• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Proses Pelayanan adalah Proses Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan atau informasi diantara dua orang atau lebih yang terdistorsi oleh nosie (hambatan/ganguan) dengan harapan terjadinya pengaruh yang positif atau menimbulkan efek tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan yang terjadi pada konteks atau lingkungan tertentu. Minimal ada lima bahkan bisa mencapai

delapan komponen penting untuk diperhatikan dalam proses komunikasi, yaitu : 1) pengirim pesan (sender atau komunikator), 2) pesan yang dikirimkan (message), 3) bagaimana pesan tersebut disampaikan (delivery channel atau media), 4) penerima pesan (receiver atau komunikan), 5) umpan balik (feedback) 6) effect. 7) noise (gangguan), dan 8) konteks atau lingkungan. (Strohner, 2008: 123)

Pengembangan kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif, baik secara personal maupun professional paling tidak kita harus menguasai empat jenis keterampilan dasar dalam berkomunikasi, yaitu: 1) menulis, 2) membaca, 3) berbicara dan 4) mendengar. Menurut Stephen Covey, komunikasi merupakan keterampilan yang penting dalam hidup manusia. Unsur yang paling penting dalam berkomunikasi adalah bukan sekedar apa yang ditulis atau yang dikatakan, tetapi karakter dan bagaimana menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Penerima pesan tidak hanya sekedar mendengar kalimat yang disampaikan tetapi juga membaca dan menilai sikap pemberi pesan. Jadi syarat utama dalam komunikasi yang efektif adalah karakter kokoh yang dibangun dari fondasi etika serta integritas pribadi yang kuat. Tidak peduli seberapa berbakatnya seseorang, betapapun unggulnya sebuah tim atau seberapapun kuatnya kasus hukum, keberhasilan tidak akan diperoleh tanpa penguasaan keterampilan komunikasi yang efektif. Hovland & Weiss dalam Rakhmat (2003: 109) menyebutnya sebagai source credibility atau ethos. Keterampilan melakukan komunikasi yang efektif akan berperan besar dalam mendukung pencapaian tujuan dari seluruh aktivitas, apalagi dalam menjalan visi pelayanan prima.

Melakukan komunikasi yang efektif, maka kemampuan untuk mengirimkan pesan atau informasi yang baik, kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik, serta keterampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian yang sangat penting. Komunikasi seringkali

terganggu atau bahkan dapat menjadi buntu sama sekali. Faktor hambatan yang biasanya terjadi dalam proses komunikasi, dapat dibagi dalam 3 jenis sebagai berikut :

1. Hambatan Teknis

Hambatan jenis ini timbul karena lingkungan yang memberikan dampak pencegahan terhadap kelancaran pengiriman dan penerimaan pesan, dari sisi teknologi, keterbatasan fasilitas dan peralatan komunikasi, akan semakin berkurang dengan adanya temuan baru di bidang teknologi komunikasi dan sistim informasi, sehingga saluran komunikasi dalam media komunikasi dapat diandalkan serta lebih efisien.

2. Hambatan Semantik

Gangguan semantik menjadi hambatan dalam proses penyampaian pengertian atau idea secara efektif. Semantik adalah studi atas pengertian, yang diungkapkan lewat bahasa. Suatu pesan yang kurang jelas, akan tetap menjadi tidak jelas bagaimanapun baiknya transmisi. Untuk menghindari mis-komunikasi semacam ini, seorang komunikator harus memilih kata-kata yang tepat dan sesuai dengan karakteristik komunikannya, serta melihat dan mempertimbangkan kemungkinan penafsiran yang berbeda terhadap kata-kata yang digunakannya. Kemampuan emphatis diharapkan dapat menjembatani masalah ini.

