BAB 5. PEMBAHASAN
5.2. Pengaruh Peran Petugas Kesehatan terhadap Kesiapan
5.2.1 Pengaruh Peran Petugas Sebagai Motivator terhadap Kesiapan Wanita Pra Menopause Dalam Menghadapi Menopause
Hasil analisa statistik dengan uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel motivator berpengaruh terhadap kesiapan wanita menopause dalam menghadapi keluhan menopause (p = 0,0001 < 0,05). Wanita yang mengatakan bahwa petugas kesehatan merupakan motivator yang baik maka akan lebih siap
mental menghadapi menopause, sebaliknya wanita yang mengatakan bahwa petugas kesehatan kurang baik sebagai motivator maka kurang siap mental menghadapi menopause.
Hasil penelitian Rijanto (2011), mendapatkan hasil bahwa petugas kesehatan yang menjadi motivator dengan baik akan meningkatkan kesiapan ibu menghadapi menopause, sedangkan petugas kesehatan yang menjadi motivator kurang baik menyebabkan ibu tidak siap menghadapi menopause (p= 0,002 <0,05).
Petugas puskesmas kurang memberikan dukungan atau motivasi bagi wanita menopause dalam menghadapi keluhan menopausenya, hal ini diketahui dari hasil peran petugas yang masih kurang sebagai motivator sebanyak 68%. Kurangnya peran petugas sebagai motivator disebabkan karena kurangnya kesempatan petugas untuk memberikan dukungan bagi wanita menopause, hal ini disebabkan karena waktu pemeriksaan yang tidak sesuai dengan jumlah pasien yang banyak serta jumlah petugas yang tidak sesuai dengan jumlah pasien. Petugas tidak sempat menyarankan pada wanita menopause untuk mengontrol berat badannya serta memeriksakan diri secara berkala, sehingga wanita menopause kurang mengerti tentang komplikasi yang akan timbul pada masa menopause akibat berat badan yang tidak terkontrol. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Chair dkk (2005) bahwa sebagai motivator, petugas kesehatan dalam menangani wanita menopause dapat berupa penawaran dukungan berupa mengidentifikasi masalah kardiovaskuler, masalah kontinensia, masalah makanan, masalah gaya hidup, masalah osteoporosis dan lain-lain.
Petugas beranggapan bahwa setiap wanita pasti akan memasuki usia menopause, dan hal itu tidak akan menjadi masalah bagi kehidupan seorang wanita menopause. Tetapi dari hasil penelusuran jawaban responden wanita menopause selalu beranggapan bahwa dengan berhentinya siklus menstruasi dirasakan sebagai hilangnya sifat inti kewanitaanya karena sudah tidak dapat melahirkan anak lagi. Akibat yang lebih jauh lagi adalah timbulnya perasaan tak berharga, tidak berarti dalam hidup sehingga muncul rasa khawatir akan adanya kemungkinan bahwa orang- orang yang dicintainya akan berpaling dan meninggalkannya. Perasaan itulah yang seringkali dirasakan wanita pada masa menopause, sehingga sering menimbulkan kecemasan.
Dukungan petugas merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal yang melindungi dari efek stress yang buruk. Sebab petugas kesehatan dianggap sebagai sumber informasi yang baik untuk mengetahui kondisi kesehatan wanita menopause. Dilihat dari hasil penelitian ini terlihat bahwa banyak responden yang menyatakan bahwa petugas kesehatan sebagai motivator kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang peran petugas sebagai motivator, bahwa petugas kesehatan tidak bersedia memberikan penjelasan dengan detail mengenai menopause, petugas kesehatan tidak memberitahukan bahwa menopause adalah fase normal pada kehidupan wanita, petugas tidak memberitahukan bahwa saat menopause wanita tidak akan kehilangan perhatian dari suami dan keluarga, petugas kesehatan tidak mengingatkan responden untuk menjaga kesehatan saat menopause, petugas kesehatan tidak memberitahukan bahwa saat
menopause, kulit akan kendur ataupun berat badan bertambah merupakan hal yang normal bagi wanita menopause, petugas kesehatan kurang siap menerima keluhan wanita yang akan menghadapi menopause, dan petugas kesehatan tidak mengingatkan bahwa pada saat menopause, emosi wanita yang tidak menentu adalah merupakan hal yang normal.
