MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN
MODAL ASING DI JAWA TIMUR
HERNY KARTIKA WATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HERNY KARTIKA WATI. Investment Impact on The Economic Performance: A Comparative Study of Domestic and Foreign Investment in East Java (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and HERMANTO SIREGARas member of Advisory Commiittee).
Domestic and foreign investment play an important role in the East Java economy. However, within these past five years the growth of both types of investment has been fluctuated and tends to decrease. One of the objectives research is to analyze factors affected economic variables of East Java province: Gross Regional Domestic Product (GRDP), inflation and unemployment. This research is conducted using econometric model that formulated in simultaneously equation with approximated Two Stage Least Squares (2SLS). Results of this study show that GRDP is influenced by real domestic investment, a change in real foreign investment, time trend, dummy of decentralization and the last year GRDP. Inflation is influenced by GRDP, time trend and the last year inflation. Unemployment is affected by real domestic investment, time trend and the last year unemployment. The simulation also shows that an increase in domestic and foreign investment have the same positif impact on GRDP and inflation but negative impact on unemployment. Further, foreign invesment has a greater impact on GRDP and unemployment compared to domestic invesment, conversly.
RINGKASAN
Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari data Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi dan tingkat pengangguran. Salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui investasi. Investasi merupakan kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu investasi juga memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi produksi, sehingga meminimalkan ongkos produksi dan penggalian sumberdaya alam, serta mendorong industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002).
Perkembangan investasi, khususnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tahun 2000-2006, belum menunjukkan perkembangan seperti yang diharapkan. Padahal sebagai pusat utama wilayah Kawasan Timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan perdagangan nasional, Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi (Badan Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jawa Timur, 2004).
Kondisi Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan harapan tersebut tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi turut menurun. Bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan dari tahun 2001-2006, atau dengan kata lain terjadi anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan inflasi Jawa Timur cenderung berfluktuasi dari tahun 2000-2006. Di sisi lain pertumbuhan pengangguran di Jawa Timur cenderung naik 11.8 persen per tahun.
Oleh sebab itu tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur, (2) mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur dan (3) menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur.
model persamaan simultan dinamik dan dirumuskan dalam persamaan linear additive. Model terdiri dari 5 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Berdasarkan syarat order, maka setiap persamaan struktural berstatus over identified. Oleh sebab itu metode pendugaan yang digunakan adalah 2SLS. Pengolahan data untuk menduga model digunakan program software komputer SAS versi 6.12. Sedangkan simulasi ex-post tahun 1993-2006 meliputi kebijakan peningkatan PMDN sebesar 15 persen, PMA sebesar 15 persen, Upah Minimum Provinsi sebesar 18 persen dan peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen, serta kombinasinya.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa PDRB dipengaruhi oleh PMDN riil, perubahan PMA, dummy otonomi daerah, tren waktu dan PDRB tahun sebelumnya. Inflasi dipengaruhi secara nyata oleh PDRB, tren waktu dan inflasi tahun sebelumnya. Sedangkan pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil, tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil simulasi, maka peningkatan PMDN 15 persen berdampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap pengangguran, yaitu sebesar 0.01 dan -0.05. Dampak lain kenaikan PDRB tersebut mendorong naiknya inflasi sebesar 0.05 persen. Sedangkan peningkatan PMA 15 persen menstimulasi peningkatan PDRB sebesar 0.44 persen, mendorong naiknya inflasi sebesar 1.38 persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.44 persen. Dampak terbaik terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur diperoleh dengan meningkatkan PMA sebesar 15 persen. Kenaikan PMA dapat mendorong peningkatan PDRB dan mengurangi pengangguran yang relatif lebih tinggi daripada PMDN.
MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN
MODAL ASING DI JAWA TIMUR
HERNY KARTIKA WATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul:
Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, atas bimbingan Komisi
Pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2008
HERNY KARTIKA WATI. Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur (DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai peran penting dalam perekonomian Jawa Timur. Namun dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan kedua jenis investasi swasta tersebut berfluktuasi dan cenderung menurun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian Jawa Timur, mengetahui dampak PMDN dan PMA serta menganalisis investasi mana yang mempunyai dampak terbesar dalam kinerja perekonomian Jawa Timur tersebut. Kinerja perekonomian dapat diketahui dari data PDRB, inflasi dan pengangguran. Model yang dirumuskan adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah 2 SLS dan simulasi kebijakan ekonomi.
Berdasarkan hasil pendugaan parameter model diketahui bahwa PDRB dipengaruhi secara nyata oleh Penanaman Modal Dalam Negeri riil, Perubahan Penanaman Modal Asing, dummy otonomi daerah, tren waktu, dan PDRB tahun sebelumnya.Sedangkan inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tren waktu, dan laju inflasi tahun sebelumnya. Pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil, tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan PMDN dan PMA berdampak positif terhadap PDRB dan inflasi serta berdampak negatif terhadap pengangguran. Namun dampak PMA terhadap peningkatan PDRB dan penurunan pengangguran lebih besar daripada PMDN. Oleh sebab itu untuk menstimulasi peningkatan PDRB dan sekaligus menurunkan angka pengangguran di Jawa Timur maka pengembangan PMDN dan PMA merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN
MODAL ASING DI JAWA TIMUR
HERNY KARTIKA WATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penanaman Modal Asing di Jawa Timur Nama Mahasiswa : Herny Kartika Wati
Nomor Pokok : A151040061
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui
1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Anggota
Mengetahui
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir.Bonar M.Sinaga, M.A Prof. Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1973 di Magetan, Provinsi Jawa
Timur, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan
Drs. Soekarno, MM dan Kasini.
Tahun 1985, Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karah II di
Kotamadya Surabaya, Lulus SMPN 21 pada tahun 1989 di Kotamadya Surabaya
dan Lulus SMA Negeri 5 di Kotamadya Surabaya tahun 1991. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
(UNIBRAW), Malang dan lulus pada tahun 1996. Kemudian pada tahun 2004,
penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Pengembangan SDM Pertanian
(BPSDMP), Departemen Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten mata kuliah Teori
Ekonomi Makro pada tahun ajaran 2004/2005 di Departemen Sosial Ekonomi
Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB.
Tahun 1997, Penulis diterima sebagai pegawai di Badan Agribisnis,
Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis
dipindahtugaskan ke Direktorat Jenderal Bina Pemasaran dan Pengolahan Hasil
Pertanian, Departemen Pertanian sampai saat ini.