3. Hambatan Manusiawi

Hambatan jenis ini muncul dari masalah-masalah pribadi yang dihadapi oleh orang-orang yang terlibat dalam komunikasi, baik komunikator maupun komunikan. Biasanya dalam bentuk hambatan social psikologis. Menurut Cruden dan Sherman, hambatan ini mencakup : a) hambatan yang berasal dari perbedaan individual manusia, seperti perbedaan persepsi, umur, keadaan emosi, status,

keterampilan mendengarkan, pencarian informasi, penyaringan informasi, b) hambatan yang ditimbulkan oleh iklim psikologis dalam organisasi atau lingkungan sosial dan budaya, seperti suasana dan iklim kerja serta tata nilai yang dianut. Disini Kemampuan emphatis diharapkan juga dapat menjembatani masalah ini.

2.8. Profesionalisme

Tuntutan terhadap profesionalisme sebagai suatu faham dan konsep idealisme profesional, sering dijadikan tuntutan terhadap keberadaan aparatur di lingkungan birokrasi pemerintahan. Namun pemahaman akan profesionalisme itu sendiri masih belum jelas dan belum ada standar penilaiannya. Sebutan “Profesionalisme” itu sendiri berasal dari kata “profesi”. Jadi, berbicara tentang profesionalisme tentu mengacu pada pengertian profesi, sebagai suatu bidang pekerjaan

Menurut Tangkilisan (2005: 227) yang dimaksud dengan profesionalitas adalah: kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi dengan kebutuhan tugas. Terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesionalisme, artinya, keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi.

Menurut Siagian dalam Kurniawan (2005:74) profesionalisme adalah “keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu yang baik, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan atau masyarakat”. Profesionalisme sangat mencerminkan keahlian seorang terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Menurut Abeng dalam Moeljono

(2003:107) “pengertian profesional terdiri atas tiga unsur, yaitu knowledge, skill, integrity”. Knowledge dapat diartikan sebagai tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang terhadap pekerjaan yang digelutinya, skill dapat diartikan sebagai kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang dalam menguasai pekerjaannya, dan integrity dapat diartikan sebagai integritas seseorang dalam menjalankan pekerjaannya di dalam suatu organisasi.

Menurut Martin (Kurniawan, 2005:75), “profesionalisme aparatur memiliki beberapa karakteristik yang sesuai dengan tuntutan good governance, yaitu (a) equality, (b) equity, (c) loyality, dan (d) accountability”. (a) Equality secara bahasa diartikan sebagai kesamaan. Kesamaan yang dimaksud disini yaitu sikap pegawai yang selalu sama dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. (b) Equity secara bahasa yaitu kesetaraan. Kesetaraan adalah pemberian perlakuan yang adil, dengan memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Menurut Tjandra (2005:11) “kesetaraan yaitu tidak diskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan dan gender”. (c) Loyality atau loyalitas yaitu kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. (d) Accountability atau akuntabilitas merupakan tanggung jawab atas apa yang menjadi tugas pokok aparat pemerintah terhadap masyarakat sebagai para pengguna jasa layanan publik. Menurut Kumorotomo (2005:3), “akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan apakah pelayanan

sesungguhnya”. Karakteristik profesionalisme di atas merupakan profesionalisme yang sesuai dengan tuntutan good governance. Untuk menciptakan pemerintahan yang baik diperlukan profesionalisme pegawai yang baik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan sejauh mana profesionalisme pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Pelayanan administratif merupakan salah satu bentuk dari pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pada pelayanan administratif, pelayanan yang diberikan lebih kepada pengurusan dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sangat sulit menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran masyarakat. Masyarakat sebagai pihak yang merasakan secara langsung pelayanan yang diberikan, memiliki peran penting dalam memberikan penilaian mengenai kualitas pelayanan. Sehingga untuk mengukur kualitas pelayanan, tentu saja dengan melihat apa yang dianggap penting dan apa yang dianggap perlu oleh masyarakat. Agar pelayanan yang diberikan dapat berjalan secara efektif dan efesien serta memuaskan masyarakat maka perlu adanya peningkatan kerja pegawai sebagai penyelenggara pelayanan publik.