5.2.2 Pengaruh Peran Petugas Sebagai Edukator terhadap Kesiapan Wanita Pra Menopause Dalam Menghadapi Menopause
Hasil analisis statistik dengan uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel edukator berpengaruh terhadap kesiapan wanita menopause dalam menghadapi keluhan menopause (p=0,0001 < 0,05). Wanita yang mengatakan bahwa petugas kesehatan merupakan edukator yang baik maka akan lebih siap menghadapi menopause, sebaliknya wanita yang mengatakan bahwa petugas kesehatan tidak baik sebagai edukator maka kurang siap menghadapi menopause.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Soedirham dkk, (2008) di Surabaya, mendapatkan hasil bahwa peran petugas kesehatan sebagai edukator berpengaruh terhadap kesiapan wanita pra-menopause dalam menghadapi menopause (p=0,001). Semakin baik peran petugas kesehatan sebagai edukator maka wanita pra- menopause tersebut juga semakin siap.
Peran petugas sebagai edukator paling banyak dalam kategori kurang baik yaitu 5%. Berdasarkan hasil penelusuran dari jawaban responden kurang membina hubungan dengan pasien, hal ini dilihat dari kurangnya kesediaan petugas untuk berlama-lama menanggapi setiap keluhan wanita yang mengalami menopause.
Sehingga konsultasi dengan petugas tidak selalu sesuai dengan harapan ibu. Petugas tidak menjadi konselor yang baik bagi pasien, karena tidak adanya kesiapan petugas untuk menghadapi pasien dengan berbagai sifat dan komunikasi yang berbeda-beda.
Menurut Depkes RI (2002) edukator merupakan orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman terhadap fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan- perasaan klien melalui berbagai kegiatan seperti konseling. Konseling yang diberikan agar dapat mendorong pasien untuk memahami dan mengevaluasi diri dengan berbagai pilihan dengan menunjukkan rasa perhatian sehingga pasien mampu mengambil suatu keputusan atas masalah yang dihadapi pada saat masa menopause. Petugas kesehatan yang bertugas sebagai edukator harus mempunyai keterampilan, pengalaman, kemampuan, dedikasi dan profesionalisme di bidang konseling untuk penanganan masalah menopause. Sehingga wanita menopause diharapkan untuk mampu memahami diri dan lingkungannya sehingga mampu merubah sikap dan perilaku agar masalah yang dihadapi pada masalah menopause dapat diatasi.
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa petugas kesehatan sebagai edukator dalam kategori kurang baik. Beberapa hal yang membuat responden mempunyai pendapat tersebut yaitu petugas kesehatan tidak memberikan informasi tentang menopause saat ibu berkunjung ke puskesmas, petugas kesehatan tidak memberitahukan bahwa rasa sakit saat berhubungan seksual saat menopause adalah normal, petugas kesehatan tidak memberitahukan bahwa cara hidup sehat pada wanita menopause yaitu dengan mengatur istirahat yang cukup,
petugas kesehatan tidak memberitahukan bahwa keluhan fisik dan psikis pada wanita menopause dapat diatasi dengan terapi sulih hormon, dan petugas kesehatan tidak memberitahukan bahwa perubahan-perubahan baik fisik maupun emosi yang terjadi saat menopause adalah hal yang normal.
Tidak diberitahukannya hal-hal tersebut kepada ibu, maka ibu berpendapat peran petugas kesehatan sebagai edukator kurang baik. Peran tenaga kesehatan sebagai edukator perlu dijalankan dengan baik dalam melaksanakan tugas sehari-hari, seperti selalu memberikan informasi kepada masyarakat dalam hal ini khususnya pada wanita yang memasuki menopause, dengan memberi edukasi yang benar dan tepat sehingga pengetahuan ibu meningkat, serta mempunyai kesiapan mental yang baik ketika menopause tersebut datang pada dirinya.
5.2.3 Pengaruh Peran Petugas Sebagai Fasilitator terhadap Kesiapan Wanita Pra Menopause dalam Menghadapi Menopause
Hasil analisa statistik dengan uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel fasilitator berpengaruh terhadap kesiapan wanita pra menopause dalam menghadapi menopause (p = 0,0001 < 0,05). Wanita yang mengatakan bahwa petugas kesehatan merupakan fasilitator yang baik maka akan lebih siap menghadapi menopause, sebaliknya wanita yang mengatakan bahwa petugas kesehatan tidak baik sebagai fasilitator maka kurang siap menghadapi menopause.
Hasil penelitian Rijanto dan Astalina (2011) mendapatkan hasil bahwa petugas kesehatan yang dapat menjalankan fungsi fasilitator dengan baik maka akan meningkatkan kesiapan ibu menghadapi masa menopause, sedangkan petugas yang
tidak menjalankan fungsi fasilitator dengan baik maka akan menyebabkan ibu kurang siap menghadapi menopause.
