• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pengaruh tingkat kemandirian fiskal terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pengaruh tingkat kemandirian fiskal terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI. Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDANI).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat diharapkan mampu menggali secara optimal sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah akan menciptakan kemandirian fiskal bagi kabupaten/kota. Dengan terciptanya kemandirian fiskal diharapkan pembangunan daerah dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pemerintah daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah dapat dilihat dari pembangunan manusianya karena manusia merupakan pelaku sekaligus tujuan utama dari pembangunan daerah. Pemerintah kabupaten/kota yang mandiri akan mampu membiayai pembangunan daerah sehingga akan menciptakan pembangunan manusia. Tingkat keberhasilan pembangunan manusia sebagai tujuan dari pembangunan daerah dapat terlihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Keberagaman potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antar daerah menyebabkan setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat memiliki kemampuan yang berbeda dalam mewujudkan kemandirian fiskal. Dengan demikian terdapat perbedaan dalam kemampuan kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan daerahnya, sehingga perkembangan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat juga berbeda antar daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan perkembangan pencapaian IPM antar daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat, serta melihat perbedaan keberhasilan pembangunan kabupaten dan perkotaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga menganalisis hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan IPM di Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan data IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006.

Analisis dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat perkembangan pencapaian IPM dan komponen penyusunnya serta tingkat kemandirian fiskal yang dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006. Analisis kuantitatif dengan metode panel data dilakukan untuk melihat hubungan antara PAD dengan DAU, hubungan antara PAD dengan IPM, serta hubungan antara komponen PAD dengan IPM.

(3)

menengah tinggi, dan pencapaian daerah perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah kabupaten.

Tingkat kemandirian fiskal daerah yang dilihat dari angka PAD menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki tingkat kemandirian yang lebih baik jika dibandingkan daerah kabupaten. Secara keseluruhan tingkat kemandirian daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat tergolong dalam kategori sangat kurang dan kurang.

(4)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Septian Bagus Pambudi Nomor Registrasi Pokok : H 14104070

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si NIP. 131 878 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Septian Bagus Pambudi lahir pada tangal 19 September 1986 di Malang, sebuah kota yang berada di Propinsi Jawa Timur. Penulis adalah anak terakhir dari lima bersaudara, dari pasangan Poernomo dan Sulis Rahayu.

Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 03 Sumber Pucung, Kabupaten Malang pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 04 Kepanjen, Kabupaten Malang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Kepanjen, Kabupaten Malang.

Pada tahun 2004 penulis meninggalkan Kota Malang untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu, keahlian dan pengembangan dalam pola pikir, sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi lingkungan dimana penulis tinggal dan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan daerah dimana penulis berasal. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah Jehova

Jireh atas segala berkat, kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul ”Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat” ini menganalisis tentang pengaruh tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah dimasa otonomi daerah dengan tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat dan dukungan baik moril maupun materiil selama ini.

2. Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sabar sehingga dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.

3. Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc selaku pembimbing akademik atas kesabaran dalam membimbing penulis selama penulis menjadi mahasiswa.

6. Prof. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Sc yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

7. Mbak-mbakku dan mas-masku yang selalu memberikan perhatian dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian hingga penulisan ini.

(9)

9. Teman-teman penulis Ateris, Deni, Anwar, Saiful, Andika, Ageje, Maya, dan Prianto, terima kasih atas kebersamaan selama ini. Teman satu bimbingan Annisa, selalu semangat dan kepada seluruh teman-teman IE 41.

10. The last but not the least, terima kasih untuk Adreng Kusuma Ayuningtyas atas

dukungan, semangat, dan kasih sayang selama ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2008

Septian Bagus Pambudi H 14104070

(10)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN …….. 8

2.1. Konsep Pembangunan Manusia ……… 8

2.2. Indeks Pembangunan Manusia ……….. 11

2.3. Penerimaan Pemerintah Daerah ……….……... 17

2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ………... 18

2.4. Konsep Kemandirian Fiskal ……….. 24

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ……….. 26

2.6. Kerangka Pemikiran ……….. 28

2.7. Hipotesis Penelitian ………... 31

III. METODOLOGI PENELITIAN ………….……….. 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ………..…. 33

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ……….. 33

(11)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(12)

RINGKASAN

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI. Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDANI).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat diharapkan mampu menggali secara optimal sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah akan menciptakan kemandirian fiskal bagi kabupaten/kota. Dengan terciptanya kemandirian fiskal diharapkan pembangunan daerah dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pemerintah daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah dapat dilihat dari pembangunan manusianya karena manusia merupakan pelaku sekaligus tujuan utama dari pembangunan daerah. Pemerintah kabupaten/kota yang mandiri akan mampu membiayai pembangunan daerah sehingga akan menciptakan pembangunan manusia. Tingkat keberhasilan pembangunan manusia sebagai tujuan dari pembangunan daerah dapat terlihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Keberagaman potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antar daerah menyebabkan setiap kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat memiliki kemampuan yang berbeda dalam mewujudkan kemandirian fiskal. Dengan demikian terdapat perbedaan dalam kemampuan kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan daerahnya, sehingga perkembangan IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat juga berbeda antar daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan perkembangan pencapaian IPM antar daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat, serta melihat perbedaan keberhasilan pembangunan kabupaten dan perkotaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga menganalisis hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan IPM di Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan data IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006.

Analisis dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat perkembangan pencapaian IPM dan komponen penyusunnya serta tingkat kemandirian fiskal yang dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat selama tahun 2002 hingga tahun 2006. Analisis kuantitatif dengan metode panel data dilakukan untuk melihat hubungan antara PAD dengan DAU, hubungan antara PAD dengan IPM, serta hubungan antara komponen PAD dengan IPM.