Pada tahun 2006, Penulis menikah dengan Wienny Wahyu Wijaya, ST dan
dikaruniai seorang putra bernama Kevin Abiyyu Kartika Wijaya yang berusia 15
bulan pada saat penulisan tesis ini. Selain itu, pada saat yang sama penulis sedang
Dengan memanjatkan puji syukur Kehadirat Allah SWT, atas Rahmat dan
Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan pendidikan di sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas kesungguhan, ketekunan, ketulusan dan
kesabaran dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tesis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc selaku Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi EPN dan kepada segenap Pimpinan di Departemen Pertanian
khususnya Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Kepala Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di sekolah pascasarjana, IPB.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis (Drs. Soekarno, MM dan Kasini) serta bapak ibu mertua (Drs. Narto Soehardjo, M.Pa dan Dra. Sunarti ) atas dorongan semangat,
ketulusan dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik.
(Mayor Czi. Herfin Kartika Aji beserta keluarga dan Herdyane Kartika Dewi, SH)
atas doa dan dukungannya selama ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada staf program studi EPN: Mbak Santi, Ruby, Yani dan Aam atas bantuan administrasinya sehingga penulis dapat menjalani tugas belajar dengan baik, teman-teman di Graha Matudhilipa terutama Dwi, Citra, Niken dan Fia atas kebersamaan dan bantuan yang sangat berarti yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Demikian pula kepada teman-teman EPN satu angkatan khususnya Ilham, Iwan dan Ria atas dorongan semangat dan kebersamaan dalam menjalani perkuliahan di EPN. Tak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mbak Niken.W dan Dian atas segala bantuannya serta Pak Darsono dan Pak Yundhy atas segala saran dan kritiknya.
Kepada segenap staf di instansi pemerintah di Provinsi Jawa Timur terutama Disnaker, BPS dan BPM serta Ibu Wiwin di PSE Bogor, terima kasih atas kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam mengumpulkan data dan informasi serta terima kasih kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam tesis ini. Kiranya Allah SWT sendiri yang dapat memberi balasan berkah kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi pengembangan investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur.
Bogor, Juli 2008
Penanaman Modal Asing di Jawa Timur
Nama Mahasiswa : Herny Kartika Wati
Nomor Pokok : A151040061
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui
2. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Ketua Anggota
Mengetahui
Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S
Tanggal Ujian : 18 Juni 2008 Tanggal Lulus:
DAFTAR ISI
2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian ... 32
3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi ... 47
3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ... 47
V. ANALISIS EKONOMETRIKA DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR 72
VI. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 91
6.1. Validasi Model ... 91
6.2. Hasil Simulasi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Per- ekonomian Jawa Timur ... 92
6.2.2. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar
15 Persen ... 93
6.2.3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen ... 94
6.2.4. Peningkatan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen ... 94
6.2.5. Kombinasi Kebijakan ... 95
6.3. Studi Komparasi Peranan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Terhadap Kinerja Perekonomi- an Jawa Timur ... 100
6.4. Implikasi Kebijakan ... 102
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 106
7.1. Simpulan ... 106
7.2. Saran ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... 109
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi di Indonesia
Tahun 1997-2005 ... 4 2. Nilai Neto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia
Tahun 1997-2004 ... 4 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal
Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 5 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal
Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 6 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal
Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun
2001-2006 ... 10 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio
Tenaga Kerja Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
Tahun 1969-2004 ... 11 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan
Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 12 8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006 ... 20 9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar
Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2006 ... 21 10. Jenis dan Sumber Data ... 57 11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik
Regional Bruto ... 73 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal
Dalam Negeri ... 76 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal
Asing ... 78 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Inflasi ... 82 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran ... 84 16. Hasil Validasi Model Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian Jawa Timur ... 92 17. Hasil Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam
Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 93 18. Hasil Simulasi Peningkatan Upah Minimum Provinsi dan
Nomor Halaman 19. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 96 20. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Upah Minimum Provinsi ... 97 21. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Suku Bunga ... 97 22. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Asing dan Upah Minimum Provinsi ... 98 23. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Asing dan Suku Bunga ... 99 24. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Upah Minimum
Provinsi dan Suku Bunga ... 100 25. Perbandingan Hasil Simulasi PMDN dan PMA Terhadap
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan 2000
di Jawa Timur Tahun 1980-2006 ... 19 2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur
Tahun 1980-2006 ... 22 3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006 22 4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006 ... 27 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa
Timur Tahun 1980-2006 ... 29 6. Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun
1980-2006 ... 30 7. Hubungan antara Tingat Bunga Riil dengan Kuantitas
Investasi ... 42 8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran 49 9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek ... 50 10. Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian Jawa Timur: Studi Komparasi Penanaman
Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 56 11. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva
Penawaran Agregat ... 86 12. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kuva
Permintaan Agregat ... 86 13. Pertumbuhan Yang Bersumber Pada AD Harus Diimbangi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Nama dan Keterangan Variabel-Variabel yang Digunakan 114 2. Data Penelitian Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian Jawa Timur ... 115 3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika
DampakInvestasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa
Timur dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 117 4. Program dan Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak
Investasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 124 5. Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
1.1. Latar Belakang
Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan
Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan tingkat pengangguran. Sasaran yang
ingin dicapai adalah tingginya pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan
pertumbuhan PDB, stabilnya inflasi atau tercapainya inflasi yang sesuai dengan
kemampuan ekonomi serta rendahnya tingkat pengangguran.
Salah satu upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu
melalui penyelenggaraan penanaman modal atau investasi. Investasi merupakan
kunci utama untuk mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tercermin
dari kemampuannya meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan.
Semakin besar investasi suatu negara akan semakin besar pula tingkat
pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi
merupakan fungsi investasi (Haryanto, 2005). Selain itu investasi juga
memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi
dalam produksi sehingga meminimalkan ongkos produksi serta penggalian
sumberdaya alam, industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi
kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002). Pendapat tersebut didukung
dengan adanya UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang menyebutkan
bahwa salah satu tujuan dari penyelenggaraan investasi baik investasi PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing)
adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, secara khusus Wiranata (2004) menyampaikan bahwa investasi
ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut ekonomi terbuka pada
umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan
barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika,
modal asing terutama dari Jepang dan Eropa Barat tetap dibutuhkan guna memacu
pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan
lapangan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing
sangat diperlukan sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi.
