan alat pelindung, misalnya jeruji besi yang dapat diangkat sehingga mempermudah pembersihan dan mencegah masuknya tikus dan binatang lainnya ke dalam ruang pengolahan (Winarno dan Surono 2004).

4.2.4 Keamanan air

Air yang digunakan pada proses produksi berupa air bersih dari PDAM dengan kualitas air minum, serta pasokan air untuk proses produksi mencukupi. Air tersebut digunakan untuk proses pencucian bahan baku dan proses perebusan pindang. Selain itu dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi para pekerja. Air yang digunakan dalam sehari untuk keperluan produksi mencapai 400 liter. Air untuk ke produksi dan untuk air minum tidak dilakukan proses filter terlebih dahulu, selain itu tidak dilakukan proses pengendapan, karena air yang diterima oleh unit pengolahan digunakan langsung untuk proses produksi. Unit pengolahan tersebut tidak memiliki tandon air untuk memisahkan air proses produksi dan air minum. Kran dan outlet distribusi air tidak diberi nomor seri. Hal tersebut menyebabkan penyimpangan mayor pada unit pengolahan. Unit pengolahan harus memiliki tandon khusus untuk menampung air yang digunakan dalam proses produksi serta memiliki sistem pembagian air yang jelas antara air untuk proses produksi, air minum serta air untuk keperluan lain (DKP 2007). Air yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Air untuk proses produksi

4.2.5 Es

Es yang digunakan oleh unit pengolahan berasal dari es yang dibeli dari pabrik es yang berada disekitar lokasi unit pengolahan. Es yang digunakan merupakan es curai yang berfungsi untuk mendinginkan bahan baku yang belum digunakan untuk proses produksi. Es digunakan untuk mendinginkan kelebihan bahan baku yang tidak

terpakai pada saat produksi. Pengawasan mutu air dan es tidak dilakukan oleh mereka disebabkan kurangnya pengetahuan pengolah dalam menerapkan standar keamanan air dan es. Terjadi penyimpangan mayor pada penanganan es yang digunakan sebagai pendingin bahan baku. Es yang tidak disimpan dengan baik dapat berpotensi menjadi sumber kontaminasi bagi bahan baku. Menurut DKP (2008) es curai berkualitas baik memberikan penyimpanan yang bersih, lembab, tidak berbahaya, dapat dipindahkan, tidak mahal, dan mencair pada tingkat tertentu. Es juga memainkan peran penting dalam mencegah dehidrasi ikan selama penyimpanan.

4.2.6 Garam

Garam terdiri dari 34,39% Na dan 60, 69% Cl, garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet, pada proses pembuatan pindang, garam sangat berperan sebagai pemberi rasa (DKP 2008). Pemberian garam pada proses perebusan pindang pada unit pengolahan pindang di UPT PHTPT Muara Angke sebesar 25% atau 6-7 kg dari total 25 kg bahan baku yang diolah. Foto garam yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Garam untuk proses pemindangan

Mutu garam yang digunakan pada proses pemindangan tidak diawasi dan disimpan dengan baik. Garam diletakkan di lantai tanpa adanya wadah untuk menjaga kualitas dan kebersihan garam yang digunakan. Hal ini menyebabkan garam mengalami penurunan mutu yang ditandai dengan kondisi garam yang lembab (basah). Terjadi penyimpanan minor pada proses penyimpanan garam ini, karena garam digunakan dalam proses produksi tidak disimpan pada tempat yang kering dan bersih.

4.2.7 Sanitasi permukaan yang kontak dengan produk

Permukaan yang kontak dengan produk antara lain keranjang, naya, alat perebusan, tangan pekerja dan rak penyimpanan. Peralatan tersebut dicuci dengan menggunakan air biasa tanpa penambahan disinfektan yang dianjurkan, sehingga terjadi penyimpangan kritis. Selain itu, tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk mengetahui cemaran atau kontaminasi pada peralatan yang digunakan. Menurut DKP (2007) pemukaan bahan yang kontak dengan produk di unit pengolahan harus terbuat dari bahan yang tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus sehingga mudah dibersihkan dan didesinfeksi.

4.2.8 Pencegahan kontaminasi silang

Peralatan dan perlengkapan di unit pengolahan ini belum ditata secara baik untuk mencegah kontaminasi dan menjamin kelancaran proses. Proses pembersihan peralatan kotor dilakukan diarea yang sama dengan ruang produksi. Selain itu, bagian penerimaan bahan baku, penyimpanan dan ruang produksi berada dalam ruang yang sama tanpa adanya dinding pembatas sehingga potensi terjadinya kontaminasi silang sangat besar. Peralatan yang digunakan pada tiap tahapan produksi tidak diberi tanda sehingga meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang. Penyimpangan tersebut berpotensi terjadinya penyimpangan kritis.

Kontruksi bangunan didesain tanpa memperhatikan upaya pencegahan perpindahan kontaminan dari area yang kotor ke area yang bersih. Sehingga, peralatan yang berasal dari bagian reciever berpotensi digunakan pada area produksi. Misalkan penggunaan keranjang yang sama dibagian reciever dan produksi. Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata sedemikian rupa sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin kelancaran pengolahan, mencegah kontaminasi silang dan mudah dibersihkan (DKP 2007).

