• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENERAPAN SIX SIGMA

Sigma adalah sebuah huruf dalam abjad Yunani yang digunakan untuk mendefinisikan variabilitas. Dalam konteks produksi, variabilitas adalah jumlah defect atau ketidaksempurnaan per unit produksi. Level kualitas sigma memberikan indikasi mengenai frekuensi kemungkinan ketidaksempurnaan. Semakin tinggi level kualitas sigma sebuah proses produksi, maka semakin kecil kemungkinan terjadi defect. Level kualitas tertinggi yang ditawarkan adalah level kualitas 6 (enam) sigma, yang sebanding dengan 3.4 ketidaksempurnaan per satu juta produk (Breyfogle, 2003).

Sebagai perbandingan, sebuah proses produksi yang berkualitas 99% bermakna bahwa dari satu juta produk terdapat 990.000 (99%) produk yang sesuai spesifikasi dan sisanya, yaitu 10.000 produk merupakan produk kurang sempurna atau tidak sesuai spesifikasi. Sedangkan, sesuai definisinya, bila digunakan level kualitas sigma, untuk level 6 sigma hanya terdapat maksimal 3.4 produk yang mengalami ketidaksempurnaan. Terdapat perbedaan yang sangat besar dalam hal jumlah produk yang sesuai spesifikasi. Karena itu tidak mengherankan bahwa metode ini, bila digunakan secara tepat dapat memberikan hasil yang luar biasa.

Tujuan penerapan metode Six Sigma terutama adalah untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan secara berbeda dari kebiasaan dalam rangka perbaikan proses, dengan menggunakan teknik-teknik statistik. Dengan kata lain, perbaikan proses hanya dapat dilakukan jika penentuan proyek Six Sigma dilakukan dengan berlandaskan pada tujuan utama tersebut.

Six Sigma dilaksanakan dalam tahapan DMAIC (Define-Measure- Analyze-Improve-Control). Dalam konteks metodologi, tahapan ini tidak berbeda banyak dengan tahapan yang disarankan dalam metode pengontrol kualitas lainnya, seperti Total Quality Managenent (TQM) atau Kaizen. Perbedaan antara Six Sigma dan metode lainnya terletak dalam implementasinya, dimana dalam Six

Sigma, agar dicapai tingkat keberhasilan yang tinggi, seluruh karyawan dituntut untuk berperan serta.

Untuk dapat diangkat dan diperbaiki melalui mekanisme sebuah proyek, suatu masalah harus didefinisikan terlebih dahulu dan diukur sebagai dasar perbaikan. Pengukuran dilakukan menggunakan alat bantu statistik untuk menentukan sebaik apa proses yang terjadi dan berapa banyak defect yang dihasilkan. Kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui mengapa terjadi defect dan menentukan faktor penyebab utama defect. Perbaikan dilakukan dengan menghilangkan defect semaksimal mungkin, dan selanjutnya dilakukan tahap pengontrolan untuk memastikan defect tidak terjadi lagi.

Peran serta karyawan diwujudkan dalam bentuk keterlibatan mereka dalam proyek Six Sigma. Setiap karyawan dituntut untuk menyelesaikan minimal satu proyek Six Sigma setiap tahun. Perusahaan kemudian harus membuat metrik pengukur perbaikan yang sudah terjadi, serta untuk mengukur perkembangan proyek-proyek Six Sigma. Keterlibatan dalam Six Sigma juga sebaiknya dimasukkan dalam sistem kompensasi dan sistem promosi karyawan.

Pekerja yang terlibat dalam proyek Six Sigma dibedakan dalam beberapa tingkatan. Untuk menyebutkan tingkatan ini, Six Sigma mengadopsi istilah yang umum digunakan dalam ilmu bela diri, yaitu warna sabuk (belt). Tingkat keterlibatan terendah adalah sabuk hijau (green belt). Green Belt adalah setiap pekerja yang telah menyelesaikan pelatihan DMAIC Six Sigma dan menyelesaikan sekurang-kurangnya satu proyek dalam waktu satu tahun. Green Belt adalah pekerja ”paruh waktu” dalam Six Sigma, dalam arti mereka berkewajiban melakukan proyek Six Sigma sambil menyelesaikan tugas rutinnya. Apabila Black Belt memiliki proyek yang secara kontekstual berkaitan dengan tanggung jawab pekerjaan Green Belt, maka Green Belt tersebut dapat ikut terlibat dalam proyek tersebut. Green Belt juga berkewajiban untuk mempelajari metode Six Sigma sesuai dengan penerapannya dalam sebuah proyek. Selain itu, Green Belt juga harus terus mempelajari dan menyempurnakan kemampuan

mereka setelah setiap proyek diselesaikan. Dalam perusahaan yang telah menerapkan Six Sigma secara terintegrasi, setiap karyawannya adalah Green Belt.

