• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODOLOGI

4.3. Mutu dan Keamanan Proses Pengolahan Pindang Ikan Tongkol

4.3.1. Penerimaan bahan baku

Penerimaan bahan baku ikan tongkol yang digunakan pada pengolahan ikan pindang telah menerapkan sistem FIFO (First In First Out), yaitu bahan baku yang datang lebih awal akan diproses terlebih dahulu, namun apabila bahan baku yang diperoleh melebihi kapasitas produksi maka dilakukan penyimpanan. Selama proses pengolahan bahan baku sudah ditangani dengan prinsip rantai dingin (cold chain),

namun tidak dalam kondisi yang saniter. Dalam penanganannya di lapang suhu ikan tongkol beku dipertahankan suhu pusatnya tetap sebesar <5 ˚C. Hal ini sangat berbeda dengan prosedur GMP (Good manufacturing Practices) yaitu dalam setiap tahap proses produksi suhu pusat tongkol dipertahankan sebesar <3 ˚C (Winarno dan Surono 2004). Jika melihat fakta di lapang maka hal ini sangat sulit diterapkan karena para pekerja yang kurang memperhatikan kondisi sanitasi tempat pengolahan. Selain itu, peran pemilik unit pengolahan sebagai pengawas pada setiap unit produksi belum cukup efektif untuk mengatasi masalah ini.

Bahan baku yang digunakan merupakan ikan tongkol dalam bentuk beku. Bahan baku yang akan diolah harus melalui proses thawing agar mempermudah proses pembuatan pindang tongkol. Prosedur penanganan bahan baku pada pengolahan pindang tradisional di UPT PHPT Muara Angke kurang memenuhi persyaratan seperti penanganan yang tidak hati-hati sehingga menyebabkan kerusakan fisik pada bahan baku yang akan diolah serta proses sortasi yang tidak spesifik (disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku). Menurut Junianto (2003) prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang baik antara lain penanganan bahan baku yang diterima dari bagian penerimaan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya kerusakan fisik pada bahan baku, kualitas serta size dari bahan baku yang diterima, serta sortasi dan penimbangan agar sesuai dengan spesifikasi. Bahan baku yang digunakan pada pengolahan ikan pindang ditunjukkan pada Gambar 17.

Bahan baku ikan tongkol yang digunakan pada pembuatan pindang dilakukan uji organoleptik, analisis mikrobiologi dan analisis kimia untuk menilai kualitas bahan baku yang digunakan. Produk pindang dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yang digunakan. Hasil uji organoleptik bahan baku tongkol yang digunakan pada pengolahan pindang disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Hasil uji organoleptik ikan tongkol pada tiap unit pengolahan pindang di UPT PHPT

Parameter uji organoleptik ikan tongkol yang digunakan sebagai bahan baku ikan pindang mencakup lapisan es, dehidrasi, diskolorisasi, penampakan, bau dan daging (SNI 2006). Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa pada parameter lapisan es nilai organoleptik ikan tongkol beku sebesar 6,5-6,78. Lapisan es pada ikan memiliki fungsi untuk mendinginkan ikan hingga ke suhu yang tepat di atas beku (0-2 °C) dan memperlambat proses pembusukan oleh aktivitas bakteri dan enzim (DKP 2008). Peningkatan suhu pada bahan baku akan menyebabkan proses pengrusakan mutu ikan tongkol baik secara kimia maupun secara mikrobiologis.

Dehidrasi merupakan suatu kondisi hilangnya kandungan air di dalam ikan, dapat mengakibatkan terjadinya freezer burn. Berdasarkan pada Gambar 1 nilai uji organoleptik dehidrasi berkisar sebesar 6,72-6,84. Dehidrasi mengakibatkan turunnya berat, sifat fisik produk berubah, dan jaringan menjadi kering dan keras

(Hui et. al, 2004). Pada produk berlemak, dehidrasi yang diikuti dengan terbukanya struktur jaringan dapat mempercepat proses oksidasi.  

Perubahan warna (diskolorisasi) merupakan proses penurunan mutu pada bahan baku hasil perikanan. Warna dadu atau merah pada kulit sebagian besar ikan memudar selama penyimpanan dingin atau beku yang disebabkan oleh oksidasi pigmen carotenoid. Berdasarkan pada Gambar 18 nilai diskolorisasi sebesar 6,78-6,83. Tingkat pudarnya warna kulit ikan bergantung pada ikan, ketersediaan oksigen, dan suhu ruang penyimpanan. Memudarnya warna carotenoid dapat terjadi karena (i) oksidasi ikatan ganda yang terkonjugasi, (ii) radikal bebas yang terlepas selama oksidasi lemak yang bergabung bersama carotenoid untuk membentuk lemak hidroperoksida, dan (iii) aktivitas enzim. Oksidasi mioglobin yang berwarna merah terang menjadi metmyoglobin yang berwana coklat dapat terjadi melalui jalur nonenzimatis dan enzimatis (DKP 2008).

