• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN PENELITIAN

3. Ada pengaruh yang signifikan antara kompetensi komunikasi dan profesionalisme terhadap kualitas pelayanan aparatur di Dinas

5.3. Pengaruh Kompetensi Komunikasi dan Profesionalisme terhadap Kualitas Pelayanan

5.3. Pengaruh Kompetensi Komunikasi dan Profesionalisme terhadap Kualitas Pelayanan

Penelitian ini menghasilkan bahwa kompetensi komunikasi (x1) dan profesionalisme (x2) berpengaruh terhadap kualitas pelayanan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Nias Utara, hal ini dibuktikan dengan nilai F hitung sebesar 26.118 pada derajat bebas 1 (df1) = jumlah variabel – 1 = 3-1 = 2, dan derajat bebas 2 (df2) = n-k-3-1 = 50-2-3-1= 47, dimana n = jumlah sampel, k = jumlah variabel independent, nilai f tabel pada taraf kepercayaan signifikansi 0,05 adalah 3.354 dengam demikian F hitung = 26.118 > F tabel = 3.354 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitasnya signifikansi jauh lebih kecil dari sig < 0,05, maka model regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi kualitas pelayanan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 4.43. Koefisien Korelasi Variabel X1 terhadap Y

Variabel N thitung ttabel

Kompetensi Komunikasi(X1) dan Profesionalisme (X2)

terhadap Kualitas Pelayanan (Y)

50 26.118 3.354

Berdasarkan tabel di atas, disimpulkan bahwa kompetensi komunikasi yang dipadukan dengan profesionalisme aparatur dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Nias Utara.

Pelayanan yang berkualitas diasumsikan hanya dapat dilakukan dengan mengenali misi birokrasi. Misi merupakan penuntun langkah dan gerak birokrasi: misi dan visi merupakan motor penggerak birokrasi. Kultur dikembangkan secara lebih privatif, tidak hanya efektif, efisien dan ekonomis, tetapi juga profesional, dan responsibility for success. Strukturnya ramping, luwes, cepat bergerak, dan sangat desentralistis. Sementara kepemimpinan dilakukan dengan demokratis dan transformasional di semua tingkatan pimpinan mulai dari pimpinan tingkat atas sampai ke pimpinan tingkat bawah. Birokrat dituntut lebih kreatif, variabel, dan inovatif. Ajang untuk itu sangat tersedia karena ukuran sukses dan tidaknya seseorang dikembalikan ke misi sistem rekrutmen dan pengembangan karir dilakukan secara terbuka dan melibatkan banyak orang.

Penyelenggaran layanan barang dan jasa publik adalah tanggung jawab pemerintah, karena hubungan antara pemerintah dengan rakyat adalah hubungan antara produsen dan konsumen, yaitu pemerintah sebagai produsen dan rakyat sebagai konsumen. Dalam hubungan ini rakyat berkepentingan, kemudian pemerintah mengakui, menghormati, memenuhi dan melindungi (Ndraha 2003:81).

Sinambella (2011: 9) mengatakan tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat, untuk itu dituntut kualitas pelayanan publik yang tercermin dari :

2. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak;

3. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan; Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan;

4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain;

6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang

mempertimbangkan aspek keadilan.

Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Menurut Tjiptono (2003:51) bahwa konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk barang atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan. Pada kenyataannya aspek ini bukanlah satu-satunya aspek kualitas.

Masalah kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pihak aparatur pemerintahan kepada masyarakat umum, sangat erat kaitannya dengan kompetensi komunikasi birokrasi yang diberikan oleh pimpinan kepada aparatnya. Disadari ataupun tidak dalam kesehariannya manusia selalu melakukan komunikasi, baik komunikasi dengan diri sendiri atau pun dengan orang lain. Dengan kata lain, bahwa komunikasi sudah seperti halnya manusia membutuhkan oksigen untuk bernafas. Komunikasi adalah hal yang sudah biasa dilakukan, kebanyakan kita tidak menyadari bahwa kita telah melakukan kesalahan-kesalahan dalam berkomunikasi. Untuk itulah diperlukannya sebuah komunikasi yang mampu membangun kerjasama antara satu orang dengan orang lain, yakni dengan berkomunikasi efektif sehingga antara individu satu dengan yang lainnya akan saling memahami, saling toleransi, saling mengisi dan saling memberi. Dengan demikian potensi dari masing-masing individu akan semakin berkembang, sebab

