• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengamatan/Pengumpulan Data Hasil yang diperoleh pada observasi

Dalam dokumen Analisis Kemampuan Problem Solving Mahas (Halaman 104-115)

DAFTAR PUSTAKA

B. Analisis Hasil Belajar Siswa

3. Pengamatan/Pengumpulan Data Hasil yang diperoleh pada observasi

pengawas pada siklus II mencapai skor rata-rata (4,42) dari indikator keberhasilan (> 4, 00), sedangkan hasil observasi guru BK mencapai skor rata-rata (4,01) dari indikator keberhasilan (> 4,00) dan hasil nila rata-rata yang dicapai oleh peserta supervisi aka-demik layanan bimbingan klasikal dikelas adalah (89,79) dari indikator keberhasilan (> 85,00).

Tantangan dan hambatan yang terjadi pada tahapan ini tidak ada, semua berjalan lancar. Hal ini bisa terjadi karena dalam perencanaan dan pelaksanaan tindakan sudah sinkron sehingga membawa dampak peningkatan secara optimal dalam perolehan rata-rata skor maupun rata-rata nilai.

Sugeng Prayoga, Peningkatan Kompetensi dalam Memberikan Layanan Bimbingan Klasikal

101 4. Refleksi

Hasil pengamatan terhadap penga-was selaku peneliti yang dilakukan oleh observers memperoleh skor rata-rata (4,42) dan indikator keberhasilan > 4, 00, semen-tara hasil pengamatan terhadap efektifitas guru BK peserta pembimbingan pada kegiatan diskusi kelompok diperoleh skor rata-rata (4,01) dari indikator keberhasilan > 4,00, sedangkan nilai rata-rata hasil super-visi akademik layanan bimbingan klasikal adalah (89,79) dari indikator keberhasilan > 85,00.

Perolehan rata-rata skor dan niali rata-rata kerja individual sudah memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan, sehingga peneliti tidak perlu lagi untuk mengadakan perbaikan dalam tindakan yang telah dilakukan. Ini artinya bahwa upaya meningkatkan kompetensi guru BK pada sekolah/madrasah binaan dalam melaksana-kan layanan bimbingan klasikal dikelas yang dilakukan melalui supervisi akademik dapat diwujudkan.

Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) diakhiri pada siklus II sesuai dengan rencana yang telah di terangkan pada proposal. Hal-hal yang mengandung nilai positif dan mampu meningkatkan kompetensi guru BK perlu terus dilakukan dalam rangka perwujudan pengawas yang berkualitas dan memiliki kompetensi dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB).

Simpulan dan Saran Simpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 3 (tiga) sekolah binaan dengan subyek penelitian 12 (dua belas) guru BK menunjukkan bahwa pelaksanaan supervisi

akademik dapat meningkatkan kemampuan guru BK dalam melaksanakan layanan bimbingan klasikal dikelas. Indikator keberhasilan dalam penelitin ini telah tercapai, sehingga penelitian tindakan sekolah (PTS) dengan judul “ Meningkatkan Kompetensi Memberikan Layanan Bim-bingan Klasikal Bagi Guru BK SMA Binaan Di Kota Mataram Tahun Pelajaran 2014/2015 Melalui Supervisi Akademik “, dinyatakaan “Berhasil”. Penelitian Tinda -kan Sekolah ini dihenti-kan pada siklus ke II. Saran

a. Kepada guru BK yang terlibat dalam penelitian ini agar mampu meng-aplikaasikan dalam proses layanan bimbingan klasikal di kelas. Selain itu diharapkan guru BK sebagai peserta pembimbingan, pasca mengi-kuti kegiatan mampu menularkan kepada guru BK yang lain tentang tata cara pelaksanaan layanan bim-bingan klasikal dikelas sesuai dengan yang baik dan benar, didahului dengan penyusunan RPL layanan bimbingan klasikal yang benar. b. Kepada sekolah mengusahakan

adanya jam tatap muka dikelas antara guru BK dengan siswa untuk melaksanakan layanan bimbingan klasikal secara terjadwal.

c. Kepada Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Mata-ram, hasil Penelitian Tindakan Seko-lah (PTS) ini untuk dijadikan bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan terkait dengan peningkatan kompetensi pengawas dalam pengembangan

keprofesian berkelanjutan (PKB) dimasa mendatang dengan harapan semua pengawas lingkup binaan Dinas Dikpora Kota Mataram dapat naik pangkat setingkat lebih tinggi dari pangkat sebelumnya.

