• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam

Dalam dokumen Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da (Halaman 122-142)

BAB 6. PEMBAHASAN

6.1. Pembahasan Hasil Penelitian

6.1.1. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam

Hasil pengujian pengaruh dari proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir (variabel X1) terhadap perilaku ekonomi keluarga karir (variabel Y1) berdasarkan uji statistik menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F sebesar 3,158 dengan probabilitas signifikansi (ρ ) = 0,089 pada df. n-1 = 25. Nilai ρ yang lebih besar daripada taraf signifikansi yang ditentukan, yaitu α 0.05 mengindikasikan bahwa pengaruhnya

signifikan.

Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi keluarga karir dapat diterima. Besarnya nilai estimasi (t) sebesar 1,777 dengan sig. = 0,089 menunjukkan besarnya perubahan perilaku

ekonomi keluarga karir (Y1) yang disebabkan oleh perubahan variabel proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir (X1) dengan asumsi variabel yang lain konstan.

Dilihat dari kondisi responden, sebagian besar keluarga karir dalam pengambilan keputusan untuk pembelian atau pengkonsumsian barang dan jasa dilakukan secara rasional, dalam arti hal-hal yang terkait langsung dengan

pengasuhan anak maupun kebutuhan seluruh anggota keluarga “sering sekali”

diputuskan bersama suami dan istri, tetapi untuk kebutuhan suami atau istri

sendiri “jarang” atau “jarang sekali” diputuskan bersama. Hal ini dapat terlihat

pada Tabel 5.4 bahwa bidang-bidang yang “sering sekali” diputuskan bersama

suami dan istri adalah pendidikan anak (84,6%), pembelian pakaian anak (50,0%), perabot rumah tangga (80,8%), rumah/tempat tinggal (53,8%), dan pengobatan anggota keluarga (53,8%). Sedangkan bidang-bidang yang “jarang”

diputuskan bersama adalah pembelian bahan makanan (61,5%), perawatan

kecantikan (38,5%), dan perhiasan istri (42,3%). Adapun yang “jarang sekali”

diputuskan bersama adalah pembelian pakaian istri (50,0%) dan pakaian suami (30,8%).

Demikian juga pengambilan keputusan yang terkait dengan tabungan/ investasi maupun kredit/hutangdilakukan secara rasional pula, dalam arti “sering sekali” diputuskan bersama suami dan istri. Hal ini terlihat pada Tabel 5.5. yang

menunjukkan semua bidang “sering sekali” diputuskan bersama suami dan istri,

yaitu keputusan untuk alokasi dana tabungan (61,5%), jenis tabungan (73,1%), tabungan anak di sekolah (57,7%), pengambilan uang tabungan (76,9%), dan investasi/pengembangan usaha (76,9%). Adapun pengambilan keputusan yang

terkait dengan hutang/kredit terlihat pada Tabel 5.6 dilakukan secara variatif,

yaitu keputusan perlu/tidak perlu kredit barang sebanyak 73,1% “sering sekali” diputuskan bersama suami dan istri, dan tiga hal lainnya hanya “sering”, yaitu

keputusan tentang tempat kredit barang (61,5%), penambahan kredit baru (65,4%), dan pinjaman di koperasi/bank (50,0%), tetapi untuk hutang di luar

koperasi/bank 43,3% hanya “kadang-kadang” saja.

Adapun mengenai perilaku ekonomi keluarga karir sebagian besar menunjukkan perilaku ekonomi yang rasional, dalam pengertian tidak konsumtif atau konsumeristik. Hal ini terlihat pada Tabel 5.7 bahwa dari 10 pernyataan yang unfavorable sebagian besar direspon dengan “tidak setuju”, yaitu belanja

bahan makanan harus yang bermerek (69,2%), belanja harus di supermarket (69,2%), tidak akan merubah pola makan walaupun sedang krisis (30,8%), membeli pakaian harus bermerek dan berharga mahal (61,5%), menghadiri pesta harus berhias di salon (38,5%), tampil cantik harus memakai perhiasan yang berharga mahal (61,5%), perabot rumah harus sering diganti dengan model baru (57,7%), membeli TV sejumlah anak (61,5%), anak harus masuk sekolah favorit (57,7%), dan jika opname harus di ruang VIP (53,8%). Ini artinya bahwa sebagian besar dari keluarga karir tidak setuju dengan perilaku konsumtif atau konsumeristik.