Peran penting investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dari
perkembangan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1997. Walaupun
satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi, Indonesia kembali menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang positif, namun sampai saat ini rata-rata pertumbuhan
per tahunnya relatif masih lambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga
yang juga terkena krisis, seperti Thailand dan Filipina. Pada Tahun 1999 Thailand
mampu mendorong pertumbuhan ekonominya sebesar 4.4 persen sedangkan
Indonesia hanya 0.8 persen Demikian juga dengan Filipina, pada tahun 2001
pertumbuhan ekonominya hanya 1.8 persen, tetapi tiga tahun kemudian
pertumbuhan ekonominya menanjak hingga 6.1 persen sedangkan Indonesia
hanya 5.1 persen. Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di
Indonesia adalah belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi
dari luar terutama dalam bentuk PMA.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
diketahui bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA
sempat mengalami peningkatan. Akan tetapi setelah tahun 2000 jumlahnya
peningkatan persetujuan investasi menjadi 1 648 proyek. Satu hal menarik dari
data BKPM tersebut bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru
PMA lebih tinggi dari PMDN (Tabel 1). Kondisi tersebut menandakan bahwa
bagi perkembangan investasi langsung dalam negeri khususnya periode pasca
krisis, peran PMA lebih penting daripada PMDN. Namun demikian apabila dilihat
dari nilai nettonya (arus investasi masuk dikurangi arus keluar), kondisi PMA
setelah krisis lebih memprihatinkan, walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat
kembali positif seperti yang terlihat dalam Tabel 2 (Tambunan, 2006). Lebih
banyaknya arus PMA yang keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim
investasi di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan asing di industri-industri
yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu
dan lainnya yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku
lokal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut dengan mudahnya pindah ke
negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak
menguntungkan lagi.
Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya iklim
investasi di Indonesia adalah (1) adanya stabilitas politik dan sosial, (2) stabilitas
ekonomi, (3) kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana
jalan dan pelabuhan), (4) berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja
(termasuk isu-isu perburuhan), (5) regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam
waktu dan biaya yang diciptakan), dan (6) masalah good governance termasuk
korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung
panjang dari kegiatan investasi dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak
(Tambunan, 2006).
Kondisi perkembangan investasi PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur
juga mengalami hal yang serupa dengan kondisi perkembangan investasi nasional.
Perkembangan investasi tahun 2000-2006 belum menunjukkan kemajuan seperti
yang diharapkan, padahal Jawa Timur mempunyai potensi untuk pengembangan
investasi dengan beberapa alasan sebagai berikut, (1) sebagai pusat utama wilayah
kawasan timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan
perdagangan nasional. Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk
perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, transportasi dan lain sebagainya
(Badan Penanaman Modal atau BPM Jatim dan Universitas Airlangga atau
UNAIR, 2004), (2) posisi Jawa Timur yang relatif dekat dengan Jakarta tapi
belum padat seperti Tangerang dan Bekasi, upah buruh yang rendah dibandingkan
dengan Bandung dan Tangerang, serta dengan dukungan investasi lahan yang
relatif masih murah merupakan daya tarik tersendiri bagi pengusaha (Wahyuni,
2007), (3) mempunyai fasilitas pelabuhan laut dan udara yang cukup memadai
dan (4) adanya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001. Dengan otonomi
tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui
efisiensi dan kemudahan dalam prosedur perijinan sehingga dapat menarik
investor lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya ke Jawa Timur.
Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006
Jumlah Proyek Investasi (Rp Juta) Tahun
Pada Tabel 3, terlihat bahwa perkembangan realisasi investasi PMDN
di Jawa Timur sejak tahun 2000-2006 berfluktuasi dan cenderung menurun
kemudian berangsur-angsur naik. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada tahun
2002 dan 2005, dari 21 proyek di tahun 2000 dengan nilai investasi sebesar
Rp 628.37 milyar menjadi tidak ada proyek sama sekali. Akan tetapi, pada tahun
2006 kondisi investasi PMDN membaik dan mengalami peningkatan menjadi
proyek PMDN tersebut lebih rendah daripada yang direncanakan yaitu rata-rata
per tahunnya sebesar 23 persen sedangkan realisasi nilai investasinya sebesar
32.6 persen per tahun. Hal tersebut menandakan bahwa banyak proyek-proyek
yang telah disetujui tidak jadi dilaksanakan atau dengan kata lain banyak investor
yang membatalkan rencana investasinya.
Serupa dengan PMDN, perkembangan PMA tahun 2000-2006 baik dari
jumlah proyek maupun nilai investasinya cenderung menurun. Walaupun pada
tahun 2005, sempat mengalami kenaikan yang cukup berarti yaitu dari 8 proyek
pada tahun 2004 menjadi 13 proyek dengan nilai investasi sebesar US$ 617.47
juta. Secara umum realisasi investasi baik dari segi jumlah proyek maupun
nilainya lebih rendah dari rencana investasi dan cenderung menurun yaitu 27.48
persen dan 66.99 persen per tahun. Perkembangan realisasi investasi PMA secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006
Jumlah Proyek Investasi (US$ Juta) Tahun
Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %
2000 92 34 37 960.77 101.23 11
2001 59 27 46 136.36 109.95 81
2002 55 22 40 98.07 49.00 50
2003 71 16 23 357.38 19.33 5
2004 42 8 19 170.43 5.94 3
2005 68 13 19.11 193.94 617.47 318.38
2006 58 5 8.26 471.89 2.58 0.55
Rata-rata 27.48 66.99
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)
Rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tersebut
menunjukkan bahwa daya serap Jawa Timur terhadap investasi relatif rendah.
Apabila dibandingakan realisasi antara PMDN dan PMA maka ternyata realisasi
bagi perkembangan investasi langsung di Jawa Timur khususnya pada periode
tahun 2000-2006, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN dan
menunjukkan bahwa perencanaan investor asing (PMA) lebih baik dan mantap
dibandingkan PMDN dalam menanamkan modalnya di Jawa Timur.
Sementara itu, dari segi penyebaran investasi berdasarkan lokasinya maka
lokasi PMDN sebagian besar berada di wilayah Surabaya kemudian Gresik,
Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki PMDN
adalah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan. Untuk PMA tidak jauh berbeda
dengan PMDN, sebagian besar berlokasi di Surabaya kemudian Sidoarjo, Gresik
dan Pasuruan. Wilayah yang tidak dimasuki PMA adalah Bojonegoro,
Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan,
Pamekasan dan Sampang. Apabila dibandingkan menurut pola penyebarannya
maka penyebaran PMDN lebih merata daripada PMA.