Daftar Pustaka.

Arikunto, dkk. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara

Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka

Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: RinekaCipta.

Suharsimi Arikunto, (2004) Dasar-dasar Supervisi, Jakarta, Reneka Cipta. Usman, Uzer. (1995). Menjadi Guru BK

Profesional. Bandung : PT Rwemaja Rosdakarya.

Anonim, 2005. UU RI Nomor 14 tahun 2005

Tentang Guru dan Dosen.

© 2015 LPPM IKIP Mataram

Motif Kekerasan pada Perempuan Suku Sasak (Studi Kasus Tentang Perceraian)

Sukarman, Made Piliani, dan M. Syarafuddin Program Studi Bimbingan Konseling, FIP IKIP Mataram

E-mail: [email protected]

Abstract: This research is motivated by the many cases of violence experienced by women Sasak. Motive force experienced physical violence and verbal form, so it is often an impact on the issue of divorce. The purpose of this study is to provide a learning process Sasak women to avoid divorce due to domestic violence. This study uses descriptive qualitative method and consists of 3 respondents who divorced status. While the focus of this research is the interview process conducted by researchers at the respondent. The results of this study is that physical violence includes kicking as much as 35.42%, 22.92% suffocating, knock heads on the wall 16.67%, hit with a broom 14:58, 10:42 throw hard objects%. whereas verbal violence includes 34.48 dirty talk, cheating 32.76%, 12.93% leaving his wife, does not provide for the wife 11:21%, and 8.62% discuss wife ugliness. Based on the above results show that the level of violence on women Sasak more dominant in physical violence and verbal abuse in the form of a kick to talk dirty and rude to his wife.

Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya terjadi kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan suku Sasak. Motif kekerasan yang dialami berupa kakarasan fisik dan verbal, sehingga hal tersebut sering berdampak pada masalah perceraian. Adapun tujuan penelitian ini adalah memberikan proses pembelajaran pada perempuan suku Sasak agar terhindar dari perceraian yang disebabkan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan terdiri dari 3 orang responden yang berstatus bercerai. Sedangkan fokus dalam penelitian ini adalah proses interview yang dilakukan peneliti pada responden. Adapun hasil penelitian ini adalah kekerasan fisik yang meliputi menedang sebanyak 35.42%, mencekin, 22.92%, benturkan kepala di tembok, 16.67%, memukul dengan sapu, 14.58, melempar dengan benda keras, 10.42%. sedangkan kekerasan verbal yang meliputi bicara kotor, 34.48, selingkuh, 32.76%, meninggalkan istri, 12.93%, tidak menafkahi istri, 11.21%, dan membicarakan kejelekan istri 8.62%. Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukan bahwa tingkat kekerasan pada Perempuan suku Sasak lebih dominan pada kekerasan fisik menendang dan kekerasan verbal berupa berbicara kotor dan kasar terhadap istri.

Kata kunci: Kekerasan, Perempuan Suku Sasak, dan Perceraian Pendahuluan

Suku Sasak berasal dari keturunan Austronesia yang bermigrasi dari daratan Asia sekitar 5.000 tahun SM dan tinggal di daerah-daerah di Asia Tenggara sampai ke Kepulauan Pasifik Selatan. Saat ini 85% dari populasi Lombok adalah suku Sasak. Meskipun Lombok sangat dipengaruhi oleh budaya Bali yang mayoritas memeluk agama Hindu Bali tetapi suku Sasak di

Lombok mayoritas memeluk agama Islam (Diktat, Pembda NTB, 2011). Penduduk pulau Lombok pada tahun 2012 yang terdapat dari 265 Desa sebanyak 3.608.238 jiwa diantaranya 98.000 merupakan suku bangsa pendatang (bukan Suku Sasak). Data tersebut akan dirincikan berdasarkan pada kabupaten kota tempat peneliti melakukan penelitian yaitu dilingkungan masyarakat suku Sasak kabupaten Lombok Tengah.

