• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENGGUNAAN KEUANGAN TERHADAP PERILAKU EKONOMI

KELUARGA KARYAWAN STKIP PGRI JOMBANG

ASMUNI SYUKIR

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

PENGARUH PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENGGUNAAN KEUANGAN TERHADAP PERILAKU EKONOMI

KELUARGA KARYAWAN STKIP PGRI JOMBANG

ASMUNI SYUKIR

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(3)

KELUARGA KARYAWAN STKIP PGRI JOMBANG

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister

Dalam Program Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga

Oleh :

ASMUNI SYUKIR

NIM 090114385 / M

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(4)

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL: 22 AGUSTUS 2005

Oleh

Pembimbing Ketua

Prof. Dr. SRI KARDJATI, dr., M.Sc. NIP. 130 355 3632

Pembimbing

Drs. SURYANTO, M.Si. NIP.3

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu PengembanganSDM Wakil,

(5)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. HARIADI SOEPARTO,dr,DOR,M.Sc,APU .………..

Anggota : 1. Dr. SURYANTO, drs, M.Si. ………

2. Prof. Dr. L. DYSON, M.Sc. ………

3. Prof. KUNTORO, dr, MPH, Dr.PH. ………

(6)

Pertama-tana saya panjatkan puji syukur kehadlirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan sebagai salah satu prasyarat meraih gelar Magister Sain Pengembangan Sumber Daya Manusia pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. SRI KARDJATI, dr. M.Sc. selaku pembing utama sekaligus sebagai Ketua Minat Keluarga dan Masyarakat Program Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia yang dengan penuh ketulusan, kesabaran dan perhatian dalam memberikan dorongan, bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian tesis ini.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga saya sampaikan kepada Bapak Dr. SURYANTO, drs., M.Si selaku pembimbing yang dengan penuh ketulusan, kesabaran dan perhatian dalam memberikan dorongan, bimbingan, saran dan kritik dalam penyelesaian tesis ini.

Saya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q. Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktur Program Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah memberikan bantuan finansial (BPPS), sehingga meringankan beban saya dalam menyelesaikan studi dan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi yang besar terhadap selesainya studi saya dan tesis ini, terutama kepada:

Rektor Universitas Airlangga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti pendidikan program Magister.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan program Magister dan mengusahakan BPPS.

Ketua dan Wakil Ketua Program Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia Program Pascasarjana Universitas Airlangga atas kesempatan, dorongan dan bimbingan yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan pada program studi PSDM.

Penguji usulan penelitian, yaitu Bapak Prof. Dr. SOEDJONO ABIPRAJA, S.E, Prof. KUNTORO, dr, MPH, Dr.PH, dan I.B. WIRAWAN, drs, M.S yang penuh ketulusan memberikan saran dan kritik yang sangat berharga untuk penyusunan tesis ini.

(7)

Karyawan dan karyawati serta keluarga besar STKIP PGRI Jombang yang penuh ketulusan membantu pelaksanaan penelitian ini.

Secara khusus, penghargaan saya berikan kepada istriku KHUSNIAH dan anak-anakku ADEL HIKAM ARIF, YUQA SUHHA ALHANIF dan ZIADA ELMA ARIFA atas pengorbanan dan pengertiannya selama saya studi di Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Penghargaan yang setulus-tulusnya juga saya sampaikan kepada Dra. AGUNG KESNAMAHATMAHARTI, M.Kes. dan WINARDI, S.H., M.Hum. serta Drs. MUSLIMIN, M.Si selaku sahabat dan mitra kerja di STKIP PGRI Jombang yang penuh ketulusan memberikan dukungan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Kepada sahabatku PAHRIONO, DIDIK, RIBUT dan AJI serta teman-teman pengurus LSM-ELJIMAS Jombang dan Sidoarjo saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas dukungan morilnya pada saat saya menempuh ujian tesis.

Semoga jasa yang baik dari semua pihak mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah yang Maha Pemurah. Saya berharap semoga penelitian ini memberikan manfaat kepada kita semua, khususnya kepada pihak-pihak yang menaruh minat terhadap pengembangan SDM keluarga dan masyarakat. Amiin.

(8)

Oleh: Asmuni Syukir (090114385/M)

RINGKASAN

Sejalan dengan perubahan nilai-nilai kondisi sosial, ekonomi, budaya dan teknologi, maka peran suami-istri dalam keluarga juga mengalami perubahan, sehingga peran mereka tidak lagi didasarkan atas sebuah tradisi atau budaya sosial yang bersifat mengikat. Peran instrumental yang selama ini dipegang oleh laki-laki secara perlahan juga diperankan oleh perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan dalam kehidupan sekarang seringkali dijumpai bahwa laki-laki juga menjalankan pekerjaan, yang secara tradisional dan karakteristik pekerjaan, dilakukan oleh perempuan. Dalam aktivitas keluarga sekarang yang terjadi adalah fleksibilitas fungsi atau peran laki-laki dan perempuan (suami-istri).

Peran ganda perempuan berkeluarga baik sebagai perempuan karir dan ibu rumah tangga merupakan tantangan yang cukup berat dalam upaya menciptakan keluarga sejahtera. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan karena beberapa faktor sosial, ekonomi ataupun faktor lain yang bersifat internal. Hal itu disadari bahwa keluarga sehat, bahagia dan sejahtera merupakan syarat utama untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.

Kondisi semacam itu, dalam kehidupan keluarga, membentuk sebuah proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga yang dapat memengaruhi perilaku ekonomi anggota keluarga dalam menggunakan keuangannya.

Fenomena keluarga karir dan bukan keluarga karir (istri atau suami yang mencari nafkah) merupakan fenomena menarik untuk diteliti karena menyentuh secara langsung proses pengambilan keputusan dalam membelanjakan keuangan keluarga. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, penelitian ini menganalisis pengaruh proses pengambilan keputusan ekonomi terhadap perilaku ekonomi dalam penggunaan keuangan keluarga karyawan STKIP PGRI Jombang.

(9)
(10)

By: Asmuni Syukir (090114385/M)

SUMMARY

Today, husbands’ and wives’ roles and functions have undergone some changes due to social and economic conditions, cultural and technology transformation as well. Furthermore, their roles are not based on the strict tradition and culture. The instrumental roles played by husbands are getting more possible to do by wives. Making money, for example, is not only done by husbands but wives. Husbands, as frequently known, also handle any jobs traditionally or commonly done by wives. Then, parents’ roles and functions are getting more flexible.

Consequently, wives are required to play double-roles, as carrier-women and housewives. Those jobs should be well done to keep their family good and happy. Such sort of family is quietly required as the main base of accelerating human resource development. Such phenomenon creates a term of carrier parents. Both carrier and non-carrier parents has a decision-making process of financial spending which, in turn, affects the economic behavior of family in spending money.

The phenomenon of carrier-parents and non-carrier-parents (only husband or wife makes money) is interesting to investigate. This study is aimed at analyzing the effect of decision-making process on the economic behavior of income spending of the officers of STKIP PGRI Jombang.

This study is a correlational (non-experimental) study. The number of population is 60 households from which the sample (52 households) is formulated. The instruments employed are questionnaires (close-ended questions).

