• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk mengetahui kondisi dan tingkat keberlanjutan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat di lahan dataran tinggi pada saat ini, dilakukan analisis

Farming (Rapfarm). Analisis ordinasi Rapfarm dengan metode MDS dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan yaitu: (1) tahap penentuan atribut sistem usahatani lahan dataran tinggi yang mencakup 5 dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi, (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (scoring) berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, (3) Tahap analisis ordinasi rapfarm dengan metode MDS yang menggunakan software rapfarm-excell untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma, (4) penyusunan indeks dan status keberlanjutan sistem usahatani saat ini berdasarkan 5 dimensi yang menjadi indikator keberlanjutannya, (5) melakukan analisis sensitivitas (Leverage analysis) untuk mengetahui atribut atau peubah yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan sistem dan (6) melakukan analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian.

Pemilihan 5 dimensi sebagai indikator keberlanjutan dianggap telah dapat mewakili indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan berkelanjutan serta mengikuti konsep yang dikemukakan oleh FAO (2000) dan Chen et al., (2000). Pada setiap dimensi terdiri atas 10 atribut yang masing-masing diberikan penilaian/skor yang mencerminkan keberlanjutan. Skor ini menunjukkan nilai dalam kisaran baik (good) dan buruk (bad). Selanjutnya setiap atribut dalam dimensi ditetapkan skornya sesuai dengan skala tersebut. Nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan bagi sistem usahatani saat ini, sedangkan nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan. Berdasarkan skor tersebut kemudian dilakukan analisis menggunakan ordinasi statistik yang disebut Multi Dimentional Scalling (MDS). Jika nilai indeks lebih dari 50% maka sistem yang dikaji tersebut dapat dikategorikan berkelanjutan (sustainable) dan bila indeks kurang dari 50% maka sistem yang dikaji dianggap belum berkelanjutan.

Analisis sensitivitas (leverage) dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat atribut mana yang dominan atau sensitif mempengaruhi keberlanjutan sistem dibandingkan dengan atribut lainnya. Untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak (random error) terhadap seluruh dimensi pada proses pendugaan nilai ordinasi digunakan analisis Monte Carlo dengan metode scatter plot (Fauzi dan Anna, 2005). Tabel 3.2. berikut ini menunjukkan atribut-atribut yang diberikan skor dari setiap dimensi yang telah ditetapkan sebagai indikator keberlanjutan. Sedangkan secara lengkap tahapan analisis keberlanjutan dari penelitian ini disajikan seperti pada Gambar 3.4.

Tabel 3.2. Atribut yang Diberikan Skor Untuk Setiap Dimensi

No Dimensi Atribut

I Ekologi 1. Persentase luas hutan

2. Penggunaan pupuk kimia per hektar

3. Kelas Kemampuan lahan

4. Kedalaman solum tanah

5. Curah hujan per tahun (mm)

6. Proporsi tanaman semusim

7. Konversi lahan konservasi

8. Produktivitas lahan

9. Tindakan konservasi yang telah dilakukan

10. Ketersediaan sumber bahan organik

II Ekonomi 1. Pendapatan rata-rata

2. Efisiensi ekonomi

3. Produksi lahan

4. Harga faktor produksi

5. Harga jual hasil panen

6. Luas lahan garapan

7. Jumlah pinjaman

8. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

9. Pemanfaatan pinjaman

10. Ketersediaan panar

III Sosial Budaya 1. Status kepemilikan lahan

2. Jumlah penduduk

3. Persentase desa tanpa akses jalan yang memadai

4. Pendidikan forrmal

5. Jumlah rumah tangga pertanian

6. Intensitas konflik

7. Intensitas mengikuti penyuluhan/pelatihan

8. Angka kecukupan gizi

9. Ketersediaan dana sosial

10. Alokasi pendapatan untuk pangan

IV Kelembagaan 1. Perkembangan kelompok tani

2. Perkembangan kelompok wanita tani

3. Kelompok usaha pertanian

4. Ketersediaan Lembaga keuangan mikro

5. Jumlah petugas penyuluh lapangan

6. Jumlah pendamping profesional

7. Intensitas pertemuan dalam kelompok

8. Tabungan kelompok

9. Konflik antar lembaga

10. Ketersediaan Lembaga pemasaran

V Teknologi 1. Teknik pengolahan tanah

2. Teknik Konservasi

3. Intensitas pemakaian pestisida

4. Klasifikasi mutu produk

5. Penanganan pasca panen

6. Konservasi vegetasi

7. Teknik pemupukan

8. Penggunaan mulsa

9. Penambahan pupuk organik

Gambar 3.4. Tahapan Analisis Keberlanjutan Sistem Usahatani Saat ini

3.5. Variabel-Variabel Dominan Untuk Struktur Model Ecofarming

Sesuai dengan pendekatan sistem, maka terdapat beberapa tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini sebelum menetapkan variabel dominan, yaitu (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi masalah, dan (3) identifikasi sistem. Analisis kebutuhan dilakukan terhadap hasil kuesioner dan wawancara dengan stakeholders yang menjadiresponden dalam penelitian ini.

Keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda dari masing-masing stakeholders diyakini akan menimbulkan pertentangan yang berpengaruh terhadap mekanisme sistem sesungguhnya. Oleh karena itu pada saat dilakukan formulasi model ecofarming, dilakukan berdasarkan hasil perumusan masalah yang dihadapi dan kemudian ditransformasi ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem yang sesungguhnya. Sebelum dilakukan pemodelan, terlebih dahulu dilakukan penetapan variabel-variabel dominan yang mempengaruhi sistem. Formulasi model ecofarming dibangun dengan cara menghubungkan variabel- variabel yang telah ditetapkan sebelumnya, dalam bentuk hubungan kontekstual antar variabel menggunakan bahasa simbolis. Tabel 3.3 berikut ini, menunjukkan hasil analisis kebutuhan dari stakeholders yang terdapat di wilayah penelitian.

Mulai

Review Atribut Identifikasi sistem dan

pendefinisian

Skoring (reference point untuk good, bad dan anchor)

MDS (untuk setiap atribut)

Simulasi Monte Carlo (Analisis Ketidakpastian)

Simulasi Leverage (Analisis Sensitivitas)

Tabel 3.3 Stakeholders dan Kebutuhannya

Stakeholders Kebutuhan

Petani • Pendapatan usahatani meningkat

• Input produksi tersedia dengan harga terjangkau

• Tersedia pinjaman modal dengan bunga rendah

• Kesejahteraan meningkat

• Usahatani berkelanjutan

Penjual/Pedagang antara • Kualitas produksi bagus

• Produk tersedia sepanjang waktu

• Harga pasar tinggi

• Tidak ada tambahan pungutan/biaya

Konsumen/Ibu rumah tangga • Harga terjangkau

• Mudah diperoleh di pasar terdekat

• Berkualitas

Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)

• Diseminasi informasi terbaru

• Target produksi

• Perhatian pemerintah daerah

• Pertanian berkelanjutan

Masyarakat (pemuda, tokoh masyarakat)

• Kualitas lingkungan terjaga

• Kesejahteraan meningkat

• Pangan murah dan mudah diperoleh

Pemerintah (Desa, Kecamatan) • Target program daerah/wilayah tercapai

• Kepentingan pencapaian program pangan nasional

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

• Mudah untuk melakukan kontrol lingkungan

• Keterbukaan akses kerjasama dengan pemerintah

dan masyarakat

Untuk menetapkan variabel dominan, dilakukan analisis sistem usahatani lahan dataran tinggi yang terdapat di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko dipisahkan berdasarkan 5 sub sistem yaitu : analisis sub sistem LEISA, analisis sub sistem pengelolaan lahan berkelanjutan, analisis agribisnis-pemasaran, analisis kekuatan modal sosial dan analisis kebijakan publik yang mendukung ecofarming.

3.5.1. Sub Model LEISA (Low External Input for Sustainable Agriculture)

Sub model LEISA dibuat dengan tujuan untuk menemukan kombinasi input produksi yang memenuhi kriteria ramah lingkungan, efektif meningkatkan produksi (minimal mempertahankan produktivitas) dan didominasi oleh input yang berasal dari ekosistem setempat. Model ini juga menjadi solusi untuk mencegah terjadinya kontaminasi senyawa kimia dari pupuk dan pestisida pada produk, tanah dan air. Selanjutnya akan dibangun model dinamisnya dengan Powersim dan Visual Basic..

Sumber data dan informasi yang digunakan adalah data yang terkait dengan input produksi yang digunakan oleh petani seperti:

1. Jumlah, jenis dan waktu aplikasi pupuk kimia yang digunakan. 2. Jumlah, jenis dan waktu aplikasi pestisida, herbisida.

4. Tingkat residu/kontaminasi di produk, tanah dan air. 5. Biaya input produksi

6. Kemudahan dan kepraktisan 7. Tenaga kerja yang perlu disediakan 8. Pendapat pakar

3.5.2. Sub Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan

Sub model pemanfaatan lahan berkelanjutan dibuat dengan tujuan untuk menetapkan teknik pengelolaan lahan berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh petani untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya sekaligus mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Terdapat dua keluaran dari sub model ini, pertama : teknik konservasi berbasis local ecological knowledge (LEK) yang dapat meminimalkan erosi dan meningkatkan ketersediaan air dan kedua : kombinasi jenis komoditas unggulan dalam satu kawasan berdasarkan karakteristik lahan dan agroklimatnya. Dengan demikian, pemanfaatan lahan kering dataran tinggi tidak menimbulkan kerusakan yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungannya. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) digunakan untuk menetapkan alternatif teknik/perlakuan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan tersebut.

Sumber data berasal dari data dan informasi mengenai LEK petani dalam mengelola lahannya selama beberapa tahun dilengkapi dengan pendapat pakar yang terkait dengan:

1. Informasi usahatani secara umum seperti luas kepemilikan lahan, lokasi lahan, jenis usahatani, status kepemilikan lahan, kemiringan lereng, sistem pergiliran/rotasi tanaman dalam satu tahun, serta sistem pertanaman menerapkan konservasi tanah atau tidak.

