• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masayarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - US

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masayarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - US"

Copied!
268
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SKRIPSI

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA,

DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU

Survei: Guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Oleh: Sarinah NIM: 021334112

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I,

L. Saptono, S.Pd., M.Si. Tanggal 14 April 2007

Pembimbing II,

Ag. Heri Nugroho, S.Pd. Tanggal 25 April 2007

(3)

SKRIPSI

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA,

DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU

Survei: Guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Sarinah

NIM: 021334112

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 4 Juni 2007 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Bertanya kepada diri sendiri dalam segala hal yang Aku lakukan,

bukan, ”Apa yang diinginkan orang lain?” tetapi, “Apa yang aku berikan kepada mereka

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 Juni 2007 Penulis

Sarinah

(6)

ABSTRAK

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN

EMOSIONAL GURU

Survei : Guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Sarinah

Universitas Sanata Dharma 2007

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Penelitian ini dilaksanakan di 8 SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Dengan menggunakan teknik purposive sampling dan proportional random sampling, peneliti mendapatkan 319 guru sebagai sampel. Teknik analisis data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,054 > α = 0,050); (2) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,039 < α = 0,050); (3) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,032 < α = 0,050); (4) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,457 > α = 0,050); (5) ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,044 < α = 0,050); (6) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,354 > α = 0,050).

(7)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND

SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE Survey: Teacher of Senior High Schools in Yogyakarta Regency, Province of

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sarinah

Sanata Dharma University 2007

This study aimed to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence.

This study was done in eight Senior High Schools in Yogyakarta Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December 2006. The technique of data gathering was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional random sampling, the researcher invited 319 teachers to be the samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.

The result showed: (1) there was not any influence of sex in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence (p = 0,054 > α = 0,050); (2) there was an influence of sex in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence (p = 0,039 < α = 0,050); (3) there was an influence of sex in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence (p = 0,032 < α = 0,050); (4) there was not any influence of locus of controlin the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence (p = 0,457 > α = 0,050); (5) there was an influence of locus of control in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence (p = 0,044 < α = 0,050); (6) there was not any influence of locus of control in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence (p = 0,354 >

α = 0,050).

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kasih dan karunia yang berlimpah yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Kelamin Dan Locus Of Control

Terhadap Hubungan Kultur Keluarga, Kultur Lingkungan Kerja Dan

Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru”.

Survei: Guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan akhir mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, semangat, dan doa dari berbagai pihak yang sangat mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaiakan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT atas berkah, rahmat dan karunia yang selalu menyertai dan

melindungi hari-hariku.

2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo J.R, selaku Ketua Jurusan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Bapak S. Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakata.

5. Bapak L. Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar dan meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan nasehat, kritik

(9)

dan saran, serta pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini sampai selesai.

6. Bapak Ag. Heri Nugroho S.Pd. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, nasehat, dan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak S. Widanarto Prijowuntato., S.Pd., M.Si. selaku dosen tamu yang telah memberikan saran dan pengarahan dalam skripsi ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ilmunya dan mendidik saya sehingga berguna untuk masa depan saya.

9. Mba’ Aris dan Pak Wawi yang telah melayani dan membantu selama menjalankan pendidikan di Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta.

10.Kepala sekolah serta guru-guru SMA N 3 Yogyakarta, SMA N 6 Yogyakarta, SMA Marsudi Luhur, SMA Institut Indonesia, SMA Budya Wacana, SMA Taman Madya Jetis, SMA Piri 2 Yogyakarta, dan SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian. Terima kasih banyak atas izin dan bantuannya.

11.Kedua orang-tuaku tercinta, nasehatmu akan selalu kuingat,,,,,, (terimakasih atas dukungan, pengorbanan, perhatian, doa, cinta dan kasih sayang yang besar untukku).

12.Mba’ yu Sumi & Kang Tu, Yu Tirah & Kang To, Yu Repi, Kang Lan, dan Yu Suji & Kang Rito (maafkan adek bungsumu ini yang selalu merepotkan kalian, terimakasih untuk semua bantuan, dukungan, motivasi, dan kasih

(10)

sayang yang telah kalian curahkan padaku) untuk keponakanku Nuryono dan Antoro serta adek Rama (jangan malas belajar,,,,,perjuangan sekolahmu masih panjang) serta keponakanku Yuli dan Agus (yang selalu ceria dan lucu... aku sayang kalian).

13.Keluarga besar mbah Tinah (pak de, mbok de, pak lik, dan bu lik Verna & Om Is, (terima kasih atas motivasinya).

14.Keluarga besar mbok de Sanuk, Pak de Rus, dan Lik Tupan (terima kasih atas doa dan dukungannya). Almarhum Pak de Kayat (terima kasih atas doa yang pernah diberikan untukku), semoga tenang di sisiNya.

15.Br. Sarju (terima kasih atas bantuan sarana dan prasarana (tanpa bantuan Bruder mungkin skripsiku belum selesai....hix...), serta perhatian, doa, motivasi dan dukungan yang telah diberikan padaku selama ini. GOD BLESS YOU...).

16.Sephiaku, mas Agust (terimakasih untuk doa, pengertian, motivasi dan kasih sayang yang selama ini kamu berikan), semoga hubungan qta slalu terjaga... ‘n semoga k-mu cepat dapet kerja yang terbaik buat k-mu...