Berdasarkan bidang usaha yang diminati pada dasarnya antara PMDN dan
PMA juga tidak jauh berbeda. Untuk PMDN bidang usaha yang diminati dari
yang tertinggi jumlah proyeknya adalah industri kimia, makanan, barang logam,
kayu dan industri tekstil. Sedangkan untuk PMA bidang usaha yang diminati
adalah industri kimia, barang logam, perdagangan, industri makanan, kayu dan
tekstil. Apabila dicermati ternyata industri tekstil menempati urutan ke-lima
dalam Bidang usaha yang diminati PMDN dan urutan ke-enam dalam PMA. Ini
menunjukkan bahwa PMA tidak hanya berinvestasi pada usaha yang padat modal
saja tetapi juga turut berkontribusi pada bidang usaha yang relatif padat karya,
Penyebab fluktuatifnya PMDN dan menurunnya PMA di Jawa Timur antara
lain ialah (1) adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kurang kondusifnya
kehidupan politik, serta ancaman gangguan keamanan seperti meledaknya bom di
Bali, kerusuhan di Ambon dan Poso. Walaupun hal ini bersifat nasional tapi turut
berpengaruh terhadap besarnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur, (2)
kurs rupiah yang senantiasa berfluktuasi terhadap mata uang asing (cenderung
depresiasi), (3) tidak adanya kepastian hukum maupun lemahnya perlindungan
hukum bagi investor dalam negeri maupun asing, (4) rendahnya kapasitas calon
investor atau rendahnya kemampuan modal sendiri untuk mendukung investasi
yang direncanakan yang menyebabkan struktur modal investasinya terlalu
didominasi oleh dana pinjaman. Sehingga apabila penerimaan yang diharapkan
tidak lebih besar dari biaya modal maka calon investor akan cenderung
membatalkan niat investasinya, (5) adanya peningkatan biaya melakukan bisnis
yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Contohnya pengenaan
pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar
kabupaten dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (BPM Jatim
dan UNAIR, 2004), (6) terbatasnya informasi investasi bagi para investor, (7)
menurunnya kondisi infrastruktur, misalnya banyaknya jalan yang berlubang serta
bencana luapan lumpur Sidoarjo dan (8) belum terjaminnya kontinuitas bahan
baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007).
Kondisi perkembangan Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan
harapan tersebut pada kenyataanya tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi
turut menurun, bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan
pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari perkembangan PDRB Jawa
Timur atas dasar harga konstan (tahun 2000=100) yang mengalami kenaikan dari
Rp 169 680 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp 470 627 milyar pada tahun 2006.
Hal ini menunjukkan adanya anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Selain PDRB, indikator lain yang cukup penting dalam mengukur kinerja
perekonomian adalah pengangguran. Jumlah penganggur di Provinsi Jawa Timur
cenderung mengalami kenaikan dari 845 590 jiwa pada tahun 2000 meningkat
menjadi 1 502 903 jiwa tahun 2006. Sedangkan kemampuan PMDN untuk
menyerap tenaga kerja pada tahun 2006 sebesar 8 386 jiwa dan PMA sebesar
124 jiwa. Sehingga apabila dilihat dari segi jumlah maka peran kedua jenis
investasi tersebut dalam mengurangi jumlah pengangguran relatif masih kecil.
Dengan adanya peran penting investasi PMDN dan PMA dalam
perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi, meskipun pada kenyataanya di
Jawa Timur terjadi anomali, serta adanya peran investasi dalam menciptakan
lapangan kerja yang diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa
Timur, maka penelitian mengenai dampak investasi terhadap kinerja
perekonomian di Jawa Timur merupakan sesuatu yang menarik untuk dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah
Investasi merupakan kunci utama dalam upaya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Haryanto, 2005). Pendapat tersebut dilengkapi dengan
penjelasan mengenai arti penting investasi dalam menentukan pertumbuhan
ekonomi oleh Rostow dan Domar (Todaro, 2000). Menurut Rostow, setiap upaya
tinggal landas mengharuskan adanya mobilisasi tabungan dalam dan luar negeri
pertumbuhan ekonomi. Pada model pertumbuhan Harrod Domar, arti penting
investasi lebih ditekankan, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki
investasi. Pertama investasi menciptakan pendapatan dan kedua investasi
memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok
kapital.
Pada kenyataannya perkembangan investasi PMDN dan PMA tahun
2000-2006 di Jawa Timur masih jauh dari harapan, yaitu berfluktuasi cenderung
menurun. Namun demikian kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonominya seperti yang terlihat dalam Tabel 5. Pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan
di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor perdagangan, industri,
pengangkutan dan sektor keuangan (Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim,
2004). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peranan investasi
PMDN dan PMA dalam pembentukan PDRB di Jawa Timur?
Tabel 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2006
Sumber: BPM Provinsi Jatim (2004) dan Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim (2004)
Kenaikan PDRB atau pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan
berturut-turut dari tahun 2000-2006 adalah 9.62, 14.10, 9.38, 3.59, 6.24, 15.89,
dan 6.76 persen ( BPS, berbagai tahun terbit). Inflasi yang tertingi terjadi pada
tahun 2005 yang dipicu oleh inflasi pada kelompok perumahan, kesehatan dan
pendidikan, rekreasi dan olah raga.
Selain sebagai salah satu faktor dalam menunjang pertumbuhan ekonomi,
investasi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja sehubungan dengan
kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja seperti pada Tabel 6.
Apabila dicermati pada Tabel 6, memperlihatkan bahwa rasio tenaga kerja
PMDN dan PMA fluktuatif cenderung menurun. Secara agregat rasio tenaga kerja
pada PMDN relatif sama dengan PMA. Ini berarti bahwa pada kurun waktu tujuh
tahun kemampuan PMDN dan PMA dalam menyerap tenaga kerja hampir sama.
Tabel 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio Tenaga Kerja Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Tahun 2000-2006
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) diolah
Penyerapan tenaga kerja erat kaitannya dengan pengangguran. Semakin
besar tenaga kerja yang terserap maka jumlah pengangguran makin menurun.
Kombinasi rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA selama tahun
2000-2006 di Jawa Timur yang disertai dengan menurunnya nilai investasi
kesempatan kerja. Keadaan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah
pengangguran yang tercermin pada meningkatnya tingkat pengangguran terbuka
terutama pada tahun 2003, sebesar 8.68 persen seperti dalam Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan
(1) ketidaksesuaian antara pendidikan/ketrampilan pencari kerja dengan
kebutuhan pasar tenaga kerja, (2) penyebaran informasi kesempatan kerja yang
belum optimal, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan
mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia, (4) masih rendahnya
angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri, (5) adanya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari berbagai usaha seperti industri garmen,
tekstil, sepatu dan kayu dan (6) pemulangan (deportasi) Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) ilegal.
Banyaknya tenaga kerja yang bekerja ke luar negeri menggambarkan
sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri atau tingkat upah yang belum
sepenuhnya memberikan kepuasan bagi mereka. Hal tersebut menyebabkan
sebagian warga Indonesia memaksakan diri untuk menjadi TKI walaupun tidak
memiliki persyaratan yang lengkap baik administrasi maupun keahlian (Pemprov
seberapa besar peran atau pengaruh investasi PMDN dan PMA terhadap
pengurangan pengangguran? dan investasi mana yang paling berperan, apakah
PMDN atau PMA?
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian Jawa
Timur yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan
pengangguran?