(13)

menengah tinggi, dan pencapaian daerah perkotaan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah kabupaten.

Tingkat kemandirian fiskal daerah yang dilihat dari angka PAD menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki tingkat kemandirian yang lebih baik jika dibandingkan daerah kabupaten. Secara keseluruhan tingkat kemandirian daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat tergolong dalam kategori sangat kurang dan kurang.

(14)

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL

TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

OLEH

SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Septian Bagus Pambudi Nomor Registrasi Pokok : H 14104070

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si NIP. 131 878 941

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872

(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Septian Bagus Pambudi lahir pada tangal 19 September 1986 di Malang, sebuah kota yang berada di Propinsi Jawa Timur. Penulis adalah anak terakhir dari lima bersaudara, dari pasangan Poernomo dan Sulis Rahayu.

Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 03 Sumber Pucung, Kabupaten Malang pada tahun 1998. Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 04 Kepanjen, Kabupaten Malang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Kepanjen, Kabupaten Malang.

Pada tahun 2004 penulis meninggalkan Kota Malang untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu, keahlian dan pengembangan dalam pola pikir, sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi lingkungan dimana penulis tinggal dan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan daerah dimana penulis berasal. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Allah Jehova

Jireh atas segala berkat, kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul ”Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat” ini menganalisis tentang pengaruh tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah dimasa otonomi daerah dengan tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat dan dukungan baik moril maupun materiil selama ini.

2. Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sabar sehingga dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.

3. Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc selaku pembimbing akademik atas kesabaran dalam membimbing penulis selama penulis menjadi mahasiswa.

6. Prof. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M.Sc yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

7. Mbak-mbakku dan mas-masku yang selalu memberikan perhatian dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian hingga penulisan ini.

(19)

9. Teman-teman penulis Ateris, Deni, Anwar, Saiful, Andika, Ageje, Maya, dan Prianto, terima kasih atas kebersamaan selama ini. Teman satu bimbingan Annisa, selalu semangat dan kepada seluruh teman-teman IE 41.

10. The last but not the least, terima kasih untuk Adreng Kusuma Ayuningtyas atas

dukungan, semangat, dan kasih sayang selama ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2008

Septian Bagus Pambudi H 14104070

(20)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN …….. 8

2.1. Konsep Pembangunan Manusia ……… 8

2.2. Indeks Pembangunan Manusia ……….. 11

2.3. Penerimaan Pemerintah Daerah ……….……... 17

2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ………... 18

2.4. Konsep Kemandirian Fiskal ……….. 24

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu ……….. 26

2.6. Kerangka Pemikiran ……….. 28

2.7. Hipotesis Penelitian ………... 31

III. METODOLOGI PENELITIAN ………….……….. 33

3.1. Jenis dan Sumber Data ………..…. 33

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ……….. 33

(21)

IV. GAMBARAN UMUM ……… 47

4.1. Letak Geografis ………. 48

4.2. Keadaan Topografi dan Iklim ……… 48

4.3. Populasi Penduduk ………. 49

4.4. Sosial Budaya ……….………... 50

4.5. Perekonomian Jawa Barat ………. 51

4.6. Pembangunan Manusia di Jawa Barat ……… 53

4.7. Tingkat Kemandirian Fiskal Propinsi Jawa Barat ………. 57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 60

5.1. Perkembangan Komponen - Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat ………… 60

5.3. Perkembangan Tingkat Kemandirian Fiskal Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Barat ………...……….. 78

(22)
(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 2.1. Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP) .. 15 2.2. Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM ... 16 2.3. Jenis Pajak dan Tarifnya ... 19 2.4. Kualifikasi Kemampuan Keuangan Daerah ... 26 3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ... 43 4.1. PDRB Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

2002 – 2005 (Triliun Rupiah) ... 52 4.2. Perkembangan Komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Propinsi Jawa Barat ... 53 4.3. Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa

Barat……… 58

5.1. Angka Harapan Hidup Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002-2006 ………... 61

5.2. Angka Melek Huruf Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

2002-2006 ………... 64

5.3. Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002-2006 ………... 66

5.4. Kemampuan Daya Beli Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002-2006 ………... 69

5.5. Kategori Keberhasilan Pencapaian IPM Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat tahun 2002 hingga tahun 2006 ………. 72 5.6. Hasil Estimasi Panel Data dengan Model Efek Tetap dengan

Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section

Covariance ………. 75

5.7. Kualifikasi Tingkat Kemandirian Fiskal Kabupaten / Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002 hingga Tahun 2006……… 81

5.8. Hasil Estimasi Panel Data dengan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section

Covariance ………. 85

5.9. Hasil Estimasi Panel Data dengan Model Efek Acak tanpa Pembobotan

(Cross Section Weights) dan White Cross Section

(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1. Gambaran Umum Indeks Pembangunan Manusia ... 13 2.2. Kerangka Pemikiran Hubungan Antara Indeks Pembangunan Manusia

dengan Tingkat Kemandirian Fiskal ... 30 4.1. Performance Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Barat

Tahun 2003 – 2006 ... 56 5.1. Performance Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten dan Kota di

Propinsi Jawa Barat Tahun 2002-2006 ……….. 71 5.2. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan

Daerah (PAD/TPD) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

Barat Tahun 2002-2006 ……….……..……….. 10 101 2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002-2006 ………..…..……... 102 3 Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002-2006 ………... 103 4 Pajak Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