Bau  pada  daging ikan merupakan salah satu parameter untuk menetukan kesegaran bahan baku ikan. Berdasarkan pada Gambar 18 nilai organoleptik untuk

bau sebesar 6,46-6,73. Spesies laut pada umumnya mengandung senyawa

trimethylamine oksida (TMAO) yang tidak berbau. Namun suatu reaksi mengubah senyawa tersebut menjadi TMA. Reaksi tersebut dicirikan dengan adanya bau seperti amonia, dalam kombinasi dengan senyawa lainnya dapat menimbulkan bau amis. Pengurangan bertahap pada TMAO dan peningkatan yang bersamaan pada TMA telah digunakan sebagai ukuran pembusukan secara kimia pada beberapa ikan laut dan secara organoleptik bau yang ditimbulkan digunakan sebagai ukuran kesegaran ikan (DKP 2008).

Tekstur (daging) merupakan parameter yang penting dalam mengukur mutu makanan berbahan daging termasuk ikan. Pada umumnya, ikan memiliki tekstur daging yang lebih lembut dari daging merah karena mengandung jaringan penghubung (connective tissue) yang rendah dan jaringan silang (cross-linking) yang lebih rendah. Hasil uji organoleptik tekstur (daging) ikan tongkol pada Gambar 18 sekitar 6,56. Perubahan tekstur daging ikan terjadi terutama karena berubahnya jaringan penghubung oleh protease endogen. Pelunakan dan pelembutan daging

dikaitkan dengan hilangnya piringan-piringan Z pada sel otot dengan terlepasnya α-actinin, pemisahan actomiosin kompleks, penghancuran dan denaturisasi total jaringan penghubung (DKP 2008).

Berdasarkan SNI 01-4110.1-2006, ikan beku (frozen) memiliki nilai organoleptik 7-9. Fase rigor mortis ikan tongkol memiliki nilai organoleptik sekitar 6-8. Ikan ini memiliki ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang (SNI 2006).

Fase post rigor ikan tongkol memiliki nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik untuk dimakan sebelum ikan tersebut busuk. Pada skala 1-9, nilai organoleptik 7 merupakan batas akhir dimana ikan dalam kondisi terbaik untuk dimakan (SNI 2006). Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Menurut SNI 01-4110.1-2006, nilai organoleptik 5-6 tergolog ikan yang agak segar (SNI 2006).

Parameter mutu bahan baku hasil perikanan selain uji organoleptik adalah analisis mikrobiologi dan kimia. Analisis mikrobiologi yang digunakan pada penelitian ini mencakup analisis TPC, E. coli, dan Salmonella. Parameter kimia yang diuji adalah TVBN, histamin, dan formalin. Hasil analisis mikrobiologi bahan baku ikan (TPC, E. coli, Salmonella) dan kimia (Histamin, TVBN, Formalin) disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis mikrobiologi dan kimia pada bahan baku ikan tongkol di pengolahan A, B, C, D

Parameter Mutu Satuan Jumlah

A B C D

a. Mikrobiologi

- TPC koloni/g 2,67 x 105 4,17 x 105 2,76 x 105 10,5 x 105

- Escherichia coli APM/g <2 <2 <2 <2

- Salmonella per 25 g Negatif Negatif Negatif Negatif

b. Kimia

- Histamin (mg/kg) 3,79 2,55 9,34 4,06

- TVBN (N-mg/100 gr) 8,14 5,02 9,97 8,01

Nilai TPC dapat dijadikan sebagai indikator keberadaan bakteri pembusuk pada ikan (Huss 1995). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam sampel. Nilai TPC disajikan dalam log TPC, yaitu jumlah bakteri secara logaritmik. Ikan yang masih hidup memiliki sistem kekebalan yang melindunginya dari pertumbuhan bakteri. Ketika ikan mati, sistem kekebalan berhenti bekerja sehingga bakteri mulai tumbuh pada ikan. Berbagai macam bakteri akan tumbuh pada ikan dan menurunkan mutu ikan hingga akhirnya ikan menjadi busuk dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

Berdasarkan Tabel 6 diperoleh data hasil analisis mikrobiologi bahan baku ikan tongkol untuk TPC pada tiap unit pengolahan (A, B, dan C) sebesar 2,67 x 105; 4,17 x 105; dan 2,67 x 105. Nilai TPC tersebut masih dibawah ambang batas yang masih diperbolehkan, sedangkan nilai TPC pada unit pengolahan D sebesar 10,5 x 105 melebihi ambang batas. Standar baku mutu TPC ikan beku sebesar 5 x 105 (SNI 2006).