2. Seberapa besar dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan
ekonomi, inflasi dan pengangguran?
3. Investasi mana yang memberikan dampak paling besar terhadap
pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran, investasi PMDN atau
PMA?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,
inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.
2. Mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan
ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.
3. Menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak
terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kinerja perekonomian Jawa Timur meliputi pertumbuhan ekonomi yang
tercermin dari pertumbuhan PDRB, inflasi, dan tingkat pengangguran.
Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realisasi investasi
swasta yang memperoleh fasilitas baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar
negeri (PMA) di provinsi Jawa Timur.
Cakupan analisis menggunakan data regional dengan rentang waktu tahun
1980-2006 (27 tahun). Model ekonometrik deret waktu yang digunakan adalah
model persamaan simultan.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data realisasi investasi yang
dianalisis belum menggambarkan seluruh kegiatan investasi yang terdapat di Jawa
Timur. Hal ini disebabkan data realisasi investasi PMDN dan PMA yang tersedia
belum memasukan investasi di sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga
keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka
kontrak karya, perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara, investasi yang
perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi portofolio (pasar
modal) dan investasi rumah tangga.
Selain itu, lemahnya dokumentasi data tentang investasi yang bersifat non
fasilitas yaitu investasi yang dilakukan oleh pengusaha atau masyarakat yang
umumnya berskala kecil dan menengah sehingga investasi tersebut tidak bisa
diakomodir dalam penelitian ini. Walaupun diperkirakan investasi jenis ini
1.5. Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan kebijakan tentang
investasi khususnya PMDN dan PMA dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan tingkat inflasi yang rendah dan mengurangi
angka pengangguran di Jawa Timur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jenis-Jenis Investasi Swasta
Investasi swasta terdiri dari: investasi yang memperoleh fasilitas dan yang
tidak memperoleh fasilitas (non fasilitas). Perbedaan ini mempunyai implikasi
pada perbedaan prosedur dan perijinan serta perolehan fasilitas investasi terutama
di bidang fiskal.
Investasi yang memperoleh fasilitas menurut UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal adalah investasi yang sekurang-kurangnya memenuhi
salah satu kriteria sebagai berikut, (1) menyerap banyak tenaga kerja,
(2) termasuk skala prioritas tinggi, (3) termasuk pembangunan infrastruktur,
(4) melakukan alih teknologi, (5) melakukan industri pionir, (6) berada di daerah
terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap
perlu, (7) menjaga kelestarian hidup, (8) melaksanakan kegiatan penelitian,
pengembangan dan inovasi, (9) bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah
atau koperasi dan (10) industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bentuk
fasilitas yang diberikan kepada investasi yang memenuhi syarat untuk
memperoleh fasilitas adalah (1) pajak penghasilan melalui pengurangan
penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap penanaman modal yang
dilakukan dalam waktu tertentu, (2) pembebasan atau keringanan bea masuk atas
impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum
baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu
dan persyaratan tertentu, (4) pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan
produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dalam jangka waktu
tertentu, (5) penyusutan atau amortisasi yang dipercepat dan (6) keringanan pajak
Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau
daerah atau kawasan tertentu; serta kemudahan pelayanan dan/atau perijinan
kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, fasilitas
pelayanan keimigrasian dan fasilitas perijinan impor.
Berdasarkan kepemilikan dan sumber pendanaannya, investasi yang
memperoleh fasilitas dibedakan menjadi dua, yaitu (1) PMDN adalah apabila
kepemilikan dan sumber modalnya berasal dari dalam negeri, dan (2) PMA
apabila kepemilikan dan modalnya lebih banyak bersumber dari modal asing atau
luar negeri. Untuk PMDN dan PMA, perijinannya dilakukan melalui BKPM yang
berada di pusat (Jakarta) atau Badan Penanaman Modal (BPM) yang terdapat di
seluruh Provinsi di Indonesia.
Menurut Salvatore (1997) PMA tediri atas (1) investasi portofolio (portfolio
investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti
obligasi dan saham yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional.
Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung
melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi,
yayasan pensiun dan sebagainya, dan (2) investasi asing langsung (Foreign
secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam
barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi dan lain sebagainya.
Investasi non fasilitas adalah investasi swasta yang tidak memerlukan
fasilitas pemerintah dan mempunyai skala menengah dan kecil. Pada umumnya,
jenis investasi ini dilakukan oleh pengusaha dalam negeri dimana usaha yang
dilakukan sangat rendah kandungan impornya sehingga tidak memerlukan
fasilitas impor bahan baku dan fasilitas lainnya. Perijinan investasi non fasilitas
tersebar di berbagai instansi sesuai dengan jenis investasinya mulai dari
departemen teknis hingga di bagian perekonomian Pemerintah Daerah Kabupaten
dan Kota.
2.2. Perkembangan Perekonomian Jawa Timur 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi
Untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah digunakan suatu
indikator yang disebut dengan PDRB. Menurut definisi, PDRB adalah total nilai
produk barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah tertentu dalam waktu
tertentu tanpa melihat faktor kepemilikan (Analisis Indikator Makro Prov. Jawa
Timur, 2004). Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah merupakan kenaikan PDRB
atas dasar harga konstan yang mencerminkan kenakan produksi barang dan jasa di
suatu wilayah.
Berdasarkan data PDRB riil atas dasar harga konstan tahun 2000, maka pada
tahun 1980 sampai dengan 1997 diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur cukup baik, dengan rata-rata pertumbuhan 7.69 persen per tahun. Pada
tahun 1997 Jawa Timur berhasil mencapai PDRB riil sebesar Rp 172.91 trilyun.
serius bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. PDRB riil turun drastis sebesar
14.33 persen menjadi Rp 148.13 trilyun (Gambar 1).
0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Gambar 1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur ( Berbagai Tahun Terbit) diolah
Pada saat kondisi fundamental ekonomi yang lemah, tekanan-tekanan
kenaikan harga justru semakin tinggi disertai pula oleh gejolak nilai tukar yang
tajam dan ekspansi uang beredar yang tinggi maka membuat laju inflasi melonjak
tinggi. Akibatnya kegiatan produksi dan investasi juga turut menurun dengan
drastis. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perekonomian Jawa Timur
mengalami krisis yang mendalam yang mengakibatkan meluasnya pengangguran
dan kemiskinan.
Sejak tahun 1999, tejadi pemulihan ekonomi secara berangsur-angsur.
PDRB riil pada tahun 1999 mengalami kenaikan sebesar 3.67 persen. Bahkan
sejak tahun 2001-2006 PDRB Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang positif
Pada tahun 2005 terjadi pertumbuhan PDRB (atas dasar harga konstan) yang
tertinggi sebesar 5.85 persen. Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh
meningkatnya aktivitas hampir di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor
perdagangan, industri, pengangkutan, keuangan dan sektor pertanian.