2002 – 2006 ………….………..………. 104

5 Retribusi Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

2002 – 2006 ……….…..…… 105

6 Bagi Hasil Usaha Milik Daerah (BHUMD) Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ...………... 106 7 Pendapatan Asli Daerah Lainnya yang Sah Kabupaten/Kota di

Propinsi Jawa Barat Tahun 2002–2006 ………. 107 8 Persentase PAD Terhadap TPD Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002 – 2006 ……….……..……… 108

9 Hasil Estimasi PAD Terhadap DAU Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

Barat Tahun 2002 – 2006 ………..…. 109 10 Hasil Pengujian Hausman Test PAD terhadap DAU Kabupaten/Kota

di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ………... 111 11 Hasil Estimasi PAD terhadap IPM Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2002 – 2006 ……….……..………... 112 12 Hasil Pengujian Hausman Test PAD terhadap IPM Kabupaten/Kota

di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ………..…. 114 13 Hasil Estimasi Komponen PAD terhadap IPM Kabupaten/Kota di Propinsi

Jawa Barat Tahun 2002 – 2006 ….………..……… 115 14 Hasil Pengujian Hausman Test Komponen PAD terhadap IPM

Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 – 2006…………. 117 15 Peta Perkembangan Angka Melek Huruf Kabupaten dan Kota di Propinsi

(26)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang membuat keadaan di masa yang akan datang menjadi lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang. Perubahan yang diharapkan berupa peningkatan kualitas hidup masyarakat yang berada di daerah tersebut, sehingga dapat diartikan bahwa pembangunan adalah sarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Sejak tahun 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terkait dengan dilaksanakannya secara efektif otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Kedua Undang-Undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan dan mengelola segala potensi daerah dan pemberdayaan sumber daya setempat sesuai dengan kepentingan masyarakat.

(27)

pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu:

1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. 2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.

3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Implikasi dari kewenangan otonomi daerah menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (public service). Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Dengan demikian maka daerah mengurangi ketergantungannya akan bantuan dari pusat serta menghasilkan pendapatan daerah sendiri yang mampu mencukupi kebutuhan dan pembangunannya sendiri.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah kabupaten/kota diharapkan mampu menggali secara optimal sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah akan menciptakan kemandirian fiskal bagi daerah kabupaten/kota. Dengan terciptanya kemandirian fiskal daerah maka pemerintah daerah akan mampu membiayai pembangunan daerahnya sesuai dengan tujuan daerah tanpa melibatkan kepentingan pusat atau campur tangan pemerintah pusat dalam proses pembangunan di daerah.

(28)

vertikal antar pusat dan daerah serta hubungan horizontal antar daerah. Pandangan itu sesungguhnya sejalan dengan arah kewenangan yang mencakup seluruh bidang pemerintahan dalam rangka otonomi daerah (Gozali et al., 2001).

Tujuan lain dari pelaksanaan otonomi daerah adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu dan mendorong prakarsa dan kemampuan daerah sehingga daerah menjadi lebih mandiri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan manusia, terutama kabupaten/kota sebagai motor pelaksana kebijakan tersebut. Dengan demikian daerah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pembangunan manusia yang tercermin dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meningkat.

Paradigma pembangunan menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan peningkatan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). Konsep pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi (Bapeda Jawa Barat, 2007).

(29)

Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang penting di Indonesia karena memiliki jumlah penduduk yang terbesar. Jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 42,4 juta jiwa atau 18 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia, dengan laju pertumbuhan sebesar 1,99 persen Propinsi Jawa Barat memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang potensial untuk terus diberdayakan. Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Propinsi Jawa Barat untuk melaksanakan pembangunan daerah secara lebih mandiri. Melalui Perda Nomor 1 Tahun 2001, IPM telah dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan Propinsi Jawa Barat. Oleh sebab itu, penting untuk dilakukan penelitian bagaimanakah hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan indeks pembangunan manusia (IPM) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

(30)

daerah yang kaya akan sumber daya alam justru akan semakin mendorong terciptanya tingkat kemandirian fiskal. Beragamnya sumber daya alam dan sumber daya manusia menyebabkan ketimpangan pembangunan antar daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

Beragamnya ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di Propinsi Jawa Barat menyebabkan kemampuan antar kabupaten/kota dalam membiayai pembangunannya juga beragam. Keberagaman kemampuan pembiayaan pembangunan menyebabkan tingkat kemandirian fiskal antar daerah yang juga beragam, hal ini akan menyebabkan keberagaman dan ketimpangan pula dalam menghasilkan performance

pembangunan manusia sebagai sasaran akhir pembangunan daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

Perbedaan kemampuan untuk mewujudkan tingkat kemandirian fiskal dan keberhasilan pembangunan manusia yang beragam antar daerah di Propinsi Jawa Barat menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dari tahun 2002 hingga 2006? Apakah terdapat perbedaan perkembangan IPM antara daerah kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat?

2. Bagaimanakah perkembangan tingkat kemandirian fiskalnya? Bagaimanakah perbedaannya antara daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Barat?

(31)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian analisis hubungan antara tingkat kemandirian fiskal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat pada masa otonomi daerah antara lain adalah:

1. Menganalisis perkembangan Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

2. Menganalisis perkembangan tingkat kemandirian fiskalnya.

3. Menganalisis pengaruh tingkat kemandirian fiskal terhadap IPM kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan dilaksanakan penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain adalah:

1. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang gambaran keuangan daerah tingkat kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat.

