• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MIGRASI SIRKULER TERHADAP POLA JAM KERJA PETANI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ANAK

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan migrasi sirkuler yang dilakukan oleh para petani berpengaruh terhadap curahan waktu kerja mereka dalam kegiatan bertani di desa, sehingga hal tersebut merubah pola jam kerja petani yang lebih dominan terhadap kegiatan non pertanian. Pengaruh kegiatan migrasi sirkuler tersebut ternyata juga membawa dampak positif terhadap tingkat pendidikan anak dalam rumah tangga petani. Hal tersebut membuat tingkat pendidikan anak meningkat dibandingkan dengan para petani yang tidak melakukan migrasi sirkuler. Pada bab ini akan dibahas lebih rinci mengenai pengaruh migrasi terhadap tingkat pendidikan anak dan pola jam kerja petani.

Pola Jam Kerja Petani

Kegiatan migrasi sirkuler yang dilakukan oleh para migran mau tidak mau mempengaruhi pola jam kerja petani yang sejatinya merupakan profesi utama mereka saat berada di desa. Berdasarkan pekerjaan kepala keluarga (KK) yang dibedakan saat berada di desa dan saat berada di tempat tujuan migrasi, maka pembahasan berikut adalah struktur curahan waktu kerja KK yang bekerja pada rumah tangga petani migran dan non migran. Pada tabel 16 ditampilkan curahan waktu kerja KK dalam rumah tangga petani pada berbagai kegiatan ekonomi. Tabel 14 Rata-rata curahan jam kerja kepala keluarga (KK) dalam kegiatan

mencari nafkah di bidang pertanian dan non pertanian menurut status KK pada rumah tangga petani migran dan non migran

Jenis Kegiatan

Jumlah Jam Kerja/1x Musim KK RT Petani

Migran

KK RT Petani Non Migran Rataan Curahan Jam Kerja

Pertanian Responden Jam % Jam %

Di Lahan Sawah Milik Sendiri 0 0 805 25,95

Di Lahan Sawah Non Milik Sendiri 161 3,18 541 17,44

Buruh tani Sawah 155 3,07 983 31,69

Jumlah 316 6,25 2329 75,08

Rataan Curahan Jam Kerja Non Pertanian Responden

Karyawan 1000 19,78 0 0

Pedagang 1055 21,76 450 14,51

Buruh Pabrik 942 18,64 0 0

Buruh Bangunan 830 16,42 323 10,41

Pengumpul Barang Bekas 867 17,15 0 0

Jumlah 4694 93,75 773 24,92

Tabel 14 menunjukkan bahwa secara umum curahan waktu kerja di sektor non pertanian lebih besar dibandingkan dengan curahan waktu kerja di sektor pertanian untuk kepala keluarga dalam rumah tangga petani yang melakukan migrasi sirkuler. Penyerapan waktu kerja di sektor non pertanian mencapai 93,75% bila dibandingkan di sektor pertanian yang hanya mencapai 6,25%. Hal ini dapat terjadi mengingat, kepala keluarga petani migran membagi waktu kerjanya di tempat tujuan migrasi selain menjadi petani di desa asalnya. Fenomena ini juga menggambarkan bahwa adanya kesempatan kerja di sektor pertanian yang bersifat musiman, menyebabkan terjadinya mobilisasi tenaga kerja ke sektor non pertanian dan dijadikan sebagai mata pencaharian lain bagi para buruh tani meskipun dengan keahlian yang minim.

Curahan waktu kerja di sektor pertanian, lebih banyak dicurahkan oleh kelompok responden non migran. Penyerapan curahan waktu kerja yang dilakukan oleh kempok responden non migran di sektor pertanian ini mencapai 75,08% dibandingkan dengan sektor non pertanian yang hanya 24,92%. Hal ini dapat terjadi karena kelompok ini masih mengutamakan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama mereka, sehingga waktu kerja mereka dihabiskan untuk pergi bertani ke lahan sawah. Alokasi curahaan waktu kerja dalam sektor pertanian baik pada lahan milik sendiri, lahan non milik sendiri maupun pada kegiatan berburuh tani masih mengandalkan lahan sawah sebagai tempat bekerja, hal ini membuktikan bahwa lahan sawah di pedesaan masih memegang peranan penting sebagai sumber mata pencaharian sekaligus sumber pendapatan pada masyarakat desa. Curahan waktu kerja rumah tangga buruh tani didominasi oleh kegiatan berburuh dan pada rumah tangga petani tercurah pada lahan milik sendiri. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari distribusi penguasaan lahan. Tingginya curahan waktu kerja rumah tangga buruh tani dibandingkan dengan rumah tangga petani juga menunjukkan bahwa kegiatan berburuh masih dapat dijadikan sumber mata pencaharian dalam kegiatan mencari nafkah di Desa Pamanukan Hilir.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara rataan, alokasi waktu kerja pada rumah tangga petani migran lebih dominan di sektor non pertanian, sedangkan pada rumah tangga petani non migran lebih banyak tercurah pada sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan mulai terjadinya perubahan pola jam kerja pada rumah tangga petani migran karena yang mulai mengutamakan pekerjaan di sektor non pertanian sebagai mata pencaharian utama selain sektor pertanian. Namun, jika dilihat secara keseluruhan, alokasi waktu kerja di sektor pertanian masih merupakan yang terbesar. Hal ini sesuai dengan gambaran secara makro bahwa peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja ternyata cukup tinggi. Fenomena yang menunjukkan bahwa secara rata-rata produktivitas tenaga kerja pada sektor pertanian di atas sektor non pertanian memang membuat Desa Pamanukan Hilir memiliki sumber PDDKB yang paling besar berasal dari hasil produksi sektor pertanian, yakni sebesar Rp.1,3 Miliar per tahunnya.

