• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetrasi H&M dalam Membangun Industri Garmen dengan Sistem Fast

BAB III ANALISIS DAMPAK MASIFNYA INDUSTRI H&M TERHADAP BURUH

3.1 Penetrasi H&M dalam Membangun Industri Garmen dengan Sistem Fast

Eksistensi perusahaan multinasional dalam percaturan ekonomi dan politik

internasional sudah bukan hal baru lagi. Sejak lama perusahaan multinasional sudah

menjamur dan keberadaannya cukup memberikan dampak yang besar bagi dunia.

Tidak jarang juga dijadikan salah satu instrumen yang digunakan oleh negara

sebagai aktor utama dalam interaksi hubungan internasional untuk memperoleh

kepentingannya. Seperti Swedia, di mana perusahaan multinasional memiliki porsi

yang cukup penting dalam lanskap ekonomi nasionalnya. Perusahaan

multinasional, terutama yang bergerak dalam sektor ritel memainkan peran yang

besar dalam pertumbuhan perekonomian Swedia dikarenakan sektor ini

memberikan sekitar satu pertiga terhadap total pengeluaran rumah tangga. Hal ini

dibuktikan dengan di saat hampir semua sektor di Swedia terpengaruh akan adanya

resesi yang terjadi di tahun 2008-2009, sektor ritel mampu pulih dengan cepat di

beberapa sub-sektor (Geiger & A˚ hlander, 2000).

H&M yang merupakan perusahaan multinasional milik Swedia. Industri garmen

atau pakaian jadi sendiri telah mendominasi pasar nasional di sekitar tahun 1950

dan menjadi sumber pemasukan yang menjanjikan untuk perekonomian domestik.

Namun pada saat itu tidak ada satupun dari industri ini disebutkan sebagai karya

Universitas Pertamina - 40

meskipun industri garmen dan pakaian jadi memberikan kontribusi besar (cari

data), industri yang dianggap penting masih terpusat pada produksi mobil, telepon,

dan barang-barang elektronik lainnya (Geiger & A˚ hlander, 2000).

Sebagai perusahaan multinasional dengan manajemen rantai pasokan global,

dari proses produksi hingga sampai ke tangan konsumen, H&M melibatkan

berbagai negara untuk mendukung kegiatan perekonomiannya. Alih-alih memiliki

pabrik sendiri, H&M lebih memilih untuk membeli garmen dari sekitar 800

pemasok yang tersebar di berbagai pelosok dunia, umumnya di negara-negara

Eropa dan Asia. Sedangkan proses desainnya secara penuh dilakukan di mana

headquarter-nya berada, tepatnya di Stockholm, Swedia.

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Joseph Nye yakni:

“Moreover, even if multinational corporations distribute industrial production more evenly about the globe than is now the case, they will tend to centralize strategic decisions in regional coordinating centers and at global corporate headquarters (Nye, 1974, p. 166).”

Berdasarkan dengan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perusahaan

multinasional memiliki tendensi untuk mendistribusikan proses produksi atau

manufakturnya ke berbagai negara di dunia, namun tetap memusatkan segala

keputusan strategis di kantor pusatnya. Dalam kasus ini, yang termasuk keputusan

strategis yang dikelola oleh H&M ialah menjalankan proses desainnya di

headquarter. Proses desain meliputi segala hal yang melibatkan input dan proyeksi yang berfokus pada kualitas, tren mode terbaru, hingga pada penentuan harga

terbaik atas produk sebelum masuk ke dalam tahap manufaktur.

Pada lingkup domestik, eksistensi H&M di Swedia dapat dikatakan berada di

liga tersendiri dalam pasar mode di Swedia. Hal ini dikarenakan, sebagai suatu

Universitas Pertamina - 41 menyatakan bahwa perusahaan tidak memiliki bentuk afiliasi apapun terhadap

politisi atau partai politik yang ada di Swedia (H&M Way, 2013). Namun begitu,

sebagai perus ahaan multinasional dalam bidang fesyen yang sudah mengglobal,

tidak dapat dinegasikan bahwa kehadiran H&M sebagai frontliner industri fesyen

di dunia, secara tidak langsung memberikan Swedia keuntungan tersendiri.

