• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah dilakukan simulasi terhadap alternatif skenario, selanjutnya dilakukan validasi model. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi model yang dibangun dengan gejala atau proses di dunia nyata. Setiap perbedaan yang terjadi antara hasil simulasi model dengan dunia nyata

Usahatani Lahan Dataran Tinggi

Input Lingkungan

1. UU/Peraturan pemerintah 2. Kondisi Pasar Nasional & Global 3. Kondisi Sosial Politik

4. Iklim

Output yang Dikehendaki

1.Peningkatan pendapatan petani 2. Penyediaan lapangan kerja 3. Sumber PAD

4. Terbangunnya modal sosial 5. Konservasi lahan

6. Kualitas produk memenuhi standard 7. Lingkungan terjaga

Input Tidak Terkendali

1. Suku bunga bank 2. Selera pasar 3. Investasi di bidang lain 4. Persaingan produk 5. Suplay & demand

Input Terkendali

1. Pengelolaan lahan berkelanjutan 2. LEISA

3. Kemampuan petani 4. Kontrol sosial oleh komunitas 5. Sistem informasi

Output Yang Tidak Dikehendaki

1. Eksploitasi SDA

2. Keuntungan usahatani rendah 3. Produk terkontaminasi 4. Erosi, banjir

5. Harga rendah

Manajemen Pengendalian Melalui

disebut sebagai kesalahan (error) atau simpangan. Model dapat dinyatakan valid jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.

Suatu model juga dikatakan valid jika struktur dasarnya dan polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata, atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem nyata bekerja. Walaupun validasi suatu sistem sangat dibatasi oleh mental model dari pemodel, namun demikian untuk memenuhi kaidah keilmuan, pada suatu sistem dinamik tetap harus dilakukan uji validasi.

Dalam pengujian validasi suatu model, terdapat beberapa teknik yaitu: (1) Diagram lingkar sebab akibat memiliki hubungan dengan permasalahan, (2) persamaan harus disesuaikan dengan diagram lingkar sebab akibat (3) dimensi dalam model harus valid, (4) model tidak menghasilkan nilai yang tidak masuk akal, (5) perilaku model harus masuk akal, artinya apabila ada sesuatu yang seharusnya terjadi, maka harus sesuai dengan apa yang diharapkan dari model tersebut, (6) massa model harus setimbang (balance) yaitu total kuantitas yang telah masuk dan keluar dari proses sistem tetap dapat dijelaskan. Selain itu, validasi model dapat juga dilakukan terhadap kinerja atau keluaran model, yaitu membandingkan hasil keluaran model yang dirancang dan data lapangan pada periode waktu selama 5 tahun. Validasi kinerja ini dapat dilakukan dengan memverifikasi grafik keluaran model dan membandingkannya dengan grafik kecenderungan (trend) perubahan dari data lapangan berdasarkan suatu seri data, atau dengan memverifikasi data lapangan berdasarkan perhitungan standar penyimpangan data (root mean square error) pada masing-masing level keluaran model dengan tingkat perbedaan maksimal dari nilai rata-rata data empirik sebesar 10% berdasarkan persamaan:

... (5) Dimana:

Ei = Standar penyimpangan (RMSE) P(ij) = Nilai data simulasi

n = Jumlah simulasi Tj = Nilai rata-rata data empirik

(

)

= − = n j j ij i P T n

E

1 2 1

Model dinyatakan valid jika hasil pengujian (verifikasi) sesuai dengan data lapangan. Hasilnya dianggap dapat digunakan untuk mensimulasikan atau memproyeksikan keadaan perubahan yang diperkirakan terjadi di masa mendatang.

3.8. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem usahatani lahan dataran tinggi saat ini serta hasil pemodelan sistem pengelolaan kawasan menggunakan model ecofarming selanjutnya disusun rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan tersebut dapat menjadi bahan rancangan kebijakan pemanfaatan kawasan budidaya yang terdapat di dataran tinggi secara berkelanjutan.

