• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5. PEMBAHASAN

5.1. Implementasi Pelaksanaan POMP Filariasis

5.1.1. Pengaruh Komunikasi terhadap Implementas

Komunikasi adalah hal penting yang diperlukan dalam proses implementasi kebijakan. Kebijakan yang akan diimplementasikan haruslah dipahami sesuai dengan petunjuk pelaksanaan. Untuk dapat memahami petunjuk pelaksanaan kebijakan diperlukan petunjuk pelaksanaan yang jelas agar tidak terjadi kebingungan tentang apa yang harus dilakukan implementor. Selain itu, petunjuk yang tidak jelas akan menyebabkan implementor memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain. Menurut Edward dalam Winarno (2012) , ada 3 hal utama yang memengaruhi keberhasilan komunikasi suatu kebijakan yaitu transmisi, konsistensi dan kejelasan. 5.1.1.1. Transmisi

Untuk menjalankan proses sosialisasi suatu kebijakan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti seremoni penandatanganan naskah kebijakan publik, pemberitaan di media massa, seminar, ceramah, dialog interaktif melalui media elektronik ataupun melalui sarana promosi lainnya seperti penyebaran booklet, spanduk,poster dan lain sebagainya.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa proses transmisi informasi perihal kegiatan pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan belum berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari kurangnya sosialisasi pelaksanaan POMP filariasis yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan kepada implementor yang ada di bawahnya yaitu puskesmas dan jaringannya maupun kepada masyarakat di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Proses transmisi informasi pertama sekali didapatkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Kementerian Kesehatan pada saat kegiatan advokasi dan penandatanganan nota kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif perihal komitmen melaksanakan program eliminasi filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Setelah mendapatkan sosialisasi dari Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, maka seharusnya Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan melakukan transmisi dalam bentuk sosialisasi informasi tentang filariasis dan pelaksanaan POMP filariasis kepada seluruh puskesmas dan masyarakat di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan memang sudah melakukan transmisi informasi pertama kalinya dimulai dari saat kegiatan advokasi pelaksanaan program filariasis, yaitu dengan mengundang berbagai pihak untuk mengikuti jalannya kegiatan advokasi sekaligus mendengarkan sosialisasi yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Kementrian Kesehatan RI.

Namun demikian, proses sosialisasi perdana ini kurang maksimal dilakukan karena tidak diikuti dengan acara ceremonial, tidak diberitakan melalui media massa dan tidak ada upaya untuk memastikan undangan sampai ke tangan pihak-pihak yang diundang untuk kegiatan advokasi dan sosialisasi program eliminasi filariasis tersebut. Terbukti dari hasil wawancara, hampir semua informan menyatakan tidak ada undangan sampai ke tangan mereka.

Sosialisasi perdana ini juga tidak dilanjutkan dengan sosialisasi-sosialisasi berikutnya baik kepada implementor yang ada di puskesmas maupun kepada masyarakat di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, hal ini menunjukkan bahwa intensitas transmisi dalam bentuk sosialisasi informasi sangat kurang dilakukan. Hal ini terbukti dari hasil wawancara kepada informan yang ada di puskesmas menyatakan bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan belum pernah melakukan sosialisasi khusus tentang filariasis dan POMP filariasis kepada pihak puskesmas. Menurut informan, sosialisasi yang diberikan selama ini khususnya menjelang pelaksanaan POMP filariasis bukanlah sosialisasi yang sesungguhnya melainkan hanya berupa pemberitahuan dan pengarahan semata dan intensitasnya pun sangat kurang.

Demikian juga dengan intensitas sosialisasi yang disampaikan kepada masyarakat Kabupaten Labuhanbatu Selatan sangat kurang dilakukan. Hal ini terbukti dari hasil wawancara kepada informan dari berbagai elemen masyarakat, hampir semuanya menyatakan bahwa dinas kesehatan maupun puskesmas belum pernah mengadakan sosialisasi tentang filariasis dan POMP filariasis.