Tabel 1: Proyeksi Jumlah Penduduk Tahun 2011 di Kab. Lombok Tengah. No Kecamatan Laki-laki Perempuan Total

1 Batukeliang Utara 22.330 25.517 47.847

2 Praya Barat 33.425 36.431 69.856

3 Praya Barat Daya 24.509 27.268 51.777

4 Pujut 46.946 50.911 97.857 5 Praya Timur 30.172 33.113 63.285 6 Janapria 32.718 38.215 70.933 7 Kopang 35.071 41.221 76.292 8 Praya 50.241 54.354 104.595 9 Praya Tengah 28.978 31.541 60.519 10 Jonggat 43.369 46.733 90.102 11 Pringgarata 30.267 33.470 63.737 12 Batukliang 33.166 38.929 72.095 Total 411.192 457.703 868.895

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lombok Tengah 2011.

Suku Sasak yang berada di sebagian wilayak Lombok tengah biasanya melakukan tradisi yang unik dalam melaksanakan upacara adat, khususnya adat pernikahan. Ketika seorang mengadakan ritual adat pernikahan, seorang laki-laki mencuri perempuan yang akan dinikahi. Adapun pencurian (kawin lari) yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada perempuan tidak termasuk pelanggaran hukum karena perbuatan tersebut dilindungi oleh hukum adat masyarakat setempat. Namun sumber masalah yang muncul adalah perempuan suku Sasak sering mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari laki-laki (suami). Adapun bentuk perilaku tersebut adalah seorang suami sering melakukan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga (KDRT), sehingga kejadian tersebut berujung pada kasus perceraian.

Menurut Atkinson & Atkinson, dan Hilgard (1993) kekerasan adalah tindakan

yang dimaksudkan untuk melukai orang lain secara fisik atau verbal dan merusak harta benda. Barkowitz (1999) menyebutkan bahwa kekerasan sebagai bentuk perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain secara fisik maupun mental. Kekerasan juga diartikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi orang lain, tindakan atau cara yang menyakitkan, sampai pada cara yang memaksakan kehendak. Dari sudut pandang yang lain, kekerasan paling tepat dianggap sebagai bentuk dari “penyaluran stimulus berbahaya kepada orang lain yang lemah dan tak berdaya”. Sehingga sasaran yang paling tepat cenderung dialami oleh perempuan pasangan suami-istri yang menikah pada usia muda. Adapun kasus-kasus perceraian yang dilaporkan akibat tindakan kekerasan dikecamatan Praya Timur kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2010-2013 adalah sebagai berikut:

Sukarman, Motif Kekerasan pada Perempuan Suku Sasak

105 Tabel 2. Data Kasus kekerasan kecamatan

Praya Timur Desa Jumlah kekerasan Jumlah perceraian Mujur 84 28 Sengkerang 92 31 Ganti 107 35 Beleka 152 51 Tangun 45 18 Total 480 163

Sumber: Badan Satistik Kecamatan (BSK)

Praya Timur.

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti di daerah tersebut menunjukan bahwa kasus perceraian yang diakibatkan oleh kekerasan yang dilakukan adalah menunjukan suatu pemandangan negatif dalam ikatan keluarga. Kekerasan yang dilakukan oleh pihak laki-laki dapat diakibatkan karena adanya kesenjangan antara suami-istri baik dalam tingkat ekonomi, pendidikan serta status sosial yang terjadi dalam masyarkat. Selain itu yang dapat memicu timbulnya konflik dalam rumah tangga antara lain: 1). Per-selingkuhan, 2). Campur tangan orang tua dalam pernikahan, 3). Poligami, yang terdiri dari konflik yang timbul dalam diri dan konflik dengan istri yang lain, 4). Sikap pasangan yang menyangkut rasa cemburu yang berlebihan, ketidak jujuran, ketidak-dewasaan pasangan, boros dan tidak dapat membantu suami, sikap pasangan pada mertua dalam mengatur rumah tangga, serta sikap pasangan yang keras dan sering tidak mampu menahan diri untuk tidak bekata kasar dan sebagainya.

Kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Berdasarkan dari asal kata kekerasan cenderung diartikan

bentuk serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Iltihat, 2008). Dalam UU No. 23 tahun 2004, menyebutkan yang dimaksud dengan KDRT adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang secara sendiri atau bersama-sama orang lain terhadap seorang perempuan atau pihak lain yang ada dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan termasuk dalam melanggaran hukum (Katjasungkana, N., 2008).

Menurut Budiary (2008) KDRT adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggota dalam rumah tangga misalnya suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan sikap dan hak-hak istri, sehingga istri melakukan gugatan cerai. Perceraian adalah penghapusan ikatan perkawinan melalui putusan hakim atau salah satu pihak dalam perkawinan. Putusnya perkawinan dapat disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal yaitu; talaq atau gugatan karena perceraian tersebut (Saraswati, 2006). Fakih (1999) menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi terjadinya perubahan sosial lainnya dalam masyarakat. Perubahan tersebut disebabkan

oleh munculnya paradigma masyarakat yang keliru tentang status perceraian yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Kasus percerianan dalam masyarakat suku Sasak merupakan peristiwa yang dapat menjadikan seorang perempuan menjadi kurang baik di mata masyarakat walaupun peristiwa tersebut adalah hal yang wajar terjadi. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Yin (2009) mendefinisikan studi kasus sebagai pendekatan yang digunakan untuk mem-pelajari, menerangkan dan menginterpretasi-kan suatu ’kasus’ dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan alasan bahwa kasus yang diteliti terbatas pada kasus tertentu yaitu kasus mengenai motif kekerasan pada perempuan “Suku Sasak” di Lombok yang berdampak pada masalah perceraian pasangan muda. Selain itu pula, sebagai suatu upaya penelitian, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada pengetahuan secara unik tentang berbagai fenomena (Yin, 2009) yang dalam hal ini adalah motif kekerasan pada perempuan “suku Sasak di Lombok. Berdasarkan keunikan kasus dalam penelitian ini, maka jenis studi kasus yang digunakan adalah intrinsic case study

(Creswell, 1998).

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi. Proses pengumpulan data mengikuti pola “zig-zag” di mana peneliti akan terjun ke

lapangan mencari informasi, kemudian menganalisis data yang diperoleh, kembali ke lapangan lagi untuk mendapatkan lebih banyak informasi, menganalisis data, dan seterusnya (Creswell, 1998). Sedangkan menurut Bogdan dan Biklen (1992), analisis data adalah upaya yang dilakukan terhadap data penelitian. Peneliti akan mengorgani-sasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesis-kannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data dilakukan untuk mencari dan menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian. Selain itu juga sebagai permulaan, peneliti membangun akses komunikasi dengan

gatekeepers yang merangkap sebagai informan kunci, yakni ketua RT/RW (keliang bahasa sasak) di Desa Beleka dan Ganti di wilayah tempat peneliti melakukan penelitian.

Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu untuk mendeskripsikan data mengenai motif kekerasan yang terjadi pada perempuan suku Sasak yang berakibat pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Interview atau wawancara merupakan langkah awal dan utama dalam penelitian ini. Adapun wawancara tersebut melibatkan 3 responden yang sering mendapatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Berikut ini data-data yang berkaitan dengan identitas responden.

Sukarman, Motif Kekerasan pada Perempuan Suku Sasak

107 Tabel 3. Identitas responden kekerasan dalam rumah tangga

No. Nama Umur Pekerjaan Tingkat Pendidikan Status

1. Indayani 19 Tahun Tani SLTP Bercerai

2. Nurhasanah 20 Tahun Tani SLTP Bercerai

3. Sainun 24 Tahun Tani SDN Bercerai

Ketiga Responden penelitian tersebut berasal dari Dusun yang sama yaitu Dusun Jongkor Desa Beleka Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah. Dusun Jongkor terdiri dari 156 Kepala Keluarga yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah, kasus bercerai yang tinggi kemudian perceraian dialami oleh mereka yang masih berusia dibawah 25 tahun. Peristiwa tersebut merupakan jadi langkah awal peneliti untuk melakukan penelitian dan mempersiapkan langkah-langkah untuk menyusun strategi wawancara dengan korban kekerasan pada perempuan suku Sasak di Lombok.