4.2.9 Penanganan limbah

Limbah yang dihasilkan oleh unit pengolahan pindang berupa limbah padat yang berupa potongan kepala dan jeroan ikan tongkol. Limbah padat ini akan dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak sehingga tidak ada

perlakukan khusus untuk penanganan limbah padat. Wadah pembuangan limbah yang digunakan merupakan keranjang yang digunakan untuk menampung bahan baku ikan tongkol. Hal ini merupakan penyimpangan kritis yang dapat meningkatkan kontaminasi silang dari limbah padat ke bahan baku ikan tongkol yang digunakan. Selain itu, wadah yang digunakan tidak dicuci dengan menggunakan disinfektan yang menyebabkan akumulasi kontaminan pada wadah tersebut. Menurut DKP (2007) area pembuangan limbah terpisah, tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan tutup, tempat limbah dibersihkan dengan benar, limbah dipindahkan minimal sekali dalam sehari serta tempat penyimpanan limbah tidak berpotensi menyebabkan kontaminasi.

4.2.10 Higiene pekerja

Karyawan yang bekerja di pengolahan pindang ikan tongkol tidak menggunakan pakaian khusus bahkan tidak diberlakukan proses pergantian pakaian tiap tahapan pengolahan produksi. Selain itu, pakaian karyawan tidak dicuci oleh unit pengolahan. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis yang berpotensi menyebabkan kontaminasi silang yang berasal dari pakaian karyawan yang bekerja dibagian penerimaan bahan baku ke bagian produksi. Foto kondisi hygiene pekerja disajikan pada gambar 15.

Gambar 15 Karyawan yang bekerja di ruang pengolahan

Ruangan unit pengolahan pindang tidak terdapat tanda-tanda yang jelas untuk pelarangan merokok, makan, meludah dan lainnya, baik di ruang pengolahan maupun

di tempat penyimpanan. Karyawan tidak mendapatkan pelayanan pengecekan kesehatan yang dilakukan secara berkala. Selain itu, pada tiap tahapan produksi tidak ada instruksi khusus untuk melakukan cuci tangan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penyimpangan kritis yaitu terjadinya kontaminasi dari karyawan ke produk yang dihasilkan.

4.2.11 Sanitasi peralatan dan perlengkapan

Peralatan yang digunakan selama proses dibersihkan sesudah proses oleh para pekerja. Keranjang, baskom, dan peralatan yang lain dibersihkan dengan cara disikat menggunakan sabun, kemudian dibilas dengan air biasa dan ditiriskan. Peralatan-peralatan lain misalnya pisau yang terbuat dari stainlees steel dibersihkan dengan air biasa yang dilakukan sesudah proses. Potensi penyimpangan yang terjadi adalah penyimpangan minor. Proses pencucian seharusnya menggunakan air klorin untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari peralatan ke produk pindang yang dihasilkan. Air pencucian yang digunakan untuk mencuci peralatan mengandung maksimal 200 mg/l. Untuk peralatan yang memiliki sifat korosif pencucian dilakukan dengan menggunakan konsentrasi klorin yang rendah, yaitu sebesar 50-100 mg/l dalam waktu 10-20 menit selama digunakan (Huss et al. 2004).

Desain bangunan unit pengolahan pindang terbuka tanpa adanya pintu serta lantai yang terbuat dari tanah menghambat proses sanitasi pada saat pengolahan pindang. Selain itu, tempat pencucian peralatan yang berada dalam satu ruangan dengan ruang produksi dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang pada produk pindang.

4.2.12 Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet

Selama proses produksi pekerja tidak mencuci tangannya setiap akan melakukan proses produksi secara berkala. Pekerja melakukan cuci tangan hanya pada awal produksi dengan menggunakan air biasa tanpa penambahan disinfektan. Ruang pengolahan (proses) tidak dilengkapi dengan bak cuci tangan khusus. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis. Menurut Winarno dan Surono (2004) ruang pengolahan (proses) harus dilengkapi dengan bak cuci tangan

minimal satu untuk setiap 10 orang karyawan. Para pekerja wajib mencuci tangannya dengan air klorin 10 mg/l setiap 1 jam (Huss et al. 2004). Gambar 16 menunjukkan toilet pada ruang produksi.

Gambar 16 Toilet (kamar mandi) karyawan

Sarana toilet di unit pengolahan pindang letaknya terbuka langsung dengan ruang proses pengolahan karena terletak satu tempat dengan ruang produksi. Toilet karyawan yang berjumlah sekitar 10 orang. Menurut Winarno dan Surono (2004), untuk 50-100 karyawan harus disediakan minimal 3 buah toilet dan setiap penambahan 50 karyawan ditambahkan 1 toilet. Ini berarti unit pengolahan pindang minimal harus menyediakan 1 toilet untuk 10 orang pekerja. Secara umum kondisi toilet pabrik kotor, ini disebabkan oleh tidak dijaganya kebersihan toilet oleh petugas khusus seperti petugas pembersih. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan mayor.

4.2.13 Sanitasi pengendalian hama

Upaya pengawasan, pencegahan dan pembasmian hama tidak dilakukan oleh unit pengolahan pindang. Hal ini dibuktikan dengan ruangan yang terbuka dan pintu hanya terbuat dari bambu, tidak adanya lampu insect kill pada ruangan pengolahan serta tidak dilakukan proses pembasmian hama secara berkala. Selain itu, unit pengolahan tidak menerapkan prosedur pest control untuk mencegah adanya hama pengganggu. Pengendalian hama seperti hama tikus dapat diatasi dengan menggunakan perangkap tikus yang diletakkan di sekitar lokasi pengolahan. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis.

4.3 Mutu dan Keamanan Proses Pengolahan Pindang Ikan Tongkol

Dokumen terkait