• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Uji Aktivitas Antibakteri

4.3.3 Pengamatan zona hambat pada penyimpanan suhu 10 o C

konsentrasi desinfektan, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta perlakuan suhu dan pH (Greenwood et al. 1995). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan diameter zona hambat selama tujuh hari pada suhu 10oC dan suhu 30oC dengan tujuan mengetahui kemampuan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan bakteri.

Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat karena berdasarkan uji pendahuluan aktivitas antibakteri, ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat menunjukkan kemampuan penghambatan lebih baik apabila dibandingkan dengan ekstrak kerang darah dengan pelarut metanol.

a. Suhu 10oC

Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri dan efektivitas kerja senyawa antibakteri. Suhu dibawah suhu optimum untuk pertumbuhan dapat menekan laju metabolisme dan apabila suhu cukup rendah maka metabolisme dan pertumbuhan bakteri akan terhenti. Tetapi bakteri mempunyai kemampuan yang unik untuk dapat bertahan hidup pada keadaan yang sangat dingin (Pelczar dan Chan 1988). Suhu rendah pada umumnya akan meningkatkan efektivitas kerja senyawa antibakteri (Irianto 2006).

Tabel 9 Pengamatan zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada penyimpanan suhu 10oC

Konsentrasi ekstrak

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 2% + + + ++ ++ ++ ++ - - + + + + + 3,5% + + + ++ ++ ++ ++ - - + + + + + 5% - - - - + + + - - - + + 6,5% - - - - + + + - - - Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa kemampuan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat mengalami penurunan aktivitas dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan bakteri S. aureus pada penyimpanan suhu 10oC yang ditandai dengan peningkatan kekeruhan zona hambat seiring dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Pada hari pertama pengamatan terhadap bakteri E. coli, ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat 2% dan 3,5% menunjukkan zona hambat yang sedikit keruh, sedangkan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat 5% dan 6,5% menunjukkan zona hambat yang jernih.

Zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat konsentrasi 2% dan 3,5% mulai mengalami peningkatan kekeruhan pada hari keempat pengamatan. Peningkatan kekeruhan zona hambat dari agak keruh menjadi keruh tersebut menunjukkan bahwa terdapat bakteri yang tumbuh, diduga akibat telah berkurangnya aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat. Bakteri E. coli tidak dapat tumbuh pada suhu 10oC karena suhu tersebut berada di bawah kisaran suhu pertumbuhan E. coli. Hal ini telah sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa bakteri E. coli tumbuh pada suhu 15-45oC (Fardiaz 1992). Bakteri yang tumbuh pada zona hambat tersebut diduga merupakan bakteri kontaminasi yang mampu tumbuh pada suhu lingkungan 10oC. Hal ini dikarenakan pada metode uji terdapat proses penghomogenan dengan menggunakan vorteks, sehingga diduga kontaminasi berasal dari proses tersebut.

Aktivitas penghambatan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 5% dan 6,5% mulai menunjukkan penurunan pada hari kelima pengamatan yang ditandai dengan peningkatan kekeruhan zona hambat yang dihasilkan. Pada hari keempat hingga hari ketujuh pengamatan, zona hambat yang terbentuk menjadi lebih keruh yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan bakteri. Zona hambat yang semula jernih berubah menjadi agak keruh menunjukkan adanya aktivitas pertumbuhan bakteri pada zona hambat tersebut. Peningkatan kekeruhan pada media agar diduga karena terjadi penurunan efektivitas ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli.

Zona hambat yang dihasilkan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 2%, 3,5%, 5% dan 6,5% menunjukkan zona yang jernih pada hari pertama pengamatan. Peningkatan kekeruhan zona hambat selama penyimpanan terjadi pada ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 2%, 3,5% dan 5%, tetapi tidak terjadi pada ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat 6,5%. Ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 2% dan 3,5% mengalami peningkatan kekeruhan zona hambat mulai pada hari ketiga pengamatan yang ditandai dengan perubahan zona dari jernih menjadi sedikit keruh. Ekstak kerang darah dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 5%

mengalami peningkatan kekeruhan zona hambat pada hari keenam pengamatan yang ditandai dengan perubahan zona hambat yang semula jernih menjadi sedikit keruh. Terjadinya peningkatan kekeruhan pada zona hambat yang dihasilkan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus tersebut diduga karena terjadinya penurunan aktivitas kerja dari senyawa antibakteri yang diberikan serta kemampuan bakteri uji dalam berkembang biak pada suhu lingkungan sebesar 10oC. Dugaan tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa bakteri S. aureus mampu tumbuh pada interval suhu 6,7-45,5oC (Pelczar dan Chan 1988).