(11)

By: Asmuni Syukir (090114385/M)

ABSTRACT

The changes of social and economic condition, and women emancipation practices bring forth some effects of decision-making process in a household on the economic behavior of spending money. The old paradigm says that husbands play more dominant in making decision than wives, included in spending money because, traditionally, husbands are men of money-makers. But the new paradigm emphasizes on flexibility of functions and/or roles played in a family. The phenomenon of carrier-women shows the real women’s participation in making money. This, of course, creates a particular decision-making process of financial spending which affects their economic behavior.

The present study investigated the effects of decision-making process on the economic behavior of financial spending of the officers of STKIP PGRI Jombang. The population of this study is all the officers of STKIP PGRI Jombang who are married with kids and live together in a house and with 30-49 years of age (60 households). The number of formulated sample is 52 households.

In getting data, the researcher employed questionnaires (close-ended questions). Then, the data were analyzed with the statistical procedures.

Based on the statistical computation, the results of this study reveal that (1) the decision-making process of financial spending significantly affects the economic behavior of carrier parents; (2) the decision-making process of financial spending significantly affects the economic behavior of non-carrier parents; (3) the decision-making process of financial spending by carrier parents is not significantly affects the economic behavior of non-carrier parents; (4) the decision-making process of financial spending by non-carrier parents significantly affects the economic behavior of carrier parents; and (7) the decision-making process of financial spending is significantly affects the economic behavior of carrier and non-carrier parents.

(12)

Halaman

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Keluarga …………... 10

2.2. Tinjauan Keluarga Karir dan Bukan Karir ………... 14

2.2.1. Pengertian Keluargadan Rumah Tangga ……… 14

2.2.2. Peranan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir 18 2.2.3. Kekuasaan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir ………... 24

2.3. Proses Pengambilan Keputusan dalam Keluarga …………... 28

2.3.1. Pengertian Pengambilan Keputusan ………... 28

2.3.2. Beberapa Model Pengambilan Keputusan ………. 30

2.3.2.1. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Teori Prospek ……… 30

2.3.2.2. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Perilaku …... 35

2.3.2.3. Model Pengambilan Keputusan Konsumen……… 37

2.3.3. Peranan Suami Istri dalam Pengambilan Keputusan Keluarga ………... 40

(13)

Bersaing ………... 48

2.4.2.2. Perilaku Ekonomi Keluarga Berdasarkan Teori Utilitas 50 2.4.3. Perilaku Ekonomi dalam Penggunaan Keuangan Keluarga .. 53

2.4.3.1. Perilaku Konsumtif dan Konsumeristik ……….. 53

2.4.3.2. Perilaku Menabung (Saving) ………... 57

2.4.3.3. Perilaku Kredit/Hutang (Dissaving) ………... 59

2.5. Hubungan Proses Pengambilan Keputusan dan Perilaku Ekonomi ………... 60

2.6 Teori Pertukaran sebagai Pendekatan Pengkajian Keluarga….. 67

BAB 3. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS ………. 71

3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ………... 71

3.2. Hipotesis ……….. 72

BAB 4. METODE PENELITIAN ………... 74

4.1. Rangcangan Penelitian ………... 74

4.2. Populasi dan sampel ……….. 75

4.2.1. Populasi ………... 75

4.2.2. Sampel ………... 76

4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………... 76

4.3.1. Variabel Penelitian ………. 76

4.3.2. Definisi Operasional ……….. 77

4.4. Data dan Instrumen Penelitian ………. 78

4.4.1. Data Penelitian ………... 78

4.4.2. Instrumen Penelitian ……….. 78

4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 79

4.6. Prosedur Penelitian ………... 80

4.7. Analisis data ……….. 81

BAB 5. ANALISIS HASIL PENELITIAN ……… 82

5.1. Gambaran Umum Obyekpenelitian ……… 82

5.2. Deskripsi Variabel Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan Keluarga ………. 84

5.2.1. Pengambilan Keputusan untuk Pembelian Produk dan Jasa .. 84

5.2.2. Pengambilan Keputusan untuk Menabung/Investasi ………. 87

5.2.3. Pengambilan Keputusan untuk Kredit/Hutang ……….. 88

5.3. Deksripsi Variabel Perilaku Ekonomi ………... 90

5.3.1. Perilaku Konsumtif/Konsumeristik ………... 90

5.3.2. Perilaku Menabung/Investasi ………. 92

(14)

5.4.2. Uji Normalitas ………... 98

5.4.3. Hasil Analisis MANOVA ……….. 99

BAB 6. PEMBAHASAN ………. 104

6.1. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 104

6.1.1. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan terhadap Perilaku Ekonomi pada Keluarga Karir………... 104

6.1.2. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan terhadap Perilaku Ekonomi pada Keluarga Bukan Karir……… 109

6.1.3. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan Keluarga Karir terhadap Perilaku Ekonomi Keluarga Bukan Karir……… 116

6.1.4. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan Keluarga Bukan Karir terhadap Perilaku Ekonomi Keluarga Karir………. 117

6.1.5. Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan dalam Penggunaan Keuangan terhadap Perilaku Ekonomi pada Keluarga Karir dan Bukan Karir……… 118

6.2. Implikasi Hasil Penelitian ………. 124

6.3. Keterbatasan Penelitian ………. 125

BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN ………. 127

7.1. Simpulan ……….. 127

7.2. saran ………. 128

Daftar Kepustakaan ………... 129

(15)

Halaman

Tabel 4.1 Variabel dan Definisi Operasional ……… 77

Tabel 4.2 Rencana Pengembangan Instrumen Penelitian ……….. 79

Tabel 5.1 Keadaan karyawan STKIP PGRI Jombang Menurut Kriteria sebagai Obyek Penelitian ………... 82

Tabel 5.2 Keadaan Karyawan STKIP PGRI Jombang yang Menjadi Sampel Penelitian Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Keluarga Karir dan Bukan Karir Tahun 2005……… 83

Tabel 5.3 Keadaan Keluarga Responden Berdasarkan Kelompok Keluarga Karir dan Bukan Karir Menurut Jumlah Anak Tahun 2005………... 83

Tabel 5.4 Jawaban Responden tentang Peranan Suami dan Istri dalam Pengambilan Keputusan untuk Membeli atau Mengkonsumsi Produk dan Jasa………. 84

Tabel 5.5 Jawaban Responden tentang Peranan Suami dan Istri dalam Pengambilan Keputusan untuk Menabung/Investasi…………. 87

Tabel 5.6 Jawaban Responden tentang Peranan Suami dan Istri dalam Pengambilan Keputusan untuk Kredit/Hutang……….. 88

Tabel 5.7 Jawaban Responden tentang Perilaku Konsumtif/ Konsumeristik……… 90

Tabel 5.8 Jawaban Responden tentang Perilaku Menabung/Investasi….. 92

Tabel 5.9 Jawaban Responden tentang Perilaku Kredit/Hutang………… 94

Tabel 5.10 Resume Hasil Uji Validitas……… 96

Tabel 5.11 Resume Hasil Uji Reliabilitas……… 97

Tabel 5.12 Resume Hasil Uji Normalitas……… 99

Tabel 5.13 Multivariate Tests……….. 100

Tabel 5.14 Test of Between-Subjects Effects (Resume)………... 101

(16)

Halaman

Gambar 2.1 :Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah ………. 29

Gambar 2.2 :Fungsi Nilai Teori Prospek ………. 32

Gambar 2.3 : Teori Pengambilan keputusan Berdasarkan Perilaku……. 36

Gambar 2.4 :Model Pengambilan Keputusan Konsumen ……… 38

Gambar 3.1 :Kerangka Konseptual Penelitian ………. 71

Gambar 4.1 : Rancangan Penelitian Model Crossbreak………... 75

(17)

Halaman

Lampiran 1 Kuesioner ………... 134

Lampiran 2 Tanggapan Responden atas Kuesioner ……….. 145

Lampiran 3 Uji Validitas Item Instrumen (Kuesioner) ………... 149

Lampiran 4 Uji ReliabilitasItem Instrumen (Kuesioner) ………... 158

Lampiran 5 Uji Normalitas antar Variabel ……… 162

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada semua masyarakat yang pernah dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan kewajiban dan hak keluarga, atau yang disebut role relations. Sebab, setiap orang yang hidup dalam keluarga disadarkan tentang adanya hubungan peran ini melalui proses sosialisasi yang berlangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses belajar untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota keluarga lain yang akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki. Meskipun dalam praktiknya masih ada orang yang merasakan kewajiban itu sebagai beban dan tidak peduli akan hak-hak anggota keluarga yang lain, terutama mengenai kewajiban dan hak-hak perempuan (Goode, 2002:1).

