• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5. Kegunaan Penelitian

2.2.5. Pengangguran

Jumlah pengangguran terbuka di Jawa Timur antara tahun 1882-1992 relatif konstan pada angka 300 ribu jiwa. Pada tahun 1994 dan 1995 sempat terjadi lonjakan jumlah pengangguran, tetapi pada tahun 1996 dan 1997 jumlah pengangguran berhasil ditekan. Hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab sejak tahun 1998 jumlah pengangguran terus meningkat hingga pada tahun 2005 yang jumlahnya mencapai 1.6 juta jiwa. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran mengalami penurunan menjadi 1.5 juta jiwa.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan lumpuhnya dunia usaha. Kenaikan biaya produksi akibat penggunaan bahan baku impor di satu sisi, serta melemahnya daya serap pasar di sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usahanya. Akibatnya banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga jumlah pengangguran meningkat. Jumlah pengangguran yang sempat menurun pada tahun 1996 dan 1997 meningkat kembali pada tahun 1998. Pada tahun yang sama pengangguran mencapai 720 ribu jiwa atau 4.10 persen dari total angkatan kerja lebih besar daripada jumlah peengangguran pada tahun 1997, yaitu 569 ribu jiwa atau 3.32

persen. Perkembangan jumlah pengangguran terbuka dan tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur tahun 1980-2006 dapat dilihat dalam Gambar 5 dan 6.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun Ju ta J iw a Jumlah Pengangguran Terbuka

Gambar 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)

Pada tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan sedikit penguatan. Situasi ekonomi dunia membaik disertai dengan permintaan domestik yang meningkat telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi, termasuk usaha kecil dan menengah meningkatkan kegiatan usaha mereka. Akan tetapi dampak positif peningkatan perekonomian Indonesia tersebut kurang dirasakan di Jawa Timur terutama dari sisi penyerapan tenaga kerja. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah pengangguran terbuka dari tahun 2000-2006. Pada tahun 2003, jumlah persentase jumlah pengangguran mencapai angka yang tertinggi yaitu 8.68 persen dari total angkatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5.83 persen belum mampu menciptakan tambahan lapangan kerja, lapangan kerja atau kesempatan kerja malah menurun menjadi 485 814 jiwa. Walaupun pada tahun yang sama jumlah angkatan kerja juga menurun sekitar 179 973 jiwa. Oleh

karena penurunan kesempatan kerja lebih besar daripada penurunan angkatan kerja maka jumlah pengangguran meningkat.

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun P e rsen Tingkat Pengangguran Terbuka

Gambar 6: Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) diolah

Peningkatan jumlah pengangguran ini tidak terlepas dari faktor kurang kondusifnya kondisi dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia terutama di Jawa Timur. Berbagai permasalahan struktural dan ketidakpastian aturan dan hukum di Indonesia maupun di daerah mengakibatkan investor enggan menanamkan modalnya sehingga berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatnya jumlah pengangguran. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya realisasi PMDN dan PMA tahun 2003 sebesar 23 persen. Faktor lain yang menyebabkan tingginya angka pengangguran adalah (1) rendahnya kualitas tenaga kerja Jawa Timur yang disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana pelatihan yang dimiliki, terbatasnya kuantitas dan kualitas instruktur yang memenuhi kebutuhan pelatihan dan terbatasnya kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan. Kualitas angkatan kerja yang rendah ini berpengaruh pada rendahnya daya serap atau adaptabilitas teknologi dan berdampak pada kurang

berkembangnya teknologi, (2) ketidaktahuan pasar kerja akibat belum optimalnya penyebaran informasi pasr kerja, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia dan (4) masih rendahnya minat angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri (Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, 2005).