17.Mba’ Etty, makasih banyak ya atas kekeluargaan, perhatian, motivasi, semangat, dan doanya yang telah diberikan untukku, SUCCESS slalu ya karirnya.... D’ Chris (makasih doanya).

18.Someone yang t’lah menghilang dari jejakku (makasih hadiahnya...., aku berharap kamu memaafkanku,,, dimanakah kamu sekarang ?????)

19.Teman–teman seperjuanganku Lina Cipluxs (makasih atas bantuan dan saranmu), Spt (makasih, sayurmu enak kok,,,,,,,), MM (makasih ya catatannya

(11)

yang membantuku untuk ujian,,,,,,,), dan Tante Tutik (makasih resep obatnya,,,,). Terima Kasih juga atas doa, semangat, motivasi, kebersamaan, serta keceriaan yang kita curahkan bersama.

20.MM, Herlina Cipluk, Tuti, Suprapti, Banu, Toro, Risa, Esti, Nina Kokom, Catrin Ke2t, Dian Sastro, Putri, Tiara, Uchi, Edi (terima kasih atas motivasinya dan t’lah setia menunggu ujian pendadaranku), Dita dan Budhe Dewi (makasih dukungannya), Dika, Thomas, Candra, Satya, Valent, TM, Andre, Lia, Dewi, Heri, Sigit “frater, dan Wulan. Serta teman-teman PAK ’02 (terima kasih atas kebersamaannya....).

21.Teman-teman kos Bambangtutuko, mba’ Deta, Keket, Tika, Maya (makasih untuk dukungan dan canda cerianya), Susi (makasih ya kompornya,,,,,,). Untuk Pak kos & Bu kos, (makasih atas kebaikannya yang diberikan padaku,, semoga kos-kosannya tetap laris manis).

22.Teman-teman kos Brojowikalpo, Lusi, Dwi P, (tetap semangat.... selesaikan skripsimu), dan Yuni (Ayo... kejar karir, tapi jangan lupa tetap semangat selesaikan tugasmu).

23.Teman-teman alumni Asrama Realino, Mas Agust, mas Bruno (terima kasih atas resep makan dan buahnya), Prima, Rida, Wiwid, Uut, Lukas, Step, Very, Ucil, dan M’ Maria, dan teman-teman yang lain di mana batang hidung kalian??? (terima kasih atas canda ceria, kebersamaan, suka duka kita semoga bermakna dan menjadi kenangan untuk mewarnai hidup di dunia ini).

(12)

24.dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih untuk doa, dukungan, dan bantuannya.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga masih perlu dikaji dan dikembangkan secara lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Penulis

Sarinah

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 5

C. Rumusan Masalah ……… 5

D. Tujuan Penelitian……… 6

E. Manfaat Penelitian ……… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kultur Keluarga ……… 8

1. Pengertian Kultur ……… 8

2. Pengertian Keluarga ……… 9

3. Dimensi Kultur Keluarga ……… 11

B. Kultur Lingkungan Kerja ……… 14

1. Pengertian Lingkungan Kerja ……… 14

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja ……… 15

C. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 17

1. Pengertian Masyarakat ……….. 17

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 18

(14)

D. Kecerdasan Emosional ………. 21

1. Pengertian Emosi ……… 21

2. Pengertian Kecerdasan Emosional ………. 22

3. Dimensi Kecerdasan Emosional ……… 23

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional …. 27 E. Jenis Kelamin ……… 29

F. Locus of Control ……… 31

G. Kerangka Berpikir ……… 34

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………... 34

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 40

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 45

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 49

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 52

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 56

H. Perumusan Hipotesis ……… 59

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……… 61

B. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 61

1. Tempat Penelitian ……… 61

2. Waktu Penelitian ……… 61

C. Subyek dan Obyek Penelitian ……… 62

1. Subyek Penelitian ……… 62

2. Obyek Penelitian ……… 62

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……… 62

(15)

1. Populasi Penelitian ……… 62

2. Sampel Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel ………… 63

E. Variabel Penelitian dan Pengukurannya ……… 63

1. Kecerdasan Emosional ……… 63

2. Kultur Keluarga……… 65

3. Kultur Lingkungan Kerja ……… 67

4. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….. 69

5. Jenis Kelamin ……….. 71

6. Locus of Control ………... 71

F. Teknik Pengumpulan Data ………... 72

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ………... 72

1. Uji Validitas ……….... 72

2. Uji Reliabilitas ……… 76

H. Teknik Analisis Data ……… 80

1. Statistik Deskriptif……… 80

2. Pengujian Normalitas dan Linearitas ……….. 80

3. Pengujian Hipotesis Penelitian ……… 82

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ……….. 84

1. Deskripsi Responden Penelitian ………. 84

2. Deskripsi Variabel Penelitian ………. 85

B. Analisis Data ………... 108

1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ……….. 108

2 Pengujian Hipotesis ……… 109

C. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 122

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………. 122

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 125

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 128

(16)