Peran petugas sebagai fasilitator mengandung pengertian membantu dan menguatkan agar wanita menopause siap menghadapi masa menopause, sehingga wanita menopause dapat menanggapi secara positif perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada dirinya. Fasilitator harus mampu mendengarkan secara aktif sehingga dapat memungkinkan untuk mengetahui apa yang terjadi dan peka terhadap perasaan dan emosi dibalik ungkapan yang disampaikan oleh wanita menopause. Sehingga setelah mengetahui keluhan yang dialami wanita menopause, maka fasilitator dapat mengambil sikap dan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh wanita menopause. Sehingga dapat memberikan pemahaman untuk dapat memilih dan menemukan tindakan dalam menghadapi menopause. Hal ini sejalan dengan penjelasan yang disampaikan dari Depkes RI (1999) bahwa petugas kesehatan berperan sebagai fasilitator bagi klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Sebagai fasilitator petugas kesehatan harus mampu menentukan kelompok sasaran sehingga dapat melakukan pemantauan dan evaluasi.
Petugas kesehatan sebagai fasilitator menyampaikan berbagai informasi dan secara jelas mengenai efek klinis dari menopause. Informasi yang disampaikan mengenai fakta dan unsur-unsur yang berkaitan dengan peningkatan kesehatan wanita menopause. Unsur-unsur yang penting menyangkut kegiatan apa saja yang harus dilakukan oleh wanita menopause guna peningkatan kesehatannya, pemilihan jenis makanan dan minimum yang baik dikonsumsi bagi kesehatan, dan himbauan
mengenai pemeriksaan secara berkala tentang kondisi kesehatan wanita menopause. Sehingga wanita menopause mengetahui pola hidup sehat yang harus diketahui dan diikuti meningkatkan kualitas hidupnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Chair dkk (2005) bahwa sebagai seorang fasilitator petugas kesehatan yang menangani wanita menopause harus mampu memfasilitasi dan menyediakan informasi tentang menopause serta keluhan yang menyertainya, terapi pilihan, dimana wanita menopause tersebut dapat mengakses terapi, skrining serviks, pemeriksaan payudara, pemeriksaan kardiovaskuler, pemeriksaan osteoporosis dan lain-lain.
Dari hasil penelitian ini, lebih banyak ibu yang mengatakan bahwa peran petugas kesehatan sebagai fasilitator dalam kategori kurang baik (58%), dibandingkan ibu yang mengatakan petugas kesehatan sebagai fasilitator dalam kategori baik (42%). Peran tenaga kesehatan sebagai fasilitator perlu dijalankan dengan maksimal agar masyarakat khususnya wanita menjelang menopause mempunyai kesiapan mental yang baik. Dari jawaban yang diberikan responden tentang peran petugas kesehatan sebagai fasilitator banyak responden yang menjawab bahwa petugas kesehatan memilih-milih orang-orang yang akan berkonsultasi atau dengan kata lain petugas kesehatan tidak menerima siapa saja yang mau berkonsultasi mengenai kesiapan ataupun bagaimana cara menghadapi masa menopause.
Sebagai petugas kesehatan seharusnya memahami tentang perannya terutama dalam menyampaikan informasi atau pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Ketiga peran di atas (motivator, edukator, fasilitator) harus bersinergi satu sama lain
dan penting diterapkan pada pelaksanaan tugas-tugas sehari-hari agar hasil yang dicapai dapat lebih maksimal. Jika ketiga peran tersebut dilaksanakan oleh seluruh petugas kesehatan maka akan meningkat derajat kesehatan masyarakat melalui pemahaman masyarakat terhadap berbagai jenis penyakit serta cara pencegahannya, ataupun permasalahan yang pasti dihadapi oleh setiap manusia seperti proses menjadi tua yang ditandai dengan menopause pada wanita.
5.2.4 Kesiapan Mental Wanita Pra Menopause
Hasil penelitian menunjukkan kesiapan mental responden kurang baik yaitu 54,7%, sedangkan yang Kurangnya kesiapan mental respon dilatarbelakangi karena kurangnya pengetahuan dan peran petugas kesehatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Indriani (2007) mendapatkan hasil tentang sikap wanita menghadapi masa klimakterium menunjukkan bahwa dari 60 orang wanita yang memasuki masa klimakterium sebagai subjek penelitian, 20 subjek dengan persentase 33% memiliki kategori tingkat pengetahuan menopause rendah yang menunjukkan bahwa kurangnya kesiapan untuk menghadapi masa menopause dan masih adanya pemahaman yang keliru tentang menopause.
