• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian melalui Mekanisme Non-Yudisial

Dalam dokumen T2 322014005 BAB III (Halaman 60-114)

Upaya penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dimasa lalu termasuk pembantaian 1965, yang oleh penulis disebut “Extrajudicial killings1965”, yang telah menjadi Agenda Pemerintahan Presiden Joko, dimana Presiden melaluii Jaksa Agung meminta agar menyelesaikan warisan HAM masa lalu. Komnas HAM juga telah melakukan penyelidikan dan memberikan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan sebagaimana diatur daalam UU No. 26 Tahun 2000. Pada kenyataannya Kejaksaan Agung tak pernah menindaklanjuti dengan alasan berkas hasil penyelidikan tidak lengkap. Akibatnya kasus HAM berat tak kunjung tuntas. Bahkan upaya yang telah dilakukan oleh Melkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan, dengan menggelar simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang di gelar 18-19 April 2016 di Jakarta.

Namun upaya penyelesaian itu tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan mudah. Tuntutan korban berbanding terbalik dengan kenyataan dilapangan, sebagaimana kasus Extrajudicial Killing1965, karena banyak banyak pihak yang tidak berkenan bahwa kasus itu diselesaikan. Upaya simposium tandingan yang menolak penyelesaian tragedi 1965 juga digelar.

Oleh karena itu, upaya terbaik untuk menjembatani penyelesaian Extrajudicial Killing 1965 adalah melalui proses non-yudisial atau diluar

98

pengadilan. Sebagaimana gagasan simposium yang bertujuan untuk mencari format penyelesaian kasus HAM era 1965. Meskipun penyelesaian non yudisial oleh Keluarga korban serta pegiat HAM dianggap sebagai upaya melanggengkan impunitas atau kekebalan

hukum. Sinyalemen tentang penyelesaian Extrajudicial killings 1965

melalui nonyudisiaal juga diungkap Menko Polhukam Luhut Pandjaitan ditanya wartawan usai rapat terbatas bidang HAM, Selasa (05/01). Luhut kembali mengulangi pernyataan pemerintah yang akan menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM di masa lalu melalui proses nonyudisial. Begitu juga Pada 2015 lalu, dalam pembahasan Komnas HAM dengan sejumlah kementerian yaitu Kantor Menko Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, dan Mabes TNI, disepakati penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu akan

dilakukan melalui non-yusidial.101

Seringkali penyelesaian non-yudisial atau diluar pengadilan menjadi kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi pilihan karen itu dinilai lebih memuaskan beberapa pihak yang sedang berkonflik. Meskipun kadang penyelesaian diluar pengadilan memunculkan polemik karena cara ini dianggap menyimpang dalam peradilan pidana, jika

101

Presiden didorong bentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat. BBC Indonesia. 7 Januari 2016. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160106_ indonesia_ham_pelanggaran. Diakses Juni 2016.

99

perspektifnya menggunakan asas legalitas. Padahal penyelesaian diluar pengadilan juga diakui di dalam peraturan perundangan di Indonesia, sebagaimana dalam Uundang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Penjelasan Pasal 3, Ayat (1) yaitu :

“Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan. disebutkan " Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan" .

Begitu juga dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka (10) dinyatakan "Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

Penyimpangan proses penyelesaian diluar peradilan juga dikenal dengan istilah Restorative Justice, dimana di Indonesia istilah ini ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. DalamUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 butir (6) menyatakan, Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

100

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.-

Restorative justice is a new movement in the fields of victimology and criminology. Oleh karena itu definisi keadilan restoratif yang menekankan pentingnya kedua proses restoratif dan hasil, yaitu : keadilan restoratif merupakan teori keadilan yang menekankan memperbaiki kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh perilaku kriminal. Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk keadilan yang berfokus pada kebutuhan para korban dan pelaku, serta masyarakat yang terlibat. Hal ini kontras dengan pendekatan yang lebih bersifat menghukum mana tujuan utamanya adalah untuk menghukum pelaku,

atau memenuhi prinsip-prinsip hukum yang abstrak.102

Hal ini paling baik dilakukan melalui proses kooperatif yang mencakup semua pemangku kepentingan. Bahkan keadilan restoratif memungkinkan korban, pelaku dan anggota yang terkena masyarakat untuk terlibat langsung dalam menanggapi kejahatan. Mereka menjadi pusat untuk proses peradilan pidana, dengan profesional pemerintah dan hukum yang berfungsi sebagai fasilitator dari sistem yang bertujuan

102

Restorative justice. https://en.wikipedia.org/wiki/Restorative_justice. Diakses 16 Juni 2016.

