• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

G. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi. Kemampuan ini pertama kali berkembang dari pengaruh keluarga. Lingkungan keluarga merupakan faktor eksternal pertama yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional, sebab di lingkungan keluarga seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.

Kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kultur keluarga bisa diidentifikasi berdasarkan dimensi-dimensinya. Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana

tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil, ada kecenderungan meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih longgar. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, cenderung mengembangkan aturan atau kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini menyebabkan terdapatnya aturan-aturan yang dibuat oleh kepala keluarga dan harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga. Anggota keluarga yang dari segi umur lebih muda diharuskan menaruh hormat kepada orang yang lebih tua.

Guru diharapkan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi guru akan mampu mengenali emosi dirinya sendiri dan orang lain, mampu menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”, mampu memotivasi diri, mampu berempati serta memiliki ketrampilan sosial dalam berhubungan dengan orang lain (rekan kerja dan siswa). Kemampuan ini akan berkembang bila guru tersebut berasal dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil, dimana tidak terdapat aturan ketat yang menghambat perkembangan kecerdasan emosional setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu tingkat kecerdasan emosional guru dari keluarga ini lebih tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, yang anggota keluarganya sangat terikat oleh

aturan-aturan ketat sebagai akibat dari kebiasaan untuk mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.

Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana budaya dalam keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri (otonom), menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya. Sementara budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada anggota keluarga daripada hak-hak pribadinya. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme menyebabkan tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) menunjukkan sejauhmana budaya dalam keluarga berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional, yang didasarkan pada perbedaan biologis. Keluarga dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan hubungan interpersonal,

keharmonisan, dan kinerja kelompok. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan nilai asertifitas, prestasi, dan performansi. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas lebih cenderung berusaha mengedepankan faktor dari dalam diri sendiri tanpa melihat luar. Sehingga anggota keluarga menjadi kurang luwes dalam menghadapi perubahan, kurang terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru. Kondisi inilah yang menjadi faktor pelemah dalam perkembangan kecerdasan emosional.

Pada dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan sedikit memiliki aturan. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko itu. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru yang berasal dari keluarga dengan

latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat. Rendahnya inisiatif dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi ketidakpastian yang dimiliki dalam keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat mengakibatkan guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Pengaruh kultur keluarga dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki lebih dominan dalam menetapkan aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga (ayah sebagai kepala keluarga) sehingga laki-laki cenderung untuk mempertahankan power distance besar. Akibatnya laki-laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain dan kurang terbuka terhadap informasi-informasi baru dari luar. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu, yang mampu menjembatani posisi anak dan ayah sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional seorang perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Pada dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism), laki-laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki berdasar ciri-ciri psikologisnya

mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Ada kecenderungan perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

Sedangkan untuk perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance yang kuat karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih cenderung senang mencoba hal-hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih laki-laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti

mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki daripada perempuan.

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja

Dokumen terkait