2. Memberikan masukan bagi Pemerintah Jawa Barat sebagai referensi dalam pengambilan langkah-langkah kebijakan pembangunan daerah untuk mewujudkan pencapaian visi Jawa Barat mencapai IPM 80 di tahun 2010.

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Konsep Pembangunan Manusia

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2006), dewasa ini pemikiran tentang pembangunan (paradigma) telah mengalami pergeseran, yaitu dari pembangunan yang berorientasi pada produksi (production centered development) pada dekade 60-an ke paradigma pembangunan yang lebih menekankan pada distribusi hasil-hasil pembangunan (distribution growth development) selama dekade 70-an. Selanjutnya pada dekade 80-an, muncul paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (basic need development), dan akhirnya menuju paradigma pembangunan yang terpusat pada manusia (human centered

development) yang muncul pada tahun 1990-an.

Ada enam alasan mengapa paradigma pembangunan manusia ini bernilai penting, yaitu: (1) Pembangunan bertujuan akhir meningkatkan harkat dan martabat manusia; (2) Mengemban misi pemberantasan kemiskinan; (3) Mendorong peningkatan produktivitas secara maksimal dan meningkatkan kontrol atas barang dan jasa; (4) Memelihara konservasi alam (lingkungan) dan menjaga keseimbangan ekosistem; (5) Memperkuat basis civil society dan institusi politik guna mengembangkan demokrasi; dan (6) Merawat stabilitas sosial politik yang kondusif bagi implementasi pembangunan (Basu dalam Hamudy, 2008)

(33)

menjadi landasan kokoh bagi terwujudnya manusia-manusia unggulan sebagai modal utama terbentuknya daya saing nasional dalam menghadapi persaingan internasional.

Menurut Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhamnas) (1997), secara umum hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. Hakikat pembangunan ini mengandung makna bahwa pembangunan nasional mengejar keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pembangunan nasional yang berkesinambungan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa, sehingga senantiasa mampu mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan hidup lahir dan batin

Menurut BPS (2006) pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan peningkatan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi).

(34)

Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian dan pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan (capability) manusia tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan manusia tersebut secara optimal. Pembangunan manusia menjadi dasar penentuan tujuan pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya.

(35)

Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat seperti pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Pambangunan manusia juga mencakup isu penting lainnya yaitu jender. Dengan demikian pembangunan manusia tidak hanya memperhatikann sektor sosial tetapi merupakan pendekatan komprehensif dari semua sektor (BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004).

Pembangunan manusia ditujukan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Keberhasilan pembangunan dewasa ini seringkali dilihat dari pencapaian kualitas sumber daya manusianya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas SDM di wilayahnya, baik dari aspek fisik (kesehatan), aspek intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (berdaya beli), serta aspek moralitas (iman dan ketaqwaan) sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan akan dengan sendirinya meningkat (BPS kota Cimahi, 2004).

2.2 Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar pembangunan manusia, yaitu : lama hidup, yang diukur dengan angka harapan ketika lahir; penddidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan standar hidup yang diukur dengan konsumsi per kapita. Nilai indeks ini berkisar antara 0-100.

(36)

usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi) dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/ PPP, penghasilan). Indeks tersebut bukanlah suatu ukuran yang menyeluruh tentang pembangunan manusia. Sebagai contoh, IPM tidak menyertakan indikator-indikator penting seperti misalnya ketidaksetaraan dan sulit mengukur indikator-indikator seperti penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan politik. Indeks ini memberikan sudut pandang yang lebih luas untuk menilai kemajuan manusia serta meninjau hubungan yang rumit antara penghasilan dan kesejahteraan.

Indikator Indeks Pembangunan Manusia merupakan salah satu indikator untuk mengukur taraf kualitas fisik dan non fisik penduduk . Kualitas fisik; tercermin dari angka harapan hidup; sedangkan kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat yang tercermin dari nilai purcashing power parity

index (PPP) (BPS, 2007).

IPM mengukur pencapaian keseluruhan dari satu daerah/negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan status standar hidup yang layak. Ketiganya diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan dan pengeluaran per kapita.

(37)

kesehatan, perwujudannya adalah umur panjang dan sehat dengan indikator yaitu angka harapan hidup saat lahir (Siregar dalam Hidayat, 2008).

DIMENSI Umur panjang

dan sehat Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP (2004)

Gambar 2.1 Gambaran Umum Indeks Pembangunan Manusia

Angka Harapan Hidup ketika lahir merupakan suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk yang dilahirkan pada tahun tersebut (BPS, 2006). Angka Harapan Hidup ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur indikator kesehatan. Semakin tinggi Angka Harapan Hidup (AHH) suatu masyarakat mengindikasikan tingginya derajat kesehatan masyarakat tersebut.

(38)

dapat disebabkan oleh kurangnya fasilitas pendidikan dan biaya pendidikan yang mahal dan terkait dengan kemiskinan.

Kemampuan Daya Beli Penduduk atau Purchasing Power Parity (PPP) merupakan suatu indikator yang digunakan untuk melihat kondisi ekonomi masyarakat dalam menghitung IPM. Kemampuan daya beli ini lebih mencerminkan kemampuan masyarakat secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, dan sangat jauh berbeda dengan PDRB per kapita atau yang dikenal dengan income per capita. Untuk mengukur standar hidup layak, data PDRB per kapita tidak dapat digunakan karena bukan ukuran yang peka untuk kemampuan daya beli penduduk. Oleh sebab itu, penghitungan daya beli penduduk menggunakan konsumsi per kapita yang kemudian disesuaikan.