101

akuntabilitas pelaku. 103 Pada dasarnya Keadilan restoratif melihat proses

pemidanaan dari perspektif yang berbeda, yaitu pemenuhan atas kerugian yang diderita korban. Dan menurut Kuat Puji Prayitno, merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku disis lain dan korban / masyarakat lain ddilain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali

pada pola hubungan baik dalam masyarakat.104

Bagaimanapun program keadilan restoratif, menurut United Nations, didasarkan pada beberapa asumsi yang mendasari, yaitu :

a) bahwa respon terhadap kejahatan harus memperbaiki sebanyak mungkin kerugian yang diderita oleh korban; b) bahwa pelanggar harus dibawa untuk memahami bahwa

perilaku mereka tidak dapat diterima dan bahwa itu memiliki beberapa konsekuensi nyata bagi korban dan masyarakat; c) bahwa pelaku dapat dan harus menerima tanggung jawab atas

tindakan mereka;

d) bahwa korban harus memiliki kesempatan untuk

mengekspresikan kebutuhan mereka dan untuk berpartisipasi

103

Restorative Justice Briefing Paper. What is Restorative Justice? Centre for Justice & Reconciliation at Prison Fellowship International. 2005. Hal 1.

104

Prayitno, P Kuat. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto). Paper. Hal. 409.

102

dalam menentukan cara terbaik bagi pelaku untuk memberikan reparasi, dan

e) bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab untuk

berkontribusi pada proses ini105.

Oleh karena itu, Alternatif Penyelesaian Extrajudicial Killigs

1965, penulis mengajukan melalui mekanisme non-yudisial sebagai berikut :

1. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

Dalam Sistem hukum Indonesia dkenal penyelesaian sengketa melalui dua hal yaitu secara yudisial dan nonyudisial. Penyelesaian sengketa seperti pelanggaran HAM berat secara non- yudisial salah satu pendekatan yang sering digunakan oleh masyarakat internasional adalah melaluii rekonsiliasi. Pendekatan rekonsiliasi ini meski oleh beberapa pihak dianggap tidak menjamin terwujudnya rasa keadilan, tetapi lebih dari 20 negara yang juga menerapkan model rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Diantaranya adalah Afrika Selatan (1995), Chili (1990-1992), El Savador (1992-1994) serta Meksiko (1992).

Alih-alih tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan alternatif pilihan. Ini adalah alternatif setelah mekanisme Yudisial

105

United Nations. Handbook On Restorative Justice Programes. UN. Publication, New York. 2006. Hal. 8.

103

melalui pengadilan HAM ad hoc UU No. 26 Tahun 2000, prosesnya sangat sulit ditempuh. Pilihan komisi kebenaran dan rekonsiliasi menurut Wapres, KKR adalah upaya meniru metode penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Afrika Selatan. “to forgive not to

forget.” Wapres lebih lanjut mengatakan metode penyelesaian di

Afrika Selatan semacam islah di Indonesia.106

Oleh karena itu, padangan bahw Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan fenomena transisi; ia muncul dari konteks negara-negara yang sedang menghadapi transisi dari rejim otoriter ke

rejim demokratis107.

Sebuah komisi kebenaran atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi adalah komisi yang bertugas menemukan dan mengungkapkan kesalahan masa lalu oleh pemerintah (atau, tergantung pada keadaan, aktor non-negara juga), dengan harapan menyelesaikan konflik yang tersisa dari masa lalu. Komisi kebenaran, dengan berbagai nama, kadang-kadang dibentuk oleh negara-negara yang muncul dari periode kerusuhan internal, perang saudara, atau kediktatoran. Pada keduanya berfungsi mencari kebenaran dan rekonsiliasi, komisi kebenaran memiliki implikasi

106

Kontras. Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi. Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006. Hal. 4. https://www.kontras.org/buletin/indo/2006-11-12.pdf

107

Ifdhal Kasim. Apakah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu? Elsam. Briefing Paper Series tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. No. 1 Tahun 1 Juli 2000. Hal 1.