Meskipun jika berbicara mengenai keuntungan dan relasi antara politik dan

ekonomi dalam studi kasus ini, home country – atau Swedia – lebih banyak

memperoleh bagian ekonominya. Seperti yang telah diungkapkan pada awal

paragraf, perusahaan multianasional, tepatnya H&M, berdiri dan bergerak atas

kepentingan ekonominya.

Selain itu, alasan lain yang mendukung dilakukannya proses desain di

Stockholm sebagai headquarter H&M ialah dalam industri mode, Stockholm cukup

dikenal dengan kota yang memiliki fokus kreatif dan asrtistik dalam perkembangan

industri mode. Sebab, selain perusahaan fesyen, penyedia servis atau jasa, sampai

lembaga pendidikan yang menekankan pada inovasi fesyen, semua ada di sana.

Tidak heran jika kemudian banyak perusahaan kecil berbasis desain yang menjamur

dan lahir dari kota ini. Kemudian jika ditelaah lebih jauh, dengan menjaga

keputusan strategis tetap diambil di headquarter, secara tidak langsung

mengindikasikan bahwa segala bentuk kontrol tetap berada di tangan orang-orang

yang menduduki kursi top management atau manajemen atas. Terlepas dari fakta

bahwa H&M telah semakin mengglobal dan dapat ditemukan hampir di setiap sudut

Universitas Pertamina - 42

Gambar 3.1. Manajemen Rantai Pasoka Terintegrasi Ganda (Munoz & Gonzalez, 2013)

Tidak seperti merek tekstil serupa lainnya yang memfokuskan sumber produksi

lebih dekat dengan negara asal dengan alasan meningkatkan efisiensi. Seperti Zara

yang memiliki basis di Spanyol dan mengambil sumber dari Spanyol, Portugal,

Turki, dan Maroko. Ekspansinya pada level regional, H&M memilih untuk

membaginya menjadi dua berdasarkan lead time2 – yang juga terbagi atas

kepentingan masing-masing kawasan – yaitu products with lower lead time atau

produk dengan lead time yang lebih rendah dan diamanatkan kepada

pemasok-pemasok di negara-negara Asia. Produksi dengan pengerjaan waktu yang lebih

rendah, perusahaan dapat memfokuskan manufakturnya untuk memaksimalkan

keuntungan dan menekan biaya produksi. Sedangkan pemasok di sekitar Eropa

menggunakan sistem products with higher lead time atau produk dengan lead time

yang lebih tinggi. Dengan kata lain, produk yang lebih berkelas, trendi, dan

2 Secara umum, lead times dapat didefinisikan sebagai jumlah waktu antara kapan pesanan ditempatkan hingga sampai pesanan tersebut diterima. Perusahaan akan meninjau lead time di bidang manufaktur, supply chain management, dan project management selama tahap pra-pemrosesaan, pemrosesan, dan pasca-pemrosesan. Dengan membandingkan hasil terhadap tolak ukur yang telah ditetapkan, perusahaan akan dapat menentukan di mana inefisiensi terjadi.

Universitas Pertamina - 43 dibutuhkan pembuatan yang cepat untuk memenuhi permintaan, akan diproduksi di

pabrik-pabrik di sekitar Eropa.

Karl-Johan Persson, kepala eksekutif H&M mengatakan bahwa:

“The company’s supply chain practices remained the same while the world had changed. By sourcing from Asia, H&M was able to keep costs low. But this meant longer lead time, varying from a few weeks to six months (Vicky, 2018).”

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa faktor yang mendorong H&M untuk melakukan

proses manufakturnya di negara-negara Asia ialah demi mengurangi ongkos biaya

produksinya. Umumnya, produk yang dimanufaktur di Asia merupakan produk

dengan volume yang besar, jarak transportasi y ang panjang, dan waktu tunggu atau

proses pembuatan yang lama. Melalui berbagai pertimbangan tersebut, tidak heran

apabila H&M memilih negara-negara yang cenderung kurang berkembang untuk

menanamkan investasinya.

Sejatinya, proses-proses di atas dapat dikatakan merupakan bagian dari strategi

H&M untuk semakin menginternasionalisasi bisnisnya agar semakin mengglobal.