Mikroba merupakan penyebab pembusukan pada ikan yang didinginkan. Oleh sebab itu, analisis mikrobiologi diperlukan untuk mengetahui kualitas serta keamanan pangan pada bahan baku ikan yang digunakan. Ada beberapa jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan pembusukan, namun salah satu mikroorganisme yang

menjadi perhatian utama adalah bakteri (DKP 2008). Sebagian besar bakteri biasanya terdapat pada lendir permukaan, pada insang, dan usus ikan yang masih hidup. Bakteri yang hidup pada bagian tubuh ikan serta mempengaruhi kualitas mutu ikan antara lain Escherichia coli dan Salmonella. Tabel 6 menunjukkan jumlah

Escherichia coli yang terdapat pada bahan baku ikan beku di setiap unit pengolahan

sebesar <2, jumlah ini sesuai dengan standar baku E. coli ikan beku yaitu sebesar <2 (SNI 2006). Pada setiap bahan baku ikan beku yang digunakan pada pengolahan ikan pindang tidak ditemukan Salmonella di dalamnya.

Salmonella merupakan bakteri pathogen yang dapat menyerang pencernaan

(gastrointestinal). Bakteri tersebut ditemukan disetiap tempat perairan ya g tercemar, misalnya kolam, daerah pantai dalam dalam tubuh ikan yang perairannya tercemar, walaupun dalam jumlah yang rendah (Mol et al. 2010)

Pengujian menggunakan metode TVB adalah salah satu indikator untuk menentukan tingkat kesegaran ikan (SNI 1998). Menurut Siagian (2002) senyawa volatile yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan antara lain TVBN (Total

Volatile Base Nitrogen), TVA (Total Volatile Acids), TVS (Total Volatile Substance)

dan TVN (Total Volatile Nitrogen). Berdasarkan Tabel 6 nilai TVBN ikan tongkol beku yang digunakan masing-masing unit pengolahan (A, B, C dan D) sebesar 8,14 N-mg/100 g, 5,02 N-mg/100 g, 9,97 N-mg/100 g dan 8,01 N-mg/100 g. Nilai TVBN ikan tongkol beku yang digunakan masih di bawah standar baku yang ditentukan oleh SNI yaitu sebesar 30 N-mg/100 gr. Oleh sebab itu, ikan tongkol beku yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pindang masih layak untuk dikonsumsi. Nilai TVB meningkat seiring dengan kemunduran mutu ikan. Kenaikan nilai TVB pada ikan selama kemunduran mutu berhubungan dengan autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri (Huss 1995).

Histamin adalah komponen yang menyebabkan keracunan scombroid, yaitu sejenis alergi yang diakibatkan karena memakan racun ikan yang sebagian besar adalah scrombroidea, yang terdapat dalam ikan-ikan: tuna, bonito, kingfish, dan mackerel. Kadar histamin dalam ikan penting untuk digunakan sebagai indikator tingkat kebusukan dan indikator terhadap substansi yang memenuhi syarat kesehatan

masyarakat (SNI 2006). Berdasarkan Tabel 6 kadar histamin pada ikan tongkol beku yang digunakan pada masing-masing unit pengolahan (A, B, C dan D) sebesar 3,79 mg/kg, 2,55 mg/kg, 9,34 mg/kg dan 4,06 mg/kg. Standar kadar histamin pada bahan baku yang aman dikonsumsi adalah kurang dari 100 mg/kg (SNI 2009). Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan menimbulkan efek yang tidak berbahaya bagi manusia, namun jika histamin yang dikonsumsi melebihi standar baku dapat bersifat toksik bagi manusia (Keer et al. 2002).

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 %. Formalin ini biasanya digunakan sebagai bahan baku industri lem,

playwood dan resin; disinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian;

germisida dan fungisida pada tanaman sayuran; serta pembasmi lalat dan serangga lainnya. Larutan dari formaldehida sering dipakai membalsem atau mematikan bakteri serta mengawetkan bangkai (Nuryasin 2006). Hasil uji formalin terhadap bahan baku ikan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kandungan formalin yang terdapat pada bahan baku ikan tongkol

Parameter Unit

Pengolah

Formalin

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5 Sampel 6 A

Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif B

Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif

C Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif

D

Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa beberapa sampel yang diuji masih mengandung formalin. Hasil pengamatan pada proses pembuatan pindang ikan tongkol tidak dilakukan penambahan formalin sebagai bahan pengawet, karena proses perebusan pada pembuatan pindang dapat mempertahankan mutu ikan pindang yang dihasilkan. Formalin yang ditemukan pada hasil analisis diduga berasal dari para nelayan yang menggunakan formalin untuk mengawetkan hasil tangkapannya selama di laut.

Formalin menurut Peraturan Menteri Kesehatan (MenKes) Nomor 1168/MenKes/PER/X/1999, merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang untuk produk makanan (Nuryasin 2006). Formalin jika termakan, dalam jangka pendek tidak menyebabkan keracunan, tetapi jika tertimbun di atas ambang batas dapat mengganggu kesehatan. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan haematomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu 3 jam (Winarno 1997).

Dokumen terkait