104

politik: mereka "terus-menerus membuat pilihan ketika mereka menentukan tujuan dasar seperti kebenaran, rekonsiliasi, keadilan, memori, reparasi, dan pengakuan, dan memutuskan bagaimana tujuan tersebut harus dipenuhi dan kebutuhan semestinya dapat dijalani108.

Mengapa kemudian komisi kebenaran dan rekonsiliasi

menjadi penting, menurut Instittute for Democracy and Electoral

Asistance (IDEA), bahwa rekonsiliasi adalah proses menyeluruh yang mencakup pencarian keadilan, pengampunan, penyembuhan dan sebagainya. Secara sederhana, itu berarti menemukan cara untuk hidup bersama mantan musuh - tidak selalu harus dengan mencintai mereka, atau melupakan masa lalu dengan cara apapun, tetapi untuk hidup berdampingan dengan mereka, untuk mengembangkan tingkat kerjasama yang diperlukan untuk berbagi kemasyarakatan kita dengan mereka, sehingga bahwa kita semua memiliki kehidupan yang lebih baik bersama-sama daripada kami telah terpisah.

“Reconciliation is an overarching process which includes

the search for justice, forgiveness, healing and so on. At its simplest, it means finding a way to live alongside former enemies - not necessarily to love them, or forget the past in any way, but to coexist with them, to develop the degree of cooperation necessary to share our society

108

https://en.wikipedia.org/wiki/Truth_and_reconciliation_commission. Diakses tanggal 15 Juni 2016.

105

with them, so that we all have better lives together than

we have had separately”.109

Adapun menurut Erasmus Ndemole, komisi kebenaran umumnya dipahami sebagai badan yang dibentuk untuk menyelidiki sejarah masa lalu dari pelanggaran hak asasi manusia di negara tertentu. yang dapat mencakup pelanggaran oleh pasukan pemerintah

militer atau lainnya atau kekuatan oposisi bersenjata. “Truth

commissions are generally understood to be bodies set up to investigate a past history of violations of human rights in a particular country. which can include violations by the military or other government forces or armed opposition forces”.110

Contoh tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi,

sebagaimana diungkapkan oleh Priscilla B. Hayner111, tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di El Salvador. Bahwa El Salvador dikenal sebagai "Komisi Kebenaran", komisi, didirikan sebagai bagian dari kesepakatan damai antara pemerintah dan oposisi bersenjata di El Salvador, komisi diberikan waktu delapan

109

David Bloomfield, Teresa Barnes, Luc Huyse (ed). Reconciliation After Violent Conflict,. A Handbook. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). Stockholm. 2003. Hlm 12

110

Migyikra, Ndemole Erasmus. Truth and Reconciliation Commissions : a Comparative Study of South Africa, Ghana and Sierra Leone. Thesis. The Europe University. Austria. 2008. Hal. 16.

111

Hayner, B Priscilla, Fifteen Truth Commissions--1974 to 1994: A Comparative Study. The Johns Hopkins University Press. Human Rights Quarterly, Vol. 16, No. 4 (Nov., 1994). Hal. 599.

106

bulan untuk menulis laporan yang menguraikan luasnya pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional setelah lebih dari dua belas tahun perang saudara di El Salvador. Staf Komisi mendengarkan kesaksian dari saksi atau korban kekerasan, menyelidiki sejumlah kasus secara mendalam, dan dikompilasi secara statistik pada puluhan ribu kasus dibawa untuk menjadi perhatiannya.

Masih menurut Hayner, laporan akhir komisi juga menggambarkan penyalahgunaan secara meluas terhadap warga sipil oleh pasukan bersenjata dan oleh regu kematian dan, meskipun dalam jumlah yang jauh lebih rendah, pelanggaran oleh oposisi bersenjata. Laporan ini juga menunjukkan pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan, menyoroti kegagalan sistem peradilan, dan merekomendasikan langkah-langkah untuk reformasi. Seperti banyak yang mencatat, laporan Komisi Kebenaran pada akhirnya menegaskan kepada banyak orang, terutama orang Salvador, dimana semua telah lama diterima sebagai kebenaran, tetapi pengakuan resmi dari pelanggaran yang luas itu penting dalam dirinya sendiri. Komisi Kebenaran di El Salvador adalah komisi tersebut pertama

yang disponsori,, dibayar, dan dikelola oleh PBB.112

112

107

Belajar dari El Salvdor, bahwa konstruksi komisi kebenaran, secara umum, adalah badan yang dibentuk untuk menyelidiki sejarah masa lalu dari pelanggaran hak asasi manusia di negara tertentu yang dapat mencakup pelanggaran oleh pasukan pemerintah militer atau lainnya atau oleh pasukan oposisi bersenjata.113