(19)

Pembagian peran semacam ini hampir sama dengan yang berlaku pada masyarakat Malaysia, di sana suami (ayah) yang bertanggungjawab mencari nafkah untuk keluarganya, dan karena itu dia berhak mendapat penghormatan dan kesetiaan dari istri dan anak-anaknya. Sedang istri (ibu) bertanggungjawab menjaga hal ikhwal suaminya, mengasuh dan mendidik anaknya, dan karena itu dia berhak menerima kasih sayang dari suami dan anaknya (Abdullah, 2000). Begitu pula yang berlaku pada masyarakat Barat, bahwa pembagian peran dalam keluarga secara tradisional selalu menunjuk pada laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (Webley et al., 2001:79). Bahkan menurut Mosse (2003:38), bagi perempuan di seluruh dunia, pekerjaan rumah tangga, apapun bentuknya, merupakan bagian penting dari peran gendernya. Peran gendernya itu merupakan aktivitas di mana mereka, khusunya jika mereka memiliki anak, mencurahkan seluruh energi dan komitmennya.

Pembagian kerja dalam keluarga seperti tersebut di atas bukan didasarkan atas pertimbangan kemampuan individu. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa perempuan dapat mengerjakan semua pekerjaan laki-laki. Hasil penelitian Suryadi (1991) bisa menjadi bukti bahwa perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga mampu memimpin dan mampu mengatasi masalah yang dihadapi keluarganya.

(20)

sektor domestik bersifat informal, tidak upahan dan tidak mengandung nilai ekonomi dan status sosial. Oleh karenanya, kedudukan suami dalam keluarga dianggap lebih penting daripada kedudukan istri. Hal ini, menurut Mosse (2003:39-40), sebagai salah satu konsekuensi bila memandang kerja aktual perempuan sebagai ibu rumah tangga, sehingga kerja lain apapun yang dilakukan oleh kaum perempuan hanya dilihat sebagai suplementer. Sedangkan secara paradoks, oleh karena kehamilan, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak dipandang sebagai hal yang alami, maka semua kegiatan atau bahkan semua tugas produktif lainnya yang dilakukan perempuan di dalam dan sekitar rumah tangga hanya untuk keuntungan keluarga.

Oleh karena itu, ketika nilai-nilai baru dalam masyarakat mengubah sistem keluarga, ditambah dengan semakin maraknya gerakan feminisme di Barat, maka tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan meningkat secara drastis. Contoh di Amerika Serikat, pada tahun 1950 TPAK perempuan hanya sekitar 33% tetapi pada pertengahan tahun 1980-an meningkat menjadi sekitar 60% (Megawangi, 2000:211). Di Indonesia sekalipun tidak sedrastis di Amerika Serikat, namun dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1980 TPAK perempuan sebesar 32,43% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 38,79% (Abdullah, 2001:103), kemudian pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 51,69% (Depnakertrans, 2001). Demikian juga di kabupaten Jombang yang pada tahun 1990 hanya 32,25%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 37,30%, dan 37,38% pada tahun 2001 (BPS Jombang, 2001).

(21)

penelitian Sunaryo dan Zuriah (2003) menunjukkan bahwa motivasi yang mendorong perempuan bekerja di kota Malang sebanyak 83% karena tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga, 12% hanya untuk aktualisasi diri, dan 5% karena ikut-ikutan (daripada menganggur). Hal ini semakin mempertegas hasil penelitian Stoller (Sunaryo dan Zuriah, 2003), bahwa kaum perempuan bekerja bukanlah disebabkan oleh suatu pembagian kerja seksual, tetapi karena mereka memperoleh sumber-sumber strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin.

Oleh karena itu hubungan peran dalam keluarga sepatutnya didasari oleh pandangan yang diilhami oleh teori yang menekankan bahwa meskipun peran domestik dan publik berbeda, tetapi mempunyai nilai dan fungsi yang sama, sehingga kedudukan istri dan suami adalah sama, meskipun mempunyai peran berbeda. Teori ini lebih dekat dengan paradigma fungsional-struktural, terutama pemikiran-pemikiran Parson dan para pengikutnya (Effendi, 1995:47).

Menurut Parson (Effendi, 1995:48), laki-laki dan perempuan perlu berbeda peran, khususnya interaksi suami-istri dalam rumah tangga. Laki-laki memainkan peran instrumental yakni sebagai pencari nafkah utama di luar rumah, sedangkan perempuan memainkan peran expressive yakni memelihara dan mengasuh anak di rumah. Pembagian peran ini sangat penting dalam kehidupan rumah tangga, namun tidak berarti peran instrumental mempunyai nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan peran expressive.

(22)

pada proses pertukaran melalui perundingan dan kesepakatan bersama, di samping mempertahankan keseimbangan yang memadai (Gulardi, 1999:176).

Dengan demikian, persoalan hak atas pendapatan suami/istri, posisi istri terhadap suami atau posisi suami terhadap istri, seharusnya berimbang yang didasarkan atas kesepakatan (musyawarah). Bahkan pihak yang mendapatkan penghasilan pun tidak sertamerta berkuasa penuh dalam penggunaannya. Hasil penelitian Sunaryo dan Zuriah (2003), diketahui bahwa posisi istri terhadap suami dalam pemanfaatan pendapatan suami sebagian besar (89%) seimbang (atas dasar musyawarah), 11% dikuasai istri, dan hanya 7% yang dikuasi suami.

Namun, menurut Burgoyne (Webley et al., 2001:86), suami atau istri yang tidak berpenghasilan dapat merasakan status dalam pertaliannya, meskipun dalam keluarga yang menghormati nilai-nilai kesetaraan. Misalnya, istri yang berpenghasilan dan berkesempatan memberi kontribusi finansial, akan menjadikan tingkat otonomi dalam pengambilan keputusan lebih besar. Sedang bagi istri yang secara ekonomi bergantung pada suami, justru menjadi sumber ketidaknyamanan, karena pengambilan keputusan didominasi oleh suami. Lain halnya jika pembagian peran dalam keluarga didasarkan pada skala ekonomi (Becker, 1991:23-24), maka tidak mustahil pihak istri yang dominan sebagai pengambil keputusan, apalagi sang istri berpenghasilan lebih tinggi daripada penghasilan suami.