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur

Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 131

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 134

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 137

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 141

B. Keterbatasan ………... 142

C. Saran ………. 143

DAFTAR PUSTAKA ……….. 146 LAMPIRAN

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ………. 64

Tabel 3.2. Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga ……… 66 Tabel 3.3. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja …………. 68 Tabel 3.4. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …… 70 Tabel 3.5. Operasionalisasi Variabel Locus of Control ……… 71 Tabel 3.6. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional

Guru ……… 74

Tabel 3.7. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ………….. 74 Tabel 3.8. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja ……… 75

Tabel 3.9. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Masyarakat ……….. 75

Tabel 3.10. Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control …………. 76 Tabel 3.11. Hasil Pengujian Reliabilitas ……… 78 Tabel 4.1. Deskripsi Jenis Kelamin Responden ……….. 84 Tabel 4.2. Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 85 Tabel 4.3. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi Power

Distance ………... 87

Tabel 4.4. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Individualism vs Collectivism ………. 88 Tabel 4.5. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……… 89 Tabel 4.6. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……… 90 Tabel 4.7. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga ……… 92 Tabel 4.8. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Power Distance ……….. 93

Tabel 4.9. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

(18)

Individualism vs Collectivism ………. 94 Tabel 4.10. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……… 96 Tabel 4.11. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……… 97 Tabel 4.12. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja ………. 98 Tabel 4.13. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Power Distance ………. 100

Tabel 4.14. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Individualism vs Collectivism ………... 101 Tabel 4.15. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Femininity vs Masculinity ………. 103 Tabel 4.16. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Uncertainty Avoidance ………. 104 Tabel 4.17. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …………... 105 Tabel 4.18. Deskripsi Variabel Locus of Control ……….. 107 Tabel 4.19. Hasil Pengujian Normalitas ……… 108 Tabel 4.20. Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Keluarga dengan

Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 109 Tabel 4.21. Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …………. 109 Tabel 4.22. Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Lingkungan

Masyarakat dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …… 110

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ... 149

Lampiran 2 Data Prapenelitian ... 155

Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas ... 160

Lampiran 4 Data Induk ... 165

Lampiran 5 Data Distribusi Frekuensi ... 195

Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas dan Linieritas ... 216

Lampiran 7 Hasil Uji Regresi ... 218

Lampiran 8 Tabel ... 225

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian ... 227

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan wadah untuk membangun kepribadian yang unggul dan berpengetahuan di berbagai bidang peserta didik. Mengingat hal demikian, peran guru dalam pendidikan sangat strategis. Peran guru dalam pendidikan dijalankan dalam bentuk pengajaran, bimbingan, dan pelatihan yang mengarahkan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik secara seimbang (Masidjo, 1996:164-171).

Meskipun sudah ada kejelasan mengenai peran guru dalam proses pembelajaran di sekolah, namun praktik pendidikan di sekolah masih memprihatinkan banyak pihak. Misalnya, bentuk-bentuk hukuman kepada anak didik yang bersifat kurang mendidik dan kurang manusiawi masih terjadi dalam praktik pendidikan. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan dan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja guru sebagai pendidik. Guru yang seharusnya mendampingi peserta didik menjadi manusia yang berkompeten, tetapi dalam praktik masih ditemukan hal yang berkebalikan.

Ada beberapa dugaan yang menyebabkan persoalan tersebut. Di kelas, guru hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan pada saat proses pembelajaran berlangsung dan kecenderungan guru kurang memperhatikan pembentukan pribadi siswa yang baik. Padahal idealnya seorang guru tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran di sekolah,

(21)

tetapi jauh lebih penting dari itu guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa agar menjadi manusia mempunyai integritas dan berbudi pekerti luhur. Kemampuan guru untuk melakukan hal tersebut mensyaratkan seorang guru yang memiliki kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional menurut Ge Mozaik (Juni 2005) diartikan kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan dan mengendalikan emosi, baik emosi dirinya maupun emosi orang lain, dengan tindakan yang konstruktif, yang mempromosikan kerja sama sebagai tim mengacu pada produktifitas dan bukan pada konflik (http://www.ganeca.biogspirit.com). Dengan demikian sebagai guru hendaknya mampu mengendalikan diri, bersemangat dan tekun, memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, mengendalikan dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati, mampu membaca perasaan orang lain, dapat memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, mampu menyelesaikan konflik, serta mampu memimpin (Verina, http://www.secapramana.tripo.com). Hal ini dimaksudkan agar tujuan pembelajaran di sekolah dapat tercapai sesuai harapan masyarakat.

(22)

Ada dugaan bahwa ada perbedaan derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat pada kecerdasan emosional untuk jenis kelamin guru yang berbeda. Pada jenis kelamin guru perempuan, diduga derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional lebih tinggi dibanding pada guru yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini disebabkan pada perempuan umumnya bercirikan lebih tabah, mudah menerima, empaty terhadap orang lain, serta mampu mengendalikan dan mengatur emosi dengan perasaan yang lebih menonjol. Sementara pada guru yang berjenis kelamin laki-laki umumnya berperan sebagai kepala keluarga dan memegang kekuasaan mengambil keputusan, tetapi kurang dapat mengendalikan dan mengatur emosi.

