• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Implementasi Kebijakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Implementasi Kebijakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

TESIS

Oleh

ROMAITO HARAHAP 117032034/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROMAITO HARAHAP 117032034/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

Nama Mahasiswa : Romaito Harahap Nomor Induk Mahasiswa : 117032034

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) (dr. Heldy B.Z, M.P.H

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 12 Februari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : dr. Heldy B.Z, M.P.H

: Dr. Juanita, S.E, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2014 Penulis

(6)

ABSTRAK

Penyakit filariasis sampai saat ini masih merupakan masalah bagi kesehatan masyarakat. Menurut data yang bersumber dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, saat ini di Indonesia ada 302 kabupaten/kota yang endemis filariasis. Untuk mencapai target eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020, Pemerintah telah menetapkan kebijakan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat implementasi pelaksanaan pemberian obat massal pencegahan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2013. Penelitian adalah kualitatif. Analisa data dilakukan dengan konsep

Spradley, peningkatan validitas data dilakukan dengan triangulasi pada sumber dan metode pengumpulan data yang berbeda.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa implementasi pelaksanaan pengobatan massal pencegahan filariasis kurang berjalan dengan baik, ditemukan beberapa kendala yaitu kurangnya sosialisasi kepada petugas kesehatan dan kepada masyarakat, kerjasama lintas sektor belum terbina, biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal sangat terbatas, kualitas sumber daya manusia yang belum memadai, fasilitas pendukung pelaksanaan pengobatan massal kurang lengkap, struktur organisasi yang belum terbentuk dan petunjuk pelaksanaan tugas yang tidak jelas.

Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan diharapkan meningkatkan sosialisasi kepada petugas kesehatan dan masyarakat, membina kerjasama lintas sektor, meningkatkan advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan anggaran bagi program eliminasi filariasis, meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia, melengkapi fasilitas pendukung pelaksanaan pengobatan massal, membentuk struktur organisasi dan membuat petunjuk pelaksanaan tugas yang jelas.

(7)

ABSTRACT

Up to now, filariasis is still a problem to public health. According to data sourced from the Directorate General of Disease Control and Environmental Sanitation, Ministry of Health Republic of Indonesia, currently, there are 302 districts/cities in Indonesia experiencing the endemic filariasis. To meet the target of filariasis elimination in Indonesia in 2020, the Indonesian government has set up a policy for Filariasis Elimination Program as one of the national priorities of eradication of infectitious diseases through Presidential Regulation No. 7/2005.

The objective of the research was to know the implementation of mass drug administration (MDA) for filariasis prevention in Labuhanbatu Selatan District in 2013. The research was a qualitative research. The data were analyzed by using Spradley concept, data validity improvement were done through triangulation in different data source and different data collection methods.

The result of this research showed that the implementation of MDA for filariasis prevention was not well performed. The constraints found were that this activity was less socialized to the health workers and the community members, inter-sectoral cooperation was not yet developed, the operational cost for the implementation of MDA was very limited, the quality of human resources was inadequate, the facility supporting the implementation of MDA was less complete, the structure of organization was not established, and the instructions of task implementation were not clear.

The Labuhanbatu Selatan District Health Departement is expected to more socialize this program to the health workers and the community members, to establish an inter-sectoral cooperation, to advocate the district government to increase the budget for the filariasis elimination program, to improve the competency of human resourses, to complete the facilities supporting the implementation of MDA, to form a structure of organization, and to make a clear instructions of task implementation.

Keywords: Filariasis Elimination, Mass Drug Administration, Implementation, Labuhanbatu Selatan District

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil A’lamin, segala puji hanya milik Allah SWT, atas

rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Implementasi Kebijakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan”.

Tesis ini adalah salah satu persyaratan akademik dalam menyelesaikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan

Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan bantuan, dorongan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si., sebagai Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat.

(9)

memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian mulai proses proposal

hingga penulisan tesis ini selesai.

5. Tim penguji Dr. Juanita, S.E, M.Kes dan Teguh Supriadi, S.K.M.,M.P.H yang telah memberikan bimbingan, kritik dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.

6. Ibu Hasnan Hazar, S.K.M, sebagai Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, yang telah memberikan izin bagi penulis untuk meneruskan

pendidikan dan melakukan penelitian di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

7. Seluruh jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, khususnya

Kepala Bidang Binkesmas, Kepala Puskesmas Tanjung Medan, Kepala Puskesmas Aek Goti, Kepala Puskesmas Cikampak, Kepala Puskesmas Bunut

dan para staf puskesmas pengelola program filariasis atas kesediaan dan kerjasamanya menjadi informan pada penelitian ini.

8. Orang tuaku tercinta (alm) Parluhutan Harahap dan Emmy Siregar, yang selalu

menjadi inspirasi dan motivator dalam hidupku.

9. Suamiku Harri Muktasar Hasibuan, S.T.P dan anakku Desri Anggun Mahmuda

Hasibuan atas segala cinta, do’a, dukungan, pengorbanan, pengertian dan motivasi untuk menyelesaikan studi ini.

10.Kakak-kakakku Linggawati Harahap dan Hanum Harahap atas dukungan,

(10)

11.Teman-teman seperjuangan di kelas AKK 2011, teristimewa Masnauli, Zuheri,

Sari, Novita, Hotma, Ima dan Emmi atas bantuan, inspirasi dan motivasi selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, kritik

dan saran diharapkan dari semua pihak sebagai masukan dan perbaikan dengan harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi khasanah ilmu kesehatan masyarakat.

Medan, Maret 2014 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Romaito Harahap, lahir di Tebing Tinggi, 25 Juni 1972, anak ke empat dari

enam bersaudara.

Pendidikan dasar penulis dijalani di SD Swasta F. Tandean Tebing Tinggi,

tamat tahun 1985, pendidikan dilanjutkan di SMP Negeri 1 Tebing Tinggi dan tamat tahun1988. Pendidikan selanjutnya diteruskan di SMA Negeri 1 Tebing Tinggi dan tamat tahun 1991. Pada tahun 1991 lulus pada Fakultas Kedokteran Universitas Islam

Sumatera Utara dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2000.