Tidak heran jika kemudian Gilpin (2001) mengatakan bahwa perusahaan

multinasional telah menjadi determinan yang cukup penting dalam pengaturan arus

perdagangan, lokasi industri, dan beberapa kegiatan ekonomi lainnya. Terbukti

dengan arus perdagangan H&M yang menjamah pasar-pasar di berbagai belahan

negara. Begitupun juga dengan lokasi industri H&M yang secara tidak langsung

juga mengubah lanskap orientasi preferensi negara-negara di dunia. Kehadiran

H&M dengan strategi manufakturnya melampaui batas negara tempatnya

beroperasi, sedikit banyak membuka kans untuk negara-negara agar dapat

mengembangkan perekonomian domestiknya dengan menjadi negara produsen

Universitas Pertamina - 44

multinasional akan memberikan dampak dalam memnentukan keadaan domestik,

seperti kesejahteraan ekonomi dan sosial di tempat ia menginjakkan kakinya

(Gilpin, 2001, p). Segala aliran modal, baik dalam bentuk teknologi maupun uang

akan berpengaruh besar bagi perkembangan negara yang ditanamkan investasi atau

kerja sama saling membutuhkan antara perusahaam multinasional dengan negara

yang bersangkutan.

Gambar 3.2. H&M Dunia (H&M Official, 2015)

Di antara negara-negara Asia, H&M banyak menanamkan investasinya di

Bangladesh. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, kondisi

Bangaldesh sebagai negara kurang berkembang dan negara produsen garmen

menempatkannya pada posisi yang dapat dikatakan menguntungkan. Sebab,

Bangladesh dapat bergabung di sebuah perjanjian bernama Multi-Fibre Agreement

atau MFA yang melindungi Bangladesh dari persaingan asing dan diberikannya

kuota ekspor yang lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara produsen

Universitas Pertamina - 45 untuk menghapus MFA secara perlahan (Mottaleb & Sonobe, 2011, p 70). Hal ini

akan memungkinkan adanya rasa kompetitif antar negara-negara produsen.

Dengan kata lain, internasionalisasi perusahaan-perusahaan mode dan ekspansi

yang cepat dalam sektor manufaktur telah mengakibatkan adanya kolaborasi

dengan dengan pemasok-pemasok di sekitar Asia Timur yang dihadapkan dengan

kuota impor yang diberlakukan oleh negara-negara maju pada ekspor mereka.

Alternatif yang dilakukan ialah pemasok akan memindahkan sebagian dari operasi

mereka ke Bangladesh karena tidak adanya kebijakan kuota yang dijatuhkan ke

Bangladesh (Khan & Hossein, 1989, p. 95). Sektor manufaktur garmen sendiri telah

menjadi pusat industrialisasi dan strategi ekspor Bangladesh sejak lama.

Dengan cara kerja seperti di atas, dapat diidentifikasikan bahwa model bisnis

yang diterapkan oleh H&M ialah dengan cara outsourcing. Menurut Van Weele

(2005) outsourcing didefinisikan sebagai transfer produksi barang atau jasa yang

telah dilakukan secara internal ke pihak eksternal. Dengan kata lain, perusahaan

akan mengalokasikan bagian dari operasinya ke perusahaan lain, seperti proses

produksi barang atau jasa untuk fokus kepada kompetensi intinya dengan

menggunakan pemasok eksternal. Perusahaan lain yang dimaksud di sini dapat

berupa perusahaan lokal maupun global. Apabila yang menrapkan model bisnis ini

ialah perusahaan multinasional seperti halnya H&M, maka outsourcing umumnya

dilakukan di negara di belahan dunia berbeda. Dilihat dari polanya, alasan yang

mendasari outsourcing ialah meningkatnya tren globalisasi (Enarsson, 2008, p. 33).

Pendorong di baliknya adalah untuk mendapatkan ongkos produksi murah dengan

akses di negara-negara yang memiliki biaya rendah. Namun begitu, menurut Wild

Universitas Pertamina - 46

menekankan pada manfaat taktikal seperti pengurangan biaya dan upah rendah

tenaga kerja, telah bergeser menjadi motif produktivitas, fleksibilitas, kecepatan

dan inovasi dalam mengembangkan bisnis, serta akses keterampilan baru.

Gambar 3.3. Model Outsourcing H&M(Munoz & Gonzalez, 2013)

Skema di atas (Gambar 3.2) merupakan kunci yang menjadi dasar penetrasi

H&M di Bangladesh. Mengingat H&M tidak memiliki pabrik secara langsung

untuk menjalankan proses produksinya, melalui model bisnis outsourcing

Bangladesh hadir sebagai pemasok yang menyediakan jasa memproduksi pakaian.

