• Tidak ada hasil yang ditemukan

Timor Leste

Dalam dokumen T2 322014005 BAB III (Halaman 54-60)

Negara bekas koloni Portugal ini yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia tahun 1975. Kemudian dalam perjalanannya Timor Timur yang kini bernama Timor Leste melakukan pemisahan diri melalui Referendum tahun 30 Agustus 1999 yang diawasi oleh UNAMET (United Nation Assistance Mission for East Timor) badan bentukan PBB yang bertugas memfasilitasi dan mengawasi pelaksanaan jajak pendapat. Potret berbeda terjadi pasca jajak pendapat yaitu muncul tindak kekerasan yang dikenal sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia.

Pada bulan Oktober 1999, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1272 Tahun 1999, sebagaimana kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB, mendirikan UNTAET (The United Nations Transitional Administration in East Timor) sebagai otoritas yang menangani peralihan kekuasaan di Timor Leste, berdasarkan Regulasi UNTAET 2000/15, tanggal 6 Juni 2000 dan Regulasi UNTAET 2000/11. Pada tanggal 6 Maret 2000 kemudian membentuk

91

92

panel yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kejahatan serius

yang terjadi di Timor Leste.92

Lebih lanjut berkenaan dengan yurisdiksi, menurut Mangai, UNTAET memiliki yurisdiksi atas genosida, kejahatan

perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan,

pemerkosaan, dan penyiksaan yang dilakukan di Timor Timur

antara 1 Januari – 25 Oktober 1999.93 Sedangkan Tholib

Effendi, membagi 3 (tiga) yurisdiksi Special Panels for Serious Crimes in East Timor, yaitu : 1) Yurisdiksi Temporal; dimana Panels (sebutan dari Peradilan khusus tersebut) berwenang mengadili siapapun yang melakukan tindak pidana antara tanggal 1 Januari 19 sampai dengan 25 Oktober sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal 10.2 Regulation 2000/11 jo Pasal 2.3 Regulation 20/15. 2) Yurisdiksi Teritorial; dimana berlaku untuk tindak pidana yang terjadi di seluruh wilayah teritorial Timor Timur. Yuriisdiksi Material; yaitu menurut Pasal 10.1 Regulation 2000/11 jo. Pasal 1.3 Regulation 2000/15 Yurisdiksi material dari Pels adalah untuk tindak pidana :a) Genosida; b)

92

Muhamadin, Safiq. Pengadilan Campuran Internasional (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan Internasional. Artikel. Hal. 6. https://www.academia.edu/23792571/Pengadilan_Campuran_Hybrid-

Tribunals_dalam_Penyelesaian_Kejahatan_Internasional?auto=download 93

Natarajan, Mangai (Terj). Kejahatan dan Pengadilan Internasional. Bandung : Nusa Media, 2015. Hal. 361.

93

Kejahatan Perang; c) Kejahatan terhadap Kemanusiaan; d)

Pembunuhan; e)ekerasan Seksual; dan f) Penyiksaan.94

Dasar pembentukan pada Special Panels Serious

Crimes in East Timor adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB, SC res 1272 (1999) of 25.10.1999, dengan bentuk Peradilan yaitu; UNTAET membentuk peradilan khusus yang disebut

dengan Panels of Judge sebagaimana disebutkan di dalam Pasal

1.1 Regulation 2000/15 yang merupakan amanat dari Pasal 10.3

Regulation 2000/1 UNTAET.95

Para hakim akan diusulkan oleh PBB, tetapi lebih diutamakan berasal dari Timor Timur dan Indonesia, sedang tempat kedudukannya bisa di Indonesia, Timor Timur ataupun di tempat lain yang relevan. Hal itu dapat dilihat dari struktur dari Special Panels of the Dili District Court (SPSC). Pada Panel dalam Pengadilan Distrik Dili terbentuk daru dua orang

hakim internasional dan satu hakim Timor.96 Sedangkan Majelis

hakim yang bertugas di kedua Special Panels terdiri dari dua

hakim internasional dan satu orang hakim lokal.97

94

Effendi, Tholib. Hukum Pidana Internasional. Jakarta : Pustaka Yustisia.2014. Hal. 228.

95

Effendi, Tholib, Ibid. Hal 227. 96

Shaw. Op.Cit.. 409. 97

Ikaningtyas, Hybrid Tribunal Sebagai Upaya Penanganan Kasus Kejahatan Kemanusiaan Berat di Timor Timur Pada Tahun 1999. Risalah HUKUM Fakultas Hukum Unmul, Juni 2012, Vol. 8, No. 1. Hal. 24.