Sedangkan perilaku menabung/investasi sebagian besar menunjukkan perilaku yang positif, dalam arti sebagian besar dari keluarga karir beranggapan bahwa menabung/investasi merupakan perilaku ekonomi yang baik. Hal ini terlihat pada Tabel 5.8 yang menunjukkan respon terhadap pernyataan yang favorablesebagian besar “setuju”, yaitu mengurangi uang belanjauntuk ditabung

(61,5%), dan anak-anak menabung di sekolah (80,8%). Sebaliknya terhadap pernyataan yang unfavorable sebagian besar “tidak setuju”, yaitu tidak perlu

menabung di bank/koperasi (69,2%), menabung di bank hanya ingin mendapat hadiah (73,1%) dan tidak perlu investasi karena mendapat dana pensiun (65,4%). Begitu pula perilaku kredit/hutang pada keluarga karir sebagian besar menunjukkan perilaku ekonomi yang rasional, dalam arti didasarkan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan membayar. Hal ini terlihat pada Tabel 5.9 bahwa sebagian besar respon terhadap pernyataan yang favorableadalah “setuju”, yaitu

menunda punya barang daripada kredit harga mahal (57,7%) dan tidak pinjam uang di bank kecuali untuk modal usaha (46,2%). Sebaliknya terhadap pernyataan yang unfavorable sebagian besar “sangat tidak setuju”, yaitu kredit

bertambah karena ada penghasilan tambahan (57,7%), dan pinjam di koperasi karena mendapat SHU pinjaman (65,4%), kecuali pernyataan kredit barang lebih beruntung dan mendapat hadiah (53,8%) hanya “tidak setuju”.

Oleh karena itu, menurut teori ekonomi, dapat dinyatakan bahwa sebagian

besar keluarga karir menganut cara pandang ‘Beckerian’ yang lebih menekankan

pada spesialisasi peran fungsional dalam rumah tangga, atau yang lebih dikenal dengan teori peluang bersaing (comparative advantage) dari Becker. Teori ini bertolak dari ide dasar bahwa penyatuan potensi suami dan istri dapat memberi keuntungan maksimal bagi keluarga melalui spesialisasi dalam pembagian kerja, pembelian barang/jasa, dan skala ekonomi, karenanya kesejahteraan keluarga tergantung pada jumlah penghasilan dan komoditi yang dikonsumsi oleh keluarga itu. Spesialisasi ini akan sangat efisien dan meningkatkan investasi yang berdampak pada semakin efektif dan efisien dalam penggunaan waktu dan

uang (Becker, 1991). Tetapi penerapannya dalam keluarga cenderung semua persoalan keluarga selalu dikaitkan dengan masalah uang. Padahal faktanya, uang merupakan sumber potensial dari ambiguity dan ambivalence. Inilah di antara kelemahan dari cara pandang Beckerian (Webley et al., 2001:76).

Dilihat dari pola hubungan antar suami-istri dalam rumah tangga berdasarkan model dari Scanzoni & Scanzoni (Suleeman, 1999:100-101), secara konseptual keluarga karir cenderung menganut pola equal partner yang memposisikan istri sebagai mitra sejajar, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam keluarga, termasuk dalam berkarir ataupun dalam urusan rumah tangga, sehingga pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan begitu istri bisa menjadi pencari nafkah utama dan berpenghasilan lebih tinggi daripada suami, karena norma yang dianut adalah kemitrasejajaran.