Pada tahun 2000 penulis mulai berkarir sebagai dokter PTT di Puskesmas

Bandar Sono Kota Tebing Tinggi. Tahun 2006 penulis diangkat menjadi PNS di Puskesmas Tanjung Marulak Kota Tebing Tinggi sebagai dokter puskesmas. Diangkat menjadi Kepala Seksi Bimbingan Pengendalian Kesehatan Lingkungan di

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR MATRIKS ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Kebijakan ... 14

2.1.1. Pengertian Kebijakan ... 14

2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik ... 15

2.1.3. Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik ... 16

2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik ... 18

2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan ... 19

2.1.6. Analisa Kebijakan Publik ... 31

2.1.7. Kebijakan Kesehatan ... 32

2.1.8. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan 32

2.1.9. Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan ... 34

2.2. Eliminasi Filariasis ... 35

2.2.1. Program Eliminasi Filariasis ... 35

2.2.2. Strategi Eliminasi Filariasis di Indonesia ... 37

2.2.3. Langkah-langkah Eliminasi Filariasis ... 42

2.2.4. Sumber Dana dan Sarana Eliminasi Filariasis ... 49

2.2.5. Indikator Kinerja ... 50

2.3. Landasan Teori ... 51

(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 53

3.1. Jenis Penelitian ... 53

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

3.3. Informan Penelitian ... 53

3.4. Instrumen Penelitian ... 55

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 55

3.6. Defenisi Operasional ... 56

3.7. Metode Pengolahan Data ... 58

3.8. Metode Analisa Data ... 59

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 60

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 60

4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 60

4.1.2. Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 66

4.1.3. Gambaran Umum Puskesmas ... 70

4.2. Karakteristik Informan ... 78

4.3. Penyajian dan Analisis Data ... 80

4.3.1. Implementasi Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 80

4.3.2. Hasil Cakupan Pengobatan Massal ... 149

Bab 5. PEMBAHASAN ... . 151

5.1. Implementasi Pelaksanaan POMP Filariasis ... 151

5.1.1. Pengaruh Komunikasi terhadap Implementasi Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 151

5.1.2. Sumber daya ... 162

5.1.3. Disposisi ... 168

5.1.4. Struktur Birokrasi ... 172

5.1.5. Hasil Cakupan Pengobatan Massal . ... 174

Bab 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 176

6.1. Kesimpulan ... 176

6.2. Saran ... 178

DAFTAR PUSTAKA ... 182

(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1.1. Jumlah Kasus Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun

2008 s/d 2012 ... 8

1.2. Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia ... 48

4.1. Luas Wilayah, Ibu Kota dan Jarak Tiap Kecamatan ke Ibu Kota Kabupaten ... 62

4.2. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 63

4.3. Kecamatan yang Dilayani oleh Tiap Puskesmas ... 68

4.4. Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 69

4.5. Sarana Kesehatan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 70

4.6. Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Medan Tahun 2012 ... 71

4.7. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Tanjung Medan ... 72

4.8. Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Goti Tahun 2012 ... 73

4.9. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Aek Goti ... 74

4.10. Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Cikampak Tahun 2012 ... 75

4.11. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Cikampak ... 75

4.12. Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Bunut Tahun 2012 .. 77

4.13. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Bunut ... 77

(15)

DAFTAR MATRIKS

No. Judul Halaman

4.1. Pendapat Informan Perihal Kegiatan Advokasi Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ... 82

4.2. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Puskesmas dan dari Elemen Masyarakat Perihal Kegiatan Advokasi Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ... 84

4.3. Pendapat Informan dari Dinas Kesehatan Perihal Kegiatan Advokasi Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ... 85

4.4. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan Perihal Kegiatan Advokasi Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ... 86

4.5. Pendapat Informan dari Puskesmas Perihal Intensitas Sosialisasi Filariasis dan Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 87 4.6. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Puskesmas

Perihal Intensitas Sosialisasi Filariasis dan Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 90 4.7. Pendapat Informan dari Berbagai Elemen Masyarakat Perihal

Intensitas Sosialisasi Filariasis dan POMP Filariasis di Kabupaten labuhanbatu Selatan ... 91

4.8. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Berbagai Elemen Masyarakat Perihal Intensitas Sosialisasi Filariasis dan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 95

4.9. Pendapat Informan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan Perihal Intensitas Sosialisasi Filariasis dan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 96

(16)

4.11. Ketidakkonsistenan Petunjuk Teknis dengan Kenyataan di Lapangan Perihal Persiapan Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 99 4.12. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Puskesmas

Perihal Ketidakkonsistenan Petunjuk Teknis dengan Kenyataan di Lapangan Perihal Persiapan Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 106

4.13. Ketidakkonsistenan Petunjuk Teknis dengan Kenyataan di Lapangan Perihal Persiapan Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 107 4.14. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Puskesmas

Perihal Ketidakkonsistenan Petunjuk Teknis dengan Kenyataan di Lapangan Perihal Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 114

4.15. Ketidakkonsistenan Petunjuk Teknis dengan Kenyataan di LapanganPerihal Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 115

4.16. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Puskesmas Perihal Kejelasan Informasi Kepada Implementor di Puskesmas ... 118

4.17. Pendapat Informan dari Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan Perihal Kejelasan Informasi Kepada Implementor di Puskesmas ... 119

4.18. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

Perihal Kejelasan Informasi Kepada Implementor di Puskesmas ... 120

4.19. Instrumen Kebijakan Pelaksanaan POMP Filariasis ... 121 4.20 Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

Perihal Instrumen Kebijakan Pelaksanaan POMP Filariasis ... 122 4.21. Kecukupan Dana Pelaksanaan POMP Filariasis ... 122

(17)

4.23. Pendapat Informan dari Dinas Kesehatan Perihal Penyebab Pemangkasan Anggaran Untuk Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 124 4.24. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan Dinas Kesehatan

Perihal Penyebab Pemangkasan Anggaran Untuk Pelaksanaan POMP Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 125

4.25. Kendala SDM Filariasis Dalam Program Eliminasi Filariasis ... 126 4.26. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

dan dari Puskesmas Perihal Kendala SDM Filariasis Dalam Program .. Eliminasi Filariasis ... 130 4.27. Kelengkapan Fasilitas Pendukung Program POMP Filariasis ... 131