Secara keseluruhan kondisi tersebut berpengaruh pada rendahnya tingkat upah, tingginya tingkat PHK, serta rendahnya jaminan kesejahteraan karena

tenaga kerja tidak memiliki bargaining power akibat keterbatasan kompetensi dan

kualifikasi yang dimiliki. Rendahnya upah di Jawa Timur juga didukung oleh pernyataan Ritongga (2005) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dari 17 provinsi yang sudah menetapkan UMP-nya, DKI Jakarta mencatat UMP tertinggi yaitu Rp 819 100 dan Jawa Timur sebesar Rp 390 000 yang merupakan UMP terendah. Dengan keadaan UMP yang rendah tersebut di satu sisi menyiratkan tingginya pengangguran dan di sisi lain menunjukkan bahwa pada tingkat upah berapapun tenaga kerja di Jatim mau bekerja. Sehingga adanya kenaikan upah akan dapat meningkatkan jumlah pengangguran. Karena pemintaan tenaga kerja berkurang sementara penawarannya semakin bertambah. Namun apabila Pemprov Jatim dapat memanfaatkan peluang ini maka dengan infrastruktur (listrik dan jalan) yang lebih baik dan tenaga kerja yang lebih murah maka Jawa khususnya Jawa Timur menjadi lebih kompetitif bagi investor dibanding propinsi lain di luar Jawa terutama Sumatera yang dikenal mempunyai upah yang tinggi dengan kondisi infrastruktur yang kurang baik.

Pada dasarnya sistem penetapan upah dilakukan untuk mengurangi eksploitasi buruh dan sebaliknya supaya pengusaha tidak mendapat tekanan dari

aktivis gerakan buruh. Ketentuan UMP itu sendiri hanya diberlakukan bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari setahun. Sedangkan upah bagi pekerja lama diserahkan sepenuhnya kepada keputusan bipatrit (pekerja dan majikan). Secara logis UMP yang lebih tinggi akan mendorong pekerja senior meminta kenaikan upah. Ada yang menyebut dengan istilah upah sundulan. Oleh karena itu pengusaha berharap kenaikan UMP seminimum mungkin, karena akan membuat buruh lama menuntut upah yang lebih tinggi.

Penetapan upah buruh di Indonesia dilaksanakan setiap tahun melalui proses yang panjang. Pada awalnya Dewan Pengupahan daerah (DPD) yang terdiri dari birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan pertemuan, membentuk tim survei dan turun ke lapang untuk mencari tahu harga kebutuhan pokok. Setelah survei di sejumlah kota dianggap representatif diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan UMP ke Gubernur. Kemudian berdasarkan UMP baru ditetapkan pula upah minimum provinsi sektoral (UMPS). Setelah otonomi diberlakukan, dikenal pula istilah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Angkanya merupakan hasil perhitungan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (DPK). Selanjutnya DPK menggunakan UMP dan hasil survei KHL sebagai bahan pertimbangan menghitung dan mengusulkan UMK kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian

Tinjauan studi dampak investasi baik swasta maupun pemerintah terhadap kinerja perekonomian adalah sebagai berikut: studi yang dilakukan oleh Macmud (2002) mengenai Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera

Selatan dengan menggunakan model Rana Dowling. Dari hasil studi tersebut diketahui bahwa variabel Bantuan Pemerintah Pusat (BPP) dalam bentuk-bentuk program sektoral di Provinsi Sumatera Selatan, investasi swasta, tabungan daerah, ekspor daerah, pertumbuhan dan angkatan kerja mempunyai pengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, berdasarkan hasil estimasi fungsi tabungan dapat dilihat bahwa variabel bantuan pemerintah pusat, investasi swasta, dan ekspor daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan (nyata) terhadap tabungan daerah Sumatera Selatan.

Selanjutnya Susanti (2003) melakukan studi tentang Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia menyimpulkan bahwa pengaruh peningkatan investasi output sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum berpengaruh positif, yaitu meningkatkan output sektoral. Hasil yang sama diperoleh dari sisi perubahan produktivitas, perubahan produktivitas baik produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja berpengaruh dalam peningkatan output sektor perekonomian. Apabila investasi dan produktivitas dirubah secara bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di sektor perikanan relatif lebih besar dibandingkan bila dirubah secara parsial.

Konsumsi rumah tangga sektoral juga mengalami peningkatan akibat peningkatan investasi dan produktivitas. Harga output pada sektor perikanan, mengalami penurunan akibat adanya peningkatan output. Harga output pada sektor perekonomian lain bergerak mengikuti mekanisme permintaan penawaran.

Dalam perekonomian makro, peningkatan investasi dan produktivitas di sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan GDP, laju

inflasi juga mampu ditekan dengan adannya peningkatan investasi dan produktivitas di sektor perikanan. Konsumsi agregat dan penyerapan tenaga kerja agregat juga mengalami peningkatan. Laju peningkatan ekspor meningkat jika dibandingkan dengan laju peningkatan impor akibat perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan sehingga neraca perdagangan positif.

