• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TUGAS, FUNGSI DAN

C. Pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK

Cooper pada 2000, nilai aset Sjamsul Nursalim hanya Rp 1,441 triliun. 120

LBI DPR RI pa

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa setidaknya terdapat 65 obligor kasus BLBI yang belum secara tuntas diselesaikan. Adanya prioritas yang hanya menitikberatkan pada dua kasus di atas, mengindikasikan bahwa praktek tebang pilih masih mewarnai upaya penegakan hukum di Indonesia. Sementara itu, yang terlibat di dalam kasus BLBI tersebut tidak hanya para obligor yang mendapatkan kucuran dana, tetapi juga para pengambil kebijakan baik di tubuh pemerintah ataupun Bank Indonesia, bahkan jaksa yang pernah menangani kasus yang merugikan negara triliun rupiah tersebut juga harus diusut. Berdasarkan rekomendasi Panitia Kerja B

da Maret 2000 telah menyebutkan setidaknya 47 nama yang diduga mendapatkan bagian BLBI selain dari 48 bank yang terkait kasus tersebut.121

Terlebih lagi, tarik-menarik kepentingan di sekitar kasus BLBI ini tidak hanya berputar pada aspek hukum dan ekonomi semata, tetapi juga telah menjadi sebuah magnet yang memiliki daya tarik yang kuat terhadap kepentingan politik, tidak hanya pada tataran nasional tetapi juga internasional. Bahkan kuat sekali indikasi bahwa kasus BLBI ini justru dijadikan komoditas politik para elit sebagai alat pencapaian kepentingan.

C. Pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK

D, Keadilan, Kepastian Hukum, dan Pertanggungjawabannya”, diakses dari

situs : h 120 NN, “R& ttp://els.bappenas.go.id/upload/other/R.htm, 29 September 2009. 121 Ibid.

Bertalian dengan kasus BLBI, ide yang diusung ICW yakni agar dalam putusannya majelis hakim pemeriksa perkara (dalam setiap tingkatan) Arthalita-Urip memerintahkan kepada aparat penegak hukum (Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kembali membuka kembali kasus BLBI yang terkesan “berlebihan” memang harus dicermati secara cerdas dan dengan spirit pemberantasan korupsi. Maksudnya, penolakan atas ide yang “berlebihan” itu tidak sekedar atas dasar pemberhalaan terhadap teori hukum maupun konstruksi teknis hukum pidana saat ini tanpa menangkap pesan yang jauh lebih substansial.

Sepintas benar, dalam konteks struktur pembagian kekuasaan bersifat checks

and balances (setara dan saling kontrol) dan sistem peradilan pidana yang bersifat integrated criminal justice system secara sepintas ide tersebut terasa mengandung

banyak ‘kecacatan’. Selain karena berisi suatu keadaan yang melampaui wewenangnya dan berpotensi mengacaukan doktrin mapan proses adjudikasi oleh hakim pengadilan dalam suatu perkara pidana, lebih jauh lagi apabila benar hal tersebut bisa dikabulkan akan menjadi bomerang atau pisau bermata dua bagi penegakan hukum dikemudian hari. Disatu sisi saat ini mungkin akan bersifat produktif karena kebutuhan yang mendesak untuk segera membongkar kembali kasus BLBI, namun disisi lain dikemudian hari sangat berpotensi menjadi senjata ampuh untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Melihat muramnya wajah pengadilan kita saat ini yang sangat rentan dengan kondisi ‘jual beli’ dan kepentingan politis, tentu saja selintas bayangan keraguan akan kebenaran yang terungkap di persidangan akan selalu muncul. Mengingat bagaimana banyaknya putusan lembaga sekelas

Mahkamah Konstitusi yang kewenangannya sangat jelas diberikan oleh konstitusi bisa diabaikan begitu saja, maka bukan mustahil pula hal ini akan bernasib sama bahkan lebih buruk.