Tabel 8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006
Tahun
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
Faktor lain yang menyebabkan peningkatan PDRB periode tahun
2001-2006 adalah diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2001 yang
memungkinkan setiap daerah menambah penerimaannya dari dana bagi hasil dan
dana Alokasi umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti
bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun
pembangunan. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan
permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi
yang bermuara pada meningkatnya PDRB atau pendapatan masyarakat.
Apabila ditinjau dari pertumbuhan sektoral seperti yang tercantum dalam
Tabel 9 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa sektor yang mengalami
penurunan dalam pembentukan PDRB selama periode tahun 2002-2006 yaitu
sektor lisrik, gas dan air bersih serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Bahkan sektor indstri pengolahan pada tahun 2002 sempat mengalami kontraksi
cukai rokok. Sedangkan sektor yang mengalami peningkatan yaitu sektor
pertanian, pertambangan dan penggalian, pengangkutan serta komunikasi.
Tabel 9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
2.2.2. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
Pada Gambar 2 dan 3 dapat diketahui bahwa sebelum krisis ekonomi,
perkembangan investasi PMDN dan PMA sangat berfluktuasi. Investasi PMDN
tertinggi dicapai tahun 1994 dengan nilai sebesar Rp 9.14 trilyun dan PMA
tertinggi dicapai pada tahun 1995 dengan nilai sebesar US$ 3.18 milyar. Namun
sejak krisis ekonomi tahun 1998 menyebabkan tekanan inflasi semakin tinggi dan
daya beli masyarakat menurun. Ditambah dengan fungsi intermediasi perbankan
praktis terhenti akibat memburuknya kepercayaan terhadap perbankan nasional
dan kondisi ketidakpastian yang meningkat telah menyebabkan kegiatan produksi
dan investasi di hampir seluruh sektor ekonomi mengalami penurunan nyata.
Investasi PMDN riil mengalami penurunan dari Rp 4.4 trilyun menjadi Rp 0.29
milyar, sedangkan PMA dari US$ 630.31 juta menjadi US$ 393.92 juta.
Walaupun apabila diriilkan dan dikonversi dalam mata uang Rupiah, justru PMA
tahun 1998 mengalami kenaikan seiring dengan melemahnya nilai tukar Rupiah
Gambar 2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)
Penurunan masih terjadi pada tahun berikutnya dan meningkat kembali pada
tahun 2000 baik untuk PMDN maupun PMA seiring dengan membaiknya kondisi
perekonomian nasional dan Jawa Timur. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak
berlangsung lama karena pada tahun-tahun berikutnya perkembangan PMDN dan
PMA berfluktuatif dan cenderung menurun.
Gambar 3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)
Perkembangan PMDN dan PMA yang berfluktuasi dan senderung menurun
tidak terlepas dari iklim investasi yang belum kondusif seperti kondisi politik dan 0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
keamanan yang belum sepenuhnya stabil, belum terwujudnya good governance,
lemahnya jaminan dan kepastian hukum, adanya peningkatan biaya melakukan
bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah (BPM Jatim dan
UNAIR, 2004), terbatasnya informasi investasi bagi para investor, menurunnya
kondisi infrastruktur dan belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan
listrik (Wahyuni, 2007).
Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan lokasinya, maka sebagian besar
lokasi PMDN berada di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto
dan Malang. Wiayah yang tidak dimasuki oleh PMDN adalah Trenggalek, Ngawi
dan Pamekasan. Jumlah Proyek PMDN tahun 1980-2006 yang tersebar di 31
lokasi mencapai 449 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 187.17 trilyun.
Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 291 352 jiwa tenaga kerja
Indonesia dan 306 tenaga kerja asing. Bidang usaha yang diminati oleh PMDN
adalah industri kimia, pengolahan makanan, industri barang logam, industri kayu
dan industri tekstil.
Untuk PMA, penyebarannya tidak merata dan sebagian besar berada di
Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki oleh PMA
adalah: Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan,
Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. Jumlah proyek PMA di Jawa Timur
Tahun 1980-2006 mencapai 501 proyek dengan nilai investasi mencapai US$
11.99 milyar. Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 176 556 tenaga
kerja Indonesia dan 989 tenaga kerja asing.
Bidang usaha yang diminati oleh PMA adalah industri kimia, industri barang
Apabila ditinjau dari jumlah proyeknya maka Taiwan, Jepang, Korea Selatan,
Singapura dan Hongkong menduduki peringkat 5 besar. Sedangkan bila dilihat
dari nilai investasinya sejak tahun 1967 sampai 31 Maret tahun 2004, maka
Inggris menduduki peringkat pertama dengan nilai investasi sebesar US$ 6.78
milyar dan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia sebesar 16.393 jiwa dan
tenaga kerja asing sebesar 331 jiwa. Peringkat kedua adalah Hongkong dan
berikutnya Jepang (BPM Jatim dan UNAIR, 2004).
Apabila ditelaah lebih lanjut, ternyata baik investor asing maupun dalam
negeri yang masuk ke Jawa Timur lebih tertarik menanamkan modalnya di
wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang dan Pasuruan walaupun untuk
PMDN penyebarannya lebih merata. Hal ini disebabkan oleh tersedianya sarana
dan prasarana yang memadai seperti pelabuhan laut, terminal peti kemas, bandara
internasional Juanda, lembaga keuangan perbankan, asuransi, jalan tol dan
tersedianya tenaga kerja terampil dalam jumlah yang memadai.
2.2.3. Potensi Investasi di Jawa Timur
Prospek investasi di Jawa Timur pada dasarnya cukup baik. Selain
lokasinya yang strategis sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia Timur, Jawa
Timur juga mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
cukup besar serta memiliki sarana dan prasarana untuk pengembangan investasi
yang memadai. Potensi sumber daya alam tersebut antara lain kehutanan,
pertanian, perkebunan, bahan-bahan tambang, perikanan laut, dan sumber daya
minyak dan gas bumi yang potensial.
Sarana dan prasarana yang tersedia untuk pengembangan investasi di Jawa
internasional Tanjung Perak Surabaya dan Banyuwangi serta pelabuhan laut
Probolinggo dan Gresik, (3) stasiun kereta api, (4) terminal bis di berbagai kota,
(5) terminal peti kemas, (6) jalan tol Surabaya-Gresik, (7) jaringan listrik, telepon,
gas dan air minum, (8) Bursa Efek Surabaya dan (9) lembaga keuangan perbankan
dan non perbankan. Dukungan yang lain, yaitu adanya investasi pemerintah dalam
membangun jembatan nasional Suramadu (Surabaya-Madura), pasar induk
agribisnis Jemundo, jalan lintas selatan Jawa Timur, jalan tol Waru-Mojokerto,
pendirian PT Jatim Investment Management, terminal peti kemas, melanjutkan
proyek KA komuter dan rencana menerapkan konsep East Java Incorporated dan
East Java Integrated Industries Zone.