Setingkat diatas Green Belt adalah Black Belt. Peran Black Belt disini adalah sebagai ”mentor” atau pelatih dalam pelaksanaan proyek, yaitu memimpin dan mengarahkan jalannya proyek. Black Belt berkewajiban untuk mengidentifikasi halangan-halangan yang mungkin timbul selama pelaksanaan proyek. Black Belt memiliki pengaruh yang besar dalam proyek, namun demikian, Black Belt tidak diberi otoritas langsung dalam pengambilan keputusan. Pengaruh besar tersebut dirasakan karena Black Belt memiliki kewenangan untuk meminta input dari setiap lini, mulai dari operator yang berpengalaman, supervisor, hingga pemimpin grup kerja bilamana diperlukan serta melaporkan kemajuan proyek ke setiap level manajerial yang berkepentingan. Black Belt memiliki kewajiban untuk memutuskan alat yang paling tepat untuk digunakan, memperhitungkan resiko yang mungkin ada, dan memastikan hasil proyek didukung oleh setiap lini.

Setingkat di atas Black Belt, dalam Six Sigma dikenal peran MasterBlack Belt. Perannya disini adalah untuk membantu identifikasi proyek dan melatih serta mendukung kerja Black Belt. Dalam proyek berskala besar, Master Black Belt akan mengambil alih kepemimpinan dan tanggung jawab dari Black Belt. Apabila sebuah proyek tertentu sudah diselesaikan, Master Black Belt berkewajiban untuk memeriksa laporan proyek dan menyediakan masukan yang bersifat teknis. Kewajiban lainnya adalah mengembangkan dan memberikan pelatihan Six Sigma untuk berbagai level dalam perusahaan. Karena itu seorang Master Black Belt dituntut untuk mengerti gambaran besar atau ide dan tujuan serta visi misi perusahaannya. Kondisi penerapan Six Sigma dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Penerapan Six Sigma di PT GOODYEAR INDONESIA, Tbk.

Rendah 22 62,9

Tinggi 13 37,1

Total 35 100

Dari Tabel 4 tersebut, terlihat bahwa ada 22 atau sebesar 62,9%, karyawan PT GOODYEAR INDONESIA yang terlibat dengan proyek Six Sigma sebagai Green Belt menilai bahwa penerapan Six Sigma di PT GOODYEAR INDONESIA masih rendah. Dari 35 orang Green Belt yang ada, hanya 13 orang yang menilai bahwa penerapan Six Sigma di Goodyear sudah tepat, atau hanya 37,1%.

PT GOODYEAR INDONESIA mulai menerapkan Six Sigma di beberapa bagian perusahaan pada tahun 2003. Karena relatif baru diterapkan, metode ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah Green Belt (35) dan Black Belt (5) yang ada di perusahaan, serta belum adanya serorang Master Black Belt. Menurut Breyfogle (2003), jumlah ideal Black Belt adalah 2% dari jumlah total pekerja, dan Black Belt tersebut bekerja secara penuh untuk pelaksanaan Six Sigma. Dalam hal ini, jumlah Black Belt yang ideal bagi Goodyear adalah 2% dari 883 orang, yaitu lebih kurang 17 orang. Untuk tingkat Green Belt, jumlah Green Belt yang ideal adalah keseluruhan dari jumlah pekerja setiap bagian. Keterlibatan Green Belt dalam Six Sigma adalah secara Part time, dalam hal ini Green Belt mengerjakan proyek Six Sigma sebagai bagian atau tambahan terhadap tugas rutin atau hariannya.