H&M sendiri dapat dikatakan sebagai pengec er pakaian dalam sistem fast fashion.

Meskipun tidak memiliki pabrik, presensi H&M di Bangladesh ditandai oleh

adanya production office atau kantor produksi yang menjadi perwakilan dari kantor

pusat yang berada di Stockholm. Menurut Hasan dan Alim (2010) terdapat dua

fungsi dari kantor produksi ini, yaitu menggordinasikan kontak antara departmen

Universitas Pertamina - 47 memastikan bahwa kantor produksi menerima pesanan yang benar dari kantor pusat

dan ditempatkan pada pemasok yang tepat agar dapat mencapai tujuan hemat biaya

dengan kualitas yang baik. Fungsi kedua ialah mencari pemasok baru dan

menegosiasikan kontrak dengan yang bersangkutan. Dengan kata lain kantor

produksi H&M di Bangladesh yang berada di ibukotanya – yakni Dhaka –

merupakan representasi home country di host country.

Meskipun volume ekspor ke Swedia dari Bangladesh relatif rendah dan tidak

terlalu besar apabila dibandingkan dengan ekspor Amerika Serikat atau negara Uni

Eropa lainnya, tetapi dalam volume pembelian, H&M merupakan pembeli terbesar

kedua di Bangladesh sebagai pembeli tunggal (Hasan & Alim, 2010, p. 65-66).

Bahkan selama periode krisis paska berakhirnya MFA, H&M tetap bergantung pada

Bangladesh. Hal ini tercermin dari besar jumlah pemasoknya. Saat ini H&M

memiliki 229 pemasok pabrik manufaktur di Bangladesh. Dari total tersebut, 56 di

antaranya dinilai oleh H&M dengan label Platinum atau Emas, yang berarti bahwa

mereka adalah mitra strategis H&M dan pemasok pilihan - pabrik yang memiliki

hubungan terdekat dengan H&M. Menurut H&M, pemasok Platinum dan Emas

fdari kemitraan jangka panjang dengan perusahaan. Hal ini dikarenakan H&M

secara lugas menyatakan bahwa “hanya pemasok dengan kinerja terbaik di semua bidang, termasuk yang terkait dengan sustainability atau keberlanjutan, yang dapat

menjadi mitra strategis seperti itu.” Masyarakat, terutama konsumen akan berharap

bahwa pabrik-pabrik ini harus berada pada tingkat kepatuhan yang lebih tinggi

dengan standar keselamatan dari pemasok H&M rata-rata atau dari pabrik di

Bangladesh (Clean Clothes Campaign, International Labor Rights Forum. Maquila

Universitas Pertamina - 48

Grafik 3.3. Area Interaksi antara H&M dan Pemasok Bangladesh (Hasan & Alim, 2010)

Menurut Hasan dan Alim (2010) dalam tulisannya yang berjudul Factors

Affecting Supply Chain Management Efficiency in Cross Border Outsourcing: A Case Study of H&M and its Outsourcing Operations in Bangladesh, grafik di atas (Grafik 3.3) adalah gambaran dalamnya interaksi antara H&M dan pemasoknya

yang berada di Bangladesh. Mayoritas dari interaksi tersebut berada dalam koridor

product and service exchange sebesar 55% dari total keseluruhan. Istilah ini merujuk pada beberapa kegiatan seperti pembuatan produk, penerimaan pesanan,

pemberian sampel, negosiasi, kerja sama pengiriman selama tahap produksi dan

hal-hal lainnya. Berikutnya, interaksi kedua terbesar ialah information exchange in

service monitoring dengan angka 20% yang meliputi pertukaran komunikasi dan informasi antara dua pihak ketika H&M melakukan inspeksi. Biasanya pemasok

bertanggung jawab untuk produksi pakaian dan ada kala di mana H&M akan

memberikan bantuan spesialis mengenai pemilihan tekstil, pewarnaan,

pemotongan, dan lainnya yang bersifat teknis. 5%

5%

15%

20% 55%

Cultural Adaptation, Social, and Personal Bonds: 5%

Investment Resources, Knowledge, and Time: 5% Monitoring CSR and Adaptation of Vision: 15%