(23)

eksternal akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak diramalkan, tidak berpengaruh besar dalam mengendalikan akibat hidupnya, lebih cemas dan depresif serta kurang baik dalam melakukan aktifitas bermasyarakat, dan lebih mempunyai kemungkinan besar untuk menampakkan perilaku yang negative seperti pasivitas, dan konformitas tinggi (Routhbaum,1982 dalam P.Eddy Suhartanto, 1996:6). Dengan demikian diduga bahwa derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional akan lebih tinggi pada guru dengan locus of control

internal dibandingkan guru dengan locus of control eksternal.

(24)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologis yang meliputi ketrampilan emosional otak manusia. Sedangkan faktor psikologis meliputi keyakinan, rasa ingin tahu, niat, pengendalian diri, keterkaitan dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain. Faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat (sosial). Dari berbagai faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional tersebut, namun penulis memfokuskan pada faktor-faktor kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, kultur lingkungan masyarakat, dengan variabel pemoderasi jenis kelamin dan locus of control.

C. Rumusan masalah

1. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru?

2. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

3. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

(25)

5. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

6. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sebagai berikut:

1. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

2. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

3. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

4. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

5. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

(26)

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu: a. Subyek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru untuk memperluas pengetahuan mereka tentang pentingnya memiliki kecerdasan emosional sehingga diharapkan dapat membantu subyek untuk memahami bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam meningkatkan profesionalitas sebagai tenaga pendidik.

b. Peneliti Lain

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur Keluarga

1. Pengertian Kultur

Banyak ahli mendefinisikan kultur secara berbeda-beda. The American Heritage Dictionary (dalam Kotter, 1992:4) mendefinisikan kultur sebagai:

The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought characteristics of a community or population.

Kultur merupakan keseluruhan pola keperilakuan manusia, seni, kepercayaan, lembaga-lembaga, dan keseluruhan hasil karya manusia yang mewujudkan karakteristik-karakteristik yang dibawa dari komunitas atau masyarakatnya.

Tylor dalam Conrad Phillip Kottak (1991:37) mendefinisikan kultur sebagai berikut:

Cultur is that complex whole which includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.

Kultur merupakan sesuatu yang kompleks/menyeluruh mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat.

(28)

Sementara itu, Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:

A collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is collective programming of the mind which distinguishes the members of the one group or category of people from another.

Kultur merupakan bentuk pemprograman mental secara kolektif yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya dalam pola pikir, perasaan, dan tindakan anggota suatu kelompok. Hofstede (1994:4) karenanya menyebutkan kultur sebagai “software of the mind”. Sebagai bentuk pemprograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah karena telah terkristalisasi dalam lembaga yang telah mereka bangun.

Dengan demikian kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama dalam suatu kelompok, yang mencakup pola berpikir, berperilaku, sikap nilai yang tercermin dalam wujud fisik maupun abstrak yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.

2. Pengertian Keluarga

Yang dimaksud keluarga adalah keluarga asal anak, dimana anak dilahirkan, dibesarkan, dan hidup bersama ayah, ibu, dan saudaranya (Kartono, 1985:27). Sedangkan Paul B. Horton dalam Manurung (1995:47) mendefinisikan keluarga sebagai berikut:

(29)

Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok pertalian nasib keluarga yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

Sementara menurut Ahmadi (1991:239), keluarga dalam bentuk murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama dimana saja dalam satuan masyarakat manusia. Keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Dari definisi tentang kultur dan keluarga di atas, dapat disimpulkan bahwa kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

(30)

dalam diri seseorang, yang merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan emosional seseorang. Misalnya saja dalam keluarga yang mempunyai kebiasaan untuk saling bertukar pendapat mengenai kebijakan keluarga, akan melahirkan seseorang yang mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu menghormati pendapat orang lain. Selain itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan konsep tentang keberadaan orang lain ataupun konsep tentang hal-hal yang dilihat di sekitarnya. Misalnya, jika sejak kecil seseorang telah dididik untuk menghormati orang lain, maka akan tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa semua orang harus dihormati.

3. Dimensi Kultur Keluarga

Kultur keluarga terbagi menjadi 4 dimensi yaitu: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c) femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).

(31)

power distance kecil akan berusaha untuk meminimalkan perbedaan-perbedaan status atau mengutamakan kesejajaran (equality).

Dalam dimensi kedua yaitu dimensi individualisme versus

kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Keluarga dengan latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.

(32)

Sedangkan dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi. Lain halnya pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: kekuasaan orang tua atas aturan, kepatuhan/rasa hormat terhadap orang tua atau terhadap anggota keluarga lain yang lebih tua ataupun ketergantungan pada orang tua. Dimensi individualisme versus

(33)

avoidance) mencakup indikator yang meliputi: ketidakpastian hidup sebagai sesuatu yang normal, perasaan tidak nyaman dalam menghadapi ketidakpastian antar anggota keluarga, dan aturan yang ketat tentang hal yang buruk atau tabu.

B. Kultur Lingkungan Kerja

1. Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan (Nitisemito, 1982:183). Agus Ahyari (1986:125-126), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai suatu lingkungan dimana karyawan tersebut bekerja dan melakukan tugas sehari-hari yang meliputi penafsiran perusahaan terhadap karyawan, kondisi kerja karyawan, dan hubungan karyawan di dalam perusahaan.

Pandji Anoraga dan Sri Suyati (1995:72), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai lingkungan yang meliputi hubungan antar karyawan, hubungan dengan pimpinan, suhu, penerangan, dan sebagainya. Lingkungan kerja merupakan lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.