(23)

(anggota keluarga) merasa tidak puas jika belum memiliki atau mengkonsumsi produk yang diiklankan tersebut atau berperilaku konsumeristik, bahkan bisa pula berperilaku konsumtif bila pembelian produk tersebut dilakukan tanpa pertimbangan rasional. Sebab, perilaku seseorang terarah pada suatu obyek karena didorong oleh kondisi psikologisnya (Evanita dkk., 2003). Hal ini berarti bahwa kondisi psikologis ketika suami atau istri memiliki peranan atau tidak memiliki peranan dan atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan akan mempengaruhi perilaku anggota keluarga, terutama dalam hal penggunaan keuangan keluarga.

Penelitian Darmastuti (2002) di Lampung Selatan diperoleh keterangan bahwa partisipasi, kontrol, dan akses perempuan (istri) dalam pengambilan keputusan keluarga cukup tinggi dan signifikan, sehingga perempuan mendapat manfaat dari pengambilan keputusan tersebut. Demikian juga akses, kontrol, dan manfaat perempuan (istri) terhadap sumber daya dalam keluarga.

Penelitian Evanita dkk. (2003) di Kota Padang diperoleh pula keterangan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara slogan, model, repetisi, motivasi, umur, pendidikan, pendapatan, kelompok, dan sikap secara simultan terhadap perilaku konsumtif ibu rumah tangga pada produk yang diiklankan televisi, meskipun secara parsial, umur dan kelompok tidak berpengaruh terhadap perilaku konsumtif. Sedangkan penelitian Zebua (2001) di Tarakan juga diperoleh keterangan bahwa konformitas dengan konsep diri secara bersama-sama berpengaruh terhadap perilaku konsumtif pada remaja.

(24)

dalam penggunaan keuangan keluarga terhadap perilaku ekonomi keluarga karyawan STKIP PGRI Jombang, dapat dipandang layak dan penting untuk diteliti.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi pada keluarga karir? 2. Apakah proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan

berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi pada keluarga bukan karir?

3. Apakah proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga karir berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir?

4. Apakah proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir berpengaruh signifikan terhadap perilaku ekonomi keluarga karir?

(25)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Membuktikan secara empiris pengaruh proses pengambilan keputusan dalam penggunaan kekuangan terhadap perilaku ekonomi pada keluarga karir maupun bukan karir.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis pengaruh interaksi antara proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan terhadap perilaku ekonomi pada keluarga karir.

2. Menganalisis pengaruh interaksi antara proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan terhadap perilaku ekonomi pada keluarga bukan karir. 3. Menganalisis pengaruh interaksi antara proses pengambilan keputusan dalam

penggunaan keuangan keluarga karir terhadap perilaku ekonomi keluarga bukan karir.

4. Menganalisis pengaruh interaksi antara proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga bukan karir terhadap perilaku ekonomi keluarga karir.

5. Menganalisis pengaruh interaksi antara proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan terhadap perilaku ekonomi pada keluarga karir maupun bukan karir.

1.4. Manfaat Penelitian

(26)

2. Memperkaya pengkajian tentang keluarga, terutama sebagai informasi ilmiah untuk pengembangan sumber daya manusia pada keluarga dan masyarakat. 3. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang pengembangan

sumber daya manusia pada keluarga dan masyarakat.

(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu tentang Keluarga

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan perilaku ekonomi dalam keluarga, sebatas yang diketahui peneliti, masih bersifat parsial. Tombokan (2001) melakukan penelitian pada keluarga karir suku Jawa dan Minahasa di Menado tentang peranan istri dan suami dalam pengambilan keputusan untuk membeli berbagai produk dan jasa. Darmastuti (2002) melakukan penelitian tentang gender dalam pembuatan keputusan keluarga dan masyarakat di Lampung Selatan. Sunaryo dan Zuriah (2003) melakukan penelitian tentang pola pengambilan keputusan dalam keluarga wanita karir di kota Malang. Sedangkan Busono dkk. (2003) meneliti tentang perubahan sosial dan perilaku ekonomi keluarga di desa asal migran tenaga kerja wanita (TKW) di Jawa Barat. Penelitian ini merupakan penelitian baru yang ingin mengetahui tentang pengaruh proses pengambilan keputusan dalam penggunaan keuangan keluarga terhadap perilaku ekonomi, baik dalam keluarga karir maupun bukan karir.

(28)

Selain itu penelitian Tombokan (2001) juga menemukan lima macam pola pengambilan keputusan dalam keluarga, yaitu: (1) Keputusan bersama suami-istri dengan posisi setara. Pola ini banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, rekreasi/liburan, keuangan, reproduksi, dan pendidikan moral anak. (2) Keputusan bersama suami-istri tetapi istri yang dominan. Pola ini banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan di bidang pakaian, terutama dalam pembelian pakaian suami. (3) Keputusan bersama suami-istri tetapi suami yang dominan. Pada pola ini suami ternyata tidak dominan, kecuali sebatas peringkat kedua, yaitu di bidang pendidikan, perumahan, dan rekreasi/liburan. (4) Keputusan oleh istri sendiri. Peran istri dalam pola ini cukup besar. Dari sepuluh bidang yang diteliti, istri mendominasi pengambilan keputusan di bidang makanan, kesehatan, pakaian, dan perabot rumah tangga. (5) Keputusan oleh suami sendiri. Peran suami dalam pola ini sagat kecil, bahkan nyaris tidak berperan.

(29)

Dari penelitian Sunaryo dan Zuriah (2003) tentang pola pengambilan keputusan dalam keluarga wanita karir, diperoleh informasi bahwa posisi istri banyak menentukan pengambilan keputusan dalam keluarga, terutama dalam hal urusan rumah tangga seperti berbelanja, menyiapkan makanan, menentukan jenis menu, mengasuh anak, dan lainnya. Sedangkan posisi istri terhadap hak di hadapan suami meliputi pemanfaatan pendapatan suami (berimbang), pemilikan kekayaan keluarga (ditentukan suami), menentukan kegiatan di luar rumah (berimbang), dan menyalurkan aspirasi (berimbang). Adapun motivasi yang mendorong para istri untuk bekerja, diketahui sebagian besar karena tuntutan ekonomi keluarga, dan sebagian lainnya sekadar aktualisasi diri dan ikut-ikutan.

Mengenai cara atau proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga, dari hasil penelitian Sunaryo dan Zuriah (2003) juga terlihat bahwa istri berperan dalam menentukan atau membeli perabot rumah tangga, menabung dan memanfaatkan uang tabungan, menentukan pendidikan anak, menentukan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan rumah tangga, dan menentukan keharusan istri bekerja. Adapun faktor-faktor dominan yang mempengaruhi posisi istri dalam pengambilan keputusan keluarga secara berturut-turut adalah nilai budaya yang berlaku sekarang, pendapatan suami-istri berimbang, lingkungan di sekitar rumah, latar belakang status sosial ekonomi istri lebih tinggi, dan pendapatan istri lebih tinggi.

(30)

urusan publik sederhana; (2) pengambilan keputusan oleh istri untuk urusan domestik sederhana; (3) pengambilan keputusan secara musyawarah suami-istri dengan dominasi istri untuk urusan domestik tingkat menengah; (4) pengambilan keputusan secara musyawarah suami-istri dengan dominasi suami untuk urusan publik tingkat menengah; dan (5) pengambilan keputusan dengan musyawarah suami-istri secara setara untuk persoalan-persoalan penting dan skala besar bagi ukuran keluarga.