Information Exchange in Service Monitoring: 20%

Product and Service Exchange: 55%

Universitas Pertamina - 49 Kemudian Hasan dan Alim juga menyatakan bahwa pada jumlah 15% ada

kegiatan monitoring corporate social responsibilities (CSR) and adaptation of

vision yang mana manajer CSR3 dan tim kode etik H&M di host country atau tepatnya di kantor produksi yang ada di Dhaka akan memeriksa dan menginspeksi

pabrik-pabrik pemasok secara berkala. H&M juga menjalankan program pelatihan

bagi anak-anak muda untuk persiapan perbekalan bekerja di industri garmen

nantinya. Interaksi di dua bidang lain, yaitu investment in resources, knowledge,

and time dan cultural adaptation, social, and personal bonds masing-masing diberi nilai 5%. Dengan ini dapat diketahui bahwa di antara koridor lainnya, product and

service exchange merupakan bidang interaksi yang paling signifikan antara H&M dan pemasoknya yang ada di Bangladesh.

Terlihat bahwa eksistensi H&M memberikan hubungan komplementer untuk

Bangladesh, di mana kedua partisipan mendapat keuntungan dengan porsinya

masing-masing. Melalui strateginya, pertumbuhan ekonomi Bangladesh

mengalami peningkatan yang cukup pesat dengan sektor manufakturnya. Apabila

dilihat dari trajektorinya, menurut Shahpar Selim (2008) secara tidak langsung

fenomena juga merupakan dampak yang dapat dilihat dari tiga faktor. Pertama,

lingkungan perdagangan pada dimensi eksternal yang memberikan keuntungan

kepada Bangladesh melalui sistem kuota internasional. Kedua, biaya tenaga kerja

di Bangladesh yang cenderung rendah yang menyebabkan murahnya harga garmen

3 CSR atau Corporate Social Responsibility ialah istilah yang digunakan dalam manajemen di mana perusahaan mengintegrasikan masalah sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan interaksi dengan para pemangku kepentingan. CSR secara umum dipahami sebagai cara perusahaan mencapai keseimbangan antara kewajiban ekonomi, lingkungan, dan sosia, sementara pada saat yang sama mengatasi ekspektasi pemegang saham dan pemangku kepentingan. Dikutip dari https://www.unido.org/our-focus/advancing-economic-competitiveness/competitive-trade- capacities-and-corporate-responsibility/corporate-social-responsibility-market-integration/what-csr United Nations Industrial Development Organization (UNIDO)

Universitas Pertamina - 50

yang dihasilkan. Terakhir, reformasi kebijakan dalam negeri yang berupa

liberalisasi perdagangan yang membantu mendukung dan memfasilitasi

pertumbuhan sektor manufaktur garmen di Bangladesh.

Dalam konteks produksi dan perdagangan, ekspor Bangladesh yang sebelumnya

terpaku pada industri tradisional seperti agrikultur, dengan adanya perusahaan

multinasional di bidang garmen seperti H&M menjadi bergeser dan berakibatnya

pda meningkatnya ekspor industri non-tradisional. Perubahan yang secara bertahap

namun memberikan hasil yang cukup besar dalam tata kelola ekonomi. Perubahan

yang dimaksud adalah dari tata kelola yang cenderung tersentralisasi dengan gaya

khas tahun 1970-an, mulai bergerak menjadi ekonomi yang secara perlahan

terliberalisasi dengan tingkat integrasi yang tinggi dengan negara-negara yang

berada di belahan dunia lain (Lewis, 2011, p. 136).

Meskipun begitu, seperti yang sebelumnya pernah dinyatakan bahwa salah satu

daya tarik Bangladesh yang memikat berbagai perusahaan multinasional yang

bergerak dalam industri garmen untuk menanamkan investasinya di Bangladesh

adalah fakta bahwa tenaga kerjanya yang cenderung murah, tidak bisa dipungkiri

juga kenyataan bahwa berakhirnya MFA di tahun 2005 membawa percaturan

hubungan perusahaan multinasional dan Bangladesh ke tahap yang baru.