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1. Kecamatan Lembang

Lembang adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat,

Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Lembang terletak pada ketinggian antara 1.312 hingga 2.080 meter di atas permukaan laut. Titik tertingginya ada di Puncak Gunung Tangkuban Perahu. Sebagai daerah pegunungan, suhu rata-ratanya berkisar antara 17°C - 27°C. Wilayah ini beriklim tropis dipengaruhi oleh angin munson dengan curah hujan rata – rata berkisar antara 2.000 sampai dengan 4.000 mm/tahun (Website Kabupaten Bandung, 2007).

4.1.1. Kabupaten Bandung Barat

Kecamatan Lembang menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Bandung Barat sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 12/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bandung Barat menempati wilayah seluas 1.307,77 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak

1.408.550 jiwa dengan proporsi berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 705.679 laki-laki dan 702.871 perempuan. Untuk sementara ibukota Kabupaten masih berlokasi di Padalarang.

Secara geografis letak Kabupaten Bandung Barat berada pada 6°,41’ – 7°,19’ Lintang Selatan dan diantara107°22’ – 108°5’ Bujur Timur. Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung ini baru selesai melaksanakan Pilkada Bupati pada bulan Juni 2008. Oleh karena itu, sebagian besar data masih menginduk pada Kabupaten Bandung.

Alasan utama dilakukannya pemekaran Kabupaten Bandung adalah kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di lokasi tertentu. Sebanyak 4,2 juta jiwa menempati wilayah seluas 3.073,7 km2 terpusat mengelilingi kota Bandung. Pemerintah Kabupaten Bandung juga dianggap kurang memperhatikan pembangunan di wilayah terluarnya. Beberapa Kecamatan dilaporkan tidak memiliki infrastruktur di bidang pendidikan dan kesehatan yang memadai. Jika masyarakat membutuhkan perawatan kesehatan lebih lanjut, mereka harus dibawa ke rumah sakit Kota Cimahi atau ke Kota Bandung. Pemekaran Kabupaten pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki segala kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Pemerintahan yang baru diharapkan dapat menarik sejumlah investor untuk membangun kekurangan fasilitas umum yang ada.

Kabupaten Bandung Barat terdiri atas 15 Kecamatan yaitu Lembang, Parongpong, Cisarua, Ngamprah, Padalarang, Cipatat, Cikalong Wetan, Cililin, Cipeundeuy, Batujajar, Cihampelas, Cipongkor, Sindangkerta, Gunung Halu dan Rongga. Sebagian dari wilayahnya terletak di jalur utama Bandung-Jakarta yaitu Kecamatan Lembang, Padalarang, Cipatat dan Ngamprah. Dari 15 Kecamatan hanya lima yang mempunyai nilai kegiatan ekonomi lebih dari Rp. 1 trilyun yaitu Kecamatan Lembang, Padalarang, Cipatat, Batujajar dan Ngamprah. Nilai kegiatan ekonomi di Kecamatan lainnya di bawah 500 milyar. Kenyataan tersebut mengindikasikan adanya ketimpangan ekonomi dan sosial, sehingga pemerintah daerah perlu menyusun perencanaan pembangunan wilayah secara tepat dan komprehensif.

4.1.2. Kecamatan Lembang dan Pengembangan Wilayahnya

Wilayah Kecamatan Lembang memiliki posisi strategis dari segi perkembangan wilayahnya karena dilalui jalan koridor Bandung Jakarta via Subang serta berbatasan dengan Kota Bandung. Potensi fisik wilayahnya adalah pertanian hortikultura, sapi perah dan pariwisata. Lahan yang subur menghasilkan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Ribuan ternak sapi menghasilkan susu segar untuk kebutuhan masyarakat dan industri. Sedangkan panorama alam yang indah disertai udara yang bersih dan sejuk menjadikan Lembang sebagai lokasi wisata yang ramai dikunjungi. Semua itu membawa konsekuensi bagi perkembangan yang melaju lebih pesat dibandingkan Kecamatan yang lain.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Lembang juga menjadi bagian dari wilayah Kawasan Bandung Utara (KBU). Wilayah KBU ditetapkan sebagai daerah resapan air bagi seluruh wilayah di cekungan Bandung, sehingga mempunyai fungsi dan peranan penting dalam menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan di daerah tersebut. Wilayah yang termasuk dalam KBU meliputi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, seluruh wilayah Kota Bandung, seluruh wilayah Kota Cimahi, sebagian wilayah Kabupaten Sumedang dan sebagian wilayah Kabupaten Bandung Barat. Dalam perkembangannya, pemanfaatan ruang di wilayah KBU sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan daerah (Perda) yang mengaturnya. Gambar 4.1 berikut ini adalah Peta Pemanfaatan Ruang KBU Tahun 2008.