94

“Apabila diperlukan dapat dibentuksebuah panel yang terdiri dari 5 hakim yaitu tiga orang hakim internasional dan dua orang hakim lokal, hal ini diatur

dalam bagian 22 Regulasi 2000/15, yang berbunyi: “In

accordance with section 9 and 10.3 of UNTAET Regulation 2000/11 the panels in the district court of DIli shall be composed of two international jdges and one east Timorese judge; 2.2 in accordance with section 15 of UNTAET Regulation Number 2000/11 the panels in the court of Appeal in Dili shall be composed of two international judges and one Timorese judge. In case of special importance or gravity a panel of five judges composed of three international judges and two

Timorese judges may be established”.98

Adapun hukum substantif diterapkan juga campuran hukum nasional dan internasional, menggabungkan Ketentuan

sedikit dimodifikasi dari Statuta Roma ICC.99

Dari beberapa penjelasan serta contoh-contoh diatas, setidaknya dalam pemilihan Pengadilan Hybrid, memiliki keberhasilan yang menurut Antonio Cassese dalam Raub,

membutuhkan dua kondisi. Pertama ; peradilan nasional harus

layak atau setidaknya sebagian yang layak, sehingga sistem

nasional dapat diandalkan untuk batas tertentu. Kedua : harus

ada kebutuhan untuk meredakan tuntutan nasionalis dari penduduk setempat, yang muncul ketika pemerintah daerah

98

Ikaningtyas. Ibid. Hal 25. 99

Raub, Lindsay. Positioning Hybrid Tribunals International Criminal Justice. 2009. Hal. 1030. Diakses Maret 2016. https://www.uniceub.br/media/181722/Texto2.pdf

95

menganggap administrasi peradilan menjadi atribut penting dari

kedaulatan negara.100

Untuk itu, pengadilan hibrida memainkan peran sentral dalam memastikan bahwa mereka yang dicurigai tanggung jawab pidana diselidiki, dituntut dan dihukum. Disamping itu juga pengadilan hibrida dimaksudkan untuk memberikan kontribusi untuk mengakhiri impunitas dengan memastikan penuntutan kejahatan sangat serius. Hal ini, pada gilirannya, dapat berfungsi untuk memperkuat aturan hukum, terutama dimana impunitas mungkin telah menjadi akar penyebab konflik. Memulihkan menghormati aturan hukum dan menunjukkan bahwa kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida tidak dibiarkan begitu saja dapat dilihat sebagai landasan perdamaian berkelanjutan dan transisi demokrasi.

Namun, dalam pelaksanaan Pengadilan Hybrid dalam kasus extrajudicial killings 1965, juga sebagaimana terjadi di Sierra Leone, Kamboja, dan Timor Timur juga tidak terlepas dari hambatan-hambatan dalam pelaksanaanya, seperti :

1) Pengadilan campuran (Hybrid) sebagaimana dilaksanakan

di Timor Timur, Kamboja serta Sierra Leone terjadi pada

100

96

saat konflik sedang berlangsung atau situasi politik sedang memanas, sehingga memunculkan kehadiran militer asing atau campur tangan pihak internasional (PBB) untuk melakukan misi perdamaian atau menjaga konflik . Sedangkan dalam kasus extrajudicial killings 1965 di Indonesia, pada saat ini tidak terjadi kasus konflik antara pihak-pihak pro PKI dan Anti PKI, sehingga kehadiran

militer asing/internasional (PBB) sangat tidak

dimungkinkan.

2) Tidak adanya political will dari pemerintah untuk memintah

PBB mengeluarkan Resolusi sebagai landasan hukum pelaksanaan Pengadilan Hybrid. Bahwa Pengadilan Hybrid hanya bisa terlaksana jika ada permintaan dari pemerintah Indonesia, sebagaimana terjadi di Sierra Leone dan Kamboja. Sedangkan di Indonesia saat ini, justru pemerintah tersandera oleh kepentingan politik kelompok mayoritas dan militer yang anti terhadap Komunis. Pertimbangan politik dan keamanan dari dalam negeri --- kelompok anti komunis---- yang terus menekan pemerintah untuk tidak mengungkit kasus 1965.

97

Dalam dokumen T2 322014005 BAB III (Halaman 54-60)

Dokumen terkait