Namun dalam praktiknya terkadang pola equal partner ini dikombinasi dengan pola senior-junior partner yang memposisikan istri sebagai teman, bahkan dikombinasi pula dengan head complement yang memposisikan istri

sebagai “kanca wingking” (pendamping) meskipun tidak sampai dianggap

sebagai pelengkap suami. Contoh fenomena yang terjadi dalam Dharma Wanita (yang kini telah berubah menjadi Dharma Wanita Persatuan), walaupun istri karir masih harus berperan sebagai pendamping suami, apalagi suami sebagai pejabat publik. Perubahan ini terjadi karena istri memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi pencari nafkah utama masih tetap suami.

Kalau demikian berarti hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian terdahulu, terutama hasil penelitian Sunaryo dan Zuriah (2003) yang

mengungkap bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap posisi istri karir dalam proses pengambilan keputusan keluarga adalah nilai budaya yang berlaku sekarang (53%) dan pendapatan suami-istri berimbang (23%). Sedangkan posisi istri terhadap suami dalam pemanfaatan pendapatan keluarga sebagian besar (89%) seimbang (atas dasar musyawarah). Hal ini sekaligus juga memperkuat hasil penelitian Tombokan (2001) yang mengungkap semakin setaranya kedudukan suami dan istri dalam proses pengambilan keputusan ekonomi keluarga. Demikian juga hasil penelitian Busono dkk (2003) yang pada dasarnya mengungkap peningkatan penghasilan keluarga tidak mengubah perilaku ekonomi anggota keluarga.

6.1.2. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan terhadap Perilaku Ekonomi pada Keluarga Bukan Karir

Hasil pengujian pengaruh dari proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir (variabel X2) terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir (variabel Y2) secara statistik menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F sebesar 0,859 dengan

probabilitas signifikansi (ρ ) = 0,364 pada df. n-1 = 25. Nilai ρ yang lebih besar daripada taraf signifikansi yang ditentukan, yaitu α 0.05 mengindikasikan bahwa

pengaruhnya nyata atau signifikan.

Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir dapat diterima. Besarnya nilai estimasi (t) sebesar 0,927 dengan sig. = 0,364 menunjukkan

besarnya perubahan perilaku ekonomi keluarga bukan karir (Y2) yang disebabkan oleh perubahan variabel proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir (X2) dengan asumsi variabel yang lain konstan.

Dilihat dari kondisi responden, sebagian besar keluarga bukan karir dalam pengambilan keputusan untuk pembelian atau pengkonsumsian barang dan jasa dilakukan secara rasional, karena hampir semua bidang, baik yang terkait langsung dengan anak, kebutuhan seluruh anggota keluarga maupun kebutuhan suami dan istri sendiri “sering sekali” dan “sering” diputuskan bersama suami

dan istri. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 5.4 bahwa bidang-bidang yang “sering sekali” diputuskan bersama suami dan istri adalah pembelian perhiasan istri

(57,7%), perabot rumah tangga (61,5%), pengobatan anggota keluarga (46,2%), dan pendidikan anak (53,8%). Sedangkan bidang yang “sering” diputuskan

bersama, yaitu pembelian pakaian istri (30,8%), pakaian suami (30,8%), pakaian anak (46,2%), dan rumah/tempat tinggal (38,5%). Bidang lainnya, yaitu keputusan tentang perawatan kecantikan istri (38,5%)hanya “kadang-kadang”.

Demikian juga pengambilan keputusan yang terkait dengan tabungan/

investasi maupun kredit/hutang dilakukan secara rasional pula, dalam arti “sering sekali” diputuskan bersama suami dan istri. Hal ini terlihat pada Tabel 5.5 yang menunjukkan semua bidang yang terkait dengan tabungan/investasi “sering sekali” diputuskan bersama suami dan istri, meskipun prosentasenya rata-rata kurang dari separuh, yaitu jenis tabungan (30,8%), tabungan anak di sekolah (46,2%), pengambilan uang tabungan (38,5%), dan investasi (42,3%), kecuali untuk penentuan alokasi dana tabungan (46,2%) hanya “kadang-kadang” saja.