Empat tujuan utama untuk komisi kebenaran yaitu : 1) berusaha untuk memberikan kontribusi bagi perdamaian transisi dengan menciptakan rekor otoritatif apa yang terjadi; 2) menyediakan ruang bagi para korban untuk menceritakan kisah mereka dan memperoleh beberapa bentuk ganti rugi; 3) merekomendasikan legislatif, struktural atau lainnya, perlunya perubahan untuk menghindari pengulangan pelanggaran di masa lalu; 4) dan menentukan siapa yang bertanggung jawab dan

memberikan ukuran akuntabilitas bagi para pelaku.114

Oleh karena itu, oleh Hayner, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mencakup empat element, yaitu :

“First, a truth commission focuses on the past. Second, a truth commission is not focused on a specific event, but attempts to paint the overall picture of certain human rights abuses, or violations of international humanitarian law, over a period of time. Third, a truth commission usually exists temporarily and for a pre-defined period of time, ceasing to exist with the submission of a report of its

113

Hayner, B Priscilla, Ibid. Hal. 600. 114

108

findings. Forth, a truth commission is always vested with some sort of authority, by way of its sponsor, that allows it greater access to information, greater security or protection to dig into sensitive issues, and a greater impact with its report”.115

Kemudian komisi kebenaran dan rekonsiliasi dalam konteks Indonesia, pada awalnya menggunakan payung hukum UU No. 27 tahun 2004, Pasal 1 Ayat (3), yaitu :

“komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang selanjutnya disebut komisi, adalah lembaga indenpenden yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggarn hak asasi manusia yang berat dan

melaksanakan rekonsiliasi”.

Melalui payung hukum itu, diharapkan penyelesaian

pelanggaran HAM berat seperti: extrajudicial killings 1965, dapat

dilakukan secara nonyudisial atau diluar pengadilan. Bahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Pemerintah melalui Jaksa Agung berupaya untuk menyelesaikan melalui mekanisme non

yudisial beberapa alasan. “Karena itu, seperti kasus 1965, saksi sulit

dicari, buktinya juga seperti itu, maka kami tawarkan untuk diselesaikan pendekatan non yudisial diluar jalur proses hukum, melalui pendekatan rekonsiliasi. Dasar hukum lain soal penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah Undang-

115

109

Undang Nomor 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 1 Ayat (1), yaitu :

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Adapun bagaimana mekanisme pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dijelaskan dalam Pasal 47 Ayat (2), yaitu :

(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dibentuk dengan Undang- Undang.

Berkenaan dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang harus dibentuk melalui Undang-Undang, dulu

mengacu pada Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada 7 September 2004. Dan sebelumnya, Undang-Undang ini juga telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/2000 yang kemudian juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan

HAM. Pada sisi yang lain kehadiran UU No. 27 Tahun 2004, tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana termaktub dalam UU. N0. 26 tahun 2000, tentang Pengadilan HAM, Pasal 47 Ayat (1), diharapkan dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui proses non yudisial. Meskipun ada beberapa pasal yang

110

masih banyak mengandung kelemahan disana sini. Pemerintah sendiri berpendapat, dalam jawaban uji materi di Mahkamah Konstitusi, dengan pokok perkara nomor 006/PUU-IV/2006, bahwa

pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Truth and

Reconsiliation Commission) merupakan sebuah ikhtiar kolektif yang mengedepankan "nilai-nilai islah" dari Bangsa Indonesia dalam rangka perlindungan dan penegakkan HAM, yang pada masa lalu (sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disebut UU

Pengadilan HAM)116.

Bahkan secara substantif Penjelasan UU No. 27 tahun 2004, Pembentukan undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi didasarkan pada pertimbangan :

a). pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas, sehingga korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya masih belum mendapatkan kepastian mengenai latar belakang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat terhadap korban.

116

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Risalah Sidang Perkara No. 006/PUU-IV/2006 Perkara 020/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap UUD 1945 Acara Pengucapan Putusan (VI).. Jakarta. 2006.Hal. 21.