4.28. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan dan dari Puskesmas Perihal Kelengkapan Fasilitas Pendukung Program Eliminasi Filariasis ... 133 4.29. Komitmen Inplementor terhadap Kebijakan Pelaksanaan POMP

Filariasis ... 134 4.30. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

dan dari Puskesmas Perihal Komitmen Implementor terhadap Kebijakan Pelaksanaan POMP Filariasis ... 136 4.31. Kejujuran Implementor pada Pelaksanaan POMP Filariasis ... 137 4.32. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

dan dari Puskesmas Perihal Kejujuran Implementor pada Pelaksanaan POMP Filariasis ... 140 4.33. Sikap Demokratis pada Pelaksanaan POMP Filariasis ... 141

4.34. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Puskesmas dan dari Elemen Masyarakat Perihal Sikap Demokratis pada Pelaksanaan

POMP Filariasis ... 144 4.35. Struktur Organisasi Tim Pengendali Program Eliminasi Filariasis di

(18)

4.36. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan Perihal Struktur Organisasi Tim Pengendali Program Eliminasi Filariasisdi Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 145 4.37. Kejelasan Standar Operasional Prosedur Kebijakan Program Eliminasi

Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 146 4.38. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

dan dari Puskesmas Perihal Kejelasan Standar Operasional Prosedur Kebijakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 147

4.39. Hasil Wawancara Perihal Koordinasi Berjenjang ... 148 4.40. Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

dan dari Puskesmas Perihal Koordinasi Berjenjang ... 149 4.41. Hasil Cakupan POMP Filariasis Putaran Pertama ... 149

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Segitiga Analisis Kebijakan ... 34

2.2. Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten / Kota ... 47

2.3. Skema Eliminasi Filariasis, Strategi dan Kegiatan Pokok ... 51

2.4. Model Implementasi menurut George C. Edward III ... 51

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

(21)

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Bimdal P2 Bimbingan Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Binkesmas Bina Kesehatan Masyarakat

BTKL & PPM Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular

DEC Diethylcarbamazine citrate DPA Dokumen Pelaksanaan Anggaran DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah FKUB Forum Komunikasi Umat Beragama Juknis Petunjuk Teknis

Kabid Kepala Bidang

Kasi Kepala Seksi

Labusel Labuhanbatu Selatan

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

Mf rate Microfilariarate

NTT Nusa Tenggara Timur Pemda Pemerintah Daerah

PAPBD Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah PKK Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga

POMP Pemberian Obat Massal Pencegahan

Posko Pos Komando

PSP Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

RI Republik Indonesia

SDJ Survei Darah Jari

SDM Sumber Daya Manusia

SOP Standar Operasional Prosedur TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPE Tenaga Pelaksana Eliminasi

Toga Tokoh Agama

Toma Tokoh Masyarakat

UKS Usaha Kesehatan Sekolah WHO World Health Organitation

(22)

ABSTRAK

Penyakit filariasis sampai saat ini masih merupakan masalah bagi kesehatan masyarakat. Menurut data yang bersumber dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, saat ini di Indonesia ada 302 kabupaten/kota yang endemis filariasis. Untuk mencapai target eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020, Pemerintah telah menetapkan kebijakan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat implementasi pelaksanaan pemberian obat massal pencegahan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2013. Penelitian adalah kualitatif. Analisa data dilakukan dengan konsep

Spradley, peningkatan validitas data dilakukan dengan triangulasi pada sumber dan metode pengumpulan data yang berbeda.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa implementasi pelaksanaan pengobatan massal pencegahan filariasis kurang berjalan dengan baik, ditemukan beberapa kendala yaitu kurangnya sosialisasi kepada petugas kesehatan dan kepada masyarakat, kerjasama lintas sektor belum terbina, biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal sangat terbatas, kualitas sumber daya manusia yang belum memadai, fasilitas pendukung pelaksanaan pengobatan massal kurang lengkap, struktur organisasi yang belum terbentuk dan petunjuk pelaksanaan tugas yang tidak jelas.

Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan diharapkan meningkatkan sosialisasi kepada petugas kesehatan dan masyarakat, membina kerjasama lintas sektor, meningkatkan advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan anggaran bagi program eliminasi filariasis, meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia, melengkapi fasilitas pendukung pelaksanaan pengobatan massal, membentuk struktur organisasi dan membuat petunjuk pelaksanaan tugas yang jelas.

(23)

ABSTRACT

Up to now, filariasis is still a problem to public health. According to data sourced from the Directorate General of Disease Control and Environmental Sanitation, Ministry of Health Republic of Indonesia, currently, there are 302 districts/cities in Indonesia experiencing the endemic filariasis. To meet the target of filariasis elimination in Indonesia in 2020, the Indonesian government has set up a policy for Filariasis Elimination Program as one of the national priorities of eradication of infectitious diseases through Presidential Regulation No. 7/2005.

The objective of the research was to know the implementation of mass drug administration (MDA) for filariasis prevention in Labuhanbatu Selatan District in 2013. The research was a qualitative research. The data were analyzed by using Spradley concept, data validity improvement were done through triangulation in different data source and different data collection methods.

The result of this research showed that the implementation of MDA for filariasis prevention was not well performed. The constraints found were that this activity was less socialized to the health workers and the community members, inter-sectoral cooperation was not yet developed, the operational cost for the implementation of MDA was very limited, the quality of human resources was inadequate, the facility supporting the implementation of MDA was less complete, the structure of organization was not established, and the instructions of task implementation were not clear.

The Labuhanbatu Selatan District Health Departement is expected to more socialize this program to the health workers and the community members, to establish an inter-sectoral cooperation, to advocate the district government to increase the budget for the filariasis elimination program, to improve the competency of human resourses, to complete the facilities supporting the implementation of MDA, to form a structure of organization, and to make a clear instructions of task implementation.

Keywords: Filariasis Elimination, Mass Drug Administration, Implementation, Labuhanbatu Selatan District

(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah dan di beberapa daerah menyebutnya untut, adalah penyakit menular kronis yang disebabkan karena infeksi cacing filaria, dimana cacing filaria ini menyerang saluran dan kelenjar getah bening

sehingga menyebabkan rusaknya sistem limfe, akibatnya dapat berupa pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum. Filariasis dapat mengakibatkan

cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya.