Sumber data yang digunakan meliputi jumlah pengeluran per kapita baik konsumsi makanan maupun non makanan. Komoditi yang digunakan dalam perhitungan paritas daya beli (PPP) terdapat 27 komoditi yang terdiri dari konsumsi makanan dan konsumsi non makanan. Komoditi-komoditi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)

No Komoditi Unit

7 Daging ayam kampung Kg

8 Telur ayam Butir

9 Susu kental manis 397 gram

(39)

16 Kelapa Butir

17 Gula pasir Ons

18 Kopi bubuk Ons

19 Garam Ons

20 Merica/lada Ons

21 Mie instan 80 gram

22 Rokok kretek/filter 10 batang

23 Listrik Kwh

IPM mencoba untuk memberikan peringkat semua negara dari skala 0 (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 100 (tingkat pembangunan manusia yang paling tinggi). Hal ini dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan suatu daerah atau negara. BPS memberikan pemeringkatan dalam empat kriteria, dimana IPM tergolong kategori rendah jika nilai IPM<50, IPM tergolong kategori menengah rendah jika nilai IPM antara 50-65, jika nilai IPM antara 66-80 maka tergolong kriteria menengah tinggi, nilai IPM tergolong tinggi jika diatas 80.

Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

Indikator IPM Nilai

Maksimum per Kapita Riil yang

Disesuaikan

Catatan:

a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018.

(40)

Sumber: BPS, BAPPENAS, UNDP (2004)

Secara teknis, IPM dapat dirumuskan sebagai berikut (BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004):

IPM = ( indeks X1 + indeks X2 + indeks X3) (2.1)

X2 = X12 + X22 (2.2)

dimana :

X1 = indeks lamanya hidup (tahun) X2 = indeks tingkat pendidikan

X3 = indeks pengeluaran riil per kapita (Rp 000) X12 = rata-rata lama bersekolah (tahun)

X22 = angka melek huruf (persen)

Perhitungan indeks dari masing-masing indikator tersebut adalah : X (ij) + X (i-min)

Indeks X(ij) = (2.3)

X (i-max) + X (i-min)

dimana :

X (ij) = indikator ke-i dari daerah j X (i-min) = nilai minimum dari Xi X (i-max) = nilai maximum dari Xi

2.3 Penerimaan Pemerintah Daerah

(41)

pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output dengan menggunakan konsep nilai uang (value for money) serta prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).

Pengelolaan anggaran adalah suatu tindakan penyeimbangan berbagai kebutuhan. Kebutuhan di bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan di sektor publik tersebut pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerahnya sendiri. Sehingga dengan otonomi daerah pemerintah daerah akan semakin mampu mencukupi kebutuhan pembangunannya.

Dengan berlakunya Undang-Undang otonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari APBN.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. undang tersebut merupakan perubahan atau perbaikan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

2.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

(42)

Hasil retribusi daerah; (3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah; serta (4) Pendapatan asli daerah lain-lain yang sah (UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 79).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan baik yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Elmi, 2002).

2.3.1.1 Pajak Daerah

Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh wajib yang membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan (Siahaan, 2006).

(43)

Tabel 2.3 Jenis Pajak Daerah dan Tarifnya

Pajak Propinsi Tarif

(%)

Pajak Kabupaten/Kota Tarif

(%)

1. Pajak kendaraan bermotor dan

kendaraan diatas air

2. Bea balik nama kendaraan

bermotor dan kendaraan diatas air

3. Pajak bahan bakar kendaraan

bermotor

4. Pajak pengambilan dan

pemanfaatan air di bawah tanah dan air permukaan

6. Pajak pengambilan bahan

galian golongan C

Sumber : Siahaan (2006)

2.3.1.2 Retribusi Daerah

Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar jasa retribusi yang menikmati balas jasa dari negara (Siahaan, 2006).

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi retribusi yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Menurut Siahaan (2006) retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Jasa yang dimaksud adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh pribadi atau badan.

(44)

dalam tiga golongan, yaitu retribusi umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan tertentu (Siahaan, 2006).

2.3.1.3 Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang potensial untuk dikembangkan. Menurut Elmi (2002) perusahaan daerah seperti perusahaan air bersih (PDAM), bank pembangunan daerah (BPD), hotel, bioskop, percetakan, perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.

2.3.1.4 Pendapatan Asli Daerah Lainnya Yang Sah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 6, yang termasuk pendapatan asli daerah lainnya yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

(45)

2.3.2 Dana Alokasi Umum

Dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Upaya kearah ini dapat menciptakan independensi pemerintah daerah di bidang keuangan, di samping mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat (Halim, 2007).

(46)

Terkait dengan perhitungan DAU dimana DAU digunakan sebagai instrumen perimbangan keuangan antar daerah dengan konsep yang dipakai adalah kesenjangan fiskal (fiscal gap). Secara konsep, DAU digunakan untuk menutup kesenjangan yang terjadi karena kebutuhan daerah ternyata lebih besar dari potensi daerah (kapasitas fiskal). Dengan demikian, daerah-daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah-daerah yang miskin (kapasitas fiskal rendah) (Zainie dalam Haris, 2005).