Hasil penelitian Sulastri dan Badriyah (2011) diperoleh hasil bahwa responden belum siap menerima perubahan pada masa menopause sebanyak 56,6%. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Rostiana (2010), mendapatkan hasil bahwa responden sulit menghadapi masa menopause karena belum siap untuk menghadapinya dan kurangnya informasi yang didapatnya. Hal ini dapat terlihat dari gejala gangguan tidur, lebih mudah letih, cemas dan gelisah.
Banyak wanita yang tidak siap untuk menghadapi masa menopause dengan kekhawatiran yang berlebihan. Kekhawatiran ini berawal dari pemikiran seseorang bahwa dirinya akan menjadi tidak sehat, tidak bugar dan tidak cantik lagi. Padahal, masa menopause merupakan salah satu fase yang harus dijalani seorang wanita dalam kehidupannya, dan kecemasan yang mereka alami dapat menyebabkan mereka sangat sulit menjalani masa ini. Agar dapat menjalani menopause dengan baik, diperlukan kemauan diri untuk memandang hidup sebagai sebuah harapan, dan dibutuhkan pikiran yang positif dalam memandang setiap kejadian/ peristiwa yang dialami. Apabila seseorang dapat berpikir secara positif, maka mereka dapat melalui masa menopause dengan mudah. Namun sebaliknya, apabila orang tersebut berpikir negatif tentang menopause, maka keluhan-keluhan yang muncul akan semakin memberatkan hidupnya (Kasdu, 2002).
Menopause kini dipandang sebagai pertanda menjadi tua dan memudarnya kecantikan seseorang, apalagi datangnya menopause diiringi oleh perubahan- perubahan baik fisik maupun psikologis. Oleh sebab itu dibutuhkan persiapan untuk menghadapi masa menopause dengan lebih baik.
Beberapa faktor yang mempengaruhi wanita belum siap menerima perubahan pada masa menopause di antaranya: pendidikan, pengetahuan yang masih rendah, pekerjaan, sikap, agama, peran bidan, sosial budaya, dan informasi yang masih kurang. Saat wanita akan memasuki masa menopause mereka akan merasakan kegelisahan karena menganggap datangnya menopause akan menimbulkan keluhan- keluhan baik fisik maupun psikis di masa tua. Dengan kata lain mereka tidak siap
untuk menerima proses alamiah tersebut, karena sikap itulah kedatangan masa menopause dirasa mengganggu kelangsungan hidup mereka (Sulastri dan Badriyah, 2011).
Menopause merupakan proses alami yang tak dapat dihindari, tak dapat dihambat, dan sesungguhnya bukan suatu masa yang penuh derita, maka edukasi dan penjelasan yang cukup serta perawatan pada masa menopause juga diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi penyakit dan pengobatan yang salah dalam mengatasi gejala-gejala menopause. Ketidaksiapan seorang wanita dalam menghadapi perubahan pada masa menopause juga disebabkan oleh kurangnya informasi yang benar tentang menopause. Sebagian besar wanita mendapatkan pengetahuan tentang menopause dari pengalaman orang lain saja, sehingga mereka kurang mendapatkan informasi yang konkret tentang hal tersebut. Akibatnya mereka juga belum siap mental menghadapi perubahan yang terjadi baik fisik maupun psikologis.
Dari hasil penelitian ini bahwa sebanyak 54,7% ibu yang tidak siap mental menghadapi menopause. Ketidaksiapan mental tersebut disebabkan ibu kurang pengetahuan dan minimnya informasi yang diperoleh dari petugas kesehatan karena petugas kesehatan belum menjalankan perannya sebagai motivator, edukator, dan fasilitator dengan baik. Banyak responden yang tidak siap untuk menjadi tua, menjadi keriput, menjadi tidak cantik lagi, kurang diperhatikan oleh suami, kurang siap menghadapi gejala-gejala yang menyertai menopause seperti hot flush (rasa panas di wajah), badan pegal-pegal, dan lain-lain.
Kesiapan mental yang baik harus dimiliki oleh wanita yang memasuki usia menopause untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi masa tersebut dengan cara yang lebih baik, artinya segala perubahan yang dialami baik fisik maupun psikologis dapat lebih diterima secara bijaksana. Oleh sebab itu, ketika wanita tersebut memasuki menopause harus bisa menerapkan hal-hal yang berkaitan tentang menopause, misalnya perawatan pada masa menopause, sehingga setiap wanita dapat menjalani hari-harinya dengan hidup yang lebih berkualitas.