Secara tidak langsung, penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk ini dapat berdampak pada penurunan produktifitas kerja penderita, beban keluarga,

dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit (Depkes RI, 2005). Selama berabad-abad, banyak orang menderita karena adanya gejala klinis akut dan kronis penyakit ini. Filariasis diidentifikasi sebagai penyebab kecacatan

menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO, 1995).

Menurut hasil penelitian Ascobat Gani dkk, yang dipresentasikan dalam pertemuan Rapid Mapping Filariasis tahun 2000, kerugian ekonomi akibat filariasis baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-biaya yang ditanggung selama

(25)

17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan keluarga.

Hasil estimasi Kementrian Kesehatan (2009) menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis dalam setahun mencapai 43 trilyun rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis. Intervensi yang efektif dan penggunaan sumber daya

yang efisien melalui upaya yang sistematis dan strategis akan menghasilkan penghematan biaya negara (Depkes RI, 2010).

Saat ini, diperkirakan hampir 1,4 miliar orang di 73 negara di seluruh dunia terancam oleh filariasis limfatik . Larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia, dimana 40 juta orang di antaranya menderita cacat

dan lumpuh karena penyakit ini. Sekitar 65% dari mereka yang terinfeksi tinggal di regional Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis filariasis

dan salah satu di antaranya adalah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang luas, namun memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di Indonesia, ketiga jenis cacing filaria

(W. Brancrofti, B. malayi dan B. timori) dapat ditemukan (WHO, 2009).

Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia

diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis, diperlukan beberapa kali gigitan

nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama (Depkes RI, 2010).

Berdasarkan laporan dari seluruh provinsi pada tahun 2009, tiga provinsi

(26)

Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus

terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang) dan Sulawesi Utara (30 orang). Kejadian filariasis di Provinsi Aceh sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di

seluruh Indonesia (Depkes RI, 2010).

Menurut laporan dari seluruh kabupaten di Indonesia, pada tahun 2009 tiga

kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1.353 kasus), Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Tampak perbedaan jumlah kasus yang cukup besar di Kabupaten Aceh Utara dibandingkan dengan jumlah kasus pada

kabupaten lainnya. Diketahui 87% kabupaten/kota mempunyai kasus klinis filariasis pada kisaran 1-100 kasus, 5,9% kabupaten/kota tidak memiliki kasus klinis filariasis,

5,2% pada kisaran 101-200 kasus, 1,2% pada kisaran 201-700 kasus dan 0,2% pada kisaran >700 kasus. Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, jumlah kasus kronis filariasis yang dilaporkan sampai tahun 2009 sudah sebanyak 11.914 kasus (Depkes

RI, 2010).

Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%, dengan

endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis

adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0,6%), dan 176 kabupaten/kota yang

(27)

Pada tahun 2012 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota, jumlah

kabupaten/kota yang endemis filariasis adalah 302 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota di Indonesia atau sebesar 60,7% sedangkan 195 kabupaten/kota (39,3%) tidak endemis filariasis (Depkes RI, 2013).

Pada tahun 1997, World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem” yang kemudian pada tahun

2000 diperkuat dengan keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organitation/WHO) dengan mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia

menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular. Program pemberantasan filariasis sendiri telah dilaksanakan sejak

tahun 1975 terutama di daerah endemis tinggi. (Depkes RI, 2005)

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 8 April 2002, di desa Mainan Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan

telah mencanangkan dimulainya eliminasi filariasis global di Indonesia. Pemerintah telah menetapkan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional

pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden RI nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, Bab 28, D,5. Selain itu diterbitkan juga Surat Edaran Menteri Dalam

Negeri (Mendagri) No. 443.43/875/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis dalam rangka eliminasi filariasis di Indonesia, kepada gubernur dan

(28)

provinsi dan kabupaten/kota akan semakin meningkat. Untuk penanganan penyakit

filariasis tersebut telah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Depkes RI, 2005).

Indonesia menerapkan dua strategi utama dalam melaksanakan eliminasi filariasis yaitu memutuskan rantai penularan dengan pengobatan massal di daerah

endemis dan upaya pencegahan dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis.

Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis dilakukan setiap tahun

sekali, dalam waktu minimal 5 tahun berturut-turut. POMP filariasis terbukti memberikan dampak penurunan Mf rate secara signifikan di beberapa daerah

kabupaten/kota endemis yang telah melaksanakan pengobatan massal. Persentase pengobatan massal terus meningkat dari tahun 2005 sampai tahun 2009, di mana pada tahun 2009 mencapai 59,48%. Namun persentase cakupan ini masih jauh di bawah

target yang ditetapkan oleh WHO, dimana cakupan POMP filariasis minimal yang harus dicapai untuk memutus rantai penularan adalah sebesar 85%. Berdasarkan

laporan tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, cakupan POMP filariasis berkisar antara 28%-59,48%. Cakupan ini masih jauh dari cakupan yang diharapkan (Depkes RI, 2010).

Indikator kinerja kesuksesan Program Eliminasi Filariasis adalah berdasarkan 1) Persentase kabupaten/kota endemis menjadi tidak endemis, 2) Persentase kasus

(29)

klinis filariasis yang ditangani dari tahun 2005 sampai dengan 2009, maka

penanganan kasus klinis filariasis belum ada yang mencapai target. Kasus klinis filariasis yang ditangani dari tahun 2005-2009 berkisar antara 17%-40%, sedangkan target kasus yang ditangani per tahun adalah di atas 90% (Depkes RI, 2010).

Sejak dicanangkannya progam eliminasi filariasis global di Indonesia pada tahun 2002, berbagai kendala menyebabkan pelaksanaan program ini di daerah belum

berjalan dengan baik. Kendala-kendala tersebut antara lain yaitu kurangnya dukungan dari pemerintah daerah (pemda) setempat, alokasi dana yang sangat terbatas, sumber daya manusia (SDM) filariasis yang belum terlatih, sarana laboratorium yang kurang

memadai dan kurangnya partisipasi masyarakat maupun tokoh masyarakat.