Havsteen (2002) diacu dalam Sabir (2005) juga menyatakan bahwa penurunan metabolisme senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri akan berakibat pada penurunan aktivitas antibakteri, sehingga terjadi kemungkinan bakteri tumbuh kembali. Penurunan aktivitas antibakteri ini tergantung dari waktu kontak senyawa antibakteri dengan bakteri uji, semakin lama kontak senyawa antibakteri dengan bakteri uji, maka akan semakin menurun aktivitas senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji.

Ukuran diameter zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada bakteri S. aureus yang lebih besar apabila dibandingkan dengan diameter zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada bakteri

E. coli. Hal ini diduga karena bakteri S. aureus lebih rentan terhadap senyawa asing yang bertindak sebagai senyawa antibakteri apabila dibandingkan dengan bakteri E. coli. Dugaan tersebut diperkuat oleh pernyataan yang menjelaskan bahwa S. aureus merupakan bakteri yang sensitif terhadap beberapa bahan antimikroba, seperti benzylpenisilin, ampisilin, amoksilin, karbenisilin, azlosilin dan piperasilin yang merupakan golongan penisilin (Greenwood et al. 1995).

Zona hambat yang dihasilkan oleh kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus menunjukkan zona yang jernih pada konsentrasi kloramfenikol 2%, 3,5%, 5% dan 6,5% (Tabel 10). Peningkatan kekeruhan zona hambat kloramfenikol dengan konsentrasi 2% dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli terjadi pada hari keenam pengamatan yang ditandai dengan berubahnya zona hambat yang semula jernih menjadi agak keruh.

Tabel 10 Pengamatan zona hambat kloramfenikol pada penyimpanan suhu 10oC Konsentrasi

kloramfenikol

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 2% - - - - - + + - - - + 3,5% - - - - + - - - + 5% - - - - 6,5% - - - - Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Kloramfenikol dengan konsentrasi 3,5% juga mengalami perubahan kekeruhan dari jernih menjadi agak keruh pada hari ketujuh pengamatan, tetapi zona hambat yang dihasilkan kloramfenikol dengan konsentrasi 5% dan 6,5% tetap jernih hingga hari ketujuh pengamatan. Peningkatan kekeruhan zona hambat dari agak keruh menjadi keruh tersebut menunjukkan bahwa terdapat bakteri yang tumbuh, diduga akibat telah berkurangnya aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat. Bakteri yang tumbuh pada zona hambat tersebut diduga merupakan bakteri kontaminasi yang mampu tumbuh pada suhu lingkungan 10oC. Hal ini dikarenakan pada metode uji terdapat proses penghomogenan dengan menggunakan vorteks, sehingga diduga kontaminasi berasal dari proses tersebut. Bakteri E. coli tidak dapat tumbuh pada suhu 10oC karena suhu tersebut berada di bawah kisaran suhu pertumbuhan E. coli. Hal ini telah sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa bakteri E. coli tumbuh pada suhu 15-45oC (Fardiaz 1992).

Peningkatan kekeruhan zona hambat kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus terjadi pada hari ketujuh pengamatan yaitu pada kloramfenikol dengan konsentrasi 2% dan 3,5%, tetapi kloramfenikol pada konsentrasi 5% dan 6,5% tetap jernih hingga hari ketujuh pengamatan. Zona hambat yang dihasilkan kloramfenikol terhadap bakteri E. coli dan S. aureus yang masih jernih dan stabil hingga akhir pengamatan tersebut menunjukkan bahwa kloramfenikol mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan bahwa kloramfenikol merupakan senyawa antibiotik yang paling stabil dan masih banyak

digunakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang karena harganya yang murah dan aktivitas yang baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri pada spektrum luas, baik bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif, apabila dibandingkan dengan antibiotik-antibiotik lainnya (Syah et al. 2005).

