• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir 18

Dalam dokumen Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da (Halaman 35-47)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Ke luarga

2.2.2. Peranan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir 18

Pada umumnya masyarakat menempatkan perempuan sebagai tokoh penting di lingkungan keluarga. Mereka diharapkan untuk menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarganya, berperan sebagai pemelihara tradisi, norma dan nilai yang sesuai dengan harapan masyarakat (Gulardi, 1999:167). Nilai yang demikian ini terlihat dalam prinsip yang dipakai oleh Undang-Undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu prinsip patriarkhal konvensional. Prinsip ini pada intinya adalah suami sebagai kepala keluarga wajib memenuhi semua kebutuhan hidup rumah tangganya sesuai dengan kemampuannya, sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga wajib mengurus rumah tangganya.

Pembagian peran suami-istri yang patriarkhal semacam ini hampir sama dengan yang berlaku pada masyarakat Malaysia, di sana suami (ayah) yang bertanggungjawab mencari nafkah untuk keluarganya, dan karena itu dia berhak mendapat penghormatan dan kesetiaan dari istri dan anak-anaknya. Sedang istri (ibu) bertanggungjawab menjaga hal ikhwal suaminya, mengasuh dan mendidik anaknya, dan karena itu dia berhak menerima kasih sayang dari suami dan anaknya (Abdullah, 2000). Begitu pula yang berlaku pada masyarakat Barat, bahwa pembagian peran dalam keluarga secara tradisional selalu menunjuk pada laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (Webley et al., 2001:79). Bahkan menurut Mosse (2003:38), bagi perempuan di seluruh dunia, pekerjaan rumah tangga, apapun bentuknya, merupakan bagian penting dari peran gendernya.

Hasil survey The Economic Planing Agency di Jepang menunjukkan bahwa lebih dari 70% perempuan mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah

tugas utamanya. Bahkan berdasarkan polling yang dilakukan oleh kantor perdana menteri (1992), sebagian besar perempuan (90%) mengatakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci baju adalah tugas perempuan. Menurut sumber yang sama, sebagian besar perempuan harus tinggal di rumah sampai anaknya masuk usia SD. Hal ini ditunjang oleh data bahwa hanya sebesar 13,5% perempuan yang mempunyai anak kecil yang bekerja full time. Di Indonesia kondisinya sedikit berbeda. Suami cukup berperan dalam membantu peran-peran yang umum dilakukan oleh perempuan. Berdasarkan penelitian BKKBN di Jawa Timur dan Menado, ternyata hanya sekitar 50% istri yang mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas istri, dan sekitar 40% mengatakan tanggungjawab bersama suami dan istri. Namun ini masih menunjukkan bahwa peran pengasuhan anak lebih condong dikaitkan dengan peran keibuan, namun tidak setajam yang dianut oleh masyarakat Jepang (Megawangi, 1999:40).

Bahkan pada keluarga Jawa, menurut Megawangi (1999:40-41), hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kebahagiaan istri dengan partisipasi suami dalam membantu pekerjaan rumah tangga. Pada keluarga suku Minahasa, korelasinya bahkan negatif, yaitu semakin tinggi tingkat partisipasi suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, semakin rendah tingkat kebahagiaan istri. Hasil penelitian ini rupanya konsisten dengan temuan Geertz (1961) dan Koentjaraningrat (1985) yang keduanya banyak menekuni kebudayaan Indonesia, terutama Jawa. Menurutnya, pada keluarga Jawa terdapat semacam pembagian tugas yang mengharapkan istri menangani urusan rumah tangga, sedangkan suami menangani urusan di luar rumah tangga. Selain itu, bagi masyarakat Jawa ‘pengabdian istri pada suami’ dianggap sesuatu

yang sakral dan merupakan sumber kebahagiaan perkawinan. Karenanya para istri ingin sekali berbakti pada suaminya.