fungsi komunikasi dalam organisasi itu adalah sebagai sarana untuk mengadakan koordinasi antara berbagai subsistem dalam perkantoran. Perkantoran yang berfungsi baik, ditandai oleh adanya kerjasama secara sinergis dan harmonis dari berbagai komponen. Suatu perkantoran dikonstruksi dan dipelihara dengan komunikasi. Artinya, ketika proses komunikasi antar komponen tersebut dapat diselenggarakan secara harmonis, maka perkantoran tersebut semakin kokoh dan kinerja perkantoran akan meningkat.

Komunikasi yang efektif sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam organisasi. Berkomunikasi tidak hanya melalui penggunaan metode yang tepat, tetapi konten dari komunikasi yang disampaikan. Dimensi strategis komunikasi tidak semata-mata mendengarkan tetapi juga pada proses kegiatan reflektif pada cara berkomunikasi yang profesional. Proses terakhir dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang memungkinkan sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah disampaikannya kepada penerima. Umpan balik inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi. Secara spesifik peran penting kompetensi komunikasi dari pimpinan membantu para aparatur untuk memperoleh dan mengembangkan tugas yang diembannya, sehingga kualitas pelayanan suatu organisasi menjadi semakin baik. Dan sebaliknya, apabila seorang pemimpin tidak memiliki kompetensi komunikasi adan dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang tidak maksimal.

Kompetensi komunikasi yang ada di instansi, diharapkan akan mampu memberikan pengaruh terhadap kualitas pelayanan yang diberikan aparat birokrasi kepada masyarakat. Adanya komunikasi yang sehat dan baik antara sub kerja yang satu dengan yang lain, diharapkan akan turut membantu perkembangan kualitas pelayanan di instansi tersebut. Dengan adanya keterbukaan dan

pengertian maka aparatur akan merasa lebih akrab dan dapat dijadikan sebagai teman diskusi. Setiap individu dalam bekerja tidak hanya menginginkan sekedar gaji dan prestasi, tetapi bekerja merupakan pemenuhan kebutuhan akan interaksi sosial. Aparatur yang memiliki rekan kerja yang ramah dan mendukung, akan mengantarkan mereka pada hasil kerja yang baik pula.

Selain kompetensi komunikasi, profesionalisme juga memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Tuntutan atas profesionalisme, sebagai suatu faham dan konsep idealisme profesional, sering dijadikan tuntutan terhadap keberadaan pegawai di lingkungan birokrasi pemerintahan. Namun pemahaman akan profesionalisme itu sendiri masih belum jelas dan belum ada standar penilaiannya. Sebutan “Profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan.

Pekerjaan yang bersifat professional menggunakan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual, yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara langsung dapat diabadikan bagi kemaslahatan orang lain. Faktor penting dalam hal ini adalah intelektualitas yang di dalamnya tercakup satu atau beberapa keahlian kerja yang dianggap mampu menjamin proses pekerjaan dan hasil kerja yang professional, atau tercapainya nilai-nilai tertentu yang dianggap ideal menurut pihak yang menikmatinya.

Terdapat sejumlah faktor dominan dalam mempersoalkan profesionalisme dikalangan pegawai. Pertama, kapasitas intelektual pegawai yang relevan dengan jenis dan sifat pekerjaannya. Kapasitas intelektual ini tentu berhubungan dengan jenis dan tingkat pendidikan yang menjadi karakteristik pengetahuan dan keahlian seseorang dalam bekerja. Kedua, standar kerja yang sekurang-kurangnya mencakup prosedur, tata cara dan hasil akhir pekerjaan. Ketiga, standar moral dan

etika dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Hal ketiga inilah yang sulit dirumuskan dan dinyatakan secara utuh, karena proses aktualisasinya tidak hanya ditentukan oleh sifat dan watak seseorang, tetapi ditentukan juga oleh sistem nilai yang berlaku dalam suatu lingkungan kerja.

BAB VI