(34)

sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja

Menurut Hofstede dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:277), dimensi utama nilai yang berkaitan dengan kultur lingkungan kerja adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme

versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c) femininitas

versus maskulinitas (femininity versus masculinity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance). Masing-masing dimensi ini berkaitan dengan perbedaan secara konkrit dalam hal sikap, opini, keyakinan, dan perilaku dalam organisasi kerja dan bentuk-bentuk dasar untuk memahami norma-norma sosial tertentu.

(35)

Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri, menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya, sehingga mampu menumbuhkan kemandirian emosional pada instansi tempat seseorang bekerja. Budaya kolektivisme menekankan kewajiban kepada instansi (kelompok) tempat seseorang bekerja daripada hak-hak pribadinya.

Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) menunjukkan sejauhmana lingkungan kerja berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan

(36)

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: perbedaan jarak antara atasan dan bawahan, tingkat pengawasan, dan sistem penggajian. Dimensi individualisme versus

kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator: dasar hubungan atasan bawahan, dasar pemberian gaji dan sistem manajemen kerja yang dianut. Dimensi femininitas versus maskulinitas

(femininity versus masculinity) mencakup indikator: cara mengatasi masalah, filosofi kerja, sikap atasan dalam memimpin, dan orientasi kerja. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator: budaya kerja keras, orientasi waktu dalam bekerja, kebebasan mengeluarkan ide, sumber motivasi dalam bekerja, dan dasar kedisiplinan kerja.

C. Kultur Lingkungan Masyarakat

1. Pengertian Masyarakat

(37)

Sedangkan menurut Hasan Shadily, masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri atas beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan mempengaruhi satu sama lain (dalam Manurung, 1995:48). Sementara, Webster menguraikan masyarakat sebagai kehidupan suatu susunan sosial atau kehidupan suatu himpunan yang dianggap seperti suatu sistem yang olehnya kehidupan individu dibentuk, terikat oleh cita-cita atau tujuan bersama, kepentingan bersama dalam taraf kehidupan (dalam Manurung, 1995:49). Jadi, masyarakat merupakan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Dari definisi di atas, kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat

(38)

femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Kultur lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan sehingga dalam hubungan bermasyarakat tidak menampakkan dirinya sebagai atasan dan warga tidak merasa sebagai bawahan. Sedangkan kultur lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini ditandai dengan anggapan perangkat desa sebagai pihak yang sah dan tepat untuk dimintai pandangan tentang kriteria baik dan buruknya tindakan.

(39)

Sedangkan dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) menunjukkan sejauhmana lingkungan masyarakat berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan.

Sementara dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota lingkungan masyarakat dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga anggota lingkungan masyarakat akan cenderung menghindari perubahan. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi, sehingga anggota lingkungan masyarakat akan merubah aturan bersama jika dirasa aturan tersebut sudah tidak dapat lagi diterapkan.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: kewenangan dalam pengunaan kekuasaan, kepemilikan hak,

(40)

pendapat atas kelompok, perbedaan pelaksanaan hukum dan hak, tujuan yang ingin dicapai. Dimensi maskulinitas versus femininitas (femininity versus masculinity) mencakup indikator antara lain: orientasi solidaritas, tingkat toleransi atas kesalahan, cara penyelesaian konflik, kuantitas wanita dalam menduduki jabatan politik, pengertian kebebasan wanita. Sedangkan pada dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator yang meliputi: perlakuan terhadap pelanggaran aturan, sikap atasan terhadap kritik bawahan, dan letak kepercayaan.

D. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Emosi

Pada awal sejarahnya, pendiri psikologi yaitu William James memahami emosi sebagai sebuah hasil dari reaksi perilaku kita terhadap sebuah stimulus yang menghasilkan reaksi tersebut. Selanjutnya Buck dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:76) menyempurnakan definisi emosi menjadi:

(41)

seperti: senyum, muka marah, dan gemeretak rahang serta dengan respon fisik pheriperal semacam debaran jantung, berkeringat, atau gangguan pencernaan. Selain itu emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang memamerkan perasaan yang kuat berpuncak daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi (Francisco Burzi, http://www.pts.com.my).

Dengan demikian dapat disimpulkan emosi adalah suatu gambaran jiwa manusia yang menunjukkan keadaan psikologis seseorang, dimana keadaan ini berlaku secara naluri bergantung pada situasi tertentu, dengan melibatkan pikiran dan perasaan sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu sehingga dapat mendorong untuk melakukan suatu tindakan yang akan dilakukan.

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Daniel Goleman (http://www1.unpar.ac.id/web/ column/rudiscolumn.asp.koderekaman=0245131215406176) kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi.

(42)

kemampuan membaca perasaan orang lain (empati) dan memelihara hubungan dengan baik, dan kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin (Fransisco Burzi, http://www.pts.com.my). Sedangkan kecerdasan emosional menurut Ge Mozaik (Juni 2005) adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerjasama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik (http://www.ganeca.blogspirit.com).