Memang, dampaknya perempuan berkutat pada lingkup rumah tangga (domestik) saja dan tertutup kemungkinan bisa berkarir di luar rumah (publik). Padahal peran dalam sektor ‘domestik’ dan ‘publik’ mempunyai perbedaan dan nilai yang tidak sama. Sektor ‘publik’ biasanya bersifat formal, upahan dan mempunyai nilai ekonomi dan status sosial. Sedangkan sektor ‘domestik’ bersifat informal, tidak upahan dan tidak mengandung nilai ekonomi dan status sosial. Oleh karenanya, kedudukan suami dalam keluarga dianggap lebih penting daripada kedudukan istri (Effendi, 1995:47). Hal ini, menurut Mosse (2003:39-40), sebagai salah satu konsekuensi bila memandang kerja aktual perempuan sebagai ibu rumah tangga, sehingga kerja lain apapun yang dilakukan oleh kaum perempuan hanya dilihat sebagai suplementer atau sekunder. Begitu pula jika diperluas, semua tugas produktif lainnya yang dilakukan perempuan di dalam dan sekitar rumah tangga, untuk keuntungan anggota keluarga sekalipun, dianggap bukan kualitas kerja yang sesungguhnya, atau didefinisikan sebagai bukan kerja.

Oleh karena itu ketika gerakan kesetaraan gender semakin semarak, dan nilai budaya masyarakat mengalami perubahan dari tradisional ke moderen, maka sistem nilai dalam keluarga pun ikut mengalami perubahan dari tradisional ke moderen. Menurut Goode (Ihromi (Ed.), 1999:291), keluarga moderen diasumsikan memiliki ciri-ciri tipe keluarga konjugal di mana para anggota keluarga batih agak sama kedudukannya. Suami-istri terlibat dalam hubungan yang setaraf, mempunyai hubungan personal yang akrab, antara orang tua dan

anak terdapat hubungan yang demokratis, para remaja kawin dalam umur yang tidak terlalu muda, jumlah anak dalam keluarga menjadi kecil, dan angka perceraian cenderung naik. Sebagai dampaknya, perempuan bekerja di luar rumah menjadi fenomena keluarga dan masyarakat moderen. Indikasinya terlihat dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang terlibat dalam dunia kerja semakin meningkat, terutama di negara-negara industri yang maju.

Menurut Dagun (2002:143), sejak abad ke-20 di negara-negara maju, misalnya di Inggris, hanya satu di antara 20 keluarga yang masih menyukai pola peran tradisional, seperti suami bekerja dan istri tinggal di rumah mengurus keluarga dan mengasuh anak. Di Amerika Serikat, menurut Megawangi (2000:211), dengan semakin maraknya gerakan feminisme sejak 1960-an maka tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan meningkat secara drastis, yaitu sekitar 33% pada tahun 1950 menjadi sekitar 60% pada pertengahan 1980.

Di Indonesia sekalipun tidak sedrastis di Amerika Serikat, namun dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1980 TPAK perempuan sebesar 32,43% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 38,79% (Abdullah, 2001:103), kemudian pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 51,69% (Depnakertrans, 2001). Demikian juga di kabupaten Jombang yang pada tahun 1990 hanya 32,25%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 37,30%, dan 37,38% pada tahun 2001 (BPS Jombang, 2001).

Peningkatan TPAK perempuan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena tuntutan ekonomi. Faktor ekonomi inilah yang merupakan fenomena umum yang telah berlangsung sejak lama. Hal ini juga dibuktikan oleh Sunaryo dan Zuriah (2003) dalam penelitiannya di kota Malang Jawa Timur,

bahwa motivasi yang mendorong perempuan bekerja 83% karena tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga, sekalipun penelitian Stoller (Sunaryo dan Zuriah, 2003) menemukan bahwa kaum perempuan bekerja bukan karena disebabkan oleh suatu pembagian kerja seksual melainkan karena memperoleh sumber-sumber strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin.

Tetapi penelitian Suryadi (2001) terhadap ibu yang sudah bekerja antara 5-13 tahun dan memiliki anak 2-3 orang, ternyata mereka mengalami konflik antar peran ketika menjalani peran ganda, mengalami kecemasan tentang pengasuhan anak, dan merasa bersalah atas ketidakhadiran mereka sebagai seorang istri dan ibu. Meskipun demikian, menurut Dagun (2002:144), wanita karir pada umumnya menolak anggapan bahwa mereka menanggung berbagai beban berat karena peran gandanya. Mereka tidak merasa naluri keibuannya terganggu oleh karir mereka, tetapi justru mereka menemukan keasyikan tertentu dalam menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga, dan merasa lebih energik di tempat kerja. Walters dan McKenry (Rini, 2002) juga mengungkap bahwa wanita karir cenderung merasa bahagia selama mereka dapat mengintegrasikan kehidupan keluarga dan kehidupan kerja secara harmonis.