Tingkat Pendidikan Anak

Bagi para orang tua yang bekerja di sektor pertanian, memberikan pendidikan anak yang mendasar kurang begitu diminati. Penyebab kurang minatnya mengenyam pendidikan pada masyarakat petani dikarenakan sebagian

besar dari mereka memiliki pandangan bahwa pendidikan di sekolah belum atau tidak mampu menjamin kehidupan yang akan datang. Pandangan lainnya beranggapan bahwa pendidikan tidak akan pernah memiliki kemampuan untuk mempertahankan tradisi bertani yang mereka jalani. Pandangan terakhir selalu beranggapan bahwa biaya pendidikan tidaklah murah, sehingga masyarakat petani enggan memberikan pendidikan anaknya yang tinggi. Pentingnya memberikan pendidikan anak bagi masyarakat petani salah satunya agar dapat mengembangkan potensi anak yang akan dipakai di masa mendatang untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Oleh karena itu, peranan orang tua sangat menentukan, khususnya pola pikir orang tua terhadap masa depan anaknya. Orang tua memiliki peranan penting dalam pengembangan karakter, kualitas pendidikan dan tenaga kerja yang sesuai dengan tuntutan kesempatan yang ada. Dengan demikian orang tua harus memberikan pendidikan formal terhadap anaknya semenjak masuk pada usia sekolah mereka.

Tingkat pendidikan yang akan dibahas dalam hal ini lebih mengacu pada aspirasi orang tua dalam hal kemampuan menyekolahkan anak sampai pendidikan tertinggi berdasarkan kondisi sosial ekonomi yang melekat pada rumah tangga saat ini. Artinya dalam hal ini merupakan suatu persiapan orang tua yang akan dilaksanakan nanti dalam jenjang pendidikan untuk anak. Oleh karena itu jawaban dari responden harus didasarkan pada keyakinan, bukan hanya keinginan semata orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Jika keingingan semata maka jawaban dari setiap responden akan sama yakni mencapai pendidikan setinggi-tingginya. Dalam kasus ini responden yang merupakan orang tua diminta untuk menyampaikan kesiapannya untuk menyekolahkan anaknya berdasarkan kondisi rumah tangga yang sebenarnya. Peneliti dalam hal ini mencoba memisahkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul pada masa mendatang. Karena peneliti menyadari akan ada kemungkinan-kemungkinan yang berbeda jika didasarkan pada faktor lain seperti biaya pendidikan yang meninggi, kemamuan anak untuk mau atau tidak mau melanjutkan sekolah sampai jenjang yang tinggi, keberuntungan atau sukses di masa mendatang, mengalami kendala dalam bekerja di kota maupun di desa, memperoleh beasiswa sekolah dan faktor lain yang mungkin mengubah kemampuan ini.

Kemampuan Mencapai Tingkat Pendidikan Anak Saat Ini

Kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak saat ini merupakan kemampuan responden untuk memberikan pendidikan anak yang terjadi saat ini atau saat peneliti mengambil data di tempat penelitian. Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat kemampuan responden untuk menyekolahkan anak saat ini baik itu dari rumah tangga migran maupun non migran masih didominasi pada tingkat SD/sederajat. Hal ini terjadi karena mayoritas responden dalam penelitian ini merupakan rumah tangga baru yang masih memiliki anak dengan usia 6 sampai 13 tahun. Kemampuan responden untuk menyekolahkan anak pada tingkat SMP dan SMA baik pada rumah tangga petani migran dan non migran jumlahnya relatif hampir sama yang menandakan bahwa menyekolahkan anak sampai tersebut saat ini masih dirasa mampu bagi sebagian responden. Selain itu terdapat juga responden pada rumah tangga petani non migran yang saat ini sedang menyekolahkan anaknya sampai tingkat sajana.