(31)

2.2. Tinjauan Keluarga Karir dan Bukan Karir 2.2.1. Pengertian Keluarga dan Rumah Tangga

Hampir semua penduduk dunia hidup dalam unit-unit keluarga, tetapi struktur atau bentuknya berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain, bahkan berbeda juga dari satu kelas dengan kelas yang lain di dalam masyarakat itu sendiri (Goode, 2002:89). Oleh karena itu, istilah keluarga tidak mudah didefinisikan (Wahini, 2002), dan meskipun sejak 1920-an penelitian tentang keluarga telah dilaksanakan, hingga kini masih belum ditemukan definisi keluarga yang tepat dan universal (Abdullah, 2000). Tetapi kaum feminis berpandangan lain, bahwa keluarga dilihat sebagai bentuk perbudakan yang dicanggihkan, seperti dalam komunitas desa di India Utara (yang diteliti Patricia Jefrey dan koleganya), di sana mempelai perempuan dianggap sebagai kekayaan orang lain dan setelah perkawinan perempuan muda harus mengadopsi bentuk-bentuk perilaku yang menunjukkan status subordinat mereka (Mosse, 1993:66).

Definisi keluarga juga diperdebatkan di Markas Besar PBB New York dalam agenda pembahasan “Keadilan Gender”. Menurut Khofifah (Kompas, 21 Juni 2000), perdebatan tersebut muncul karena adanya usulan agar definisi keluarga diperluas, yaitu meliputi keluarga yang dibentuk oleh pasangan homoseksual, gay, lesbian dan pasangan heteroseksual tanpa ikatan perkawinan. Padahal, konvensi hasil Kongres Dunia tentang wanita di Cairo tahun 1994, mendefinisikan keluarga sebagai seorang perempuan dan seorang laki-laki yang terikat dalam ikatan perkawinan, dengan atau tanpa anak.

(32)

satu sama lain berdasarkan hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Demikian juga Morgan (Wahini, 2002) mengusulkan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua-anak) sekaligus.

Di Indonesia, definisi keluarga mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan, yang mengartikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Apabila dikaji dari undang-undang ini maka jelas, bahwa keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak, karena ikatan darah dan hukum. Hal ini sejalan dengan pemahaman keluarga di negara-negara Barat, bahwa keluarga mengacu pada sekelompok individu yang berhubungan darah dan adopsi yang diturunkan dari nenek moyang yang sama (Wahini, 2002).

(33)

sosial-ekonomi keluarga telah berubah antara lain ditandai dengan keterlibatan istri bekerja di luar rumah sehingga menggeser peran masing-masing anggota keluarga. Tetapi sebagaimana yang diungkapkan oleh Plato, bahwa struktur keluarga laksana tubuh manusia, masing-masing unsur (individu) mengetahui posisinya dan mampu menjalankan fungsi-fungsi yang diembannya melalui pembagian kerja (division of labor) yang patuh pada sistem nilai yang melandasi sistem tersebut (Megawangi, 1999:57).

Berdasarkan uraian tersebut, maka konsep keluarga tidak sepatutnya dibatasi oleh kerangka tempat tinggal sebagaimana yang pernah dibuat oleh Burgess, Murdock, dan Goode, walaupun konsep keluarga dapat dilihat dalam bentuk keluarga inti (nuclear) ataupun keluarga batih. Keluarga inti (nuclear) ialah keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri dan anak-anak yang belum kawin. Sedangkan keluarga batih ialah keluarga inti ditambah dengan ayah, ibu, mertua, kakek, nenek, menantu, cucu, saudara, dan lain-lain (Abdullah, 2000).

(34)

Rumah tangga keluarga adalah sebuah rumah tangga yang anggota-anggotanya terikat oleh hubungan perkawinan, darah atau adopsi, yang bisa terdiri (1) rumah tangga suami dan istri, (2) rumah tangga suami, istri dan anak-anaknya, (3) rumah tangga suami dan istri, sedang anak-anak tinggal di rumah tangga yang berbeda, misalnya sekolah di luar kota, (4) rumah tangga orang tua tunggal (ayah atau ibu saja), dan (5) rumah tangga lainnya (saudara sekandung, atau anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama dalam satu rumah). Sedangkan rumah tangga bukan keluarga adalah sebuah rumah tangga yang anggota-anggotanya tidak terikat oleh hubungan perkawinan, darah atau adopsi. Rumah tangga bukan keluarga terdiri (1) rumah tangga yang dihuni oleh seorang pria sendiri, (2) rumah tangga yang dihuni seorang wanita sendiri, dan (3) rumah tangga yang dihuni oleh dua orang atau lebih yang tidak memiliki hubungan keluarga (Sumarwan, 2003:228-229).

(35)

2.2.2. Peranan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir

Pada umumnya masyarakat menempatkan perempuan sebagai tokoh penting di lingkungan keluarga. Mereka diharapkan untuk menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarganya, berperan sebagai pemelihara tradisi, norma dan nilai yang sesuai dengan harapan masyarakat (Gulardi, 1999:167). Nilai yang demikian ini terlihat dalam prinsip yang dipakai oleh Undang-Undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu prinsip patriarkhal konvensional. Prinsip ini pada intinya adalah suami sebagai kepala keluarga wajib memenuhi semua kebutuhan hidup rumah tangganya sesuai dengan kemampuannya, sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga wajib mengurus rumah tangganya.

Pembagian peran suami-istri yang patriarkhal semacam ini hampir sama dengan yang berlaku pada masyarakat Malaysia, di sana suami (ayah) yang bertanggungjawab mencari nafkah untuk keluarganya, dan karena itu dia berhak mendapat penghormatan dan kesetiaan dari istri dan anak-anaknya. Sedang istri (ibu) bertanggungjawab menjaga hal ikhwal suaminya, mengasuh dan mendidik anaknya, dan karena itu dia berhak menerima kasih sayang dari suami dan anaknya (Abdullah, 2000). Begitu pula yang berlaku pada masyarakat Barat, bahwa pembagian peran dalam keluarga secara tradisional selalu menunjuk pada laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (Webley et al., 2001:79). Bahkan menurut Mosse (2003:38), bagi perempuan di seluruh dunia, pekerjaan rumah tangga, apapun bentuknya, merupakan bagian penting dari peran gendernya.

(36)

tugas utamanya. Bahkan berdasarkan polling yang dilakukan oleh kantor perdana menteri (1992), sebagian besar perempuan (90%) mengatakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci baju adalah tugas perempuan. Menurut sumber yang sama, sebagian besar perempuan harus tinggal di rumah sampai anaknya masuk usia SD. Hal ini ditunjang oleh data bahwa hanya sebesar 13,5% perempuan yang mempunyai anak kecil yang bekerja full time. Di Indonesia kondisinya sedikit berbeda. Suami cukup berperan dalam membantu peran-peran yang umum dilakukan oleh perempuan. Berdasarkan penelitian BKKBN di Jawa Timur dan Menado, ternyata hanya sekitar 50% istri yang mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas istri, dan sekitar 40% mengatakan tanggungjawab bersama suami dan istri. Namun ini masih menunjukkan bahwa peran pengasuhan anak lebih condong dikaitkan dengan peran keibuan, namun tidak setajam yang dianut oleh masyarakat Jepang (Megawangi, 1999:40).

(37)

yang sakral dan merupakan sumber kebahagiaan perkawinan. Karenanya para istri ingin sekali berbakti pada suaminya.