Keprofesionalan aparatur pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan administratif yang diberikan, sehingga pada akhirnya akan membuat masyarakat untuk tidak bosan berurusan dengan pegawai pemerintah. Dengan terciptanya profesionalisme pegawai diharapkan terciptanya pula hasil pelayanan yang berkualitas dimana kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama penyelenggara pelayanan publik. Sesuai yang dikemukakan oleh Tjokrowinoto (Tangkilisan, 2005:231) bahwa profesionalisme berkaitan dengan kemampuan aparat yang bekerja dengan memiliki inovasi, dan mempunyai etos kerja tinggi. Tentu akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap kualitas layanan kepada para pengguna jasa. Dengan adanya profesionalisme, kinerja

individu secara langsung akan berpengaruh terhadap pemberian kualitas pelayanan kepada para pengguna jasa. Apa yang dikatakan oleh Siagian (Tangkilisan, 2005:231) bahwa “profesionalisme berkaitan dengan keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat”. Oleh sebab itu profesionalisme pegawai secara otomatis akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang dihasilkan.

Terbentuknya aparatur profesional menurut pendapat diatas memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan sebagai instrumen pemutakhiran. Dengan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh aparatur memungkinkan terpenuhinya kecocokan antara kemampuan aparatur dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Apabila suatu organisasi berupaya untuk memberikan pelayanan publik secara prima maka organisasi tersebut mendasarkan profesionalisme terhadap tujuan yang ingin dicapai.

Tjokrowinoto (1996:191) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah kemampuan untuk untuk menjalankan tugas dan menyelenggarakan pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan prosedur yang sederhana. Terbentuknya kemampuan dan keahlian juga harus diikuti dengan perubahan iklim dalam dunia birokrasi yang cenderung bersifat kaku dan tidak fleksibel. Sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi aparat untuk bekerja secara profesional serta mampu merespon perkembangan global dan

aspirasi masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai pelayanan yang responsif, inovatif, efektif, dan mengacu kepada visi dan nilai-nilai organisasi.

Menurut Hall dalam Herawati dan Susanto (2009:4) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu:

1. Pengabdian pada profesi

Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalam ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi.

2. Kewajiban sosial

Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

3. Kemandirian

Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.

4. Keyakinan terhadap peraturan profesi

Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama

5. Hubungan dengan rekan seprofesi

Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.

Menurut Siagian (2000:164) faktor-faktor yang menghambat terciptanya aparatur yang profesional antara lain lebih disebabkan profesionalisme aparatur sering terbentur dengan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia birokrasi untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk memberdayakan bawahan. Pendapat tersebut meyakini bahwa sistem kerja birokrasi publik yang berdasarkan juklak dan juknis membuat aparat menjadi tidak

responsif serta juga karena tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) dan pemberdaya bagi bawahan.

Tjokrowinotono (1996:193) menyatakan bahwa profesionalisme tidak hanya cukup dibentuk dan dipengaruhi oleh keahlian dan pengetahuan agar aparat dapat menjalankan tugas dan fungsi secara efektif dan efisien, akan tetapi juga turut dipengaruhi oleh filsafat-birokrasi, tata-nilai, struktur, dan prosedur kerja dalam birokrasi. Untuk mewujudkan aparatur yang profesional diperlukan political will dari pemerintah untuk melakukan perubahan besar dalam organisasi birokrasi publik agar dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan publik. Perubahan tersebut meliputi perubahan dalam filsafat atau cara pandang organisasi dalam mencapai tujuan yang dimulai dengan merumuskan visi dan misi yang ingin dicapai dan dijalankan oleh organisasi, membangun struktur yang flat dan tidak terlalu hirarkis serta prosedur kerja yang tidak terlalu terikat kepada aturan formal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan perubahan dalam organisasi dan meningkatkan profesionalisme aparatur maka penting untuk meredefinisikan kembali apa yang hendak di capai oleh organisasi, membangun sistem penggajian yang mengedepankan nilai keadilan serta membangun struktur organisasi yang memungkinkan untuk terjadinya proses pengambilan keputusan yang cepat.