Tabel 15 Perbedaan kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak saat ini antara rumah tangga petani migran dan non migran, Desa Pamanukan Hilir, 2014

Kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak saat ini

RT Migran RT Non Migran

Jumlah % Jumlah % SD/sederajat 15 50 11 36,67 SMP/sederajat 8 26,67 9 30 SMA/SMK/sederajat 7 23,33 6 20 Sarjana 0 0 4 13,33 Jumlah 30 100 30 100

Berdasarkan uji statistik pada X2 hitung = 4,751 < X2a (7,82) dan taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak saat ini antara rumah tangga petani migran sirkuler dengan petani bukan migran sirkuler tidak berbeda nyata.

Kemampuan Mencapai Tingkat Pendidikan Anak Masa Mendatang

Kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak masa mendatang merupakan aspirasi responden untuk memberikan pendidikan anak setinggi-tingginya pada masa mendatang dengan memperhitungkan kondisi sosial ekonomi yang melekat pada rumah tangga saat ini. Kemampuan untuk menyekolahkan anak pada masa mendatang setiap responden berbeda-beda karena hal ini juga menyangkut pada motivasi orangtua dalam menyekolahkan anaknya, seperti petikan wawancara dari salah satu responden pada rumah tangga petani migran berikut ini:

“Saya maunya anak nanti di sekolahin sampai tingkat SMK aja, itu

juga udah Alhamdulillah, saya belum pernah terpikir bakalan nyekolahin anak sampe kuliah nanti karena kondisi ekonomi saya yang seperti ini. Anak saya juga maunya langsung kerja buat bantu- bantu orang tua katanya” (Si/32 Tahun)

Tabel 16 Perbedaan kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak masa mendatang antara rumah tangga petani migran dan non migran, Desa Pamanukan Hilir, 2014

Kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak masa mendatang

RT Migran RT Non Migran

Jumlah % Jumlah %

Sampai tingkat SMP/sederajat 5 16,67 14 46,67

Sampai tingkat SMA/SMK/sederajat 24 80 10 33,33

Sampai tingkat Akademi/Diploma 1 3,33 2 6,67

Sampai tingkat Sarjana 0 0 3 10

Sampai tingkat Pascasarjana 0 0 1 3,33

Tabel 15 menunjukkan bahwa pada rumah tangga petani migran masih terdapat lima responden yang mengatakan hanya sanggup memberikan pendidikan anaknya sampai tingkat SMP/sederajat saja. Selain itu, juga terdapat satu responden yang yakin bahwa dapat memberikan pendidikan anaknya sampai jenjang Akademi/Diploma. Tingkat pendidikan SMA/sederajat menjadi jawaban mayoritas dari rumah tangga migran dalam hal kemampuan menyekolahkan anak setinggi-tingginya sebanyak 24 responden atau 80% dari total responden yang diwawancarai. Hal ini mengingat bahwa rumah tangga petani migran mempunyai pendapatan yang lebih dari hasil bekerja di kota. Hasil dari migrasi tersebut digunakan untuk membiayai anaknya sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Sementara pada rumah tangga petani non migran, orangtua yang masih mengandalkan pendapatannya dari buruh tani hanya sanggup menyekolahkan anak sampai tingkat SMP/sederajat saja. Sebanyak 14 (46,67%) responden menilai bahwa menyekolahkan anak sampai tingkat SMP/sederajat merupakan hal yang dirasa sesuai dengan kondisi perekonomian rumah tangga mereka. Pendidikan sampai tingkat SMP/sederajat juga sudah merupakan program wajib belajar sembilan tahun dari pemerintah, sehingga mereka berpikir hanya untuk menuntaskan wajib belajar anaknya saja. Lalu menyekolahkan anak sampai tingkat SMA/sederajat juga terhitung cukup banyak jumlahnya sebanyak 10 (33,33%). Hanya sedikit yang ingin menyekolahkan anaknya sampai tingkat Akademi/Diploma dan Sarjana, bahkan terdapat responden yang yakin akan memberikan anaknya pendidikan sampai jenjang Pascasarjana nanti. Hal itu karena yang sanggup menyekolahkan anaknya sampai tingkat tersebut merupakan petani yang memiliki lahan besar di Desa Pamanukan Hilir.

Berdasarkan uji statistik pada X2 hitung = 14,361 > X2a (7,82) pada taraf

nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan mencapai tingkat pendidikan anak masa mendatang antara rumah tangga petani migran sirkuler dengan petani bukan migran sirkuler berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan motivasi antara rumah tangga petani migran dengan non migran. Rumah tangga petani migran memiliki motivasi yang lebih tinggi dibanding rumah tangga non migran untuk menyekolahkan anak sampai tingkat tertinggi yang mereka rasa mampu untuk dicapai karena memiliki pendapatan tambahan dari hasil bermigrasi mereka.

Dokumen terkait