Adapun pengambilan keputusan yang terkait dengan hutang/kredit terlihat pada Tabel 5.6 yang menunjukkan semua bidang “sering sekali” diputuskan bersama

suami dan istri, meskipun prosentasenya rata-rata kurang dari separuh, yaitu tentang perlu/tidak perlu kredit barang (38,5%), tempat kredit barang (38,5%), penambahan kredit baru (53,8%), dan pinjaman di koperasi/bank (53,8%), kecuali untuk hutang di luar koperasi/bank (50,0)hanya “sering” saja.

Data tersebut (Tabel 5.4, Tabel 5.5 dan Tabel 5.6) menunjukkan bahwa hal-hal yang terkait dengan kebutuhan rumah tangga dan pengasuhan anak yang

dalam keluarga tradisional (bukan karir) menjadi tugas utama istri “sering sekali” atau “sering” diputuskan bersama suami dan istri, meskipun prosentasenya rata -rata di bawah separuh, kecuali untuk pembelian perhiasan istri, umunya tidak sekadar untuk mempercantik istri melainkan juga sebagai bentuk ‘tabungan’ keluarga, sehingga maksud seperti ini ‘mengharuskan’ untuk diputuskan bersama

suami-istri. Sedangkan untuk kebutuhan suami sendiri atau istri sendiri hanya

“kadang-kadang” saja diputuskan bersama suami-istri. Tetapi yang menarik, bahwa keputusan untuk menabung maupun kredit/hutang hampir separuhnya diputuskan bersama suami-istri.

Adapun mengenai perilaku ekonomi keluarga bukan karir sebagian besar menunjukkan perilaku ekonomi yang rasional, dalam arti tidak konsumtif atau konsumeristik. Hal ini terlihat pada Tabel 5.7 bahwa dari 10 pernyataan yang unfavorable sebagian besar direspon dengan “sangattidak setuju”, yaitu belanja

bahan makanan harus yang bermerek (46,2%), belanja harus di supermarket (38,5%), tidak akan merubah pola makan walaupun sedang krisis (50,0%), menghadiri pesta harus berhias di salon (50,0%), tampil cantik harus memakai

perhiasan yang berharga mahal (53,8%), perabot rumah harus sering diganti dengan model baru (38,5%), membeli TV sejumlah anak (50,0%), anak harus masuk sekolah favorit (42,3%), dan jika opname harus di ruang VIP (61,5%), kecuali membeli pakaian harus bermerek dan berharga mahal (34,6%) hanya

“kadang-kadang” saja. Ini artinya bahwa sebagian besar dari keluarga bukan karir tidak setuju dengan perilaku konsumtif atau konsumeristik.

Sedangkan perilaku menabung/investasi sebagian besar menunjukkan perilaku yang positif, dalam arti sebagian besar dari keluarga bukan karir beranggapan bahwa menabung/investasi merupakan perilaku ekonomi yang baik. Hal ini terlihat pada Tabel 5.8 yang menunjukkan respon terhadap pernyataan yang favorable sebagian besar “setuju”, yaitu mengurangi uang belanja untuk

ditabung (50,0%), dan anak-anak menabung di sekolah (46,2%). Sebaliknya terhadap pernyataan yang unfavorablesebagian besar “sangat tidak setuju”, yaitu

tidak perlu menabung di bank/koperasi (65,4%), menabung di bank hanya ingin mendapat hadiah (50,0%), kecuali pernyataan tidak perlu investasi karena mendapat dana pensiun (57,7%)hanya “tidak setuju”.