Individu yang memiliki kecerdasan emosional tidak dikendalikan oleh emosi melainkan mengendalikan emosi, individu dapat memotivasi dirinya sendiri sehingga mandiri, juga mampu mempengaruhi emosi orang lain, bersikap ramah, simpati, murah hati dan toleransi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan ketrampilan emosional, yang meliputi mengidentifikasi dan memberi nama emosi-emosi, mengungkapkan emosi-emosi, menilai intensitas emosi-emosi, menunda pemuasan, mengendalikan dorongan hati, menangani stres, memahami sudut pandang orang lain dan empati.

3. Dimensi Kecerdasan Emosional

(43)

a. Self-awareness (pengenalan diri)

Self-awareness merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, dan keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Seorang guru yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pemimpin yang andal bagi kehidupannya sendiri, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadinya.

Dimensi self-awareness mencakup indikator: mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan, mengetahui keterbatasan diri, keyakinan akan kemampuan diri.

b. Self-regulation (penguasaan diri)

Self-regulation merupakan kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”. Emosi yang dialami tidak ditekan atau diabaikan, tetapi tidak juga terjadi secara berlebihan.

(44)

seorang guru yang memiliki self-regulation tinggi dapat bangkit kembali dengan cepat saat mengalami kegagalan dalam hidup.

Dimensi self-regulation mencakup indikator: menahan emosi dan dorongan negatif, memelihara norma kejujuran dan integritas, bertanggung-jawab atas kinerja pribadi, keluwesan dalam menghadapi perubahan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.

c. Self-motivation (motivasi diri)

Self-motivation berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: (1) cara mengendalikan dorongan hati; (2) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; (3) kekuatan berpikir positif; (4) optimisme; (5) keadaan flow (mengikuti aliran).

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Seorang guru yang memiliki kendali diri emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mampu menyesuaikan diri dalam “flow”, cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

(45)

bertanya “apa yang salah dengan saya ?”. Sebaliknya ia akan bertanya “apa yang dapat saya lakukan agar saya dapat memperbaiki masalah ini ?”.

Dimensi self-motivation mencakup indikator: dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.

d. Empathy (empati)

(46)

kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.

e. Social skills (ketrampilan sosial)

Dengan adanya 4 kemampuan seperti telah disebutkan di atas seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai tujuan konstruktif dalam pikirannya. Membina hubungan dengan orang lain merupakan ketrampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan sosial seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.

Dimensi Social skills mencakup indikator: kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperatif, team building.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

(47)

eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu sendiri, yaitu: faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis merupakan faktor kesehatan fisiologis yang dimiliki individu. Susunan fisiologis yang berkaitan dengan kecerdasan emosional adalah otak. Otak manusia adalah sumber pengetahuan tentang emosi karena di otak emosi dapat dideteksi dan dikenali, serta memberikan respon untuk bertindak.

Faktor psikologis berkaitan dengan sikap, motivasi, dan dorongan-dorongan internal lain yang memungkinkan sejauh mana individu memiliki kecerdasan emosional. Daniel Goleman (1999:274) menyatakan bahwa rasa keyakinan ingin tahu, niat atau kemauan, pengendalian diri, keterkaitan, kecakapan berkomunikasi dan kemampuan bekerja sama, mempengaruhi kecerdasan emosional individu yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Keyakinan, yaitu perasaan kendali dan penguasaan individu terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki pengertian akan dirinya bahwa dia mampu membawa dirinya berdasarkan tuntutan situasi dan kondisi, cenderung berhasil dalam apa yang dikerjakannya.

b. Rasa ingin tahu, yaitu dorongan untuk mencari tahu atau menyelidiki sesuatu. Kebutuhan untuk memahami ini sifatnya positif dan memberikan kepuasan.

(48)

d. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, kendali yang mengarahkan diri untuk memperoleh hasil yang lebih besar.

e. Keterkaitan, yaitu kemampuan melibatkan diri dengan orang lain, dengan memahami situasi yang dialami oleh orang lain dan mampu berpikir dari sudut pandang orang lain.

f. Kecakapan berkomunikasi, yaitu kemampuan verbal, untuk bertukar gagasan, perasaan dan konsep dengan orang lain. Kemampuan mendengarkan dan memberi umpan balik berdasarkan rasa percaya dan keterkaitan dengan orang lain.

g. Kemampuan bekerjasama, yaitu bersikap kooperatif berarti mampu untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.

Faktor eksternal adalah perlakuan yang diperoleh dari lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Lingkungan yang pertama-tama mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keluarga, kemudian lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), dan masyarakat sosial.

E. Jenis Kelamin

(49)

mengenai jasmani, kejiwaan, sifat, cara berpikir, perasaan dan sebagainya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan perbedaan ciri-ciri, sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:253). Sewaktu menjadi dewasa, individu akan mempelajari peran-peran sosial melalui proses-proses penguatan dan peniruan. Sehingga pada akhirnya laki-laki dan perempuan memperoleh sikap, ketrampilan dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda berdasarkan peran yang dikaitkan dengan jenis kelamin dalam lingkungannya.