Memang, dampaknya perempuan berkutat pada lingkup rumah tangga (domestik) saja dan tertutup kemungkinan bisa berkarir di luar rumah (publik). Padahal peran dalam sektor ‘domestik’ dan ‘publik’ mempunyai perbedaan dan nilai yang tidak sama. Sektor ‘publik’ biasanya bersifat formal, upahan dan mempunyai nilai ekonomi dan status sosial. Sedangkan sektor ‘domestik’ bersifat informal, tidak upahan dan tidak mengandung nilai ekonomi dan status sosial. Oleh karenanya, kedudukan suami dalam keluarga dianggap lebih penting daripada kedudukan istri (Effendi, 1995:47). Hal ini, menurut Mosse (2003:39-40), sebagai salah satu konsekuensi bila memandang kerja aktual perempuan sebagai ibu rumah tangga, sehingga kerja lain apapun yang dilakukan oleh kaum perempuan hanya dilihat sebagai suplementer atau sekunder. Begitu pula jika diperluas, semua tugas produktif lainnya yang dilakukan perempuan di dalam dan sekitar rumah tangga, untuk keuntungan anggota keluarga sekalipun, dianggap bukan kualitas kerja yang sesungguhnya, atau didefinisikan sebagai bukan kerja.

(38)

anak terdapat hubungan yang demokratis, para remaja kawin dalam umur yang tidak terlalu muda, jumlah anak dalam keluarga menjadi kecil, dan angka perceraian cenderung naik. Sebagai dampaknya, perempuan bekerja di luar rumah menjadi fenomena keluarga dan masyarakat moderen. Indikasinya terlihat dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang terlibat dalam dunia kerja semakin meningkat, terutama di negara-negara industri yang maju.

Menurut Dagun (2002:143), sejak abad ke-20 di negara-negara maju, misalnya di Inggris, hanya satu di antara 20 keluarga yang masih menyukai pola peran tradisional, seperti suami bekerja dan istri tinggal di rumah mengurus keluarga dan mengasuh anak. Di Amerika Serikat, menurut Megawangi (2000:211), dengan semakin maraknya gerakan feminisme sejak 1960-an maka tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan meningkat secara drastis, yaitu sekitar 33% pada tahun 1950 menjadi sekitar 60% pada pertengahan 1980.

Di Indonesia sekalipun tidak sedrastis di Amerika Serikat, namun dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1980 TPAK perempuan sebesar 32,43% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 38,79% (Abdullah, 2001:103), kemudian pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 51,69% (Depnakertrans, 2001). Demikian juga di kabupaten Jombang yang pada tahun 1990 hanya 32,25%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 37,30%, dan 37,38% pada tahun 2001 (BPS Jombang, 2001).

(39)

bahwa motivasi yang mendorong perempuan bekerja 83% karena tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga, sekalipun penelitian Stoller (Sunaryo dan Zuriah, 2003) menemukan bahwa kaum perempuan bekerja bukan karena disebabkan oleh suatu pembagian kerja seksual melainkan karena memperoleh sumber-sumber strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin.

Tetapi penelitian Suryadi (2001) terhadap ibu yang sudah bekerja antara 5-13 tahun dan memiliki anak 2-3 orang, ternyata mereka mengalami konflik antar peran ketika menjalani peran ganda, mengalami kecemasan tentang pengasuhan anak, dan merasa bersalah atas ketidakhadiran mereka sebagai seorang istri dan ibu. Meskipun demikian, menurut Dagun (2002:144), wanita karir pada umumnya menolak anggapan bahwa mereka menanggung berbagai beban berat karena peran gandanya. Mereka tidak merasa naluri keibuannya terganggu oleh karir mereka, tetapi justru mereka menemukan keasyikan tertentu dalam menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga, dan merasa lebih energik di tempat kerja. Walters dan McKenry (Rini, 2002) juga mengungkap bahwa wanita karir cenderung merasa bahagia selama mereka dapat mengintegrasikan kehidupan keluarga dan kehidupan kerja secara harmonis.

(40)

orang tua yang sama-sama bekerja menyebabkan ayah cenderung lebih memperhatikan anaknya dua kali dari sebelumnya. Tetapi bila suami/ayah tetap mempertahankan pola peran tradisional dan menolak ikut berpartisipasi dalam mendidik dan mengasuh anak, maka akan membawa kesulitan bagi istri/ibu dan anaknya (Dagun, 2002:144-145).

Oleh karena itulah dukungan suami terhadap istri yang bekerja sangatlah penting. Dari penelitian Jones dan Jones (Rini, 2002) terungkap bahwa sikap suami merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan keluarga karir. Suami yang merasa terancam, tersaingi dan cemburu dengan status bekerja istrinya, tidak bisa bersikap toleran terhadap keberadaan istri yang bekerja. Namun ada pula yang merasa tidak menderita meskipun mereka ditinggal istrinya bekerja di luar negeri, seperti penelitian Busono dkk. (2003) di Jawa Barat, bahwa sebagian besar para suami yang istrinya menjadi TKW`di luar negeri menyatakan tidak menderita, bahkan mereka mendukung karir istrinya dan ikut bekerjasama dalam mengurus pekerjaan rumah tangga sehari-hari.

Dalam kondisi yang terakhir ini pada umumnya sang istri akan lebih dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan hidup. Dari penelitian Scanzoni (Rini, 2002) terungkap bahwa keluarga karir dikatakan berhasil jika di antara suami dan istri saling memperlakukan pasangannya sebagai patner yang setara. Mereka pada umumnya tidak hanya berbagi pendapatan tetapi juga tidak segan-segan berbagi dalam urusan rumah tangga dan mengurus anak.

(41)

Dilaporkan bahwa istri/ibu yang bekerja di luar rumah akan bertambah kesadaran diri dan harga dirinya. Bahkan dia merasa tidak yakin kalau anak mengalami penderitaan oleh adanya perubahan sistem dalam keluarga (Dagun, 2002:147).

2.2.3. Kekuasaan Suami Istri dalam Keluarga Karir dan Bukan Karir Hampir di semua masyarakat, kekuasaan di dalam keluarga berada di tangan laki-laki, sehingga hak pengambilan keputusan penting pun berada dalam kekuasaan suami. Bahkan rasa hormat pun hanya ada dari pihak istri kepada suami (Abdullah, 2000), kecuali di Amerika dan negara-negara Barat yang sudah langka sosok suami/ayah yang diidamkan, tetapi kenyataannya laki-laki (suami/ ayah) masih tetap dapat memaksakan kemauannya secara berhasil dalam persoalan keluarga (Goode, 2002:151).

Kekuasaan suami atau istri sangat erat kaitannya dengan pola hubungan antar suami-istri dalam keluarga. Sedangkan pola hubungan itu dapat dibedakan menurut pola perkawinannya. Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami-istri dalam keluarga atau rumah tangga, menurut Scanzoni & Scanzoni (Suleeman, 1999:100-101), dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) macam pola perkawinan, yaitu (1) owner property, yang mengganggap istri milik suami, (2) head complement, yang melihat istri sebagai pelengkap suami, (3) senior junior partner, yang memposisikan istri sebagai teman, dan (4) equal partner, yang memposisikan istri sebagai mitra sejajar.