Sementara pihak dari dinas kesehatan menyatakan bahwa sosialisasi yang telah diberikan kepada puskesmas sudah cukup jelas. Selain itu Dinas kesehatan mengaku telah melakukan sosialisasi pelaksanaan POMP filariasis melalui radio setempat berupa iklan layanan masyarakat yang isinya mengenai berita akan dilakukannya pengobatan massal kaki gajah namun setelah diteliti ternyata intensitas iklan layanan masyarakat tersebut pun sangat kurang.

Adanya perbedaan pendapat antara pihak puskesmas dan pihak dinas kesehatan tentang kejelasan sosialisasi tersebut tentunya tidak akan terjadi apabila pihak dari dinas kesehatan memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi. Menurut Widjaja (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi terdiri dari :

a. Sumber Pesan

Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri. Dalam pelaksanaan POMP filariasis sumber pesan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah.

b. Komunikator

Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain, yang meliputi penampilan, penguasaan masalah dan penguasaan bahasa. Dalam pelaksanaan POMP filariasis, seharusnya Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan telah mempersiapkan anggotanya yang telah terlatih untuk

menyampaikan sosialisasi perihal pelaksanaan POMP filariasis kepada puskesmas dan masyarakat atau dengan mengundang komunikator terlatih dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara untuk menyampaikan sosialisasi POMP filariasis.

c. Komunikan

Adalah orang yang menerima pesan. Dalam mensosialisasikan pelaksanaan POMP filariasis harus diperhatikan latar belakang dari komunikannya. Latar belakang tersebut meliputi usia, pendidikan, status sosial dan budaya dari komunikan setempat.

d. Pesan

Adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator, dimana pesan ini mempunyai pesan yang sebenarnya menjadi pengarah dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan (informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum, jelas, gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan komunikan).

Dalam rangka sosialisasi pelaksanaan POMP filariasis, Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan sebaiknya melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang cukup disegani di daerah setempat. Tekhniknya yaitu dengan cara mengumpulkan masyarakat setempat. Tokoh agama dan atau tokoh masyarakat dapat memberikan kata sambutan yang bersifat persuasif, mengajak masyarakat agar mau berperan serta mensukseskan pelaksanaan POMP filariasis

e. Media

Adalah sarana yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum dan media massa. Media audio visual merupakan media yang cukup efektif dan dapat dijadikan pilihan dalam pelaksanaan sosialisasi POMP filariasis.

f. Efek

Adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni apabila sikap dan tingkah laku orang lain itu sesuai, maka komunikasi dianggap berhasil dan demikian sebaliknya. Indikator keberhasilan sosialisasi pelaksanaan POMP filariasis salah satunya dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang mau minum obat atau dengan kata lain hasil cakupan POMP filariasisnya tinggi.

Dari hasil wawancara kepada informan juga terungkap fakta bahwa ada beberapa informan termasuk informan kepala desa yang tidak berani minum obat dikarenakan takut dengan efek sampingnya. Hal ini menunjukkan kurangnya pengetahuan dari informan kepala desa dan masyarakat tentang filariasis dan pengobatan massal filariasis. Hal yang sama juga ditemukan pada hasil penelitian Nungki Hapsari dan Santoso di Kecamatan Madang Suku III Kabupaten Okku Timur, di mana informan kepala desa belum mengetahui tentang penyebab dan gejala akut filariasis. Hal yang sama juga ditemukan pada hasil penelitian Lasbudi P. Ambarita dkk di Kabupaten Banyuasin, di mana masyarakat di Rimba Terab masih memiliki pengetahuan yang rendah tentang filariasis.