Namun tentang perilaku kredit/hutang sebagian besar dari keluarga bukan karir menunjukkan perilaku ekonomi yang kurang rasional, dalam arti kadang-kadang didasarkan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan membayar tetapi ketika ada peluang kadang-kadang didasarkan pada keinginan. Hal ini terlihat pada Tabel 5.9 bahwa respon terhadap pernyataan yang favorable bervariasi, yaitu“sangat setuju” terhadap pernyataanmenunda punya barang daripada kredit harga mahal (57,7%) dan “kadang-kadang” saja terhadap pernyataan tidak pinjam uang di bank kecuali untuk modal usaha (53,8%). Sebaliknya terhadap

pernyataan yang unfavorable juga bervariasi, yaitu “kadang-kadang” terhadap

pernyataan kredit bertambah karena ada penghasilan tambahan (57,7%), dan pinjam di koperasi karena mendapat SHU pinjaman (53,8%),serta “tidak setuju”

terhadap pernyataan kredit barang lebih beruntung dan mendapat hadiah (53,8%).

Oleh karena itu, menurut teori ekonomi, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar keluarga bukan karir mengikuti model perilaku ekonomi berdasarkan teori

utilitas, terutama hipotesis yang berbunyi: “Setiap orang (konsumen) akan

memaksimumkan utilitasnya dengan tunduk kepada kendala anggaran atau

pendapatan yang ada” (Arsyad, 2000:99). Karenanya dalam teori kurva indiferens (ordinal utility) salah satu hipotesisnya ada yang mengatakan bahwa

“konsumen mempunyai suatu skala preferensi”, yaitu suatu sistem atau serangkaian kaidah dalam menentukan pilihan (Arsyad, 2000:102). Oleh sebab itulah orang akan membeli atau mengkonsumsi suatu barang/jasa sesuai dengan budget line, yaitu garis yang menunjukkan jumlah dan mutu barang/jasa yang dapat dibeli dengan sejumlah pendapatan atau anggaran tertentu, bukan sekadar mengejar kepuasan ataupun menuruti keinginan.

Dilihat dari pola hubungan antar suami-istri dalam rumah tangga berdasarkan model dari Scanzoni & Scanzoni (Suleeman, 1999:100-101), secara konseptual keluarga bukan karir cenderung menganut pola owner property yang menganggap istri sebagai milik suami, atau head complement yang menganggap istri sebagai pelengkap suami. Karena hampir di semua masyarakat, di Barat sekalipun, kekuasaan di dalam keluarga tradisional (bukan karir) pada umumnya

berada di tangan laki-laki (suami), sehingga hak pengambilan keputusan penting pun berada dalam kekuasaan suami (Abdullah, 2000).

Padahal apabila istri dianggap sebagai milik, bukan sebagai pribadi, maka kekuasaan dalam keluarga mutlak pada suami. Bahkan ada norma, bahwa istri harus tunduk dan bergantung secara ekonomi pada suami. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Karenanya tugas utama istri hanya mengurus keluarga, membahagiakan suami, melahirkan dan mengasuh anak. Dengan perkataan lain, bahwa status sosial-ekonomi istri mengikuti suami, atau yang dalam masyarakat Jawa dikenal

dengan istilah “swarga nunut neraka katut” (kemuliaan istri numpang pada

suami, tetapi kehinaan suami pun istri ikut terbebani).

Demikian halnya ketika istri diposisikan sebagai “kanca wingking

(pendamping suami), dalam pengertian istri dianggap sebagai pelengkap suami (head complement), di mana tugas suami masih tetap mencari nafkah dan tugas istri masih tetap mengurus rumah tangga, tetapi keduanya memutuskan untuk mengatur kehidupan keluarga secara bersama-sama. Namun demikian karena istri hanya sebagai head complement maka pelibatan istri dalam proses

pengambilan keputusan hanya sebatas ‘didengar’ pendapatnya, karena keputusan

akhir tetap di tangan suami. Bahkan secara sosial, istri menjadi ‘atribut’ sosial suami, karena istri mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Perhatikan fenomena “Dharma Wanita”, ketuanya adalah istri pimpinan instansi/lembaga yang bersangkutan. Ini artinya, bahwa kedudukan istri sangat tergantung pada posisi suami.