(42)

ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Oleh karenanya tugas utama istri hanyalah mengurus keluarga, membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami, melahirkan dan mendidik anak-anaknya, sehingga dapat membawa nama baik suami. Jadi posisi istri dalam keluarga hanya sebagai perpanjangan dari kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita suami (Suleeman, 1999:101). Dengan perkataan lain, bahwa status sosial istri mengikuti status sosial suami, atau yang dalam masyarakat Jawa disebut sebagai “swaga nunut neraka katut” (kemuliaan istri numpang suami, tetapi kehinaan suami istri pun ikut terbebani). Celakanya, seperti kaum elit Jawa di masa lalu, suami bisa saja menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi, sedangkan istri tidak punya hak sedikitpun untuk protes.

(43)

terkadang tidak terlihat dan kurang dihargai daripada pekerjaan yang mendapat upah (Suleeman, 1999:102-103).

Sedangkan pada pola senior junior partner, posisi istri tidak lagi sebagai pelengkap suami tetapi sudah menjadi teman atau patner. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan kontribusi secara ekonomi, meski pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, secara ekonomis tidak lagi sepenuhnya bergantung pada suami, sehingga istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan sebagian kekuasaannya. Namun demikian suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar daripada suami. Karenanya istri terkadang harus mengorbankan karirnya demi karir suaminya. Begitu pula dalam hal status sosial, meskipun istri berasal dari status sosial yang lebih tinggi terpaksa harus turun status sosialnya karena mengikuti status sosial suami. Pola perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini (Suleeman, 1999:104).

(44)

keputusan yang diambil suami-istri saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasan masing-masing (Suleeman, 1999:104-105).

Dari keempat pola perkawinan (keluarga) tersebut nampak bahwa kekuasaan suami-istri dalam keluarga karir banyak dipengaruhi oleh pola hubungan suami-istri yang terkait langsung dengan hak-hak istri untuk akses ekonomi. Oleh karena itu semakin tinggi karir istri semakin bertambah hak-hak istri dalam keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Goode (2002:150), bahwa bertambahnya hak-hak istri di Barat selama setengah abad yang lalu pada kenyataannya telah mengurangi kekuasaan suami dalam keluarga. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena posisi tawar (bargaining posisition) istri meningkat seiring dengan akses pendapatan yang diterima dari pekerjaannya (Sayer & Bianchi, 2000:907). Berbeda dengan sistem keluarga yang menganut prinsip patriarkhal konvensional, yang memposisikan istri sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan tidak berpenghasilan, maka suami lebih berkuasa daripada istri (Effendi, 1995:47), kecuali jika keluarga itu mempunyai cara pandang Parsonian atau Beckerian yang lebih menekankan pada spesialisasi peran fungsional dalam rumah tangga (Sayer & Bianchi, 2000:907).

(45)

melindungi para perempuan yang dianggap sudah setara, mereka beranggapan bahwa perempuan tidak perlu lagi diperlakukan secara khusus, apalagi para feminisme moderen menolak konsep ketergantungan perempuan pada laki-laki.

Oleh karena itu apabila para perempuan karir mengikuti pola keluarga Barat, maka tidak mustahil mereka akan menuntut hak yang lebih besar terhadap suami seiring dengan status ekonominya, sehingga peran istri secara tradisional semakin berkurang. Bahkan tidak jarang pula terdapat istri yang bersikap dominan dalam keluarga. Padahal, menurut Kaminer (Megawangi, 2000:212), banyak perempuan di Barat, termasuk kaum feminisme, yang mengkritik konsep kebebasan perempuan yang justru telah menjadi konsep yang ‘menakutkan’. Menurut mereka, konsep ini dapat membuat para laki-laki bebas dari beban dan tanggungjawabnya, di mana sistem tradisional mengharuskan laki-laki bertanggungjawab terhadap nafkah dan kesejahteraan istri dan anaknya. Selain itu juga timbul tuduhan-tuduhan bahwa feminisme telah merusak keluarga, karena secara teori, feminisme moderen adalah anti keluarga. Dampaknya antara tahun 1963 dan 1975 angka perceraian di AS meningkat 100% dan masalah kesejahteraan anak-anak semakin mengkhawatirkan.

2.3. Proses Pengambilan Keputusan dalam Keluarga 2.3.1. Pengertian Pengambilan Keputusan

(46)

Pengambilan keputusan merupakan proses kognisi yang terkait secara langsung dengan penentuan pilihan yang paling tepat (Sarwono, 1999:124). Sedangkan Schiffman dan Kanuk (Sumarwan, 2003:289) mendefinisikan suatu keputusan sebagai pemilihan suatu tindakan dari dua atau lebih pilihan alternatif. Tetapi menurut Stoner dan Wankel (1986:211), bahwa pengambilan keputusan itu melukiskan proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Karenanya Huber (Stoner & Wankel, 1986:211) membedakan pengambilan keputusan dari penentuan pilihan dan pemecahan masalah. Menurut Huber, penentuan pilihan mengacu pada rangkaian aktivitas sempit yang terlibat dalam penentuan satu pilihan dari serangkaian alternatif, karenanya penentuan pilihan merupakan bagian dari pengambilan keputusan. Sedangkan pemecahan masalah mengacu pada rangkaian aktivitas luas yang terlibat dalam penemuan dan implementasi cara bertindak untuk memperbaiki situasi yang tidak memuaskan (lihat Gambar 2.1).

Pengambilan Keputusan

(47)

Pada Gambar 2.1 tersebut nampak bahwa pengambilan keputusan bukan sekadar penentuan pilihan, tetapi justru penentuan pilihan merupakan bagian dari pengambilan keputusan, di samping itu nampak pula bahwa pengambilan keputusan berbeda dengan pemecahan masalah. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa dilihat dari ilmu perilaku antara pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cenderung sama, karena keduanya terjadi dalam proses kognisi dan akan membawa pengaruh atas tindakan dan perilaku seseorang, atau secara singkat dapat dikatakan bahwa diambilnya keputusan merupakan salah satu aspek penting proses pengambilan keputusan.

Dengan demikian yang dimaksud dengan pengambilan keputusan adalah proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan suatu masalah yang sedang dihadapi. Jadi proses pengambilan keputusan keluarga, dalam hal ini tentang penggunaan keuangan keluarga, dapat diartikan sebagai proses pemilihan suatu tindakan dalam penggunaan keuangan keluarga sebagai cara pemenuhan kebutuhan keluarga dan keinginan anggota-anggotanya.

2.3.2. Beberapa Model Pengambilan Keputusan

2.3.2.1. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Teori Prospek

(48)

Teori Prospek, menurut Kahneman dan Tversky (Sarwono, 1999:124-125), adalah teori yang mendeskripsikan bagaimana individu mengambil keputusan. Cikal bakal teori ini sebenarnya tidak asing bagi disiplin psikologi. Teori ini menjadi terkenal karena diterbitkan dalam jurnal ekonomi “Econometrica” sebagai alternatif dari Teori Harapan Utilitas yang bisa dijagokan dalam disiplin ekonomi.

Dalam literatur, analisis mengenai pengambilan keputusan biasanya digolongkan ke dalam dua kategori menurut derajat probabilitas yang menyertai konsekuensinya, yaitu keputusan tanpa risiko (riskless decision) dan keputusan berisiko (risky decision). Namun perlu diperhartikan, bahwa istilah tanpa atau dengan risiko ini dipakai dalam konteks besarnya probabilitas yang menyertai suatu konsekuensi, bukan dalam pengertian percakapan sehari-hari, bahwa “tanpa risiko” umumnya berkonotasi pada sebuah keputusan yang ‘mudah’ (Sarwono, 1999:125-126).