Gambar 4.1. Peta Pemanfaatan Ruang KBU Tahun 2008 (Sumber, Lampiran Perda No. 1/2008 ttg Pengendalian pemanfaatan Ruang KBU)

Peta Pemanfaatan Ruang KBU menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Lembang dimanfaatkan untuk pertanian/kawasan perdesaan. Wilayah ini merupakan bagian hulu DAS Citarum yang secara hidrologis dilaporkan telah mengalami degradasi cukup parah. Di musim kemarau kualitas dan kuantitas air sungai sangat rendah sehingga mengakibatkan terjadinya kekurangan air bersih di beberapa tempat. Di musim hujan debit air Sungai Citarum sangat tinggi, sehingga menyebabkan banjir tahunan di daerah dataran rendah dan sepanjang aliran sungai.

Dari sisi hidrologi, penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan adalah berkurangnya resapan air ke dalam tanah di daerah yang lebih tinggi, sehingga setiap kali hujan menghasilkan proporsi air limpasan yang besar dan kemudian terakumulasi menjadi banjir dan genangan. Disamping itu, kurangnya air yang dapat tersimpan di dalam tanah menyebabkan debit mata air di musim kemarau berkurang drastis. Berkurangnya jumlah air yang tersimpan di dalam tanah ini dikarenakan berkurangnya infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Penyebab dari kondisi tersebut adalah penggunaan lahan di bagian atas yang tidak memperhatikan konservasi.

Berdasarkan penelitian Narulita et al., (2008) diketahui bahwa 66,5% dari luasan cekungan Bandung mempunyai nilai faktor hujan infiltrasi rendah, 25,5% mempunyai nilai faktor hujan infiltrasi sedang, dan hanya 8% mempunyai nilai

faktor hujan infiltrasi agak besar dan besar. Hasil tersebut digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa setiap tahun Bandung di landa banjir. Kecamatan Lembang termasuk ke dalam wilayah yang nilai faktor hujan infiltrasinya rendah.

Hal ini terkait dengan meluasnya kawasan budidaya yang terdapat Lembang. Selain untuk perumahan, masyarakat memanfaatkan lahan untuk budidaya sayuran secara intensif monokultur tanpa disertai tindakan konservasi yang memadai. Konsekuensi logis dari tindakan tersebut yaitu menghilangkan fungsi wilayah sebagai daerah resapan air. Laju erosi tanah berlangsung cepat tidak terkendali disertai dengan penggunaan senyawa kimia pertanian yang berlebihan, sehingga menguatkan opini publik bahwa kegiatan pertanian di lahan miring sebagai penyebab banjir dan pencemaran air di wilayah Bandung.

4.1.3. Kondisi Tanah dan Agroklimat

Berdasarkan hasil beberapa penelitian, karakteristik tanah di seputaran Lembang tergolong ke dalam ordo Andisol (dalam sistem klasifikasi taksonomi tanah), atau sepadan dengan jenis Andosol (dalam sistem klasifikasi UNESCO/FAO dan Pusat Penelitian Tanah Bogor). Nama Andisol atau Andosol berasal dari kata 'Ando' yang berarti hitam atau gelap, dan 'Sol' yang berarti tanah, sehingga Andisol atau Andosol berarti juga tanah hitam. Oleh karena itu, tanah Lembang juga terkenal dengan tanah hitamnya (walaupun sebenarnya tidak semua jenis Andisol berwarna hitam, di beberapa tempat dijumpai dengan warna kecokelatan).

Tanah Andisol pada umumnya mempunyai karakteristik utama yaitu memiliki sifat andik, yaitu satu sifat tanah yang mengandung jumlah mineral Al (aluminium) ditambah Fe (ferum/besi) lebih dari atau sama dengan 2 persen, dan berat jenisnya kurang dari 0,9 g/ml, serta memiliki retensi fosfat lebih dari 85%; atau memiliki paling sedikit 30% fraksinya berukuran 0,002 - 2 mm, serta memiliki kandungan gelas vulkanik antara 5 persen sampai lebih dari 30% (tergantung kandungan jumlah Al dan Fe-nya). Melihat bobot isinya, tanah ini memang cukup ringan, sehingga memudahkan petani pada saat persiapan tanam.