Menurut hasil penelitian Sekar Tuti dkk yang dilakukan pada tahun 2006 di

Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka belum mendapatkan komitmen yang serius dari pemda setempat untuk melaksanakan program filariasis, meskipun advokasi sudah

dilakukan. Alokasi dana untuk program filariasis masih sangat terbatas. Kerjasama lintas sektor sudah dibina, namun belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Belum ada tenaga kesehatan yang dilatih khusus untuk menangani kasus filariasis baik mikroskopis, paramedis, maupun dokternya. Peran serta atau partisipasi perangkat desa pada saat pengobatan massal sangat kecil.

Hasil penelitian Nungki Hapsari dan Santoso tahun 2011 di Kecamatan Madang Suku III Kabupaten Oku Timur, menunjukkan bahwa informan kepala desa

(30)

perhatian dari dinas kesehatan kepada petugas kesehatan di puskesmas dan kepada

masyarakat masih belum cukup. Pelaporan yang dilakukan oleh puskesmas kepada dinas kesehatan masih belum ada tindak lanjut yang nyata dan baru sebatas pada pendistribusian obat dan buku-buku panduan yang diberikan oleh pihak kementerian

kesehatan. Tidak adanya anggaran khusus untuk program eliminasi filariasis serta adanya anggapan tentang tidak urgentnya filariasis limfatik.

Penelitian yang dilakukan oleh Lasbudi P. Ambarita dkk pada tahun 2005 di Puskesmas Betung Kabupaten Banyuasin, menunjukkan bahwa secara umum masyarakat di Rimba Terab masih memiliki pengetahuan yang rendah tentang

filariasis. Untuk itu kegiatan penyuluhan merupakan salah satu hal yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang filariasis.

Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel) adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Labuhanbatu pada tanggal 21 Juli tahun 2008 sesuai dengan Undang-Undang No. 22 tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten

Labuhanbatu Selatan. Kabupaten Labuhanbatu Selatan merupakan salah satu daerah yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara dengan ketinggian 0-700 meter

di atas permukaan laut dengan luas wilayah 3.116,00 km2 . Secara topografi keadaan tanahnya berbukit dan bergelombang, terdiri dari dataran rendah, lembah, dataran alluvial sungai, rawa-rawa dan gambut. Secara administratif, pemerintahan

(31)

Selatan, 2012). Dari keadaan geografisnya, Kabupaten Labuhanbatu Selatan sangat

potensial sekali untuk perkembangbiakan vektor filariasis.

Bermula di akhir tahun 2003 diterima laporan adanya kasus kronis filariasis sebanyak 16 orang di wilayah kerja puskesmas Tanjung Medan, maka dilakukanlah

survei darah jari (SDJ) pada tahun 2005 oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Medan dan didapatkan hasil Mf rate nya

sebesar 2,04 %, dari data inilah selanjutnya Kabupaten Labuhanbatu Selatan dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis karena Mf rate nya >= 1%, sehingga diharuskan melakukan POMP filariasis. Di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Medan

sendiri dilaporkan bahwa sampai akhir tahun 2012 jumlah kasus penderita filariasis kronis didapati sebanyak 18 kasus.

[image:31.612.120.527.513.703.2]

Berikut ini disajikan data kasus filariasis yang dilaporkan oleh puskesmas yang diterima oleh Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan dari tahun 2008 s/d 2012 :

Tabel 1.1. Jumlah Kasus Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2008 s/d 2012

No Kecamatan Wilayah Puskesmas Jumlah Kasus

1. Kampung Rakyat Tanjung Medan

Teluk Panji Tolan

18 0 0

2. Torgamba

Cikampak Bunut Aek Batu Aek Raso Beringin Jaya

3 4 0 0 0 3. Silangkitang Aek Goti

Mandalasena

1 0 4. Sungai Kanan Langga Payung

Hutagodang

(32)

Tabel 1.1. (Lanjutan)

No Kecamatan Wilayah Puskesmas Jumlah Kasus

5. Kotapinang

Kotapinang Si Sumut Batu Ajo Mampang Rasau

0 0 0 0 0

Jumlah 26

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, 2013

Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan sudah memasuki tahun kelima sejak berdirinya Kabupaten Labuhanbatu Selatan, namun

dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan kendala. Dari observasi dan wawancara awal kepada Kepala Seksi Bimbingan Pengendalian dan Pemberantasan

Penyakit (Bimdal P2), didapatkan informasi bahwa sebelum Kabupaten Labuhanbatu Selatan berpisah dari Kabupaten Labuhanbatu , 5 wilayah kecamatan yang sekarang menjadi wilayah administratif Kabupaten Labuhanbatu Selatan telah mendapatkan

POMP filariasis selama 2 tahun berturut–turut yaitu pada tahun 2007 dan tahun 2008. Namun sangat disayangkan, pengobatan massal tersebut terhenti sejak tahun 2009

seiring dengan berdirinya Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Pada tahun 2012 telah dilakukan advokasi kepada Bupati dan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Selatan beserta instansi terkait lainnya. Advokasi tersebut

menghasilkan Nota Kesepakatan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan DPRD Kabupaten Labuhanbatu Selatan tentang Kesanggupan

[image:32.612.109.531.138.248.2]
(33)

peraturan daerah yang mendukung Program Eliminasi Filariasis tersebut. Dinas

Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan belum mendapatkan komitmen yang serius dari Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan, meskipun advokasi sudah dilakukan. Alokasi dana untuk Program Eliminasi Filariasis sangat terbatas,

akibatnya kegiatan pengobatan massal filariasis yang dilaksanakan di akhir tahun 2013 berjalan kurang efektif sebagai akibat dari biaya operasional yang sangat

minim. Peta wilayah kerja sudah tersedia, namun peta daerah endemik filariasis hanya berdasarkan kasus kronis.

Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan belum mempunyai

laboratorium sendiri, namun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kotapinang sudah mempunyai laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis

filariasis. Akan tetapi di RSUD Kotapinang belum ada petugas yang dilatih secara khusus untuk menangani kasus filariasis baik petugas mikroskopis, paramedis maupun dokter. Data tentang pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) masyarakat

terhadap filariasis juga belum ada, sehingga persepsi masyarakat terhadap filariasis belum diketahui. Penyuluhan hanya dilakukan di posyandu, digabung dengan

penyuluhan untuk penyakit menular lain seperti demam berdarah dan malaria. Kerjasama dengan lintas sektor dan mitra terkait juga belum dibina secara maksimal. Peran serta masyarakat dan dukungan tokoh masyarakat juga dirasakan

sangat kurang. Hal ini terlihat pada saat dilakukannya SDJ pada bulan Oktober tahun 2012 oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit

(34)

tepatnya di desa Mandalasena Kecamatan Silangkitang dan wilayah kerja Puskesmas

Tanjung Medan Kecamatan Kampung Rakyat. Tidak semua masyarakat ikut serta pada SDJ tersebut, dari 500 orang masyarakat yang diundang, hanya 198 orang yang hadir pada kegiatan SDJ tersebut. Fenomena ini menunjukkan kurangnya partisipasi

dari masyarakat setempat terhadap kegiatan SDJ tersebut. Bahkan SDJ yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Medan batal dilakukan karena tidak

satu orangpun masyarakat yang telah diundang, bersedia datang untuk diperiksa darahnya. SDJ yang dilakukan di desa Mandalasena didapatkan hasil 1 sampel positif mengandung mikrofilaria. Hasil ini bermakna bahwa sudah ada sumber penularan

filariasis di desa tersebut.

Sebagai salah satu penyakit menular di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, maka

penyakit filariasis sangat memerlukan perhatian khusus dalam pencegahan dan pemberantasannya. Di samping itu, Program Eliminasi Filariasis sudah ditetapkan oleh WHO sebagai Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis tahun 2020 (The Global

Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year

2020). Pemerintah sendiri telah menetapkan Program Pencegahan dan Pemberantasan

Penyakit Filariasis sebagai salah satu kewenangan wajib pemerintah daerah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/2003 tentang Standart Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit

(35)

tercapainya kabupaten/kota eliminasi filariasis (apabila hasil evaluasi tahun kelima

pengobatan massal menunjukkan microfilaria rate < 1%) dan kasus klinis yang ditangani per tahun > 90%. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit

Kaki Gajah), diharapkan pada tahun 2014 semua kabupaten/kota endemis filariasis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik minat peneliti untuk menganalisis bagaimana Kebijakan Program Eliminasi Filariasis diimplementasikan. Kebijakan yang diteliti terutama difokuskan pada Implementasi Pelaksanaan POMP

Filariasis.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

a) Apa bentuk kebijakan yang dilaksanakan dalam rangka eliminasi filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ?

b) Bagaimanakah implementasi pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ?

(36)

d) Adakah faktor-faktor pendukung dalam mengimplementasikan pelaksanaan

POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan implementasi kebijakan

Program Eliminasi Filariasis khususnya implementasi pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

a) Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dalam mengeliminasi filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. b) Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dalam mengimplementasikan Kebijakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

c) Sebagai bahan masukan bagi petugas puskesmas dalam melaksanakan

Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

d) Sebagai tambahan informasi dan referensi tentang filariasis sehingga

(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan

2.1.1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan/kepemimpinan dan cara bertindak (Balai Pustaka, 2007). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, 2008),

kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan

tersebut. Menurut Titmuss (1974) (Edi Suharto,2008), kebijakan adalah prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang

dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu

sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Anderson

(38)

2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Chief J.O (1981) (Abdul Wahab, 2005), kebijakan publik adalah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang saling berkaitan yang memengaruhi sebagian besar

warga masyarakat. Menurut Nugroho (2008), kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan

tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan Publik adalah strategi untuk mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino, 2006) sebagai

“otoritas” dalam sistem politik yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat, para raja, dan sebagainya.” Selanjutnya Easton menyebutkan bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam

sistem politik dalam rangka memformulasikan kebijakan publik itu adalah orang-orang yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung

jawab dalam suatu masalah tertentu di mana pada satu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari yang diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.

2.1.3. Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik

Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William N.Dunn, (2003)

(39)

a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.

Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan

alokasi sumber daya publik yang lebih dari pada isu lain. Dalam agendasetting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai

masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau

akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William N.Dunn (1999), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun

penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

b. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu

(40)

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil

untuk memecahkan masalah. c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar

pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus

percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah harus didukung. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini, warga negara belajar untuk mendukung pemerintah.

d. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. e. Penilaian / Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut

estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.

Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan program-program yang

(41)

2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dalam proses kebijakan.

Beberapa definisi implementasi kebijakan yang dirangkum oleh Agustino (2006) adalah sebagai berikut :

a. Bardach (Agustino, 2006:54)

Implementasi kebijakan adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi

merumuskannya dalam kata–kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya,

dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan orang. b. Metter dan Horn (1975) (Agustino, 2006:139)

Implementasi kebijakan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh

individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijakan.

c. Mazmanian dan Sabatier (1983:61) (Agustino, 2006:139)

Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,

biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan

(42)

menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara

untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan menyangkut minimal tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran

kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil kegiatan (Agustino,2008). Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh

Lester dan Stewart (2000) (Agustino, 2006), bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu

tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor dan masing-masing variabel atau faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperdalam pemahaman kita terhadap variabel atau faktor apa saja

yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, maka berikut ini dipaparkan beberapa teori implementasi menurut Subarsono (2009) :

a. Teori George C.Edward III (1980)

Menurut George C. Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya,

birokrasi, komunikasi, dan disposisi. (Subarsono,2009).

(43)

a.1Faktor Sumber Daya

Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun dibutuhkan kejelasan dan konsistensi dalam menjalankan suatu kebijakan dari pelaksana (implementor) kebijakan. Jika para personil yang

mengimplementasikan kebijakan kurang bertanggung jawab dan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka

implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Menurut Winarno (2002), sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan yang efektif terdiri dari :

a.1.1 Staf

Sumber daya manusia pelaksana kebijakan, dimana sumber daya manusia

tersebut memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah

cukup dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang banyak

tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak memiliki ketrampilan yang memadai. Di sisi lain kurangnya personil yang memiliki ketrampilan juga akan menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut.

a.1.2 Kewenangan

Kewenangan dalam sumber daya adalah kewenangan yang dimiliki oleh

(44)

ditetapkan. Kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah

kewenangan setiap pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang diamanatkan dalam suatu kebijakan.

a.1.3 Informasi

Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi kebijakan. Informasi dalam sumber daya adalah informasi yang dimiliki oleh sumber

daya manusia untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Informasi untuk melaksanakan kebijakan di sini adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan atau pesan, pedoman, petunjuk dan tata cara

pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan. a.1.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana adalah semua yang tersedia demi terselenggaranya pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung.

a.2 Faktor Komunikasi

Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang

menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah dalam

pelaksanaan kebijakan sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada yang dirugikan.

