• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengadilan Hybrid (campuran)

Dalam dokumen T2 322014005 BAB III (Halaman 39-48)

Mekanisme Pengadilan dalam mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, seperti : genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dapat menggunakan : a) National Court (berdasarkan UU No. 26 tahun 2000), b) Ad-Hoc Tribunals sebagaimana International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTFY)

77

dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), c) Hybrid

Tribunals, seperti East Timor Special Panels dan Special Court for

Sierra Leone, dan d) Permanent Tribunal (The International Criminal Court).

Bentuk pengadilan internasional urgensinya karena

memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Dalam perspektif hukum internasional, alasan bahwa kejahatan internasional harus dibentuk melalui pengadilan internasional adalah : 1) kejahatan

tersebut melanggar norma internsional yang bersifat jus cogens atau

preemptory norm); 2) terhadap pelaku kejahatan tidak boleh bebas tanpa hukuman (impunity); 3) kejahatan ham berat tidak mengenal

daluarsa (non-statutory limitation).

Proses penegakan hukum dalam konteks internasional

Secara teori dibagi menjadi dua hal, yaitu : 1) Direct Enforcement

System (Penegakan Hukum Secara Langsung) dan 2) Indirect Enforcement System (Penegakan Hukum Secara Tidak Langsung).

Direct Enforcement System merupakan penegakan hukum pidana internasional oleh mahkamah pidana internasional, seperti : Nuremberg, International Military Tribunal for the Far East

78

(ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), dan

International Criminal Court (ICC). Sedangkan penegakan hukum

pidana internasional secara tidak langsung atau Indirect Enforcement

System adalah penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional di masing-masing negara, tempat kejahatan tersebut terjadi. Seperti : Hybrid tribunal di Timor Leste, Serra Leone, Kamboja.

Dalam konteks penyelesaian extrajudicial killings 1965,

melalui mekanisme yuridis menurut penulis dengan menggunakan hybrid tribunal. Dimana penyelesaian melalui Hybrid tribunals

menurut Andrey Sujatmoko72, dikarenakan faktor-faktor

unwillingness dan inability dari negara pelaku pelanggaran berat yang dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Meskipun hybrid tribunal tidak sepenuhnya bersifat internasional karena campuran hukum nasional dan internasional, disamping itu ada peran dunia internasional sehingga menjadikan internalisasi pengadilan nasional.

Berkenaan dengan extra judicial killings 1965, penulis

mengajukan penyelesaian salah satunya adalah Hybrid Tribunals

(campuran), karena alasan sebagai berikut :

72

Sujatmoko, Andrey, Tanggungjawab Negara atas Pelanggaran HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya. Jakarta : PT. Grasindo. Hal. 179.

79

a). Tidak ada keinginan politik (political will) pengadilan nasional

(local court) melalui UU No. 26 tahun 2000, yang dapat mengadili kejahatan HAM berat tahun 1965. Hal itu akan terkendala oleh Pasal 43 Ayat (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Tentu saja mengharapkan “political will” DPR RI untuk mengusulkan Pengadilan HAM ad hoc sangat mustahil pada kondisi politik Indonesia saat ini, dimana hampir anggota DPR RI justru berfikir tentang penolakan kebangkitan PKI.

b) Kondisi kehidupan sosial politik indonesia yang tidak kondusif dengan munculnya gerakan anti PKI yang terus digerakkan oleh militer dan Ormas (islam dan nasionalis). Meskipun mengadili pelanggaran HAM berat 1965 bukanlah menghidupkan PKI tetapi persepsi yang telah dibentuk oleh militer adalah kebangkitan PKI. c) Dikawatirkan bahwa jika dilaksanakan melalui proses peradilan Nasional justru akan menutupi atau melindungi para pelaku kejahatan sehingga terhindar dari penghukuman. Stereotipe terhadap peradilan yang tidak dapat berlaku secara independen dan tidak memihak.

80

Maka dari itu, dalam kondisi “deadlock” beberapa negara

yang mengalami nasib seperti itu (unwillingness dan inability)

melakukan penyelesaian melalui mekanisme Hybrid Tribunals

seperti Sierra Leone dengan Special Court of Sierra Leone dan

Timor Leste dengan Special Panels for Serious Crimes.

Hybrid tribunal disebut dengan pengadilan campuran, karena terdiri dari unsur-unsur yang bersifat campuran, seperti menyangkut kebangsaan orang-orang yang bekerja (hakim, jaksa, panitera) terdiri dari warga negara setempat maupun orang asing yang diangkat oleh PBB. Demikian pula dengan hukum yang digunakan adalah kombinasi antara hukum nasional setempat dengan

hukum internasional.73

Pengadilan campuran atau Hybrid Tribunal merupakan penemuan baru dalam bidang hukum pidana internasional yang disebut dengan “generasi ketiga” dari perkembangan pidana internasional. Perkembangan ini merupakan terobosan baru dalam penegakan hukum pidana HAM internasional dimana model ini dikelompokkan dari beberapa campuran Negara-negara dan komponen internasional yang menawarkan pendekatan yang tertuju

73

81

pada keadilan internasional secara keseluruhan pada satu sisi dan

keadilan dalam negeri di sisi lain.74

Pengadilan campuran, menurut United Nation adalah:

defined as courts of mixed composition and jurisdiction, encompassing both national and international aspects, usually operating within the jurisdiction where the crimes occurred”.