Namun demikian, memperhatikan hasil penelitian ini yang menunjukkan pelibatan istri yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan, baik untuk pembelian barang dan jasa, menabung/investasi, maupun kredit/hutang, maka berarti sekarang ini dalam keluarga bukan karir pun tidak lagi

memposisikan istri sebagai “swarga nunut neraka katut” atau owner property

melainkan (paling tidak) sebagai “kanca wingking” atau head complement. Bahkan pola ini cenderung dikombinasi dengan pola senior-junior partner yang memposisikan istri sebagai teman, seperti dalam hal menabung/investasi dan kredit/hutang hampir separuhnya telah memposisikan istri ‘setara’ dengan posisi

suami, karena istri sedikit banyak telah berperan aktif dalam control income dan asset. Inilah salah satu bukti adanya perubahan nilai dalam keluarga dewasa ini, yang dapat diduga sebagai dampak dari perubahan nilai dalam masyarakat dan pengaruh gerakan kesetaraan gender yang semakin memasyarakat.

Menurut teori pertukaran, istri mendapat kekuasaan dalam keluarga sebagai imbalan (reward) dari proses pertukaran atas pengorbanan (cost) istri untuk kepentingan keluarga, meskipun dalam hal ini tidak berupa kontribusi ekonomi (penghasilan material), oleh karena sumberdaya yang diperoleh dalam keluarga, baik oleh suami maupun istri, digunakan bersama atas kesediaan atau kerelaan kedua belah pihak. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pertukaran sosial dari Homans, antara lain bahwa orang yang sama statusnya harus mampu memberikan sosial approval satu sama lain dengan pengorbanan (biaya) yang relatif rendah. Tetapi orang akan memberikan pengorbanan (biaya) yang lebih besar kepada orang yang statusnya lebih tinggi karena mengharapkan imbalan (reward) yang tinggi pula. Sebaliknya, seseorang akan memberikan pengorbanan

(biaya) yang lebih rendah kepada orang yang lebih rendah statusnya karena imbalan (reward) yang dapat diterimanya jauh lebih rendah (Pelly & Menanti, 1994:79-80).

Kalau demikian berarti hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian terdahulu, terutama hasil penelitian Darmastuti (2002) yang menunjukkan bahwa peran istri dalam proses pengambilan keputusan pada keluarga tradisional (bukan karir) dalam beberapa bidang kehidupan, seperti dalam aktivitas pendidikan dan pemeliharaan kesehatan anggota keluarga cenderung dominan, meskipun yang menyangkut aktivitas sosial anggota keluarga, terutama aktivitas sosial suami, peran istri sangat terbatas. Hal ini sekaligus juga memperkuat hasil penelitian Tombokan (2001) yang mengungkap semakin setaranya kedudukan suami dan istri dalam proses pengambilan keputusan ekonomi keluarga.

6.1.3. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan Keluarga Karir terhadap Perilaku Ekonomi Keluarga Bukan Karir

Hasil pengujian pengaruh dari proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir (variabel X1) terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir (variabel Y2) secara statistik menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F sebesar 0,179 dengan probabilitas

signifikansi (ρ ) =0,676 pada df. n-1 = 25. Nilai ρ yang lebihkecil daripada taraf

signifikansi yang ditentukan, yaitu α 0.05 mengindikasikan bahwa pengaruhnya

Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir ditolak. Sedangkan besarnya nilai estimasi (t) sebesar 0,423 dengan sig. = 0,676 menunjukkan kecilnya perubahan perilaku ekonomi keluarga bukan karir (Y2) yang disebabkan oleh perubahan variabel proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir (X1), dengan asumsi variabel yang lain konstan.