Berikut disajikan tabel perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan (Gilarso, 2003:3):

Perbedaan Psikologis

Laki-laki Perempuan 1. Pola dasar pandangan keluar

terarah pada dunia/obyek

4. Suka bekerja diluar, mencari nafkah, menguasai dunia

5. Suka mencoba, mencari, dan melihat-lihat

6. Aktif, mengambil inisiatif, suka kritik, dan protes

7. Intelek dan rasio lebih utama, dapat mengendalikan perasaan dengan akalnya

8. Lebih melihat kenyataan obyektif, terarah pada garis-garis

1. Pola dasar pandangan ke dalam, terarah pada manusia

2. Lebih gemar tinggal di rumah, memelihara dan merawat

4. Perhatian lebih untuk pribadi sesama manusia (anak)

5. Butuh diperhatikan, senang dilihat dan dicari

6. Reaksi, menanggapi, lebih tabah, dan mudah menerima

7. Emosi dan perasaan lebih menonjol dan mempengaruhi pikirannya

(50)

besar, lebih teguh dalam putusan 9. Gelombang perasaan mendatar

dan relatif stabil

10.Gairah seksual lebih berkobar, lebih bersifat jasmani biologis

intuitif, mudah mengubah keputusannya

9. Perasaan pasang surut

terpengaruh oleh siklus bulanan 10. Gairah seksual lebih rohani

lebih mementingkan cinta dan kemesraan

Secara terus menerus perbedaan-perbedaan psikologis tersebut akan semakin berkembang sesuai psikologi kepribadian masing-masing sehingga, pada akhirnya laki-laki dan perempuan akan memiliki kepribadian yang berbeda serta tingkat kecerdasan emosional yang berbeda pula. Berdasarkan sifat dan karakteristik psikologisnya, emosi dan perasaan pada perempuan lebih menonjol dan mempengaruhi pikirannya daripada laki-laki. Karenanya perempuan cenderung mempunyai tingkat kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada laki-laki.

F. Locus of Control

Locus of control merupakan sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:109) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Rotter mendefinisikan locus of control sebagai berikut (http//www.nald.ca/fulltext/report1/REP 10-01.HTM) :

(51)

Locus of Control sebagai suatu harapan yang secara umum meluas dimana sering dirasakan seseorang dalam kejadian-kejadian dalam kehidupannya sebagai akibat dari suatu tingkah laku seseorang. Rotter (dalam Brigita Pujiwati, 2004:31) mendefinisikan locus of control berdasarkan teori belajar sosial, menjadi tiga aspek utama yaitu behavior potential (perilaku potensial), expectancy (harapan) dan reinforcement value (nilai penguat), ketiga aspek itu berhubungan satu dengan yang lain. Perilaku individu bergantung pada harapan-harapan dimana suatu tingkah laku tertentu akan memberi penguatan, dan nilai penguatan tersebut akan memuaskan kehidupan individu selanjutnya. Jika individu berhasil memperoleh penguatan yang diharapkan, maka ia cenderung meyakini bahwa penguatan itu akan diperoleh bukan dari dirinya sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah anggapan sejauh mana orang tersebut merasakan adanya usaha yang telah dilakukan dan akibatnya.

Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control

(52)

Locus of control pada individu merupakan suatu konsep yang kontinum. Dalam artian, locus of control individu bergerak dari ekstrim eksternal dan ekstrim internal. Oleh karena itu setiap orang memiliki sekaligus faktor internal dan eksternal dalam dirinya. Perkembangan orientasi individu ke arah internal atau eksternal didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa lalu akan mempengaruhi perkembangan orientasi ini. Perbedaaan orientasi ini juga akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi yang sedang dihadapi.

Individu yang berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan akibat yang diterima, baik itu positif maupun negatif, lebih perspektif dan siap belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan karena merasa mampu mengontrol lingkungannya.

Individu yang berorientasi eksternal, memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar dalam mengendalikan akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan maupun dalam melakukan penghindaran terhadap situasi yang tidak menyenangkan, lebih cemas dan depresif, serta kurang baik dalam melakukan aktivitas bermasyarakat dan lebih mempunyai kemungkinan besar untuk menampakkan perilaku yang negatif seperti pasifitas, penarikan diri.

(53)

memimpin, kemampuan memotivasi siswa, keyakinan akan kemampuan diri, tingkat toleransi.

G. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi. Kemampuan ini pertama kali berkembang dari pengaruh keluarga. Lingkungan keluarga merupakan faktor eksternal pertama yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional, sebab di lingkungan keluarga seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.

(54)

tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil, ada kecenderungan meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih longgar. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya

power distance besar, cenderung mengembangkan aturan atau kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini menyebabkan terdapatnya aturan-aturan yang dibuat oleh kepala keluarga dan harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga. Anggota keluarga yang dari segi umur lebih muda diharuskan menaruh hormat kepada orang yang lebih tua.

Guru diharapkan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi guru akan mampu mengenali emosi dirinya sendiri dan orang lain, mampu menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”, mampu memotivasi diri, mampu berempati serta memiliki ketrampilan sosial dalam berhubungan dengan orang lain (rekan kerja dan siswa). Kemampuan ini akan berkembang bila guru tersebut berasal dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil, dimana tidak terdapat aturan ketat yang menghambat perkembangan kecerdasan emosional setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu tingkat kecerdasan emosional guru dari keluarga ini lebih tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya

(55)

aturan-aturan ketat sebagai akibat dari kebiasaan untuk mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.

Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana budaya dalam keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri (otonom), menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya. Sementara budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada anggota keluarga daripada hak-hak pribadinya. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme menyebabkan tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

(56)

keharmonisan, dan kinerja kelompok. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan nilai asertifitas, prestasi, dan performansi. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas lebih cenderung berusaha mengedepankan faktor dari dalam diri sendiri tanpa melihat luar. Sehingga anggota keluarga menjadi kurang luwes dalam menghadapi perubahan, kurang terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru. Kondisi inilah yang menjadi faktor pelemah dalam perkembangan kecerdasan emosional.

Pada dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya

(57)

latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya

uncertainty avoidance kuat. Rendahnya inisiatif dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi ketidakpastian yang dimiliki dalam keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat mengakibatkan guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Pengaruh kultur keluarga dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki lebih dominan dalam menetapkan aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga (ayah sebagai kepala keluarga) sehingga laki-laki cenderung untuk mempertahankan power distance besar. Akibatnya laki-laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain dan kurang terbuka terhadap informasi-informasi baru dari luar. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu, yang mampu menjembatani posisi anak dan ayah sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional seorang perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

(58)

mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Ada kecenderungan perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

(59)

mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki daripada perempuan.

(60)

kurang mampu berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah, dibandingkan dengan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil, terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja yang akan meningkatkan kecerdasan emosional guru.

(61)

memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada ketegasan ambisi dan persaingan, penuh inisiatif dalam mengatur pekerjaan serta berprinsip bahwa hidup untuk bekerja. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas, dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sedangkan kondisi lingkungan dengan latar belakang budaya maskulinitas membentuk guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya

(62)

situasi ini guru sebagai bawahan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru yang berada dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

Pengaruh kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, laki-laki lebih banyak menjadi pemimpin. Karenanya laki-laki memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Oleh sebab itu power distance besar dipertahankan oleh laki-laki. Akibatnya laki-laki kurang mampu membina hubungan dengan orang lain dalam lingkungan kerja. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seseorang yang mampu menjembatani, sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki.

(63)

daripada perempuan. Karena perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain (rekan kerja dan siswa) dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang lebih baik.

(64)

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

(65)

orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya, serta semua orang memiliki hak yang sama. Kondisi ini mendukung warga masyarakat memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

Dalam budaya individualisme setiap orang memiliki hak pribadi, kepentingan individu berlaku melebihi kepentingan bersama, hak dan hukum didukung menjadi sama untuk semuanya, dan aktualisasi diri oleh setiap individu merupakan tujuan bersama. Sementara dalam budaya kolektivisme kepentingan bersama berlaku melebihi kepentingan individu, karenanya kepentingan pribadi ditentang oleh kelompok, sehingga keselarasan dan kesepakatan dalam masyarakat sosial merupakan tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru yang tinggal di lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Berbeda dengan guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Dalam kondisi ini guru tidak memiliki keyakinan diri, akibatnya mereka memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya.

(66)

dan kompromi, serta laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam segala hal. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas selalu mendukung pihak yang kuat, pemecahan masalah tanpa kompromi, serta emansipasi wanita belum diakui sepenuhnya. Guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas cenderung akan memiliki sikap empati yang tinggi, akibatnya tingkat kecerdasan emosional guru tersebut menjadi tinggi daripada guru yang tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, protes warga lebih diterima, sehingga warga masyarakat memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan diri. Sementara dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, mengharuskan warganya untuk mematuhi peraturan yang ada, dan protes dari warga masyarakat ditekan (kurangnya aktualisasi). Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional guru yang berada dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

(67)

yang lebih banyak sebagai pemimpin, selalu melihat kenyataan sebagai hal yang objektif dan lebih tekun dalam putusannya, karena laki-laki berdasarkan ciri-ciri psikologisnya cenderung mempertahankan budaya

power distance besar. Berbeda dengan ciri-ciri psikologis perempuan yang lebih bersifat tanggap, lebih tabah, dan mudah menerima keadaan, sehingga kemampuan perempuan dalam berempati lebih tinggi. Oleh sebab itu, perempuan cenderung mempertahankan budaya power distance kecil. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Pada dimensi individualism versus collectivism, laki-laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme, serta sifat self awareness yang kuat. Dengan sifat ini seorang laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan.

(68)

Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya

uncertainty avoidance yang kuat, karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan inisiatif yang tertutup dalam bertindak. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih cenderung terbiasa mengaktualisasikan diri secara rasional, sehingga membentuk laki-laki untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sikap gigih laki-laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti, mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki daripada perempuan.

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Gambar

Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional GuruTabel 3.1
Tabel 3.2  Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga
Tabel 3.4 Operasionalisasi Kultur Lingkungan Masyarakat
tabel berikut ini:
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Kepuasan kerja dari para karyawan di Politeknik “X” Bandung pada dasarnya. masih tergolong cukup hal tersebut untuk

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan

Selain masalah biaya masyarakat yang memiliki aktivitas kerja yang cukup padat juga tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan konsultasi ke dokter kesehatan kulit maupun klinik

(8) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Menimbang bahwa Pembanding dalam memori bandingnya mengajukan keberatan yang dapat disimpulkan pada pokoknya Pembanding tidak sependapat dengan pertimbangan dan Putusan