Adanya pembagian kekuasaan (eksekutif, legislative dan yudikatif) yang bersifat cheks & balances jangan ditanggapi dengan sebegitu egoisnya tanpa memikirkan reasoning awal pembentukannya. Pembagian harus dimaknai sebagai bagian dari pemberdayaan demi pencapaian tujuan yang jauh lebih besar yang apabila dilakukan tanpa pembagian cenderung gagal. Desain awalnya pembagian ialah demi kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan, kemakmuran, kecerdasan, keadilan bagi rakyat. Walaupun secara teknis dan formal yuridis tidak diatur bahwa lembaga pengadilan (hakim) mempunyai wewenang untuk memerintahkan aparat penegak hukum melakukan proses penyelidikan dan penyidikan, haruslah dipahami bahwa hal itu dilakukan demi kepentingan sebesar-besarnya bagi rakyat.122

Hal tersebut setali tiga uang dengan prinsip integrated criminal justice system dalam sistem peradilan pidana kita dewasa ini. Pemisahan antar fungsi penegak hukum bukanlah untuk tujuan bercerai berai (separated) berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan masing-masing. Pemisahan yang terintegrasi antar penegak hukum dalam proses pidana (integrated criminal justice system) dilakukan demi tercapainya pemulihan keseimbangan ditengah masyarakat yang sempat terganggu.

Kwik Gian Gie, "R&D" Apa Artinya Pelunasan dan Pembebasan?”, Harian Kompas, edisi 10 Desember 2002.

Dua putusan Korupsi yang diberikan oleh Majelis Hakim Tipikor dengan ancaman pidana maksimal terhadap Jaksa Urip T.G dan komplotannya Arthalita Suryani yang memunculkan banyak pihak, fakta yuridis dan fakta peristiwa menyangkut perkara BLBI seharusnya sudah lebih dari cukup bagi KPK untuk segera melakukan aksi pembongkaran besar-besaran terhadap dua hal besar: Borok di tubuh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan juga mafia dalam mega skandal BLBI. Tanpa perintah seperti yang diusulkan oleh ICW tersebut pun, seharusnya KPK sudah seharusnya bergerak maju. Kalau mau formil-formilan, dengan sangat gampang, peristiwa out of court settelement yang dipertegas dengan Inpres bernuansa korup yang melegitimasinya yang secara nyata bertentangan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 4) sudah cukup bagi KPK untuk mengambil langkah tegas.

Jika dianalisa lebih lanjut, pada dasarnya sangat banyak alasan bagi KPK untuk mengambil alih kasus BLBI. Kerugian negara dalam jumlah sangat besar, yang mencapai Rp. Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun dari BLBI yang dikucurkan; penyelewenangan anggaran Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima; beratnya beban APBN dari tahun ke tahun untuk melunasi utang BLBI; kebangkrutan negara yang luar biasa; dan bahkan kebusukan di institusi kejaksaan yang mulai terkuak setidaknya telah lebih dari cukup sebagai alasan sosial politik agar KPK turun tangan.

Harus diakui, hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat tentang rentang waktu kewenangan KPK untuk menangani perkara. ICW menilai, setidaknya perdebatan hukum tersebut terpolarisasi menjadi beberapa poin sentral, yaitu :123

1). KPK dinilai hanya berwenang menangani perkara yang terjadi setelah UU 30 Tahun 2002 tentang KPK terbentuk, atau sejak 27 Desember 2002. Perdebatan ini hangat dibicarakan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan Bram Mannopo. Saat itu, didalilkan, KPK tidak berwenang menangani perkara sebelum 27 Desember 2002, sehingga Pasal 68 UU KPK harus dibatalkan karena bersifat

retroaktif atau berlaku surut. MK menolak permohonan dan menyatakan Pasal 68

yang berbicara tentang kewenangan KPK mengambil alih semua pekara sebelum KPK terbentuk bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Sehingga, pasal tersebut jelas tidak mengandung unsur berlaku surut dan tidak melanggar konstitusi. Dalam bagian pertimbangan lebih ditegaskan, sifat prospektif berarti KPK hanya melanjutkan penanganan perkara yang telah dimulai sebelumnya oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Di titik ini, perdebatan tentang berlaku surut atau tidaknya kewenangan KPK dapat dinilai tuntas. Dengan penekanan, KPK punya kewenangan penuh melanjutkan penanganan perkara korupsi yang ada sebelum KPK terbentuk. Ini yang sering disebut dengan kewenangan pengambil alihan.Dengan demikian, poin pertama tentang kewenangan KPK yang terbatas pada perkara yang terjadi setelah UU KPK terbentuk telah dapat dibantah.

123

Elwi Danil, “Analisis Hukum Kasus BLBI”, diakses dari situs http://elwidanil.multiply.com/journal/item/1, 5 Juni 2008.