Proses penelitian dilakukan dengan mengumpulkan ketiga responden dan menjelaskan tujuan dan maksud dari pertemuan tersebut. Ketika peneliti mulai

interview dengan Indrayani biasa dipanggil (Indra), awalnya peneliti bertanya tentang bagaimana kisah pertemuan pertama mereka saat kenalan. Indra menjelaskan waktu pertama bertemu mereka sedang nonton karnaval menyambut 17 Agustus di kampung. Awalnya mereka teman biasa namun pada akhirnya mereka pacaran selama 3 tahun. Setelah memasuki tahun ke-4 mereka memutuskan untuk menikah dan dikaruniai anak laki-laki yang baru berusia 2 tahun, 8 bulan. Ketika masih pacaran Indra juga menceritakan sering berkelahi atau suaminya sering melakukan kekerasan, namun sang suami beralasan yang tepat yaitu cemburu kalau pacarnya dekat dengan laki-laki lain.

Adapun motif kekerasan yang dialami cenderung berupa kasus pemukulan atau kekerasan fisik meliputi; menampar pipi, jambak rambut, menendang, mem-benturkan kepala ditembok dan melempar dengan benda keras kearah istrinya. Sedangkan kekerasan yang non fisik atau verbal meliputi; mencaci maki dan berbicara kotor, menyinggun perasaan dengan menyindir istri dan tidak memberikan nafkah kahiriah atau kebutuhan pokok. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan tesebut dominan dilatar belakangi oleh kondisi ekonomi keluarga, sumber pencarian suami yang tidak menjamin kebutuhan dan kesejahteraan istri dan anak. Selain itu juga sepasang suami-istri ini tinggal bersama dengan kedua orangtua. Sehingga mereka bertengkar kemudian kedua orangtua mereka sering terlibat dan kurang memberikan solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dialami. Namun kasus Indra berbeda dengan Nurhasanah yang biasa dipanggil Nur. Nur menikah pada usia 16 Tahun, ketika itu dia baru selesai sekolah di bangku SLTP bersamaan dengan suaminya. Baru satu tahun menikah, Nur berangkat menjadi TKW bersama suami ke Malaysia. Ketika baru sekitar 8 bulan di Malaysia, Nur mengandung dan disuruh pulang kampung oleh suaminya untuk melahirkan.

Sekitar 2 bulan melahirkan Nur diceraikan oleh suami dari Malaysia yang selama ini orangtua mereka belum tahu sebab atau permasalahan yang dialami oleh

Nur sehingga diceraikan oleh suaminya. Akhirnya Nur perlahan-lahan mulai terbuka kepada kedua orangtuanya tentang permasalahan yang dialaminya. Menurut Nur sebenarnya sering mendapatkan tindak kekerasan dari suami, namun tidak berani menceritakan pada keluarga karena takut dimarahi dan dibenci oleh suaminya. Tindakan kekerasan kekerasan yang dilakukan suaminya adalah berupa pemukul dengan sapu, menendang, menarik rambut dan menampar pipi istrinya. Adapun motif yang menyebabkan perilaku kekerasan terjadi biasanya karena Nur terlambat untuk menyediakan makan, mencuci pakaian kotor dan cenderung Nur hanya membebani suami dan kehidupannya tergantung pada suami yang banyak berkorban mengeluarkan uang dan tenaga sedangkan istri tidak mampu berkerja atau menghasilkan uang. Kemudian faktor penyebab dari kasus perceraian Nur adalah suami sudah menikah dengan perempuan lain di tempat rantau tampa memberitahukan istri.