Ukuran diameter zona hambat yang dihasilkan oleh kloramfenikol pada bakteri S. aureus lebih besar apabila dibandingkan dengan diameter zona hambat yang dihasilkan kloramfenikol pada bakteri E. coli. Hal ini diduga karena bakteri

S. aureus lebih sensitif terhadap senyawa asing yang bertindak sebagai senyawa antibakteri apabila dibandingkan dengan bakteri E. coli. Dugaan tersebut diperkuat oleh pernyataan yang menjelaskan bahwa bakteri S. aureus merupakan bakteri yang sensitif terhadap beberapa bahan antimikroba, antara lain benzylpenisilin, ampisilin, amoksilin, karbenisilin, azlosilin dan piperasilin yang merupakan golongan penisilin (Greenwood et al. 1995).

b. Suhu 30oC

Zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat terhadap bakteri E. coli dan S. aureus pada penyimpanan suhu 30oC terus mengalami peningkatan kekeruhan (Tabel 11). Ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 2% dan 3,5% menunjukkan zona hambat sedikit keruh dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli, tetapi ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 5% dan 6,5% menunjukkan zona hambat jernih. Zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 2% dan 3,5% mengalami perubahan keadaan menjadi keruh pada hari ketiga pengamatan dan lebih keruh pada hari kelima pengamatan. Ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 5% yang semula jernih berubah sedikit keruh pada hari ketiga pengamatan, menjadi keruh pada hari kelima pengamatan dan lebih keruh pada hari ketujuh pengamatan. Zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 6,5% yang jernih berubah sedikit keruh pada hari ketiga pengamatan dan menjadi keruh pada hari keenam pengamatan.

Tabel 11 Pengamatan zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada penyimpanan suhu 30oC

Konsentrasi ekstrak

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 2% + + ++ ++ ++ + ++ + ++ + - + ++ ++ ++ + ++ + ++ + 3,5% + + ++ ++ ++ + ++ + ++ + - + ++ ++ ++ ++ + ++ + 5% - - + + ++ ++ ++ + - - + + ++ ++ ++ 6,5% - - + + + ++ ++ - - + + + ++ ++ Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Zona hambat yang ditunjukkan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada hari pertama adalah jernih pada konsentrasi ekstrak 2%, 3,3%, 5% dan 6,5% (Tabel 11). Ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 2% mengalami peningkatan kekeruhan zona hambat menjadi sedikit keruh pada hari kedua pengamatan, keruh pada hari ketiga pengamatan dan lebih keruh pada hari kelima pengamatan. Zona hambat yang dihasilkan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 3,5% berubah menjadi sedikit keruh pada hari kedua pengamatan, keruh pada hari ketiga pengamatan dan lebih keruh pada hari keenam hingga ketujuh pengamatan. Ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat 5% menunjukkan peningkatan kekeruhan zona hambat mulai pada hari ketiga pengamatan, yaitu menjadi sedikit keruh dan menjadi keruh pada hari kelima pengamatan. Zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 6,5% mengalami peningkatan kekeruhan pada hari ketiga pengamatan, yaitu menjadi sedikit keruh dan menjadi keruh pada hari keenam hingga ketujuh pengamatan.

Peningkatan kekeruhan zona hambat diduga karena kemampuan penghambatan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat telah mengalami penurunan, sehingga bakteri kembali mengalami pertumbuhan. Dugaan tersebut diperkuat oleh pernyataan Havsteen (2002) diacu dalam Sabir (2005) yang

menjelaskan bahwa semakin lama waktu kontak senyawa antibakteri dengan bakteri uji, maka akan terjadi penurunan aktivitas antibakteri, hal ini diduga akibat terjadinya penurunan metabolisme senyawa-senyawa dalam ekstrak yang berpotensi sebagai antibakteri.

Dugaan lain mengenai penyebab peningkataan kekeruhan zona hambat adalah bakteri uji mampu tumbuh dan berkembang biak pada suhu 30oC. Dugaan tersebut didukung oleh pustaka yang menyatakan bahwa bakteri E. coli mampu tumbuh pada suhu 15-45oC (Fardiaz 1992) dan bakteri S. aureus mampu tumbuh pada suhu 6,7-45,5oC (Pelczar dan Chan 1988). Sumber lain menyebutkan bahwa aktivitas mematikan bakteri berbanding terbalik antara suhu dengan waktu. Pada umumnya semakin rendah suhu yang digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroorganisme tersebut akan semakin lama. Tetapi dalam hal uji aktivitas antibakteri, peningkatan suhu akan mengurangi tegangan permukaan sehingga mengurangi viskositas dan akhirnya mengurangi absorpsi. Akibat berkurangnya absorpsi ini, efektivitas desinfektan akan berkurang (Irianto 2006).