Tanah-tanah yang terbentuk dari bahan vulkanik seperti tanah Andisol biasanya memiliki solum yang dalam. Berdasarkan pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa solum tanah rata-rata lebih dari 100 cm, bahkan di beberapa lokasi pengukuran mencapai 150 cm.

Berdasarkan hasil analisis terhadap contoh tanah dari 9 lokasi lahan pertanian sayuran di Kecamatan Lembang diketahui bahwa tekstur tanah Lembang memiliki komposisi fraksi pasir 34,8%, debu 49,73% dan liat 15,45 %. Berdasarkan persentase tersebut maka kelas tekstur tanah menurut USDA adalah lempung (loam). Tekstur tanah akan mempengaruhi sifat-sifat tanah yang lain seperti struktur tanah, permeabilitas tanah, porositas dan lain-lain. Tabel 4.1 dapat menjelaskan hasil penilaian analisis tanah Kecamatan Lembang.

Tabel 4.1. Penilaian Analisis Tanah Kecamatan Lembang

No Sifat Tanah Metode Hasil (Rata-rata) Penilaian

1 C-organik (%) Spektro 4,38 Tinggi

2 Nitrogen (%) Kjedal 0,44 Sedang

3 C/N - 10,2 Sedang

4 P2O5 (ppm) Bray 1 5,62 Sangat rendah

5 KTK (me/100gr) N NH4OAc pH 7 25,27 Tinggi

6 Ca (me/100gr) N NH4OAc pH 7 4,13 Rendah

7 Mg (me/100gr) N NH4OAc pH 7 0,97 Rendah

8 K (me/100gr) N NH4OAc pH 7 0,07 Sangat rendah

9 Na (me/100gr) N NH4OAc pH 7 0,08 Sangat rendah

10 Al dd (me/100gr) N KCl 0,95 Rendah 11 H dd (me/100gr) N KCl 0,19 12 Tekstur : Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Pipet 34,82 49,73 15,45 Lempung 13 pH H2O 5,12 Masam

Sumber : Hasil Analisis dan Penilaian oleh Laboratorium Penguji Tanah Balitsa, 2008

Untuk mengetahui struktur tanah mikro dilakukan pengamatan terhadap fisik tanah disertai dengan perabaan. Solum tanah umumnya dalam, berwarna coklat sampai hitam, tekstur lempung, struktur remah sampai gumpal halus, konsistensi gembur, drainase baik, dan permeabilitas sedang – tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh keadaan tanah yang agak bergumpalan, susunan lapisan tanah yang terlihat pada dinding teras ditemukan lubang/pori-pori yang cukup besar. Tanahnya relatif gembur sehingga memudahkan pada saat pembuatan teras dan pengolahan tanah.

Pada umumnya struktur tanah yang dikehendaki untuk lahan pertanian adalah struktur remah yang memiliki nilai perbandingan antara bahan padat dengan ruang pori-pori relatif seimbang. Keseimbangan perbandingan volume tersebut menyebabkan kandungan air dan udara mencukupi untuk pertumbuhan, dan bahan padatnya menyebabkan akar dapat cukup kuat untuk bertahan.

Berdasarkan beberapa penelitian, tanah yang berstruktur remah mempunyai pori-pori di antara agregat yang lebih banyak daripada yang berstruktur gumpal, sehingga perembesan airnya lebih cepat. Oleh karena itu terjadinya aliran permukaan yang dapat mengerosi tanah dapat diperkecil.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH tanah Lembang cenderung masam yaitu antara 4,8 – 5,8 dengan rata-rata 5,2. Keasaman atau pH (potential of hidrogen) adalah nilai (pada skala 0-14) yang menggambarkan jumlah relatif ion H+ terhadap ion OH- di dalam larutan tanah. Nilai pH tanah sangat penting untuk diketahui karena: 1) Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap tanaman; 2) Menunjukkan keberadaan unsur-unsur bersifat racun bagi tanaman; dan 3) Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme dalam tanah.