Selain itu, Jawa Timur juga mempunyai potensi industri dengan
produk-produk yang bisa dikembangkan sebagai produk-produk yang mempunyai daya saing
yang tinggi dalam pasar nasional maupun internasional. Industri tersebut antara
lain (1) supporting industries, pada saat ini terdapat 169 unit usaha yang termasuk
dalam supporting industries dan 71 di antaranya khusus memproduksi komponen
otomotif roda dua. Lokasi dari unit usaha tersebut tersebar di beberapa kabupaten
atau kota yaitu Surabaya, Pasuruan, Sidoarjo, Malang, Gresik, Kediri dan
Mojokerto, (2) industri perhiasan, mulai dari perhiasan emas, perak dan batu
mulia. Terdapat 19 perusahaan menengah besar dan 1 500 unit usaha kecil pada
sentra-sentra industri perhiasan emas, perak dan batu mulia yang tersebar di
Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, Lumajang,
Nganjuk, Pamekasan, Banyuwangi, Bangkalan, Ponorogo dan Pacitan. Sampai
persen, (3) industri kulit dan produk kulit, (4) industri makanan dan minuman dan
(5) industri aromatik.
Untuk industri kulit, produk yang menonjol antara lain penyamakan kulit,
alas kaki, tas, jaket, dan hasil kerajinan, misalnya wayang. Lokasi untuk produk
alas kaki (sandal) adalah di Wedoro, Sidoarjo. Sedangkan untuk produk tas di
kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo dan produk sepatu di Mojokerto dan
Magetan.
Produk industri makanan dan minuman yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan adalah produk olahan pertanian yaitu aneka kripik umbi-umbian
dan buah-buahan, sari mengkudu dan kopi jahe serta produk olahan hasil laut
yaitu krupuk udang, petis, terasi, teripang dan ikan asin. Jumlah industri makanan
dan minuman tersebut berkisar 40 970 unit usaha yang tersebar di wilayah
Surabaya, Sidoarjo, Kediri, Malang, Batu, Jombang, Pasuruan, Gresik, Lamongan,
Banyuwangi, Pacitan, Jember dan Lumajang. Tenaga kerja yang terserap pada
tahun 2004 sebesar 102 500 jiwa (BPM Jatim dan UNAIR, 2004).
Selain itu dengan upah minimum provinsi yang relatif lebih rendah daripada
Bandung dan Tangerang serta adanya pelaksanaan pelayanan satu atap dalam satu
hari (one day service) sebagai akibat adanya otonomi daerah diharapkan dapat
menambah daya tarik Jawa Timur sebagai wilayah investasi.
2.2.4. Inflasi
Laju inflasi di Jawa Timur sejak tahun 1980-2006 berfluktuatif. Pada saat
puncak krisis pada tahun 1998, inflasi melonjak mencapai 87.60 yang merupakan
inflasi tertinggi pada kurun waktu 27 tahun tersebut. Bahkan lebih tinggi daripada
Gambar 4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
Inflasi pada tahun 1998, terutama bersumber dari terganggunya kegiatan
produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Khususnya kelompok
bahan makanan. Nilai tukar yang lemah sebesar Rp 9 804.30 per Dollar AS telah
mengakibatkan mahalnya harga barang impor yang kemudian mendorong
kanaikan harga secara umum. Apalagi cukup banyak industri yang menggunakan
bahan baku impor. Kerusuhan Mei tahun 1998 juga telah mengakibatkan rusaknya
sentra-sentra perdagangan dan terganggunya jalur distrbusi. Di samping ekspansi
moneter yang sangat besar juga ikut memberikan tekanan terhadap inflasi
(Yudhoyono, 2004). Walaupun kejadian kerusuhan tersebut terjadi di Jakarta
tetapi dampaknya terasa sampai di daerah terutama Jawa Timur.
Setelah sempat menurun pada tahun 1999 dan 2000, pada tahun 2001 inflasi
di Jawa Timur meningkat kembali mencapai 14.10 persen. Meningkatnya tekanan
inflasi ini bersumber dari semakin kuatnya pengaruh kebijakan pemerintah pusat
di bidang harga dan pendapatan yang meliputi kenaikan beberapa jenis bahan 0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
P
ers
en
bakar minyak (BBM), angkutan, listrik, air, minuman, rokok, serta kenaikan upah
minimum provinsi dan gaji pegawai negeri.
Selanjutnya, pada tahun 2002 dan 2003 inflasi menurun menjadi 9.38 persen
dan 3.59 persen. Kemudian naik kembali pada tahun 2004 dan bahkan pada tahun
2005 meningkat tajam menjadi 15.89. Kenaikan inflasi ini dipicu oleh kenaikan
harga-harga di kelompok pendidikan, trasportasi dan kesehatan.
2.2.5. Pengangguran
Jumlah pengangguran terbuka di Jawa Timur antara tahun 1882-1992
relatif konstan pada angka 300 ribu jiwa. Pada tahun 1994 dan 1995 sempat
terjadi lonjakan jumlah pengangguran, tetapi pada tahun 1996 dan 1997 jumlah
pengangguran berhasil ditekan. Hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab sejak
tahun 1998 jumlah pengangguran terus meningkat hingga pada tahun 2005 yang
jumlahnya mencapai 1.6 juta jiwa. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran
mengalami penurunan menjadi 1.5 juta jiwa.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
menyebabkan lumpuhnya dunia usaha. Kenaikan biaya produksi akibat
penggunaan bahan baku impor di satu sisi, serta melemahnya daya serap pasar di
sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usahanya. Akibatnya
banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga jumlah pengangguran
meningkat. Jumlah pengangguran yang sempat menurun pada tahun 1996 dan
1997 meningkat kembali pada tahun 1998. Pada tahun yang sama pengangguran
mencapai 720 ribu jiwa atau 4.10 persen dari total angkatan kerja lebih besar
persen. Perkembangan jumlah pengangguran terbuka dan tingkat pengangguran
terbuka di Jawa Timur tahun 1980-2006 dapat dilihat dalam Gambar 5 dan 6.
0.0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Gambar 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
Pada tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan sedikit penguatan.