Di samping itu dari hasil wawancara juga terungkap fakta bahwa belum dibinanya kerjasama dengan lintas sektor terkait. Hal ini mirip dengan hasil penelitian Sekar Tuti dkk di Kabupaten Sikka, NTT di mana menunjukkan kerja sama lintas sektor sudah dibina namun masih belum berjalaan sesuai yang diharapkan. 5.1.1.2. Konsistensi

Konsistensi informasi juga merupakan hal penting pada proses komunikasi suatu kebijakan publik. Menurut Subarsono (2005), konsistensi informasi berarti informasi yang disampaikan harus jelas dan tidak berubah-ubah. Informasi yang berubah-ubah akan meyebabkan kebingungan ataupun penafsiran berbeda dalam mengimplementasikan suatu kebijakan.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan tidak membuat peraturan lain selain petunjuk teknis program eliminasi filariasis yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Menurut petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia, persiapan sebelum pelaksanaan POMP filariasis terdiri atas persiapan masyarakat dan penyediaan bahan, alat serta obat. Kegiatan penyiapan masyarakat harus dilaksanakan oleh TPE/kader yang telah dilatih terlebih dahulu oleh petugas yang terlatih yaitu 1 minggu sebelum pelaksanaan POMP filariasis. TPE/kader adalah anggota masyarakat setempat yang terpilih melalui musyawarah masyarakat desa dengan kriteria bersedia, mampu baca tulis dan disegani oleh masyarakat. TPE/kader ini dapat berasal dari organisasi yang

sudah ada di masyarakat antara lain PKK, Karang Taruna, Pramuka, LSM, Guru, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat.

Penyiapan masyarakat dilaksanakan dengan mengunjungi warga dari rumah ke rumah di masing-masing wilayah binaan TPE /kader. Waktu penyiapan masyarakat adalah 5 hari sebelum hari H pelaksanaan pengobatan massal. Kegiatan yang dilakukan oleh TPE/kader dalam kunjungan rumah terdiri dari :

a. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang tempat, waktu dan berbagai hal (antara lain makan dulu sebelum minum obat).

b. Mengisi kartu pengobatan dan formulir sensus penduduk binaan. c. Menyeleksi dan mencatat penduduk yang ditunda pengobatannya. d. Pendataan kasus kronis.

Penyedian bahan, alat dan obat terdiri dari : a. Bahan dan Alat

(1) Kartu pengobatan

(2) Formulir pelaporan pengobatan TPE/kader (3) Formulir sensus

(4) Formulir pendataan kasus kronis (5) Media penyuluhan

(6) Alat tulis menulis

b. Obat DEC, Albendazole, Paracetamol dan obat reaksi pengobatan. Obat reaksi pengobatan terdiri dari : Paracetamol, CTM, Antasida Doen, salep anti biotika,

antibiotika oral, vitamin B6, Kortikosteroid injeksi, Adrenalin injeksi, infus set dan cairan infus Ringer Laktat.

Namun pada implementasinya persiapan pelaksanaan POMP filariasis yang dilakukan oleh implementor di tingkat puskesmas tidak konsisten dengan juknis yang ada. Penyiapan masyarakat tidak dilakukan oleh TPE/kader. TPE/kader, tidak dipilih melalui musyawarah masyarakat desa, melainkan berdasarkan penunjukan langsung atas instruksi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. TPE/kader tidak diberikan pelatihan terlebih dahulu.

Selain itu sensus penduduk, pemberian informasi kepada masyarakat tentang tempat, waktu dan berbagai hal, pengisian kartu pengobatan dan formulir sensus penduduk binaan, serta penyeleksian dan pencatatan penduduk yang ditunda pengobatannya, tidak semuanya dilakukan melalui kunjungan dari rumah ke rumah, sebahagian besar malah dilakukan di saat pelaksanaan pengobatan massal sedang berlangsung.

Di samping itu, pencatatan kasus kronis tidak dilakukan lagi karena menurut informan tidak ada instruksi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Demikian juga penyediaan bahan, alat dan obat juga tidak semua terpenuhi, tidak sesuai dengan juknis yang ada.