Tingkat kesuburan tanah Lembang dapat dikategorikan rendah – sedang. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan Ca, Mg, Na dan K yang rendah. Pengolahan tanah secara intensif sepanjang tahun dalam waktu lebih dari 15 tahun tahun ternyata telah memiskinkan kandungan sebagian unsur hara dalam tanah. Untuk mempertahankan kesuburan tanahnya, petani selalu menambahkan bahan organik dan pupuk kimia dalam jumlah yang banyak pada setiap musim tanam. Pemupukan yang intensif terbukti menyebabkan nilai pH tanah di lahan pertanian sayuran cenderung rendah. Sisa pupuk anorganik yang tidak terserap oleh tanaman akan meningkatkan kemasaman tanah.

Seperti pada umumnya tanah-tanah abu vulkanik (Andisol) maka tanah Lembang juga memiliki kandungan C organik yang tinggi yaitu rata-rata 4,38%. Jumlah tersebut dapat dianggap ideal bagi lahan pertanian. Nilai C/N rasio yang menunjukkan tingkat kematangan bahan organik yang terdapat pada lapisan olah menunjukkan angka 10,2 (sedang). Sedangkan nilai kapasitas tukar kation (KTK) termasuk dalam kategori tinggi. Hasil analisis tanah yang lebih lengkap seperti yang terlampir pada Lampiran 2 dan 3.

Tingginya kandungan C organik di lahan pertanian Lembang juga dipengaruhi oleh besarnya jumlah pupuk kandang yang digunakan oleh petani sayuran setiap musim tanamnya. Untuk lahan sayuran seluas 1.000 m2 saja, diperlukan 30 karung pupuk kandang berukuran 30 kg. Hal ini dilakukan oleh petani untuk memastikan bahwa perakaran sayuran dapat tumbuh sempurna di tanah yang subur dan gembur sekaligus meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan laju erosi yang ditimbulkan oleh aliran air.

Jadi sebenarnya, tanah Lembang tidak sepenuhnya benar bila dikatakan sebagai tanah yang (semuanya) subur secara kimiawi. Namun harus diakui, tanah jenis ini cenderung lebih subur secara fisik, karena memiliki tekstur yang halus, berat jenisnya yang ringan sehingga membuat tanah ini menjadi gembur. Rongga pori dalam tanah pun cukup 'sehat' untuk sirkulasi udara bagi akar tanaman dan pertumbuhan mikroorganisme penyubur tanah. Selain itu, dengan bahan asal abu vulkan yang banyak mengandung mineral amorf, menjadikan tanah ini memiliki kapasitas tukar kation yang cukup tinggi, dan dapat menyangga lebih lama unsur-unsur hara dari pupuk-pupuk anorganik (N, P, K dll) dan unsur-unsur hara dari pupuk organik (pupuk kandang, kompos, dsb.) yang diberikan ke dalamnya.

Topografi wilayah Lembang meliputi daerah landai (kemiringan 8% - 15%) hingga sangat curam (kemiringan > 40%). Daerah yang relatif datar hingga landai dimanfaatkan untuk pemukiman dan perkantoran. Oleh karena itu kegiatan pertanian dilakukan di lahan-lahan yang bergelombang (kemiringan 15% - 25%) hingga curam (kemiringan 25% - 40%). Tingginya laju erosi yang terjadi di lahan pertanian diduga sebagai penyebab timbulnya endapan di lahan bagian bawah maupun di Sungai Cikapundung.

Secara teoritis, sebenarnya sangat sulit untuk menentukan batas tolerasi kehilangan tanah yang terjadi di lahan pertanian. Laju kehilangan tanah memang dapat diprediksikan menggunakan formulasi USLE, namun laju pembentukan tanah sulit ditentukan karena berlangsung sangat lambat.