Panjaitan et. al. (2004) melakukan penelitian tentang Dampak

Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara: Pendekatan Ekonometrika. Berawal dari adanya pemikiran bahwa dengan munculnya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah memungkinkan daerah untuk menambah penerimaanya dari Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan seperti pembangunan infrastruktur: jalan, jaringan listrik, sarana air bersih dan lain-lain. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dikenal pula dengan istilah investasi pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi. Peningkatan tersebut akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan memberikan kepastian ekonomi dan politik.

Dari studi tersebut diperoleh hasil seperti yang diharapkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap PDRB, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan antar daerah di Sumatera Utara serta memberikan dampak negatif terhadap tingkat inflasi di Sumatera Utara. Selain itu dapat

diketahui juga bahwa inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tingkat investasi, tingkat

upah daerah, defisit fiskal dan dummy krisis tahun 1998. Sedangkan tingkat

investasi itu sendiri dipengaruhi secara positif tetapi tidak signifikan oleh PDRB, secara negatif dan signifikan dipengaruhi oleh tingkat upah dan tingkat suku bunga.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Riyanto dan H. Siregar (2005) dengan mengambil judul: Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan antar Wilayah. Hasil dari studi tersebut adalah (1) tidak berbeda dengan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, porsi dana perimbangan rata-rata mencapai sekitar 80 persen dari penerimaan daerah. Jadi dana perimbangan masih merupakan sumber utama penerimaan daerah, (2) berdasarkan hasil analisis model ekonometrika ditemukan bahwa setelah desentralisasi fiskal, dampak dana perimbangan cukup signifikan meningkatkan anggaran pemerintah daerah (APBD), tetapi tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh belanja rutin yang masih dominan dalam komponen APBD, kemungkinan terjadinya birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan proses pembangunan perencanaan pembangunan di daerah yang kurang baik dan (3) dampak dana perimbangan belum mencapai kondisi pemerataan pembangunan wilayah walau secara fiskal terjadi pemerataan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah, serta antar pemerintah daerah. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah bukan semata-mata di tentukan oleh besarnya kecilnya dana perimbangan di suatu daerah, penyebaran investasi yang sangat terbatas, juga merupakan faktor kesenjangan dan rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah.

Kemudian Astuti (2005) melakukan penelitian yang menghubungkan antara investasi sektor pertanian dengan perekonomian dan kemiskinan. Dengan judul Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian dan Upaya Pengurangan Kemiskinan di Indonesia, maka hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah (1) hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan investasi di sektor pertanian maka memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sebaliknya apabila terjadi kenaikan investasi di sektor pertanian akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian terutama terhadap peningkatan penerimaan pendapatan sektor produksi, peningkatan pendapatan neraca institusi penerimaan pemerintah, perusahaan dan rumahtangga, serta penerimaan balas jasa faktor produksi tenaga kerja dan modal dan (2) hasil analisis kemiskinan menunjukkan apabila investasi di sektor pertanian menurun maka akan berdampak terhadap kenaikan insiden kemiskinan pada setiap kelompok rumah tangga sebaliknya, peningkatan investasi di sektor pertanian akan berdampak terhadap penurunan insiden kemiskinan pada setiap kelompok rumahtangga. Kelompok rumahtangga dengan insiden kemiskinan tertinggi adalah kelompok rumahtangga pertanian yang berada di perdesaan yang memiliki lahan seluas 0.5-1 hektar.

2.4. Tinjauan Studi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing

Di samping penelitian yang meneliti tentang hubungan investasi dengan kinerja perekonomian, beberapa peneliti juga telah melakukan studi tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi investasi seperti yang dilakukan Saad

dan Hidayatullah serta BPM Provinsi Jawa Timur yang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.