Menurut Hamid (2003) terdapat tiga model atau formula transfer dengan berbagai variannya untuk memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah daerah. Formula transfer tersebut adalah : (1) formula yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan fiskal daerah. Dana yang dialokasikan oleh pusat ke daerah didasarkan atas kebutuhan masing-masing daerah, yang dihitung dengan menggunakan berbagai variabel, seperti jumlah penduduk, pendapatan per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk miskin dan sebagainya, (2) formula yang didasarkan pada kemampuan anggaran daerah atau atas dasar kapasitas fiskalnya. Pendekatan ini mendasarkan pada kemampuan daerah dalam menghimpun pajak lokal dan sumbangan daerah dalam penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat, dan (3) formula yang didasarkan baik pada kebutuhan fiskal maupun kapasitas fiskal. Nilai transfer yang diberikan berdasarkan selisih positif dari kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskalnya, yang disebut kesenjangan fiskal.

(47)

dengan kebutuhan fiskal daerah dan sebaliknya berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.

2.4 Konsep Kemandirian Fiskal

Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang yang dilakukan untuk mencapai aspek pertumbuhan wilayah (efficiency), pemerataan (equity) dan berkelanjutan (sustainability) yang lebih berdimensi lokal dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi menempatkan pemerintah daerah sebagai partner pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal ini tentunya harus didukung dengan keuangan daerah yang memadai, dimana daerah mampu memenuhi kebutuhan pembangunan daerahnya sendiri sehingga daerah dapat dikatakan mandiri.

Menurut Kartasasmita dalam Triastuti (2005), mengatakan bahwa kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan yaitu hakikat dari setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tujuan pelaksanaan otonomi salah satunya memberikan peluang bagi kemandirian daerah untuk mengelola keuangannya sendiri melalui pelimpahan kewenangan dalam bentuk desentralisasi fiskal. Kemandirian fiskal menjadi hal yang sangat penting bagi daerah, terutama terkait dengan sumbangan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.

Menurut Halim (2007), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah:

(48)

menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.

2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.

Semakin baik kinerja keuangan suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan pembangunan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah tersebut. Dengan kata lain menurut Zaenudin (2008), keberhasilan pengembangan otonomi daerah dapat dilihat dari derajat otonomi fiskal daerah, yaitu perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total penerimaan daerah (TPD).

(49)

Tabel 2.4 Kualifikasi Kemampuan Keuangan Daerah

Skala Persentase PAD thdp TPD Kualifikasi

1 0,00 % - 10,00 % Sangat Kurang

2 10,01 % - 20,00 % Kurang

3 20,01 % - 30,00 % Sedang

4 30,01 % - 40,00 % Cukup

5 40,01 % - 50,00 % Baik

6 > 50,00 % Sangat Baik

Sumber: Tim Fisipol UGM & Balitbang Depdagri dalam Triastuti (2005)

2.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian Aisyah (2004) mengenai Keterkaitan antara Indikator Pembangunan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia dalam Perekonomian Indonesia, analisis antar wilayah menghasilkan kesimpulan bahwa daerah yang kaya sumber daya alam dan daerah kantong-kantong industri, perdagangan dan jasa memiliki nilai PDRB per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki kelebihan ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa daerah yang kaya atau daerah dengan pembangunan ekonomi tinggi ternyata indeks pembangunan manusianya cenderung sama dengan daerah lain yang pembangunan ekonominya sedang. Hubungan pembangunan ekonomi dan indikator-indikator indeks pembangunan manusia tahun 1996 dan 1999 semua mempunyai nilai yang positif dan signifikan pada taraf 10 persen, sedangkan hubungan antara pembangunan ekonomi tahun 2001 dan indikator-indikator indeks pembangunan manusia tahun 2002 mempunyai nilai yang positif tetapi tidak signifikan pada taraf 10 persen.

(50)

yang antara lain terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan BUMD, namun muncul permasalahan baru apakah diluar struktur PAD terdapat variabel yang juga mempengaruhi tingkat kemandirian. Sebagai proxy dari kemandirian daerah digunakan variabel kapasitas fiskal daerah sedangkan variabel independen yang digunakan adalah pajak daerah, retribusi daerah, PDRB jasa dan Bagi Hasil daerah. Dari hasil olah data dengan menggunakan metode path analysis di dapatkan hasil bahwa variabel Pajak Daerah (PD) dan Bagi Hasil Pajak (BHP) memiliki hubungan signifikan terhadap Kapasitas Fiskal Daerah. Sementara itu varabel Retribusi Daerah dan PDRB jasa tidak terbukti mempengaruhi Kapasitas Fiskal Daerah secara signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Landiyanto (2005) tentang Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota Di Era Otonomi Daerah: Studi kasus Kota Surabaya menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan oleh belum optimalnya penerimaan dari PAD Kota Surabaya. Oleh Karena itu, Pemerintah Kota Surabaya perlu meningkatkan penerimaan sumber daya dan penerimaan Kota Surabaya agar lebih dapat menyokong PAD.

(51)

Penelitian yang dilakukan oleh Yunitasari (2007) yang berjudul Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dengan Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa variabel PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan, kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pembangunan manusia, sedangkan variabel Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ) berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia tetapi tidak signifikan. Kemudian kemiskinan dan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap pembangunan manusia.

2.6 Kerangka Pemikiran

Pembentukan daerah otonom didasarkan atas berbagai pertimbangan, yaitu kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (Ghozali et al., 2001).

Jawa Barat merupakan propinsi dengan wilayah administratif yang terdiri dari pemerintah daerah otonom kabupaten dan kota. Masing-masing kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat memiliki modal pembangunan berupa potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang beragam. Hal ini akan mengakibatkan pada beragamnya pembangunan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat karena sejak pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001 daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan di daerah masing-masing secara lebih otonom dan mandiri.