Sebaliknya, bagaimana dengan peran suami/ayah, apakah mereka menjadi bertanggungjawab lebih besar terhadap urusan rumah tangga dan pengasuhan anak? Penelitian di Amerika Serikat dan Australia menunjukkan bahwa pada umumnya ada perubahan pada diri suami/ayah. Robinson melaporkan bahwa banyak suami yang istrinya bekerja akan lebih melibatkan diri dalam mendidik dan mengasuh anaknya dibanding ayah yang istrinya tidak bekerja. Russel juga menemukan gambaran serupa pada keluarga di Australia. Ia mengatakan bahwa

orang tua yang sama-sama bekerja menyebabkan ayah cenderung lebih memperhatikan anaknya dua kali dari sebelumnya. Tetapi bila suami/ayah tetap mempertahankan pola peran tradisional dan menolak ikut berpartisipasi dalam mendidik dan mengasuh anak, maka akan membawa kesulitan bagi istri/ibu dan anaknya (Dagun, 2002:144-145).

Oleh karena itulah dukungan suami terhadap istri yang bekerja sangatlah penting. Dari penelitian Jones dan Jones (Rini, 2002) terungkap bahwa sikap suami merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan keluarga karir. Suami yang merasa terancam, tersaingi dan cemburu dengan status bekerja istrinya, tidak bisa bersikap toleran terhadap keberadaan istri yang bekerja. Namun ada pula yang merasa tidak menderita meskipun mereka ditinggal istrinya bekerja di luar negeri, seperti penelitian Busono dkk. (2003) di Jawa Barat, bahwa sebagian besar para suami yang istrinya menjadi TKW`di luar negeri menyatakan tidak menderita, bahkan mereka mendukung karir istrinya dan ikut bekerjasama dalam mengurus pekerjaan rumah tangga sehari-hari.

Dalam kondisi yang terakhir ini pada umumnya sang istri akan lebih dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan hidup. Dari penelitian Scanzoni (Rini, 2002) terungkap bahwa keluarga karir dikatakan berhasil jika di antara suami dan istri saling memperlakukan pasangannya sebagai patner yang setara. Mereka pada umumnya tidak hanya berbagi pendapatan tetapi juga tidak segan-segan berbagi dalam urusan rumah tangga dan mengurus anak.

Adanya perubahan cara hidup yang demikian itu menimbulkan pula perubahan peran dan pola kehidupan dalam keluarga, sebab perubahan peran dalam keluarga terjadi juga karena perbedaan kepentinan antara suami dan istri.

Dilaporkan bahwa istri/ibu yang bekerja di luar rumah akan bertambah kesadaran diri dan harga dirinya. Bahkan dia merasa tidak yakin kalau anak mengalami penderitaan oleh adanya perubahan sistem dalam keluarga (Dagun, 2002:147).

2.2.3. Kekuasaan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir Hampir di semua masyarakat, kekuasaan di dalam keluarga berada di tangan laki-laki, sehingga hak pengambilan keputusan penting pun berada dalam kekuasaan suami. Bahkan rasa hormat pun hanya ada dari pihak istri kepada suami (Abdullah, 2000), kecuali di Amerika dan negara-negara Barat yang sudah langka sosok suami/ayah yang diidamkan, tetapi kenyataannya laki-laki (suami/ ayah) masih tetap dapat memaksakan kemauannya secara berhasil dalam persoalan keluarga (Goode, 2002:151).

Kekuasaan suami atau istri sangat erat kaitannya dengan pola hubungan antar suami-istri dalam keluarga. Sedangkan pola hubungan itu dapat dibedakan menurut pola perkawinannya. Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami-istri dalam keluarga atau rumah tangga, menurut Scanzoni & Scanzoni (Suleeman, 1999:100-101), dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) macam pola perkawinan, yaitu (1) owner property, yang mengganggap istri milik suami, (2) head complement, yang melihat istri sebagai pelengkap suami, (3) senior junior partner, yang memposisikan istri sebagai teman, dan (4) equal partner, yang memposisikan istri sebagai mitra sejajar.