(45)

dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu

hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.

Menurut Ernawati (2009), komunikasi adalah proses penyampaian pesan/berita dari seseorang ke orang lain sehingga antara kedua belah pihak terjadi

adanya saling pengertian. Komunikasi merupakan keterampilan manajemen yang sering digunakan dan sering disebut sebagai suatu kemampuan yang sangat

bertanggungjawab bagi keberhasilan seseorang, hal ini sangat penting sehingga orang-orang sepenuhnya tahu bagaimana cara berkomunikasi.

Menurut Widjaja (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi

terdiri dari :

a.2.1.1Sumber Pesan

Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri.

a.2.1.2Komunikator

Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain, yang meliputi penampilan, penguasaan masalah dan penguasaan bahasa.

a.2.1.3Komunikan

Adalah orang yang menerima pesan. a.2.1.4Pesan

Adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator, dimana pesan ini mempunyai pesan yang sebenarnya menjadi pengarah dalam usaha

(46)

yang terdapat dalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan

(informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum, jelas, gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan komunikan).

a.2.1.5Media

Adalah sarana yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar

dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum dan media massa. a.2.1.6Efek

Adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni apabila sikap dan tingkah

laku orang lain itu sesuai, maka komunikasi dianggap berhasil dan demikian sebaliknya.

Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain untuk memberikan informasi, baik kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan

persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang akan dilakukan, mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja serta dapat

dijadikan untuk menjaga pintu keluar masuk dengan pihak-pihak luar organisasi. (Umar,2002).

Arah komunikasi di dalam suatu organisasi menurut Umar (2002) antara lain :

a.2.2.1Komunikasi ke bawah, yaitu dari atasan ke bawahan, yang dapat berupa pengarahan, perintah, indoktrinasi maupun evaluasi. Medianya

(47)

a.2.2.2Komunikasi ke atas, yaitu komunikasi dari bawahan ke atasan. Fungsi

utamanya adalah mencari dan mendapatkan informasi tentang aktivitas-aktivitas dan keputusan-keputusan yang meliputi laporan pelaksanaan kerja, saran serta rekomendasi, usulan anggaran, pendapat-pendapat,

keluhan-keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya adalah laporan baik secara tertulis atau nota dinas.

a.2.2.3Komunikasi ke samping, yaitu komunikasi antar anggota organisasi

yang setingkat. Fungsi utamanya adalah melakukan kerja sama dan proaktif pada tingkat mereka sendiri, di dalam bagian, luar atau antar bagian lain yang

bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah maupun menceritakan pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaannya.

a.2.2.4Komunikasi ke luar, yaitu komunikasi antara organisasi dan pihak luar, misalnya dengan pelanggan dan masyarakat pada umumnya. Organisasi berkomunikasi dengan pihak luar dapat melalui bagian Public Relations atau

media iklan lain.

Menurut Cummings (Umar,2002), dalam berkomunikasi ada caranya tersendiri.

Untuk mengkomunikasiskan ke bawah, hal-hal pokok yang perlu dikuasai oleh atasan adalah :

a.2.3.1Memberikan perhatian penuh kepada bawahan.

a.2.3.2Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. a.2.3.3Mendengarkan dengan umpan balik.

(48)

a.2.3.5Menghindari kesan memberikan persetujuan maupun penolakan.

Untuk berkomunikasi ke atas, bawahan dapat melakukan cara-cara berkomunikasi berikut ini :

a.2.4.1Melaporkan segera setiap perubahan yang dihadapi.

a.2.4.2Menyusun informasi sebelum dilaporkan.

a.2.4.3Memberikan keterangan selengkapnya jika atasan memiliki waktu.

a.2.4.4Mengajukan fakta bukan perkiraan.

a.2.4.5Melaporkan juga perihal sikap, produktifitas, moral kerja atau persoalan khusus yang dihadapi bawahan.

a.2.4.6Menghindari penyebaran informasi yang salah.

a.2.4.7Meminta nasehat kepada atasan mengenai cara-cara yang sulit diatasi

sendiri oleh bawahan.

Secara umum George C.Edward III membahas tiga hal yang penting dalam proses komunikasi kebijakan (Winarno,B,2002) yaitu :

a.2.5.1Transmisi adalah mereka yang melaksanakan keputusan, harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Keputusan dan perintah harus diteruskan kepada

personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah itu diikuti. Komunikasi harus akurat dan mudah dimengerti. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran (target) sehingga akan

(49)

a.2.5.2Kejelasan

Jika kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana, akan tetapi komunikasi harus jelas juga. Ketidakjelasan pesan

komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan dan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin

bertentangan dengan makna pesan awal. a.2.5.3Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka

perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah-perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur

kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankaan tugasnya dengan baik.

a.3Faktor Disposisi (sikap)

Disposisi diartikan sebagai sikap para implementor untuk

mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan menurut George C.Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan dan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk

(50)

Disposisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Subarsono (2005) adalah

watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, sifat demokratis. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses

implementasi kebijakan tidak efektif. Disposisi oleh implementor ini mencakup tiga hal penting yaitu :

a.3.1.1 Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.

a.3.1.2 Kognisi, yaitu pemahaman para implementor terhadap

kebijakan yang dilaksanakan.

a.3.1.3 Intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang

dimiliki oleh setiap implementor. a.4Faktor Struktur Birokrasi

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan

sudah mencukupi dan para implementor telah mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk

melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang.

Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan

(51)

Menurut George C.Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat

mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan Standard Operating Prosedure (SOP) dan melaksanakan fragmentasi.

a.4.1 Standard Operating Prosedure (SOP) adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk

melaksanakan berbagai kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan

menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas

organisasi tidak fleksibel.

a.4.2 Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan- kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit.

b. Teori Merilee S. Grindle (1980)

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S.Grindle (Wibawa,1994) yang

menjelaskan bahwa implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan dan lingkungan (konteks) implementasi, kedua hal tersebut harus didukung oleh program aksi dan proyek individu yang didesain dan dibiayai berdasarkan tujuan

(52)

oleh masyarakat terhadap kebijakan yang terlaksana. Variabel isi kebijakan menurut

Grindle mencakup beberapa indikator yaitu :

b.1.1 Kepentingan kelompok sasaran atau target group yang termuat dalam isi kebijakan.

b.1.2 Jenis manfaat yang diterima oleh target group.

b.1.3 Derajat perubahan yang diharapkan dari sebuah kebijakan.

b.1.4 Letak pengambilan keputusan.

b.1.5 Pelaksana program telah disebutkan dengan rinci. b.1.6 Dukungan oleh sumber daya yang dilibatkan.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup 3 indikator yaitu :

b.2.1 Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para

aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. b.2.2 Karakteristik lembaga dan rejim yang sedang berkuasa. b.2.3 Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh

karenanya, tinggi-rendahnya intensitas berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya ) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.

c. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Menurut Meter dan Horn, ada 6 variabel yang memengaruhi kinerja implementasi

(53)

c.1 Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan.

c.2 Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non manusia (non human resources).

c.3 Hubungan Antar Organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain.

c.4 Karakteristik Agen Pelaksana

Karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma

dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi kemauan untuk melaksanakan kebijakan dan intensitas disposisi implementor yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

d. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining

Dalam pandangan Weimer dan Vining ada tiga kelompok variabel besar yang

dapat memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program yaitu : d.1Logika dari suatu Kebijakan

Ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat

dukungan teoritis.

d.2Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan memengaruhi

(54)

ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam dan fisik atau

geografis.

d.3Kemampuan Implementor

Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan

ketrampilan dari implementor kebijakan.

2.1.6. Analisa Kebijakan Publik

Analisa kebijakan adalah aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan proses pembuatan kebijakan. Disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan

mentransformasikan informasi yang policy relevant untuk memecahkan masalah kebijakan (Dunn,2003). Menurut William N.Dunn bentuk analisa kebijakan adalah

sebagai berikut :

a. Analisa kebijakan prospektif yaitu bentuk analisa yang mengarahkan sebelum aksi kebijakan mulai diimplementasikan. Bentuk ini melibatkan teknik-teknik

peramalan untuk memprediksikan kemungkinan yang timbul akibat kebijakan yang akan dilaksanakan.

b. Analisa kebijakan retrospektif yaitu bentuk analisa yang menjelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Bentuk ini bersifat evaluatif, karena melibatkan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang

sedang ataupun yang telah dilaksanakan.

c. Analisa kebijakan terintegrasi yaitu bentuk analisa yang mengkombinasikan gaya

(55)

informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan. Bentuk ini melibatkan teknik

peramalan maupun evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan. 2.1.7. Kebijakan Kesehatan

Kebijakan Kesehatan (Health Policy) adalah segala sesuatu untuk memengaruhi

faktor–faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994).

Sektor kesehatan merupakan bagian penting dari perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan digambarkan sebagai spons

yang dapat menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Ada juga yang berpendapat bahwa sektor kesehatan merupakan

pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi biomedis serta produksi dan penjualan obat-obatan. Sebagian masyarakat selalu mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien dengan memanfaatkan rumah sakit,

klinik atau apotik, begitu juga dengan profesi kesehatan. Kesehatan juga dipengaruhi oleh masalah sosial lainnya seperti kemiskinan. Karena pengambilan keputusan

kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, maka masalah kesehatan ditempatkan pada posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial lainnya.

2.1.8 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan

(56)

a. Faktor Situasional

Faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh: kekeringan)

b. Faktor Struktural

Faktor ini meliputi :

b.1 Sistem politik yaitu mencakup keterbukaan sistem dan kesempatan bagi

warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan (contohnya : warga masyarakat diminta pendapatnya tentang kebijakan BBM bersubsidi).

b.2 Bidang ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja (contohnya : negara dapat memindahkan tenaga profesional ke daerah yang kurang tenaga).

b.3 Kondisi demografi atau kemajuan teknologi (contohnya : akibat kemajuan te

Gambar

Tabel 1.1. Jumlah Kasus Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan  Tahun 2008 s/d 2012
Tabel 1.1. (Lanjutan)
Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan
Gambar 2.2 Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota
+7

Referensi

Dokumen terkait

Informan dalam penelitian ini terdiri dari 19 orang yaitu bidan puskesmas, Kepala Bidang Anak dan Remaja Dinas kesehatan Tegal, Kepala Puskesmas, Bidan Koordinator

Dari 10 kabupaten dan 2 kota yang terdapat di Provinsi Riau, baru Kota Dumai dan Kabupaten Pelalawan yang sudah berhasil melaksanakan POMP filariasis selama 5 tahun berturut-turut

Pada pengorganisasian di kabupaten/kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota merupakan pengendali utama program eliminasi filariasis di tingkat kabupaten/kota yang mempunyai tugas

Informan dalam penelitian ini berjumlah 11 orang, yang terdiri dari 1 informan petugas Dinas Kesehatan Kota Medan, 1 informan kepala Puskesmas Medan Deli, 1

Hal ini dikarenakan kurang lengkapnya informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan mengenai obat filariasis, masyarakat merasa langsung disuruh minum tanpa ada

4.3.14 Pernyataan Informan tentang Pemberian Obat Kepada Penduduk yang Tidak Hadir dalam Pelaksanaan POMP Filariasis ...83 4.3.15 Pernyataan Informan tentang Pencatatan

▪ Petugas Puskesmas terlihat memberikan pengarahan pada kader pada saat pelaksanaan pembagian obat filariasis. ▪ Terlihat kader tidak didampingi oleh petugas kesehatan

Lebih lanjut wawancara oleh “JM” informan, terkait proses pelaksanaan PKH khususnya bidang kesehatan di Kabupaten Takalar menjelaskan sebagai berikut: “ Petugas dari PKH yang