Menurut Buol et al., (1973) laju pembentukan tanah di seluruh muka bumi berkisar antara 0,01 – 0,07 mm/tahun. Laju yang sangat cepat merupakan perkecualian, karena rata-rata laju pembentukannya adalah 0,1 mm/tahun (Zachar, 1982). Laju pembentukan tanah sebesar 0,1 mm/tahun setara dengan 0,12 kg/m2/tahun atau 1,2 ton/ha/tahun. Dalam kaitannya dengan laju erosi,

sebagian pakar sepakat bahwa jumlah 11 ton/ha/tahun sebagai angka maksimum besarnya erosi yang masih diperbolehkan. Hasil prediksi erosi tanah di lahan pertanian Lembang menunjukkan kecepatan rata-rata sebesar 147,29 ton/ha/thn. Meskipun laju erosi yang terjadi di lahan pertanian telah melebihi batas maksimal erosi yang dapat ditoleransi, namun ancaman lebih serius yang dapat merusak ekosistem Lembang berasal dari pembangunan perumahan di lahan-lahan miring. Tabel 4.2 menunjukkan perhitungan prediksi erosi

menggunakan formula USLE, sedangkan Tabel 4.3 menunjukkan data ketinggian tempat dan kemiringan lereng lahan pertanian di Kecamatan Lembang.

Tabel 4.2. Prediksi Erosi di Lahan Pertanian di Kecamatan Lembang

Blok R K L S LS C P CP A P IBE Ket

Clb A 1258,62 0,22 2,13 15,91 33,89 0,40 0,15 0,06 563,01 9383,55 16,67 ST T 1258,62 0,22 1,35 4,21 5,68 0,20 0,35 0,07 110,16 1573,74 14,29 ST B 1258,62 0,22 1,51 1,55 2,34 0,40 0,15 0,06 38,88 648,08 16,67 ST Ckl A 1258,62 0,22 1,91 6,43 12,28 0,40 0,15 0,06 204,04 3400,65 16,67 ST T 1258,62 0,22 1,17 2,45 2,87 0,20 0,40 0,08 63,50 793,72 12,50 ST B 1258,62 0,22 1,65 0,84 1,39 0,40 0,15 0,06 23,03 383,78 16,67 ST Ckd A 1258,62 0,25 1,35 2,99 4,03 0,40 0,15 0,06 76,16 1269,41 16,67 ST T 1258,62 0,22 1,78 8,17 14,54 0,40 0,15 0,06 241,61 4026,79 16,67 ST B 1258,62 0,15 2,13 0,26 0,55 0,10 0,50 0,05 5,23 104,55 20,00 ST Rata 147,29 Keterangan:

R = Indeks erosivitas hujan

K = Indeks erodibilitas tanah

L = Indeks panjang lereng

S = Indeks kemiringan lereng

LS = Kemiringan lereng

C = Indeks penutupan vegetasi

CP = Faktor pengelolaan

A = Erosi Aktual (ancaman erosi) dalam satuan ton/ha/tahun

P = Erosi Potensial (bahaya erosi tertinggi) dlm satuan ton/ha/tahun

IBE = Indeks Bahaya Erosi

ST = Sangat Tinggi

IBE < 1.0 = Rendah

IBE 1.01-4.0 = Sedang IBE 4.01-10.0 = Tinggi IBE > 10.01 = Sangat Tinggi

Tabel 4.3. Data Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lereng Lahan Pertanian di Kecamatan Lembang

No Lokasi Pengukuran Ketinggian Tempat

(m dpl) Kemiringan Lereng (%) 1 2 3 Cilumber (SPMA) Atas Tengah Bawah Cikole Atas Tengah Bawah Cikidang Atas Tengah Bawah 1407 1327 1279 1324 1308 1294 1227 1195 1179 45 29 24 30 20 18 20 20 15

Selanjutnya data iklim diperoleh dari stasiun klimatologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang. Berdasarkan kondisi geografis dan topografinya, Lembang merupakan dataran tinggi dan beriklim dingin hingga sedang. Temperatur harian maksimum tercatat 24,6 0C sedangkan temperatur minimum 18,4 0C. Besarnya radiasi matahari yang menyinari rata-rata sebanyak 285 kal/cm. Kelembaban udaranya cukup tinggi yaitu 80,5% dengan rata-rata evaporasi sebesar 3,4 mm/hr.