(52)

pelaksanaan pembangunan. Hal ini menuntut kepada setiap daerah untuk dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerah sebagai sumber penerimaan dan pembiayaan daerah disamping dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Prinsip pemberian dana alokasi umum adalah untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah, dengan demikian pemberian dana alokasi umum tergantung dengan kapasitas fiskal daerah yang terlihat dari pendapatan asli daerah. Tingkat kemandirian suatu daerah dapat diukur dari kemampuan pendapatan asli daerah dalam membiayai pembangunan daerahnya. Jika suatu daerah semakin mandiri maka dengan pendapatan asli daerah akan semakin mampu membiayai pembangunan daerahnya sendiri, sehingga dana alokasi umum kepada daerah tersebut akan semakin kecil.

(53)

Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

Daerah Otonom

16 Kabupaten dan 9 Kota di Jawa Barat

Pembangunan Daerah

(54)

Kinerja pemerintah daerah yang baik akan mampu menghasilkan daerah yang mandiri dalam pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan daerah. Kemandirian daerah akan tercapai melalui optimalisasi dan perluasan pajak daerah, retribusi daerah, laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Daerah yang mandiri akan mampu melaksanakan pembangunan daerah dengan baik sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat yang meningkat dapat dilihat dari angka harapan hidup yang semakin tinggi, angka melek huruf yang semakin baik, rata-rata lama sekolah yang semakin tinggi dan paritas daya beli yang meningkat. Kemandirian daerah dalam mewujudkan pembangunan daerah akan menghasilkan IPM yang semakin baik.

2.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pernyataan dan latar belakang seperti diatas, maka disusunlah hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai hubungan yang negatif dengan Dana

Alokasi Umum (DAU). Semakin tinggi PAD maka pemberian DAU dari pusat akan

semakin rendah.

2. PAD mempengaruhi dan mempunyai hubungan positif dengan Indeks Pembangunan

Manusia (IPM).

3. Komponen-komponen PAD yaitu pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik

daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah mempengaruhi dan mempunyai

hubungan yang positif terhadap IPM. Semakin besar komponen PAD maka akan

memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pendanaan pembangunan sehingga

(55)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: (1) Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 16 kabupaten dan 6 kota di Jawa Barat, terdiri dari: sisi penerimaan yang meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu pajak, retribusi, laba badan usaha milik daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah, Dana Perimbangan yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU); (2) Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), terdiri dari: Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Paritas Daya Beli (PPP) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Jakarta dan BPS Jawa Barat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal-jurnal, fasilitas internet, dan bahan literatur lainnya untuk melengkapi data-data yang diperlukan.

3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pengolahan data yang digunakan untuk menganalisis seluruh analisis dalam penelitian ini menggunakan program software

Microsoft Excel 2003 dan E-views 4.1. Hasil pengolahan data disajikan pada bagian

(56)

3.2.1 Metode Deskriptif

Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pembangunan manusia (IPM) dan tingkat kemandirian fiskal Propinsi Jawa Barat. Analisis deskriptif dilakukan dengan membaca tabel dan grafik untuk melihat kecenderungan dari perkembangan data-data komponen atau variabel yang digunakan dalam penelitian ini.

3.2.2 Analisis Panel Data

Menurut Gujarati (1978), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data

cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu

sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section.

Kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel adalah: 1. Dapat mengendalikan keheterogenan individu atau unit cross section.

(57)

3. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series.

4. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioural models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section atau time series. 5. Panel data lebih baik untuk studi dynamic of adjustment.

Untuk menganalisis tingkat kemandirian daerah serta hubungan antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan tingkat kemandirian fiskal dilakukan secara kuantitatif. Data yang digunakan adalah data panel atau pooled data (pooling cross

section-time series regression). Unit cross section yang digunakan adalah 16 kabupaten

dan 6 kota. Unit time series yang digunakan yaitu 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006. Estimasi model yang menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed

effect) dan metode efek random (random effect).

3.2.2.1 Metode Pooled Least Square

Metode kuadrat terkecil biasa diterapkan dalam data yang berbentuk pool merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan berikut ini:

Yit = α + βj xjit + it untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T (3.1)

dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross

section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai

(58)

Yit = α + βj xjit + it untuk i = 1, 2, ..., N (3.2)

Yang akan berimplikasi diperoleh sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan dapat memeperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi dengan α dan β konstan sehingga akan diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi. Akan tetapi dengan demikian tidak dapat melihat perbedaan antar individu maupun antar waktu.

3.2.2.2 Model Efek Tetap (Fixed Effect)

Masalah terbesar dalam pendekatan metode pooled least square adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan adalah dengan memasukan variabel boneka (dummy variable) untuk menghasilkan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun antar waktu.

Secara umum, pendekatan fixed effect dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:

Yit = αi + βj xjit + eit (3.3)

dimana:

Yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i αi = intersep yang berubah-ubah antar cross section unit βj = parameter untuk variabel ke j

(59)

Dengan menggunakan pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT-N-K. keputusan memasukkan variabel boneka ini harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Tidak dapat kita pungkiri, dengan melakukan penambahan variabel boneka ini akan dapat mempengaruhi banyaknya degree of freedom yang akhirnya akan mempengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi.

Pada model fixed effect, estimasi dapat dilakukan tanpa pembobot (no weighted) atau Least Square Dummy Variabel (LSDV) dan dengan pembobotan (cross section

weight) atau General Least Square (GLS). Tujuan dilakukannya pembobotan adalah

untuk mengurangi heterogenitas antar unit cross section (Gujarati, 1978).