Apabila istri dianggap sebagai milik, bukan sebagai pribadi, maka kekuasaan dalam keluarga mutlak pada suami, bahkan kekuasaan ini dikuatkan oleh adanya norma bahwa istri harus tunduk dan tergantung pada suami secara

ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Oleh karenanya tugas utama istri hanyalah mengurus keluarga, membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami, melahirkan dan mendidik anak-anaknya, sehingga dapat membawa nama baik suami. Jadi posisi istri dalam keluarga hanya sebagai perpanjangan dari kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita suami (Suleeman, 1999:101). Dengan perkataan lain, bahwa status sosial istri mengikuti status sosial suami, atau yang dalam masyarakat Jawa disebut sebagai “swaga nunut neraka katut” (kemuliaan istri numpang suami, tetapi kehinaan suami istri pun ikut terbebani). Celakanya, seperti kaum elit Jawa di masa lalu, suami bisa saja menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi, sedangkan istri tidak punya hak sedikitpun untuk protes.

Berbeda dengan pola head complement, istri tidak lagi sekadar “swarga nunut neraka katut” melainkan sebagai “kanca wingking” (pendamping) dalam pengertian istri dianggap sebagai pelengkap suami. Tugas suami masih tetap mencari nafkah dan tugas istri masih tetap mengurus rumah tangga, tetapi suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama, meskipun keputusan akhir tetap di tangan suami. Bahkan secara sosial, istri menjadi atribut sosial suami, karenanya istri harus mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Misalnya, istri pejabat harus bisa menjadi panutan bagi para istri anak buah suaminya. Perhatikan gejala Dharma Wanita, ketuanya secara otomatis adalah istri pimpinan instansi yang bersangkutan. Ini artinya, bahwa kedudukan istri sangat tergantung pada posisi suami, meskipun usahanya itu

terkadang tidak terlihat dan kurang dihargai daripada pekerjaan yang mendapat upah (Suleeman, 1999:102-103).

Sedangkan pada pola senior junior partner, posisi istri tidak lagi sebagai pelengkap suami tetapi sudah menjadi teman atau patner. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan kontribusi secara ekonomi, meski pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, secara ekonomis tidak lagi sepenuhnya bergantung pada suami, sehingga istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan sebagian kekuasaannya. Namun demikian suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar daripada suami. Karenanya istri terkadang harus mengorbankan karirnya demi karir suaminya. Begitu pula dalam hal status sosial, meskipun istri berasal dari status sosial yang lebih tinggi terpaksa harus turun status sosialnya karena mengikuti status sosial suami. Pola perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini (Suleeman, 1999:104).

Lain lagi dengan pola equal partner, suami-istri berada pada posisi yang setara, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah. Istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan begitu istri bisa menjadi pencari nafkah utama dan berpenghasilan lebih tinggi daripada suami. Karena dalam pola ini norma yang dianut adalah kemitra-sejajaran, sehingga suami dan istri mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, baik di bidang pekerjaan maupun secara ekspresif. Segala

keputusan yang diambil suami-istri saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasan masing-masing (Suleeman, 1999:104-105).

Dari keempat pola perkawinan (keluarga) tersebut nampak bahwa kekuasaan suami-istri dalam keluarga karir banyak dipengaruhi oleh pola hubungan suami-istri yang terkait langsung dengan hak-hak istri untuk akses ekonomi. Oleh karena itu semakin tinggi karir istri semakin bertambah hak-hak istri dalam keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Goode (2002:150), bahwa bertambahnya hak-hak istri di Barat selama setengah abad yang lalu pada kenyataannya telah mengurangi kekuasaan suami dalam keluarga. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena posisi tawar (bargaining posisition) istri meningkat seiring dengan akses pendapatan yang diterima dari pekerjaannya (Sayer & Bianchi, 2000:907). Berbeda dengan sistem keluarga yang menganut prinsip patriarkhal konvensional, yang memposisikan istri sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan, maka suami lebih berkuasa daripada istri (Effendi, 1995:47), kecuali jika keluarga itu mempunyai cara pandang Parsonian atau Beckerian yang lebih menekankan pada spesialisasi peran fungsional dalam rumah tangga (Sayer & Bianchi, 2000:907).

Sebenarnya, menurut Webley et al. (2001:82), ketidaksetaraan struktural yang terjadi dalam keluarga selama ini terkait dengan ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Karenanya wajar ketika istri pada posisi tawar yang kuat mereka menuntut untuk berperan aktif dalam control income dan asset, menentukan kebutuhan konsumsi rumah tangga, kekuasaan pengambilan keputusan, serta pembagian kerja rumah tangga yang setara. Namun, menurut Megawangi (2000:212), sulit bagi laki-laki di Barat untuk memberikan komitmen dan

melindungi para perempuan yang dianggap sudah setara, mereka beranggapan bahwa perempuan tidak perlu lagi diperlakukan secara khusus, apalagi para feminisme moderen menolak konsep ketergantungan perempuan pada laki-laki.