Wilayah Lembang memiliki curah hujan yang relatif tinggi. Sepanjang tahun 2007 tercatat curah hujan rata-rata mencapai 242,20 mm/bulan dengan bulan basah (> 100 mm) 8 dan bulan kering (< 60 mm) 2 sisanya merupakan bulan lembab. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Scmidt dan Fergusson perbandingan antara jumlah bulan kering dengan bulan basah (Q) selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa wilayah Lembang termasuk dalam klasifikasi iklim tipe B (basah). Besarnya nilai Q tersebut adalah 0,315. Tabel 4.4 berikut ini adalah data curah hujan 5 tahun terakhir untuk wilayah Kecamatan Lembang. Tabel 4.4. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan Kecamatan Lembang Tahun 2003 – 2007 Tahun/ Bulan 2003 CH/HH 2004 CH/HH 2005 CH/HH 2006 CH/HH 2007 CH/HH Januari 150/8 28/2 188,6/10 594,0/21 156,0/7 Pebruari 240,5/16 109,8/5 282,3/13 484,9/20 333,0/17 Maret 111/7 164,5/5 235/13 96,0/7 179,3/16 April 102,9/7 307/10 117,4/8 430,2/16 502,9/22 Mei 142,3/7 178/10 45,1/3 49,9/4 167,7/17 Juni 17,4/2 56,5/3 106/6 5,5/1 83,5/12 Juli 0/0 0/0 145/10 27,5/2 0/0 Agustus 43,8/3 72/5 217,5/9 69/3 68,2/3 September 66,5/2 121,5/4 73/4 62/3 5,5/2 Oktober 339,7/13 36,4/2 430,5/6 130/6 148,5/6 Nopember 85,2/5 175,3/9 125/3 135,6/7 522,0/19 Desember 388/18 292,4/13 200/6 287/14 800,0/29 Total CH 1687,3 1541,4 2165,4 2371,6 2966,6 Rata-rata CH 140,60 128,45 180,45 197,63 247,22 Keterangan : Curah hujan dalam satuan mm.

Sumber : Balai Penelitian Tanaman Sayuran (data diolah)

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pemahaman petani dan sebagian masyarakat terhadap fungsi Lembang sebagai daerah resapan air untuk wilayah yang lebih luas (Bandung) ternyata masih rendah. Beberapa sumber air seperti misalnya Tampian Cicadas yang terletak di lingkungan RW 8

dusun Cilumber sejak Oktober 2007 kering. Hal ini menunjukkan bahwa infiltrasi air hujan tidak mampu memenuhi akuifer untuk mengisi mata air.

Responden lebih percaya bahwa mengeringnya mata air disebabkan oleh beroperasinya pabrik air mineral kemasan sejak tahun 2005. Dikonfirmasikan kepada pengelola pabrik, bahwa pembangunan sumur bor telah dilakukan sesuai dengan UU No. 7 tentang Sumberdaya Air. Sumber air mineral mengambil air tanah dalam sebagai bahan baku, dari kedalaman mencapai 100 m. Pejabat Dinas Pertambangan dan Energi propinsi Jawa Barat juga menolak keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan air, dan menegaskan bahwa air tanah dalam berbeda dengan air permukaan. Keduanya dipisahkan oleh lapisan kedap air, sehingga tidak ada korelasi antara mengeringnya sumber air di dusun Cilumber dengan pemanfaatan air tanah dalam oleh industri. Masalahnya adalah apakah jumlah air tanah dalam yang setiap hari disedot dapat tergantikan oleh jumlah air hujan yang diresapkan oleh tanah disekitarnya. Beberapa pakar menegaskan bahwa air hujan yang diresapkan oleh tanah baru bisa menjadi air tanah dalam setelah 30 tahun. Itupun jika permukaan tanah tertutupi oleh vegetasi tahunan yang rapat.

Jika memperhatikan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah, sebenarnya Perda No 1 tahun 2008 cukup mengakomodasi tindakan konservasi untuk wilayah Lembang. Arah kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara (KBU) difokuskan sebagai berikut :

1. memulihkan dan menanggulangi lahan dengan kondisi fungsi hidroorologis kritis dan sangat kritis;

2. mencegah meningkatnya kekritisan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi mulai kritis dan agak kritis;

3. mengendalikan dan membatasi pembangunan guna mempertahankan fungsi hidroorologis pada lahan dengan kondisi normal dan baik, serta memiliki