111

Selain belum mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/ atau rehabilitasi atas penderitaan yang mereka alami, pengabaian atas tanggungjawab ini telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidak percayaan yang besar terhadap institusi hukum karena negara dianggap memberikan pembebasan dari hukuman kepada para pelaku.

b). penyelesaian menyeluruh terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia sangat urgen untuk segera dilakukan karena ketidakpuasan dan ketegangan politik tidak boleh dibiarkan terus berlarut-larut tanpa kepastian penyelesaiannya.

c). dengan diungkapkannya kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia, melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi

diharapkan dapat diwujudkan rekonsiliasi nasional117

Salah satu hal terpenting dalam menyelesaikan

pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu adalah antara pelaku dan korban saling memaafkan (Pasal 29 UU KKR), guna

117

Penjelasan UU No. 27 tahun 2004, Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_27_04.htm. Diakses tanggal 10 September 2015.

112

terwujudnya rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional seperti diamanatkan oleh Ketetapan MPR-RI Nomor V/TAP/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan

dan Kesatuan Nasional.118

Bagaimanapun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menurut Haris Azhar, hanyalah cara untuk mengupayakan keadilan dimasa transisi politik paska konflik atau paska rezim represif disebuah Negara. KKR bukan tujuan utama. Yang menjadi tujuan utama adalah mengupayakan keadilan, mengungkap kebenaran pelurusan sejarah bangsa dan perbaikan kondisi bangsa, terutama para korban kejahatan rezim penguasa serta jaminan tidak berulangnya kejahatan-kejahatan tersebut saat ini dan dimasa

depan.119

Aturan hukum UU No.26 Tahun 2000 Pasal 47 Ayat (1) dam UU No. 27 tahun 2004 Pasal 1 Ayat (3) adalah upaya untuk menguatkan posisi hukum terhadap penyelesaian HAM berat masa lalu sehingga ada rasa keadilan. Harapan semua pihak bahwa Komisi kebenaran dan rekonsiliasi dapat melakukan mengungkapkan pelanggaran HAM yang berat masa lalu serta melaksanakan proses rekonsiliasi nasional untuk masa depan bangsa. Selain itu, UU No.

118

Mahkamah Konstitusi RI. Ibid. Hal 21. 119

Azhar, Haris. Agenda Keadilan Paska Putusan MK, Lalu Apa? Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006. Hal. 6. https://www.kontras.org/buletin/indo/2006-11-12.pdf

113

27 Tahun 2004 komisi mendefinisikan lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak dari mereka seperti untuk mendapatkan kebenaran, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Komisi ini juga mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menurut Patricia Hayner, harus memiliki ciri-ciri, sebagai berikut : 1) berfokus pada masa lalu; 2) menyidik pola pelanggaran selama jangka waktu tertentu, bukan peristiwa spesifik; 3) bersifat sementara yang biasanya 6 bulan hingga 2 tahun dan memberikan laporan; 4)

dibentuk secara resmi oleh kekuasaan negara120.

Namun kemudian UU No. 27 Tahun 2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, setelah melalui Uji materi yang diajukan Elsam dan beberapa LSM.

Uji Materi terhadap UU No. 27 Tahun 2004, menyangkut dua hal, yaitu :

1) Putusan terhadap perkara nomor 006/PUU-IV/2006 menyatakan

bahwa MK mengabulkan permohonan para pemohon, dimana

120

Hayner, Priscilla. Kebenaran Tak Terbahasakan, Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan. Elsam. Jakarta. 2005. Hal.23.

114

menyatakan bahwa Undang-Undang KKR bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan UndangUndang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

2) Putusan dengan Nomor Perkara 020/PUU-IV/2006 menyatakan

permohonan para pemohon tidak dapat diterima, dimana putusan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Undang-Undang yang menjadi permohonan pemohon sudah dinyatakan tidak

mengikat secara hukum.121

. Putusan Mahkamah Konstitusi pada uji materi (yudisial

review) UU No.27 Tahun 2004 terhadap UUD 1945, bahwa putusan MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu

Putusan MK telah menghilangkan pijakan dasar bagi penyelesaian

kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tidak hanya itu putusan MK melebihi dari apa yang dimohonkan, atau melebihi petitumnya (ultra petita).

Menurut Todung Mulya Lubis122, Mahkamah Konstitusi

Dalam dokumen T2 322014005 BAB III (Halaman 60-114)

Dokumen terkait