This rule of law policy tool aims to serve two purposes:

First, to explore the potential positive impact hybrid courts may have on the domestic justice system of post-conflict States so as to ensure a lasting legacy for the rule of law and respect for human rights; Second, to examine how hybrid courts can receive the mandates and necessary political support required to be more effective in terms of legacy and capacity-building.75

Substansi dari hybrid tribunal dilakukan ketika hukum nasional mengalami kemandegan dalam penyelesaian kejahatan terhadap kemanusian dan genosida. Upaya hukum internasional adalah menghadirkan Hybrid Tribunal yaitu pengadilan campuran dari segi yuridiksi dan komposisi, yang meliputi aspek baik nasional maupun internasional, dimana pelaksanaannya di dalam yurisdiksi di mana kejahatan terjadi. Bahwa pilihan Hybrid Tribunal, bukanlah persoalan politis dan menggeser kedaulatan negara, tetapi ini adalah

74

http://te-effendi-pidana.blogspot.com/2012/07/hybrid-model-peradilan- pidana.html, diunduh 28 Februari 2015.

75

United Nations, Rule Of Law Tools for Post Conflict States : Maximizing the legacy of hybrid courts. New York and Geneva, 2008. Hal.1

82

persoalan hak asasi manusia yang menempati posisi sangat penting dalam hukum internasional.

Hybrid tribunals atau pengadilan campuran menurut Ethel Higonnet, merupakan kombinasi internasional dan lokal, hybrid juga adalah produk dari berbagi akuntabilitas peradilan antara negara- negara di mana mereka berfungsi dan juga Persatuan Bangsa Bangsa.

“Blending the international and the local, existing hybrids are products of judicial accountability sharing between the states in which they fucntion and the United Nations”.76 Adanya perpaduan unsur lokal dan internasional ini sesungguhnya adanya upaya untuk menghindari terjadinya impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Ini mungkin salah satu model penegakan hukum progresif, yang menurut Suparman Marzuki, menawarkan bentuk pemikiran dan penegakan hukum yang tidak

submisif terhadap sistem yang ada, tetapi afirmatif (afirmatif law

enforcement). Afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktik konvensional dan menegaskan penggunaan

76 Higonnet, Ethel, “

Restructuring Hybrid Courts: Local Empowerment and National Criminal Justice Reform. Yale Law School. 2005. Student Scholarship. Hal 4. http://digitalcommons.law.yale.edu/student_papers.

83

satu cara yang lain, yang menerobos pakem-pakem praktik hukum

yang telah lama berlangsung.77

Oleh karena itu, pilihan hybrid tribunals memiliki kekuatan- keuatan internasional yang memiliki daya tekan dan kredibilitas dalam penyelenggaran peradilan HAM masa lalu. Ini senyampang

dengan pandangan Higonnet78 terkait hybrid tribunal menurutnya

teori setidaknya, hibrida dapat memanfaatkan kekuatan keadilan internasional dan manfaat dari penuntutan lokal. Masih menurut Higonnet disatu sisi, hibrida dapat memanfaatkan kredibilitas hukum internasional dan legitimasi khusus untuk lembaga-lembaga internasional, yang partisipasinya dapat meminjamkan pengadilan hibrida tingkat otoritas sebagai mekanisme yang adil untuk mengadili pelaku. Sedangkan Disisi yang lain, hibrida secara terstruktur dapat memasukkan keahlian lokal, yang berkaitan dengan penduduk lokal, dan membangun kembali sistem peradilan lokal sebagai tempat pelatihan bagi penegakan nilai-nilai hukum.

Adapun yang menarik dari hybrid adalah intervensi kekuatan lokal yang dapat mengancam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat diminimalisir karena melibatkan pihak-pihak internasional. Oleh karena itu penyelesaian melalui

77

Marzuki, Suparman, Pengadilan HAM di Indonesia : Melanggengkan Impunity. Jakarta : Erlangga, 2012. Hal. 276.

78

84

hybrid tribunal diharapkan menjadi jalan terbaik bagi penegakan hukum baik secara internasional maupun secara nasional. Substansi dari alternatif penyelesaiaan model hybrid tribunal ini adalah bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan tanpa kompromi dan juga demi mengurangi implikasi politik yang dapat menimbulkan “imunitas” pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan karena adanya perlindungan hukum nasional dari penguasa. Pada dasarnya kemunculan pengadilan hibrid karena dilatar belakangi berbagai varian politik dasar hukum yang berbeda-beda. Dan menurut Arie

Siswanto79, dasar hukum pembentukan pengadilan hibrid terbagi

menjadi tiga kategori, yaitu : pengadilan hibrid yang dibentuk berdasarkan perjanjian antara PBB dengan negara, pengadilan hibrid

yang dibentuk oleh PBB atau pemerintah internasional (international

administration) di suatu negara, dan pengadilan hibrid yang dibentuk oleh suatu negara namun mendapatkan dukungan internasional.

Namun, apapun dalil-dalil pembentukan hybrid tribunlas, paling tidak memiliki perspektif yang sama tentang tujuan terbentuknya pengadilan tersebut, yaitu :bahwa pengadilan hibrid pada hakekatnya adalah mewujudkan perdamaian dan keadilan berdasarkan standar hukum internasional dengan cara mengakhiri

79

Siswanto, Arie, Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta : CV. Andi Offset. 2015. Hal 302.

85

impunitas bagi pelaku kejahatan internasional, melalui keterlibatan

komponen-komponen hukum internasional. 80

Oleh karena itu, dalam penyelesaian extrajudicial killings

1965 ini, indonesia dapat menyelesaiakan model pengadilan “hybrid” (campuran), sebagaimana contoh negara-negara yang telah melakukan terlebih dahulu, seperti :

Dalam dokumen T2 322014005 BAB III (Halaman 39-48)

Dokumen terkait