• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.3. Penerimaan Pemerintah Daerah

Menurut Halim (2007) pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan daerah. Berdasarkan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat

pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pengelolaan anggaran adalah suatu tindakan penyeimbangan berbagai kebutuhan. Kebutuhan di bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan di sektor publik tersebut pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerahnya sendiri. Sehingga dengan otonomi daerah pemerintah daerah akan semakin mampu mencukupi kebutuhan pembangunannya.

Dengan berlakunya Undang-Undang otonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari APBN.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Undang-undang tersebut merupakan perubahan atau perbaikan atas Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997.

2.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber penerimaan keuangan daerah yang digali dari potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Sumber- sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut terdiri dari: (1) Hasil pajak daerah; (2)

Hasil retribusi daerah; (3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah; serta (4) Pendapatan asli daerah lain-lain yang sah (UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 79).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Elmi, 2002).

2.3.1.1 Pajak Daerah

Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh wajib yang membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan (Siahaan, 2006).

Pajak daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 terbagi menjadi dua, yaitu pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota. Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi propinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan. Sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2.3, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ditetapkan sebelas jenis pajak daerah, yaitu empat jenis pajak propinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota.

Tabel 2.3 Jenis Pajak Daerah dan Tarifnya

Pajak Propinsi Tarif

(%)

Pajak Kabupaten/Kota Tarif

(%)

1. Pajak kendaraan bermotor dan

kendaraan diatas air

2. Bea balik nama kendaraan

bermotor dan kendaraan diatas air

3. Pajak bahan bakar kendaraan

bermotor

4. Pajak pengambilan dan

pemanfaatan air di bawah tanah dan air permukaan

5 10 5 20 1. Pajak hotel 2. Pajak restoran 3. Pajak hiburan 4. Pajak reklame

5. Pajak penerangan jalan

6. Pajak pengambilan bahan

galian golongan C 7. Pajak parkir 10 10 35 25 10 20 20 Sumber : Siahaan (2006) 2.3.1.2 Retribusi Daerah

Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar jasa retribusi yang menikmati balas jasa dari negara (Siahaan, 2006).

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi retribusi yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Menurut Siahaan (2006) retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Jasa yang dimaksud adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh pribadi atau badan.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tidak banyak mengubah ketentuan tentang retribusi daerah dalam UU Nomor 18 Tahun 1997. Retribusi ditetapkan ke

dalam tiga golongan, yaitu retribusi umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan tertentu (Siahaan, 2006).

2.3.1.3 Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang potensial untuk dikembangkan. Menurut Elmi (2002) perusahaan daerah seperti perusahaan air bersih (PDAM), bank pembangunan daerah (BPD), hotel, bioskop, percetakan, perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.

2.3.1.4 Pendapatan Asli Daerah Lainnya Yang Sah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, yang termasuk pendapatan asli daerah lainnya yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih terikat. Dengan penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan daerah.

2.3.2 Dana Alokasi Umum

Dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Upaya kearah ini dapat menciptakan independensi pemerintah daerah di bidang keuangan, di samping mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat (Halim, 2007).

Menurut Sidik et al. (2002), Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Penggunaan dana alokasi umum ditetapkan oleh daerah, termasuk di dalam pengertian pemerataan kemampuan keuangan daerah adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan satu kesatuan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penggunaan dana alokasi umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD, harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan. Menurut Sidik et al. (2002) penetapan besarnya DAU masing-masing kabupaten dan kota ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 2000. DAU yang berperan sebagai equalization grant, menetralkan dampak yang ditimbulkan oleh transfer lain seperti bagi hasil sumberdaya alam dan bagi hasil pajak. Tolok ukur keberhasilan DAU adalah tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya.

Terkait dengan perhitungan DAU dimana DAU digunakan sebagai instrumen perimbangan keuangan antar daerah dengan konsep yang dipakai adalah kesenjangan fiskal (fiscal gap). Secara konsep, DAU digunakan untuk menutup kesenjangan yang terjadi karena kebutuhan daerah ternyata lebih besar dari potensi daerah (kapasitas fiskal). Dengan demikian, daerah-daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah-daerah yang miskin (kapasitas fiskal rendah) (Zainie dalam Haris, 2005).

Menurut Hamid (2003) terdapat tiga model atau formula transfer dengan berbagai variannya untuk memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah daerah. Formula transfer tersebut adalah : (1) formula yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan fiskal daerah. Dana yang dialokasikan oleh pusat ke daerah didasarkan atas kebutuhan masing-masing daerah, yang dihitung dengan menggunakan berbagai variabel, seperti jumlah penduduk, pendapatan per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk miskin dan sebagainya, (2) formula yang didasarkan pada kemampuan anggaran daerah atau atas dasar kapasitas fiskalnya. Pendekatan ini mendasarkan pada kemampuan daerah dalam menghimpun pajak lokal dan sumbangan daerah dalam penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat, dan (3) formula yang didasarkan baik pada kebutuhan fiskal maupun kapasitas fiskal. Nilai transfer yang diberikan berdasarkan selisih positif dari kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskalnya, yang disebut kesenjangan fiskal.

Menurut Sidik et al. (2002) salah satu kriteria umum yang digunakan sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer DAU yaitu adanya keadilan (equity) dimana besarnya dana transfer pusat ke daerah ini seyogyanya berhubungan positif

dengan kebutuhan fiskal daerah dan sebaliknya berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.

Dokumen terkait