Kemudian responden yang ketiga yaitu Sainun biasa dipanggil Enon. Enon berasal dari keluarga tingkat ekonomi menengah, sedangkan suaminya dari keluarga miskin. Dari awal pacaran mereka tidak pernah disetujui hubungannya oleh kedua orangtuanya, namun karena mereka saling mencintai akhirnya mereka

melang-sungkan pernikahan. Awal pernikahan hubungan suami istri berjalan dengan baik, namun ketika memasuki tiga tahun masa menikah mereka mulai timbul masalah. Adapun masalah yang menjadi penyebabnya adalah orangtua selalu menghina kalau keluarga mereka adalah orang miskin dan laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tidak terima perlakuan orangtua istri berbicara kotor dan menghinanya akhirnya suami meluapkan kemarahan pada istri. Lampiasan emosi sering ditunjukan dengan melakukan tindakan pemukulan berupa menendang, mencekik leher, menampar istri dan membanting kepala ketembok bahkan sampai memukul istri dengan kayu. Kejadian yang dialami oleh perempuan Suku Sasak, memang sering berakibat pada kasus perceraian. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari dinas kecamatan, warga atau penduduk banyak kasus perceraiannya dialami oleh masyarakat desa Beleka dari 152 tindak kekerasan kepala keluarga yang bercerai sebanyak 51 kepala keluarga. Peristiwa seperti diatas, hampir setiap tahun terjadi di desa Beleka. Hal tersebut membutuhkan pengkajian dan pencarian pemecahan masalah yang dapat menyele-saikan masalah yang dialami oleh warga. Adapun data secara statistik dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 4. klasifikasi bentuk kekerasan pada perempuan suku Sasak. No

Jenis Kekerasan

Kekerasan fisik Jml Per % Kekerasan verbal Jml Per %

1. Menendang 17 35.42% Berbicara kotor 40 34.48%

2. Mecekik leher 11 22.92% Selingkuh 38 32.76%

3. Benturan kepala ditembok 8 16.67% Meninggalkan istri 15 12.93% 4. Memukul dengan sapu 7 14.58% Tidak menafkahi istri 13 11.21% 5. Melempar dengan benda

keras 5 10.42% Membicarakan kejelekan istri 10 8.62%

Sukarman, Motif Kekerasan pada Perempuan Suku Sasak

109 Banyaknya kekerasan dialami

perempuan suku Sasak di Lombok, KOMNAS perempuan belum memberikan bentuk sosialisasi atau penanganan masalah yang dihadapi. Cenderung permasalahan tersebut dianggap sebagai budaya masyarakat yang sudah dikenal dengan kawin-cerai. Kebanyakan masyarakat Lombok menikah lebih dari satu, sehingga sering muncul berbagai persoalan dalam keluarga. Tradisi yang masyarakat sering dikaitkan dengan musim atau perubahan iklim. Musim kemarau kebanyakan mereka bercerai sedangkan musim hujan samapai panen padi warga melangsungkan menikah.

Selain dari hasil wawancara yang dijelaskan diatas, peneliti juga mendapatkan penjelasan dari kepala desa Beleka bahwa; pimpinan desa memberikan awik-awik atau aturan kepada warga desa yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akan mendapatkan sangsi berupa denda sebanyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dan rumah yang ditinggalkan akan diberikan kepada istri dan anak. Ketika kasus perceraian dialami oleh perempuan di Lombok, maka yang akan menerima harta gono-gini adalah pihak laki-laki termasuk harta berupa rumah, tanah, dan isi rumah. Sedangkan istri hanya membawa pakaian dan isi dapur yang dibeli selama mereka menikah. Hal ini menjadi suatu persoalan yang kuat ketika perempuan mengalami perceraian di Lombok. Cukup sedikit perempuan mendapatkan haknya ketika mengalami kasus cenderung mereka akan dipojokan dan dianiaya oleh pihak suami dan keluarga.

Simpulan

Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah motif kekerasan yang dialami perempuan suku Sasak di Lombok cenderung disebabkan oleh faktor ekonomi, sumber pencarian yang tidak menentu, pendidikan dan kondisi keluarga yang tidak mampu memberikan solusi yang baik yang mengakibatkan perempuan suku Sasak sering mengalami tindak kekerasan fisik berupa, memukul, menendang, menampar istri dan melempar dengan benda keras. Sedangkan kekerasan verbal berupa

Dalam dokumen Analisis Kemampuan Problem Solving Mahas (Halaman 104-115)

Dokumen terkait