2. Local ecological knowledge (LEK) dalam menerapkan teknik budidaya dan pengelolaan lahan, pemanfaatan sumber dan antisipasi terhadap anomali iklim serta pengetahuan dan pengalaman petani dalam melaksanakan konservasi tanah dan air.

3. Jenis komoditas berdasarkan persyaratan hidup/habitatnya dan persyaratan pengelolaannya (tanaman semusim, tanaman tahunan dan peternakan).

3.5.3. Sub Model Agribisnis - Pemasaran

Sub model agribisnis-pemasaran dibuat dengan tujuan untuk menetapkan pola pemasaran yang paling efektif dan efisien, agar produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani memenuhi standar kualitas kesehatan dan dapat memberikan keuntungan maksimum kepada petani. Kualitas produk yang tinggi dan rantai

pemasaran yang pendek akan meningkatkan harga jual sekaligus memaksimalkan keuntungan yang diterima oleh petani produsen.

Keberhasilan pemasaran susu sapi melalui koperasi dan pola kemitraan di Kecamatan Lembang akan menjadi sumber informasi sekaligus pembanding dalam pengembangan model untuk pemasaran sayuran. Selain itu dilakukan analisis struktur pasar untuk mengetahui potensi dan kondisi pasar sayuran, analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usahatani sayuran secara finansial. Selanjutnya keputusan dibuat berdasarkan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) sumber meliputi:

1. Informasi pasar dan kredit meliputi harga jual produk ketika panen, sumber kredit usahatani, tingkat suku bunga, dan lamanya pengembalian

2. Hasil panen dan pendapatan: pendapatan keluarga baik dari usahatani ataupun dari luar usahatani

3. Rantai pemasaran dari petani-konsumen 4. Biaya produksi dan biaya lainnya

5. Jumlah produksi (supply) dan jumlah permintaan (demand) 6. Jarak lokasi produksi ke pasar terdekat

7. Sistem transportasi

8. Standar kualitas produk pertanian

3.5.4. Sub Model Penguatan Modal Sosial

Sub model penguatan modal sosial dirancang dengan maksud untuk membuat pola penguatan modal sosial yang mengakar pada kelembagaan dan kearifan lokal, interaksi komunitas, norma yang berlaku serta kontrol sosial berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan kekuatan modal sosial, komunitas dapat mempertahankan kualitas lingkungannya, membangun kekuatan internal untuk memenuhi kebutuhan modal usahataninya dan meningkatkan kesejahteraannya.

Data kuantitatif dan kualitatif dikumpulkan menggunakan Skala Likert dan instrumen kuesioner yang mengacu kepada pedoman pengukuran modal sosial yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Isi kuesioner akan disesuaikan dengan kondisi kelembagaan sosial dalam komunitas petani dan perilaku petani dalam berkomunikasi dan bekerjasama dalam komunitasnya.

Persepsi masyarakat terhadap model ecofarming dilakukan dengan analisis Skala Likert yang dikembangkan oleh Rensis Likert sejak tahun 1932. Kondisi lingkungan dan masyarakat dinyatakan dalam bentuk penilaian alternatif yaitu

Sangat Tinggi (5), Tinggi (4), Cukup Tinggi (3), Rendah (2) dan Rendah Sekali (1). Metode yang digunakan untuk menetapkan nilai akhir kekuatan modal sosial adalah fuzzy semi numeric. Metode ini di pilih agar dalam penetapan keputusan yang diambil masih mengakomodasikan pendapat dan keinginan stakeholders dalam batasannya yang disebut wilayah “abu-abu”.

3.5.5. Sub Model Kebijakan Publik

Sub model kebijakan pemerintah dibuat untuk merumuskan draft kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan usahatani sayuran dataran tinggi yang berpihak kepada petani dan keberlanjutan usataninya sehingga tidak hanya sekedar memenuhi target produksi dan memperoleh PAD semata. Proses pemilihan kebijakan publik yang mendukung pengembangan ecofarming berdasarkan proses Analitical Hierarchy Process (AHP) dilakukan sebagai bagian dari pendekatan sistem yang akan menghasilkan kebijakan yang bersifat integratif. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan iklim yang kondusif bagi pengembangan ecofarming di lahan rawan erosi yang dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan budidaya. Dengan demikian upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus dapat meningkatkan PAD disertai dengan kesadaran untuk mempertahankan kualitas lingkungan demi keberlanjutan produksi pangan nasional.

Sumber data primer terutama berasal dari hasil FGD dan pendapat pakar yang dilengkapi dengan data sekunder berupa kebijakan pangan, pertanian dan ketahanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten. Data tersebut dikaitkan dengan respon dan ketaatan petani terhadap peraturan yang ditetapkan.

Model yang sebenarnya hanya akan dapat disusun apabila telah melakukan berbagai analisis tahap-tahap sebelumnya. Software Powersim dan Visual Basic. Net. 2005 digunakan untuk membangun model dinamis ecofarming tersebut.