Bangladesh meningkatkan kompetisinya dengan menambahkan value added

melalui menaikkan harga demi menghasilkan mutu barang yang berkualitas lebih

tinggi. Sempat timbul kekhawatiran mengingat negara yang memiliki posisi tawar

– dengan mengandalkan biaya tenaga kerja rendah – bukan hanya Bangladesh, melainkan juga ada Vietnam dan Cina. Namun daya saing internasional dari tenaga

Universitas Pertamina - 51 bahwa industri garmen masih dalam posisi aman dan sealamt dari perubahan

kebijakan internasional dengan kerusakan atau disrupsi yang relatif minim.

Kemudian, karakteristik lain yang menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah

perusahaan multinasional di negara kurang berkembang yang menjadi host country

ialah adanya FDI atau investasi asing langsung. Di Bangladesh, FDI merupakan

salah satu komponen paling penting dalam pertumbuhan ekonomi domestiknya.

Negara kurang berkembang pada umumnya cenderung memiliki tingkat domestic

savings yang rendah. Jika ditilik lebih jauh, menurut Gunnar Myrdal (1957) problema yang dialami negara kurang berkembang membentuk – atau terperangkap

– pada sebuah siklus kemiskinan. Terminologi yang Myrdal gunakan ialah “circular and cumulative causation”. Myrdal menyatakan bahwa tidak bisa dinegasikan bahwa negara kurang berkembang merupakan negara yang miskin. Ini

berdampak pada rendahnya tingkat tabungan nasional. Dikarenakan tingkat

tabungan nasional yang rendah, akibatnya adalah tingkat FDI yang juga rendah.

Sebab itu, tidak heran jika industri di negara kurang berkembang menjadi tidak

efisien dan tidak kompetitif untuk ikut bersaing di pasar dalam skala global. Dengan

ini, mereka akan terus miskin dan siklus akan tetap berputar hingga negara-negara

yang tergolong kurang berkembang dapat menemukan resepnya sendiri untuk

keluar dari lingkaran tersebut.

Dalam hal ini, resep yang digunakan Bangladesh untuk meningkatkan taraf

pertumbuhan ekonomiannya ialah melalui FDI. Hal ini dinyatakan oleh Razib

Hossain (2015) dalam tulisannya yang berjudul Foreign Direct Investment on

Universitas Pertamina - 52

“Being one of the Least Developed Countries with low domestic savings rate for investment, the importance of foreign investment is unquestionable for the country as Foreign Direct Investment (FDI) will create employment, encourage technology transfer and develop new exportable sector. To attract more and more FDI the government of Bangladesh has been creating private investment friendly environment. A number of opportunities have been given by the Government of Bangladesh to attract foreign investors to invest in the country in some prospective sectors but mainly in the RMG sector (Hossain, 2015, p. 9).”

Dapat diketahui bahwa karena tidak memiliki tabungan domestik yang cukup

untuk investasi, Bangladesh membuka pintu negaranya lebar-lebar bagi investor

yang ingin menanamkan FDI di negaranya. Ini yang kemudian menjawab kuriositas

dan alasan yang mendasari Bangladesh menerima kehadiran perusahaan

multinasional (H&M). Sebagian besar industri manufaktur tekstil di Bangladesh

merupakan bagian dari perusahaan multinasional yang berdiri dalam bentuk FDI.

Berdasarkan kebijakan nasionalnya, perusahaan multinasional akan diizinkan

menanamkan investasi di sektor garmen Bangladesh hanya jika perusahaan tersebut

dapat menemukan pabrik di export processing zones (EPZ) atau zona pemrosesan

ekspor, serta tidak bersaing dengan perusahaan domestik yang memasok ke

perusahaan pengekspor yang memiliki akses kuota (Hossain, 2015, p. 27).

Selain dari FDI, adanya transfer teknologi guna menunjang proses bisnis suatu

perusahaan multinasional juga menjadi insentif untuk negara kurang berkembang.

Pada studi kasus Bangladesh, pemerintah Bangladesh menjadikan teknologi

sebagai sektor prioritas untuk dikembangkan (Tonmoy, 2013, p. 14). Alasan di

baliknya tidak lain karena untuk menyokong sektor swasta dalam menjalankan

produksinya. Melalui teknologi, proses produksi dan manufaktur garmen akan

menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain, mengambil langkah untuk

memfokuskan perkembangan teknologi juga merupakan strategi Bangladesh dalam

Universitas Pertamina - 53 lebih menjanjikan, serta menarik perusahaan-perusahaan multinasional untuk

Dokumen terkait