Kekeruhan zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan S. aureus lebih baik apabila dibandingkan dengan kekeruhan zona hambat ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli. Hal ini diduga karena S. aureus

yang merupakan bakteri gram positif dikenal sebagai bakteri yang lebih rentan terhadap antibiotik sehingga kemampuan ekstrak kerang darah dengan pelarut etil asetat dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut lebih tahan lama. Dugaan tersebut diperkuat oleh pernyataan yang menjelaskan bahwa bakteri S. aureus

merupakan bakteri yang sensitif terhadap beberapa bahan antimikroba, antara lain benzylpenisilin, ampisilin, amoksilin, karbenisilin, azlosilin dan piperasilin yang merupakan golongan penisilin (Greenwood et al. 1995).

Uji aktivitas antibakteri dengan kloramfenikol sebagai antibakteri kontrol menunjukkan peningkatan kekeruhan zona hambat pada bakteri E. coli dan bakteri

S. aureus (Tabel 12). Zona hambat yang dihasilkan kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli adalah jernih pada konsentrasi 2%, 3,5%, 5% dan 6,5%. Zona hambat kloramfenikol 2% dan 3,5% berubah menjadi sedikit keruh pada hari kelima hingga ketujuh pengamatan, zona hambat

kloramfenikol 5% berubah menjadi sedikit keruh pada hari keenam hingga hari ketujuh pengamatan dan zona hambat kloramfenikol 6,5% berubah menjadi sedikit keruh pada hari ketujuh pengamatan.

Tabel 12 Pengamatan zona hambat kloramfenikol pada penyimpanan suhu 30oC Konsentrasi

kloramfenikol

Kekeruhan zona hambat

E. coli S. aureus H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 2% - - - - + + + - - - + + 3,5% - - - - + + + - - - + 5% - - - - - + + - - - + 6,5% - - - - + - - - + Keterangan : (-) = jernih (+) = sedikit keruh (++) = keruh (+++) = lebih keruh

Zona hambat kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri

S. aureus menunjukkan zona yang jernih pada konsentrasi kloramfenikol 2%, 3,5%, 5% dan 6,5%. Zona hambat kloramfenikol 2% mulai berubah menjadi sedikit keruh pada hari keenam pengamatan, sedangkan zona hambat kloramfenikol 3,5%, 5% dan 6,5% berubah menjadi sedikit keruh pada hari ketujuh pengamatan.

Zona hambat yang dihasilkan oleh kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan bakteri S. aureus cenderung stabil dari awal hingga akhir pengamatan, diduga karena kloramfenikol merupakan antibiotik yang efektif dalam menghambat pertumbuhan kedua jenis bakteri uji. Dugaan ini diperkuat dengan pustaka yang menyatakan bahwa kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum luas yang aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Pelczar dan Chan 1988).

Kloramfenikol merupakan antibiotik yang telah disintesis dan diproduksi secara massal. Antibiotik ini mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada spektrum yang luas dan hingga saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama masyarakat di negara-negara dengan pendapatan rendah, karena harganya yang relatif murah dan efektivitasnya yang stabil. Tetapi di negara-negara maju, penggunaan kloramfenikol sebagai antibiotik telah jarang

dijumpai karena efek yang ditimbulkan oleh kloramfenikol cukup serius, yaitu dapat menyebabkan anemia aplastik (Syah et al. 2005).

Diameter zona hambat yang dihasilkan kloramfenikol terhadap bakteri

S. aureus lebih besar daripada zona hambat yang dihasilkan kloramfenikol terhadap bakteri E. coli. Hal ini dikarenakan bakteri S. aureus lebih sensitif terhadap penambahan antibiotik, seperti β-lactam, tetrasiklin dan kloramfenikol (Pelczar dan Chan 1988). Alakomi et al. (2000) diacu dalam Adolf (2006) menyebutkan bahwa bakteri E. coli yang merupakan bakteri gram negatif yang memiliki lapisan tambahan pada dinding sel dan dikenal dengan membran luar. Membran luar ini tersusun atas lipopolisakarida yang berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel, sehingga bakteri E. coli lebih tahan terhadap penambahan antibiotik.

Dokumen terkait