Menurut Edward dalam Winarno (2012), konsistensi berarti informasi yang disampaikan tidak boleh berubah-ubah. Perintah atau petunjuk implementasi kebijakan yang berubah-ubah akan mendorong para implementor mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan apa yang terkandung dalam

petunjuk teknis kebijakan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan efektif sehingga tujuan dari kebijakan tersebut tidak dapat dipenuhi.

Dari hasil penelitian juga ditemukan ketidakkonsistenan pelaksanaan POMP filariasis dengan juknis yang ada. Pengobatan massal tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh TPE/kader, petugas ikut juga membagi-bagikan obat, padahal menurut juknis petugas kesehatan puskesmas adalah sebagai pengawas jalannya pengobatan massal. Obat yang diberikan kepada penduduk tidak diminum di depan petugas, hanya sebagian kecil saja yang meminum obat di depan petugas.

Undangan tidak disampaikan langsung kepada masyarakat, melainkan disampaikan kepada kepala desa atau kepala dusun. Pengobatan dan reaksi efek samping tidak dicatat pada kartu pengobatan. TPE/kader tidak ditugaskan membuat laporan. Tidak seragamnya waktu meminum obat, ada penduduk yang meminum obat di malam hari sebelum tidur, ada pula yang meminum obat di pagi atau siang hari, ada pula yang diminum sekaligus dan ada pula yang diminum 3 kali sehari.

Penduduk yang sudah terkena filariasis ada yang diberikan pengobatan dan ada pula yang tidak diberikan pengobatan. Semua ketidakkonsistenan ini disebabkan akibat kurang jelasnya informasi yang diterima oleh implementor di tingkat puskesmas dan ditambah lagi dengan ketiadaan juknis di tangan mereka.

5.1.1.3. Kejelasan Informasi

Menurut Edward dalam Winarno (2012), kebijakan akan berjalan efektif apabila informasi yang disampaikan jelas. Ketidakjelasan pesan pada proses

komunikasi dapat menyebabkan interpretasi yang salah bahkan bertentangan dengan makna pesan awal.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa proses sosialisasi informasi yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan kepada pihak implementor di puskesmas dirasa kurang jelas. Semua informan dari puskesmas menyatakan bahwa informasi yang mereka terima tentang program eliminasi filariasis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan kurang jelas. Semua informan berharap agar Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan memberikan buku pedoman atau buku juknis terbaru tentang program eliminasi filariasis kepada semua puskesmas yang ada di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Dari hasil penelitian perihal faktor komunikasi terlihat bahwa secara keseluruhan variabel komunikasi dalam implementasi pelaksanaan POMP filariasis kurang berjalan dengan baik. Proses transmisi komunikasi kurang berjalan dengan baik, demikian juga dengan intensitasnya yang tidak cukup. Hal ini terbukti dari banyaknya ketidakkonsistenan yang terjadi di lapangan baik pada saat persiapan pelaksanaan POMP filariasis maupun pada saat pelaksanaan POMP filariasis.

Selain itu banyaknya anggota masyarakat yang tidak mengetahui adanya pengobatan massal filariasis dan banyaknya anggota masyarakat yang tidak mau minum obat menjadi bukti bahwa transmisi, konsistensi dan kejelasan pelaksanaan POMP filariasis ini tidak terlaksana dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian perihal faktor komunikasi tersebut, maka dapat diketahui adanya faktor penghambat keberhasilan implementasi pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan yaitu :

a. Tidak adanya sosialisasi khusus tentang filariasis dan POMP filariasis kepada implementor di puskesmas dan masyarakat.

b. Intensitas sosialisasi yang kurang.

c. Tidak adanya kejelasan informasi yang diberikan oleh dinas kesehatan.

d. Adanya ketidaksesuaian antara petunjuk teknis dan kenyataan di lapangan baik dalam hal persiapan pelaksanaan POMP filariasis maupun dalam hal pelaksanaan POMP filariasis.

Dokumen terkait