Oleh karena itu apabila para perempuan karir mengikuti pola keluarga Barat, maka tidak mustahil mereka akan menuntut hak yang lebih besar terhadap suami seiring dengan status ekonominya, sehingga peran istri secara tradisional semakin berkurang. Bahkan tidak jarang pula terdapat istri yang bersikap dominan dalam keluarga. Padahal, menurut Kaminer (Megawangi, 2000:212), banyak perempuan di Barat, termasuk kaum feminisme, yang mengkritik konsep kebebasan perempuan yang justru telah menjadi konsep yang ‘menakutkan’. Menurut mereka, konsep ini dapat membuat para laki-laki bebas dari beban dan tanggungjawabnya, di mana sistem tradisional mengharuskan laki-laki bertanggungjawab terhadap nafkah dan kesejahteraan istri dan anaknya. Selain itu juga timbul tuduhan-tuduhan bahwa feminisme telah merusak keluarga, karena secara teori, feminisme moderen adalah anti keluarga. Dampaknya antara tahun 1963 dan 1975 angka perceraian di AS meningkat 100% dan masalah kesejahteraan anak-anak semakin mengkhawatirkan.

2.3. Proses Pengambilan Keputusan dalam Keluarga 2.3.1. Pengertian Pengambilan Keputusan

Setiap orang pada semua tingkatan, baik individual maupun dalam institusi, terus menerus harus mengambil keputusan. Bagi ‘manajer’ keluarga, tugas pengambilan keputusan merupakan bagian penting dari peran managerial, apalagi ‘manajer’ terlibat langsung dalam perencanaan keluarga.

Pengambilan keputusan merupakan proses kognisi yang terkait secara langsung dengan penentuan pilihan yang paling tepat (Sarwono, 1999:124). Sedangkan Schiffman dan Kanuk (Sumarwan, 2003:289) mendefinisikan suatu keputusan sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Tetapi menurut Stoner dan Wankel (1986:211), bahwa pengambilan keputusan itu melukiskan proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Karenanya Huber (Stoner & Wankel, 1986:211) membedakan pengambilan keputusan dari penentuan pilihan dan pemecahan masalah. Menurut Huber, penentuan pilihan mengacu pada rangkaian aktivitas sempit yang terlibat dalam penentuan satu pilihan dari serangkaian alternatif, karenanya penentuan pilihan merupakan bagian dari pengambilan keputusan. Sedangkan pemecahan masalah mengacu pada rangkaian aktivitas luas yang terlibat dalam penemuan dan implementasi cara bertindak untuk memperbaiki situasi yang tidak memuaskan (lihat Gambar 2.1).

Pengambilan Keputusan Aktivitas yang menyangkut penentuan keberadaan dan pentingnya masalah Aktivitas yang menyangkut pengidentifikasian penentuan dan pendiagnosisan masalah Aktivitas yang menyangkut penemuan pemecahan alternatif Aktivitas yang menyangkut pengevaluasian dan pemilihan di antara alternatif Aktivitas yang menyangkut pelaksanaan pemecahan yang dipilih

Penemuan Masalah Penentuan Masalah

Pemecahan Masalah

Gambar 2.1 Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah Sumber: Stoner & Wankel (1986:212)

Pada Gambar 2.1 tersebut nampak bahwa pengambilan keputusan bukan sekadar penentuan pilihan, tetapi justru penentuan pilihan merupakan bagian dari pengambilan keputusan, di samping itu nampak pula bahwa pengambilan keputusan berbeda dengan pemecahan masalah. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa dilihat dari ilmu perilaku antara pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cenderung sama, karena keduanya terjadi dalam proses kognisi dan akan membawa pengaruh atas tindakan dan perilaku seseorang, atau secara singkat dapat dikatakan bahwa diambilnya keputusan merupakan salah satu aspek penting proses pengambilan keputusan.

Dengan demikian yang dimaksud dengan pengambilan keputusan adalah proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan suatu masalah yang sedang dihadapi. Jadi proses pengambilan keputusan keluarga, dalam hal ini tentang penggunaan keuangan keluarga, dapat diartikan sebagai proses pemilihan suatu tindakan dalam penggunaan keuangan keluarga sebagai cara pemenuhan kebutuhan keluarga dan keinginan anggota-anggotanya.

Dalam dokumen Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da (Halaman 35-47)

Dokumen terkait