2). KPK boleh menangani perkara yang terjadi sebelum UU KPK terbentuk, tetapi terbatas pada waktu sejak UU 31 Tahun 1999 dan UU 20/2001 (UU Tipikor) diundangkan, yaitu sejak 16 Agustus 1999. Pendirian ini cenderung mendasarkan dalilnya pada Pasal 1 angka (1) UU KPK. Disebutkan; “tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU 31 Tahun 1999 dan UU 20 Tahun 2001 (UU Tipikor)”. Sehingga, kemudian dipahami, KPK yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dicantumkan pada konsideran “menimbang huruf (a)” hanya terbatas pada pengertian tindak pidana korupsi yang diatur pada UU 31/1999 dan UU 20/2001.

Ada tiga catatan hukum yang dapat diajukan terhadap pandangan diatas.

Pertama, telah terjadi pencampur-adukan antara aturan yang berada di wilayah

hukum materiil dengan aturan yang berada di wilayah hukum formil. Bagian yang mengatur tentang defenisi Tindak Pidana Korupsi (Pasal 1 angka (1) UU KPK) dalam posisinya sebagai ketentuan yang menunjuk ketentuan lain (UU Tipikor) merupakan aturan hukum materiil.

Kedua, dalil tersebut memahami Pasal 1 angka (1) UU KPK yang merujuk

pada UU Tipikor secara terpotong-potong, alias tidak komprehensif. Padahal, merupakan konsep hukum yang diterima umum, sebuah Undang-Undang harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh. Perhatikan Pasal 43A ayat (1) UU 20/2001

jo UU 31 Tahun 1999 (UU Tipikor). Bagian yang terletak di Bab VI A, Ketentuan

Peralihan ini menyebutkan, ” Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU No.

3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor. Sehingga, dapat dikatakan UU Tipikor juga menganut definisi “Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada UU 3 Tahun 1971. Artinya, Pasal 1 angka (1) UU KPK mengantarkan pengertian Tipikor seperti yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 sekaligus UU No. 3 Tahun 1971. Konsekuensi hukumnya, KPK mempunyai kewenangan penuh menangani perkara yang berada pada yurisdiksi UU No. 3 Tahun 1971 sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan.

Dengan kata lain, persoalan bukanlah pada apakah KPK berwenang atau tidak berwenang menangani perkara sebelum adanya UU 31 Tahun 1999, melainkan hanya soal kapan tindak pidana tersebut terjadi. Jika tindak pidana terjadi sebelum UU 31 Tahun 1999 diundangkan, maka dalam menangani perkara, KPK menggunakan UU 3 Tahun 1971 sebagai dasar hukum materiil penuntutan terhadap terdakwa.

Dan, ketiga, KPK berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK dan UU Tipikor terbentuk, sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan pidana. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68 UU KPK dan Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana/KUHAP). Pasal 8, 9, 68 UU KPK mengatur dua hal prinsipil, yaitu: kewenangan supervisi KPK dan pengambil alihan “proses” penanganan perkara. Berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor, kata “proses” mengacu pada frasa “penyelidikan, penyidikan dan penuntutan”. Dan, defenisi frasa tersebut dapat dicari pada KUHAP, yang pada prinsipnya diartikan sebagai “serangkaian tindakan”. Maka jelaslah, kewenangan pengambil alihan KPK yang diatur pada Pasal 68 UU KPK

sesungguhnya adalah kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan. Artinya, sepanjang KPK melakukan tindakan (Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) berdasarkan UU KPK dan KUHAP, meskipun perkara terjadi sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, maka KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut. Karena KPK hanya melakukan “serangkaian tindakan” berdasarkan UU KPK yang telah ada sebelum “serangkaian tindakan” KPK itu dilakukan.

Selain itu, penanganan BLBI juga berlarut-larut dan tertunda-tunda tanpa dapat dipertanggungjawabkan seperti disebutkan pada Pasal 9 butir (b). Dan, mengingat alasan yang diatur pada Pasal 9 bersifat alternatif yang ditunjukan dengan penggunaan kata “atau“, maka tidak dibutuhkan pemenuhan semua unsur dari butir (a) sampai dengan (f) untuk melakukan pengambil-alihan kasus BLBI. Bahkan, terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 telah dapat dijadikan dasar bagi KPK mengambil alih kasus BLBI.

Dengan demikian berdasarkan analisis hukum terhadap tiga polarisasi pendapat tentang pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK ini, dapat dilihat secara gamblang, bahwa KPK sudah memenuhi standar yuridis untuk mengambilalih kasus BLBI.

D. Sinergi Tugas, Fungsi dan Wewenang antara KPK, Kejaksaan dan