Situasi ekonomi dunia membaik disertai dengan permintaan domestik yang
meningkat telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi, termasuk usaha kecil
dan menengah meningkatkan kegiatan usaha mereka. Akan tetapi dampak positif
peningkatan perekonomian Indonesia tersebut kurang dirasakan di Jawa Timur
terutama dari sisi penyerapan tenaga kerja. Hal ini terbukti dengan semakin
meningkatnya jumlah pengangguran terbuka dari tahun 2000-2006. Pada tahun
2003, jumlah persentase jumlah pengangguran mencapai angka yang tertinggi
yaitu 8.68 persen dari total angkatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai
5.83 persen belum mampu menciptakan tambahan lapangan kerja, lapangan kerja
atau kesempatan kerja malah menurun menjadi 485 814 jiwa. Walaupun pada
karena penurunan kesempatan kerja lebih besar daripada penurunan angkatan
kerja maka jumlah pengangguran meningkat.
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Gambar 6: Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) diolah
Peningkatan jumlah pengangguran ini tidak terlepas dari faktor kurang
kondusifnya kondisi dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia terutama di
Jawa Timur. Berbagai permasalahan struktural dan ketidakpastian aturan dan
hukum di Indonesia maupun di daerah mengakibatkan investor enggan
menanamkan modalnya sehingga berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan
kerja baru dan meningkatnya jumlah pengangguran. Hal ini ditunjukkan dengan
rendahnya realisasi PMDN dan PMA tahun 2003 sebesar 23 persen. Faktor lain
yang menyebabkan tingginya angka pengangguran adalah (1) rendahnya kualitas
tenaga kerja Jawa Timur yang disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana
pelatihan yang dimiliki, terbatasnya kuantitas dan kualitas instruktur yang
memenuhi kebutuhan pelatihan dan terbatasnya kompetensi tenaga kerja yang
dibutuhkan. Kualitas angkatan kerja yang rendah ini berpengaruh pada rendahnya
berkembangnya teknologi, (2) ketidaktahuan pasar kerja akibat belum optimalnya
penyebaran informasi pasr kerja, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam
melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia dan
(4) masih rendahnya minat angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja yang
mandiri (Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, 2005).
Secara keseluruhan kondisi tersebut berpengaruh pada rendahnya tingkat
upah, tingginya tingkat PHK, serta rendahnya jaminan kesejahteraan karena
tenaga kerja tidak memiliki bargaining power akibat keterbatasan kompetensi dan
kualifikasi yang dimiliki. Rendahnya upah di Jawa Timur juga didukung oleh
pernyataan Ritongga (2005) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dari 17
provinsi yang sudah menetapkan UMP-nya, DKI Jakarta mencatat UMP tertinggi
yaitu Rp 819 100 dan Jawa Timur sebesar Rp 390 000 yang merupakan UMP
terendah. Dengan keadaan UMP yang rendah tersebut di satu sisi menyiratkan
tingginya pengangguran dan di sisi lain menunjukkan bahwa pada tingkat upah
berapapun tenaga kerja di Jatim mau bekerja. Sehingga adanya kenaikan upah
akan dapat meningkatkan jumlah pengangguran. Karena pemintaan tenaga kerja
berkurang sementara penawarannya semakin bertambah. Namun apabila Pemprov
Jatim dapat memanfaatkan peluang ini maka dengan infrastruktur (listrik dan
jalan) yang lebih baik dan tenaga kerja yang lebih murah maka Jawa khususnya
Jawa Timur menjadi lebih kompetitif bagi investor dibanding propinsi lain di luar
Jawa terutama Sumatera yang dikenal mempunyai upah yang tinggi dengan
kondisi infrastruktur yang kurang baik.
Pada dasarnya sistem penetapan upah dilakukan untuk mengurangi
aktivis gerakan buruh. Ketentuan UMP itu sendiri hanya diberlakukan bagi
pekerja dengan masa kerja kurang dari setahun. Sedangkan upah bagi pekerja
lama diserahkan sepenuhnya kepada keputusan bipatrit (pekerja dan majikan).
Secara logis UMP yang lebih tinggi akan mendorong pekerja senior meminta
kenaikan upah. Ada yang menyebut dengan istilah upah sundulan. Oleh karena itu
pengusaha berharap kenaikan UMP seminimum mungkin, karena akan membuat
buruh lama menuntut upah yang lebih tinggi.
Penetapan upah buruh di Indonesia dilaksanakan setiap tahun melalui proses
yang panjang. Pada awalnya Dewan Pengupahan daerah (DPD) yang terdiri dari
birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan pertemuan, membentuk
tim survei dan turun ke lapang untuk mencari tahu harga kebutuhan pokok.
Setelah survei di sejumlah kota dianggap representatif diperoleh angka Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) yang dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan UMP ke Gubernur. Kemudian berdasarkan
UMP baru ditetapkan pula upah minimum provinsi sektoral (UMPS). Setelah
otonomi diberlakukan, dikenal pula istilah upah minimum kabupaten/kota
(UMK). Angkanya merupakan hasil perhitungan Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota (DPK). Selanjutnya DPK menggunakan UMP dan hasil survei
KHL sebagai bahan pertimbangan menghitung dan mengusulkan UMK kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota.
2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian
Tinjauan studi dampak investasi baik swasta maupun pemerintah terhadap
kinerja perekonomian adalah sebagai berikut: studi yang dilakukan oleh Macmud
Selatan dengan menggunakan model Rana Dowling. Dari hasil studi tersebut
diketahui bahwa variabel Bantuan Pemerintah Pusat (BPP) dalam bentuk-bentuk
program sektoral di Provinsi Sumatera Selatan, investasi swasta, tabungan daerah,
ekspor daerah, pertumbuhan dan angkatan kerja mempunyai pengaruh positif dan
nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, berdasarkan hasil estimasi
fungsi tabungan dapat dilihat bahwa variabel bantuan pemerintah pusat, investasi
swasta, dan ekspor daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan (nyata)
terhadap tabungan daerah Sumatera Selatan.
Selanjutnya Susanti (2003) melakukan studi tentang Dampak Perubahan
Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro
dan Sektoral di Indonesia menyimpulkan bahwa pengaruh peningkatan investasi
output sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum
berpengaruh positif, yaitu meningkatkan output sektoral. Hasil yang sama
diperoleh dari sisi perubahan produktivitas, perubahan produktivitas baik
produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja berpengaruh dalam peningkatan
output sektor perekonomian. Apabila investasi dan produktivitas dirubah secara
bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di sektor perikanan relatif
lebih besar dibandingkan bila dirubah secara parsial.
Konsumsi rumah tangga sektoral juga mengalami peningkatan akibat
peningkatan investasi dan produktivitas. Harga output pada sektor perikanan,
mengalami penurunan akibat adanya peningkatan output. Harga output pada
sektor perekonomian lain bergerak mengikuti mekanisme permintaan penawaran.
Dalam perekonomian makro, peningkatan investasi dan produktivitas di