3.2.2.3 Metode Efek Random

Keputusan untuk memasukkan variabel boneka dalam model efek tetap memiliki konsekuensi berkurangnya degree of freedom yang akhirnya dapat mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Oleh karena itu, dalam model data panel dikenal pendekatan yang ketiga yaitu model efek acak.

Model ini dapat dijelaskan melalui persamaan berikut:

Yit = αit + βj xjit + uit (3.4) dimana αit diasumsikan sebagai variabel random dari rata-rata nilai intersep (αi)

Nilai intersep untuk masing-masing individu dapat dituliskan:

αit = αi + it i = 1, 2, ..., N (3.5)

dimana αi adalah rata-rata intersep, it adalah random error (yang tidak bisa diamati) yang mengukur perbedaan karakteristik masing-masing individu.

Bentuk model efek acak ini kemudian dapat ditulis dengan rumus:

(60)

Yit = αit + βj xjit + ωit (3.7) dimana: ωit = it + uit

Bentuk ωit terdiri dari dua komponen error term yaitu i sebagai komponen cross section dan uit yang merupakan gabungan dari komponen time series error dan komponen error kombinasi.

Bentuk model efek acak akhirnya dapat ditulis dengan rumus:

Yit = αit + βj xjit + ωit dengan (3.8) ωit = i + vt + wit

dimana: i ~ N (0, <) = komponen cross section error vi ~ N (0, v<) = komponen time series error wi ~ N (0, <) = komponen error kombinasi

asumsinya adalah bahwa error secara individual tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya.

Dengan menggunakan model efek acak, maka dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan oleh model efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter akan menjadi semakin efisien.

3.2.3 Uji Kesesuaian Model

Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari ketiga metode pada teknik estimasi model dengan data panel digunakan Chow Test dan Hausman Test. Chow Test

digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yang diperoleh dari pooled

least square dengan model yang diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya

(61)

3.3.3.1 Chow Test

Chow Test dimana beberapa buku menyebutnya sebagai pengujian F-statistik

adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square

atau Fixed Effect. Sebagaimana yang diketahui bahwa terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut :

H0 : Model Pooled Least Square

H1 : Model Fixed Effect

Dasar penolakan terhadap hipotesa nol (H0) adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow :

(ESS1-ESS2) / (N-1)

CHOW = (3.9)

(ESS2) / (NTNK) dimana :

ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect

ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan pooled least square N = Jumlah data cross section

T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas

Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas (N-1,

(62)

disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter (stability test).

3.3.3.2 Hausman Test

Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Seperti yang diketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade-off

yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.

Husman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut : H0 : Model Random Effect

H1 : Model Fixed Effect

Sebagai dasar penolakan hipotesa nol maka digunakan Statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan :

m = (β – b)(M0 – M1)-1 (β – b) ~ χ2 (K) (3.10)

Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect model dan M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effectmodel. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ2 – Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu pula sebaliknya.

 

(63)

3.2.4 Evaluasi Model

Untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, maka perlu dievaluasi berdasarkan kriteria ekonomi apakah hasil estimasi terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas dan autokorelasi. Selain itu juga perlu dilihat seberapa baik model dalam mengestimasi dengan melihat dari koefisien determinasi.

3.3.4.1 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi berfungsi untuk menunjukkan seberapa baik model yang diperoleh bersesuaian dengan data aktual (goodness of fit), mengukur berapa presentase variasi dalam peubah terikat mampu dijelaskan oleh informasi peubah bebas. Kisaran nilai koefisien determinasi adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Model dikatakan semakin baik apabila nilai R2 mendekati 1 atau 100 persen.

3.3.4.2 Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah hubungan linier yang kuat antara variabel-variabel bebas dalam persamaan regresi berganda. Gejala multikolinearitas ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai dengan teori (Gujarati, 1978). Multikolinearitas dalam pooled data dapat diatasi dengan pemberian pembobotan

(cross section weight) atau GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu

Gambar

Gambar 2.1 Gambaran Umum Indeks Pembangunan Manusia
Tabel 2.1  Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)
Tabel 2.2  Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
Tabel 2.3  Jenis Pajak Daerah dan Tarifnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat studi kasus, yaitu studi kasus instrinsik dengan melibatkan tiga orang penderita kanker yang sedang menjalani

Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour Mills (PT.ISMBFM) dengan berdirinya pabrik tepung terigu pada tahun 1972 di Tanjung Priok dan tahun 1974 di Surabaya, perusahaan ini terus

Bagi kebanyakan pasien kanker, hasil akhir yang mereka inginkan dari. pengobatan yang akan dijalani adalah

PLN (PERSERO) yang bergerak dalam Perusahan Listrik Negara, yang menyuplai tenaga listrik hampir ke seluruh wilayah Indonesia merasa dituntut untuk memberikan kualitas listrik,

yang akan diuji yaitu produk hotel syariah (X) dan keputusan tamu menginap (Y). Tabel 3.1 merupakan operasionalisasi variabel dalam penelitian ini. Tabel 3.1 Operasional Variabel..

Bagi Peserta Ujian Sertifikasi KKPI, untuk mengikuti ujian berdasarkan kelompok Ujian. Cirebon, 23 Februari 2017 STMIK

(2) Setelah semua anggota KPPS, saksi dan pemilih dari TPS lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selesai memberikan suaranya, Ketua KPPS mengumumkan kepada yang hadir di TPS

Pada hari ini, Senin, tanggal tiga, bulan September, tahun dua ribu dua belas, Kami selaku Panitia Pengadaan Barang / Jasa telah mengadakan Pemberian Penjelasan