Hasil yang diperoleh dari kajian Saad (2002) mengenai Analisis Perkembangan Investasi Swasta di Subsektor Industri makanan adalah sampai sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, perkembangan persetujuan dan realisasi investasi pada subsektor industri makanan sangat baik, bahkan di atas rata-rata investasi di sektor lainnya terutama di sektor pertanian sebagai sumber bahan bakunya. Namun sejak krisis terjadi, perkembangan investasi mengalami penurunan yang cukup signifikan, baik dalam PMDN maupun PMA. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan persetujuan investasi pada subsektor industri makanan dikelompokkan kedalam variabel kondisi negara yang bersangkutan (variabel ekonomi makro, kebijakan investasi, dan politik), variabel

negara asal investasi dan variabel harga komoditas yang mencerminkan rental

cost of capital dari investasi yang ditanam. Stabilitas nasional yang dicerminkan oleh kondisi perekonomian dan politik. Harga komoditas penting yang turut menentukan perkembangan invesatsi swasta pada industri makanan adalah komoditas olahan udang dan kelapa sawit (CPO). Kedua komoditas ini turut menentukan persetujuan dan realisasi investasi industri makanan swasta. Realisasi investasi swasta pada industri makanan baik PMDN maupum PMA masih sangat rendah. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah yang mendukung sangat di perlukan. Perumusan kebijaksanaan yang tepat akan dapat mendorong peningkatan investasi swasta pada industri makanan. Kebijakan yang di rumuskan tersebut pada dasarnya harus mencerminkan upaya peningkatan iklim yang

kondusif bagi berkembangnya investasi di antaranya melalui pemberian insentif investasi.

Kemudian Hidayatullah pada Tahun 2003 melakukan studi mengenai Analisis Penyebaran Investasi Sektor Pertanian di Kawasan Timur Indonesia menyimpulkan bahwa (1) investasi domestik di Kawasan Timur Indonesia di pengaruhi oleh inflasi wilayah, tingkat suku bunga Indonesia, Produk Domestik Regional Bruto wilayah, jumlah pengeluaran pembangunan, rasio pengeluaran pembangunan dan PDRB, potensi sumberdaya alam sektor pertanian , investasi di dalam dan di luar wilayah serta kebijakan investasi tentang percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, (2) investasi asing di Kawasan Timur Indonesia di pengaruhi oleh tingkat suku bunga dunia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, PDRB, jumlah pengeluaran pembangunan, panjang jalan, potensi sumberdaya alam sektor pertanian, investasi di dalam dan di luar serta kebijakan investasi tentang percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, (3) perubahan faktor eksternal wilayah memberikan dampak peningkatan dan penurunan jumlah investasi asing dan domestik antar wilayah di Kawasan Timur Indonesia dan (4) perubahan faktor internal wilayah, kecuali inflasi wilayah memberikan dampak peningkatan dan penurunan jumlah investasi asing dan domestik antar wilayah dan antar jenis investasi di Kawasan Timur Indonesia.

Kajian dari BPM Jatim dan UNAIR (2004) memperoleh hasil bahwa selain upah buruh terdapat tujuh faktor lain yang sangat menentukan investasi di Jawa Timur, yaitu (1) kemudahan mendirikan usaha, (2) apakah terdapat diskriminasi terhadap investasi asing yang baru masuk atau tidak?, (3) apakah ada perlakuan yang sama bagi investasi asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal atau

tidak?, (4) transparansi dalam persetujuan dan ijin investasi, (5) ramah atau tidaknya kebijakan imigrasi, (6) ada atau tidaknya mekanisme bagi investor untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah dan (7) tingkat responsifitas (kepekaan) pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor.

2.5. Posisi Penelitian

Berbagai penelitian tentang investasi terutama tentang dampak investasi baik investasi swasta maupun pemerintah terhadap perekonomian telah banyak dilakukan, akan tetapi yang secara khusus membandingkan investasi swasta mana (PMDN atau PMA) yang memberikan pengaruh terbesar terhadap kinerja perekonomian belum banyak dijumpai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini memusatkan perhatian untuk membandingkan dampak dari PMDN dan PMA terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur.

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan khususnya bagi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur untuk menyusun kebijakan investasi. Karena dengan adanya otonomi daerah memungkinkan setiap daerah menyusun kebijakan investasi sendiri melalui Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) yang dapat memberikan keuntungan bagi daerahnya sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan nasional. Dengan kata lain melalui kewenangan yang dimiliki, peran Pemda kini menjadi sama pentingnya dengan pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan investasi. Pemda dituntut dapat berkreasi dalam menangani masalah iklim investasi di daerahnya masing-masing.

III. KERANGKA TEORITIS

Dokumen terkait