Faktor lain yang menentukan keberhasilan atau kesuksesan pelaksanaan Six Sigma adalah keberadaan pimpinan yang berkomimen terhadap Six Sigma, penggunaan orang-orang dengan kemampuan tertinggi untuk melaksanakan proyek dan terlibat dalam kegiatan Six Sigma, serta adanya infrastruktur yang mendukung. Kondisi yang ditemui di PT GOODYEAR INDONESIA, Tbk. adalah adanya pimpinan yang sangat mendukung terhadap pelaksanaan Six Sigma, tetapi belum cukup berkomitmen untuk terlibat secara langsung. Faktor lain yang ditemui, yang pada kenyataannya cukup menghambat pelaksanaan Six

Sigma secara maksimal adalah bahwa untuk proyek Six Sigma, terutama di level Black Belt, orang-orang yang terlibat merupakan orang yang tersedia, bukan orang yang secara umum dinilai top talent.

Respon organisasi terhadap penerapan Six Sigma sangat beragam. Dalam perusahaan-perusahaan seperti General Electric, Motorola dan jaringan hotel Sheraton, perusahaan sukses menerapkan Six Sigma secara tepat, dan dengan demikian sukses melakukan perubahan dan penghematan serta perbaikan proses. Namun demikian, tidak semua jenis organisasi dapat menghasilkan hasil yang sama. Beberapa masalah yang umumnya terjadi disebabkan oleh penggunaan data yang terbatas sehingga tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Selain itu, hasil proyek umumnya dilaporkan tanpa pemahaman mendalam mengenai latar belakang permasalahannya, sehingga hasil yag diperoleh merupakan hasil yang terdistorsi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kesulitan penerapan Six Sigma lebih banyak ditentukan oleh kesiapan level manajemen atas dan menengah untuk melakukan perbaikan dan perubahan.

Sebagai perbandingan, perusahaan General Electric membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun untuk dapat menerapkan Six Sigma secara penuh. Dalam jangka waktu tersebut GE mulai membuat proyek-proyek Six Sigma pada level manajemen tingkat teratas. Wawancara yang dilakukan menyatakan bahwa penerapan Six Sigma yang paling berhasil adalah jika dilakukan secara top down, atau dimulai pada level manajemen teratas untuk kemudian diteruskan sampai level terbawah. Level manajemen puncak merupakan pihak yang paling tergerak oleh metode ini. Dengan demikian, proyek-proyek Six Sigma yang dihasilkan oleh level manajemen teratas tersebut berfungsi sebagai ”umbrella projects” atau payung dari proyek-proyek yang akan dilakukan oleh anggota tim mereka.

Setiap pegawai di GE merupakan Green Belt, dan untuk setiap unit usaha terdapat struktur organisasi Six Sigma tersendiri yang bekerja penuh waktu. Struktur ini terdiri dari Master Black Belt dan Black Belt yang bekerja penuh waktu untuk Six Sigma. Seorang Black Belt atau Master Black Belt memerlukan waktu 2-4 tahun untuk dapat mencapai posisinya, dan sebagai promosi dari

struktur ini, mereka akan menuju ke level eksekutif perusahaan. GE menerapkan kebijakan bahwa setidaknya 80% dari eksekutif puncak merupakan Black Belt atau Master Black Belt. Dengan demikian, di GE Six Sigma dapat diterapkan secara berkelanjutan, terintegrasi dengan budaya kerja perusahaan dan menjadi bagian dari sistem promosi pekerja.

Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa penerapan Six Sigma di PT GOODYEAR INDONESIA, Tbk masih memerlukan perbaikan. Perbaikan yang penting antara lain adalah penambahan jumlah Green Belt dan Black Belt yang ada, penambahan pelatihan bagi Green Belt dan Black Belt, dan integrasi mekanisme proyek dengan sistem promosi. Dalam kaitannya dengan perbaikan motivasi karyawan, perbaikan penerapan metode Six Sigma akan berpengaruh terhadap meningkatnya motivasi karyawan. Peningkatan ini karena dengan perbaikan penerapan Six Sigma, karyawan akan berupaya untuk memenuhi kebutuhannya untuk mewujudkan diri. Tentunya, sebelumnya perusahaan harus terlebih dahulu mengubah model perilaku organisasi yang ada, menjadi model perilaku organisasi suportif yang lebih cocok untuk landasan penerapan metode Six Sigma. Keseluruhan perbaikan tersebut harus berjalan secara simultan dan seimbang.

Dokumen terkait