6.1.4. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan Keluarga Bukan Karir terhadap Perilaku Ekonomi Keluarga Karir

Hasil pengujian pengaruh dari proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir (variabel X2) terhadap perilaku ekonomi keluarga karir (variabel Y1) secara statistik menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F sebesar 1,944 dengan probabilitas

signifikansi (ρ ) = 0,177 pada df. n-1 = 25. Nilai ρ yang lebih besar daripada taraf signifikansi yang ditentukan, yaitu α 0.05 mengindikasikan bahwa pengaruhnya

nyata atau signifikan.

Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi keluarga karir dapat diterima. Sedangkan besarnya nilai estimasi (t) sebesar 1,394 dengan sig. = 0,177 menunjukkan besarnya perubahan perilaku ekonomi keluarga karir (Y1) yang disebabkan oleh perubahan variabel proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan

keluarga bukan karir (X2) sangat besar, dengan asumsi variabel yang lain konstan.

6.1.5. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan terhadap Perilaku Ekonomi pada Keluarga Karir dan Bukan Karir

Hasil pengujian pengaruh dari proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga (karir maupun bukan karir) (variabel X) terhadap perilaku ekonomi keluarga (karir maupun bukan karir) (variabel Y) secara statistik menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F sebesar 1,702 dengan probabilitas signifikansi (ρ ) = 0,205 pada df. n-1 = 25.

Nilai ρ yang lebih besardaripada taraf signifikansi yang ditentukan, yaitu α 0.05

mengindikasikan bahwa pengaruhnya nayat atau signifikan.

Sedangkan besarnya nilai estimasi (t) sebesar -1,305 dengan sig. = 0,205, meskipun bernilai negatif, menunjukkan besarnya perubahan perilaku ekonomi keluarga karir maupun bukan karir (Y) yang disebabkan oleh perubahan variabel proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir maupun bukan karir (X), dengan asumsi variabel yang lain konstan. Hal ini apabila dikaitkan dengan hasil analisis lainnya, terutama pengaruh proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir (X1) terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir (Y2) yang tidak signifikan (lihat subbab 6.1.3), tetapi sebaliknya pengaruh proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir (X2) terhadap perilaku ekonomi

keluarga karir (Y1) yang signifikan (lihat subbab 6.1.4), maka bisa dianggap wajar kalau estimasi parameternya bernilai negatif.

Begitu juga adanya pengaruh yang signifikan dari proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir (X1) terhadap perilaku ekonomi keluarga karir (Y1), maupun proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir (X2) terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir (Y2), semakin memperkuat hasil analisis ini. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi pada keluarga karir maupun bukan karir, dapat diterima.

Dilihat dari kondisi responden, baik pada keluarga karir maupun bukan karir, pengambilan keputusan untuk pembelian atau pengkonsumsian barang dan jasa dilakukan secara rasional, dalam arti hal-hal yang terkait langsung dengan

pengasuhan anak maupun kebutuhan seluruh anggota keluarga “sering sekali” atau “sering” diputuskan bersama suami dan istri, tetapi untuk kebutuhan suami atau istri sendiri “kadang-kadang”, “jarang” atau “jarang sekali” diputuskan

bersama. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 5.4 bahwa bidang-bidang yang “sering sekali” diputuskan bersama suami dan istri adalah pendidikan anak (69,2%),

pembelian pakaian anak (46,2%), serta perhiasan istri (50,0%, perabot rumah (71,2%), rumah/tempat tinggal (38,5%), dan pengobatan anggota keluarga

(50,0%). Yang hanya “kadang-kadang” saja adalah pengambilan keputusan

untuk pembelian pakaian suami (23,1%) dan perawatan kecantikan (32,7%).

Sedangkan yang “jarang”diputuskan bersama adalah pembelian bahan makanan

Dalam dokumen Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da (Halaman 122-142)

Dokumen terkait