(49)

psikofisik, seperti perbedaan nilai subjektif antara 1 dan 2 jiwa lebih besar daripada antara 101 dan 102 jiwa. Secara objektif memang perbedaannya sama yakni satu jiwa, tetapi secara subjektif maknanya berbeda tergantung apakah satu jiwa itu dekat atau jauh dari titik referensi. Sebab, pada domain keuntungan individu cenderung menghindari resiko (risk aversion), dan pada domain kerugian individu cenderung mencari resiko (risk seeking). Ketiga, respon terhadap kerugian jauh lebih ekstrim daripada respon terhadap keuntungan, seperti besarnya kesedihan dari kerugian satu jiwa (dari satu orang yang meninggal) melebihi besarnya kebahagiaan dari keuntungan satu jiwa (dari satu orang yang diselamatkan) (Sarwono, 1999:126). Ketiga karakteristik fungsi nilai tersebut dapat diilustrasikan dengan fungsi yang mirip dengan huruf S pada

Gambar 2.2 sebagai berikut:

Nilai subyektif

Kerugian Keuntungan

Gambar 2.2 Fungsi Nilai Teori Prospek Sumber: Sarwono (1999:128)

(50)

garis vertikal dan garis horizontal menunjukkan kondisi objektif yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam memilih alternatif antara nilai kerugian dan nilai keuntungan.

Mengenai model pengambilan keputusan ini, Sarwono (1999:129-130) memberikan illustrasi dengan penjelasan yang dipakai oleh McDermott dalam menerangkan keputusan Presiden Carter menyetujui operasi militer untuk membebaskan sandera staf kedubes Amerika Serikat di Teheran bulan April 1980. Pada saat itu Carter dilukiskan berada dalam domain kerugian akibat Pemerintah Revolusi Iran menolak berunding langsung dengannya, meningkatnya frustasi publik terhadap tidak menentunya nasib para sandera, ketidakpuasan anggota parlemen serta pejabat pemerintah terhadap cara penanganan sandera, di samping kampanyenya untuk memperpanjang masa jabatan presiden yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini membuatnya mencari risiko dengan menyetujui alternatif yang secara militer dan politis sangat berbahaya. Sejarah mencatat operasi ini gagal dengan korban 8 jiwa, dan Carter dikalahkan Reagan dalam pemilihan umum.

(51)

yang sabar dan bijaksana untuk anak-anak, menjadi istri yang baik bagi suami, serta menjadi ibu rumah tangga yang bertanggungjawab atau keperluan dan urusan rumah tangga. Di tempat kerja, mereka pun mempunyai komitmen dan tanggungjawab atas pekerjaan yang dipercayakan kepadanya hingga mereka harus menunjukkan prestasi kerja yang baik. Sementara itu, dari dalam diri mereka pun sudah ada keinginan ideal untuk berhasil melaksanakan kedua peran tersebut secara proporsional dan seimbang. Namun demikian kenyataan ideal tersebut cukup sulit untuk dicapai karena beberapa faktor, misalnya pekerjaan di kantor sangat berat, sedangkan suami di rumah kurang bisa ‘bekerjasama’ untuk ikut menyelesaikan pekerjaan rumah, sementara anak-anak juga menuntut perhatian dirinya. Akhirnya, sang ibu tersebut akan merasa sangat lelah karena dirinya merasa dituntut untuk terus memberi dan memenuhi kebutuhan orang lain. Belum lagi, jika ternyata suami dan anak-anak merasa kurang mendapat perhatian, maka tidak heran jika lama kelamaan dirinya mulai dihinggapi depresi karena merasa tidak bisa membahagiakan keluarganya.

(52)

Jawaban atas pertanyaan itulah sebuah keputusan yang memerlukan pemikiran dan evaluasi yang teliti sebagaimana yang dimaksud dalam model pengambilan keputusan berdasarkan Teori Prospek. Singkatnya, bahwa pada prinsipnya fungsi nilai menterjemahkan konsekuensi objektif menjadi nilai subjektif dari mkonsekuensi. Teori Prospek juga mengajukan fungsi keputusan yang pada prinsipnya menterjemahkan probabilitas yang menyertai konsekuensi menjadi nilai subjektif dari probabilitas. Dengan demikian, nilai total dari sebuah alternatif adalah nilai subjektif konsekuensi dengan diberi bobot nilai subjektif dari probabilitasnya (Sarwono, 1999:130).

2.3.2.2. Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Perilaku

Model pengambilan keputusan ini sering pula disebut model deskriptif, karena mencoba membahas proses pengambilan keputusan menurut realita, apa dan bagaimana proses tersebut berlangsung, bukan didasarkan pada pentingnya prosedur pengambilan keputusan tertentu juga bukan pada tujuan pengambilan keputusan. Model ini dibangun oleh Duncan atas dasar asumsi, bahwa (1) si pengambil keputusan adalah seseorang yang lebih mengutamakan kepuasan daripada keuntungan; (2) manusia selalu bergerak dalam batas rasionalitas, karenanya manusia tidak akan mampu menemukan kemungkinan atau alternatif-alternatif, hasilnya dan kerugiannya; (3) proses penemuan alternatif selalu berurutan sehingga analisis setiap alternatif akan mempengaruhi proses pemilihan dari alternatif-alternatif tersebut (Indrawijaya, 1983:58).

(53)

yang berulang-ulang dibanding untuk pengambilan keputusan yang sifatnya strategis. Oleh karena itu, model ini dapat diadopsi sebagai model pengambilan keputusan dalam keluarga. Sebab, selain tidak identik dengan organisasi yang besar, juga tingkat kompleksitas antar perilaku anggota keluarga relatif rendah. Duncan (Indrawijaya, 1983:59) menggambarkan model pengambilan keputusan ini dalam bentuk diagram sebagaimana Gambar 2.3 sebagai berikut:

Feedback Evaluation

Follow up

Sequential generation of alternatives

Selection of satisfactory alternatives through sequential

search

Implementation of decision Formulation of satisfactory goal

through bargaining of diverse coalitions

Definition and analysis of decision problem

Ai

A1

A2

A3

A4

An

(54)

Dari Gambar 2.3 dapat diketahui bahwa proses pengambilan keputusan dimulai dari perumusan tujuan, untuk kemudian dilanjutkan dengan tahap pendefinisian dan analisis masalah. Pada tahapan itu akan ditemukan beberapa alternatif keputusan, kemudian dipilih alternatif yang paling bisa memuaskan banyak pihak, baru kemudian dilaksanakan. Proses pengambilan keputusan yang demikian ini akan berlangsung secara berulang-ulang dalam permasalahan yang relatif hampir sama.

2.3.2.3. Model Pengambilan Keputusan Konsumen

(55)

cukup besar dari para pakar antara lain George Katona, Robert Ferber, John A. Howard, dan lainnya.

George Katona dikenal sebagai bapak ekonomi psikologi. Robert Ferber adalah seorang ekonom yang mengembangkan teori perilaku konsumen dengan menerapkan prinsip-prinsip psikologi dan ekonomi. Sedangkan John A. Howard bersama Jagdish N. Sheth memberikan kontribusi yang sangat penting bagi teori perilaku konsumen, terutama model pengambilan keputusan konsumen yang dikenal sebagai“Howard and Sheth model“ sebagaimana Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4 Model Pengambilan Keputusan Konsumen Sumber: Howard & Sheth (Sumarwan, 2003:31)

KEGIATAN PEMASARAN

Pengenalan Kebutuhan Pencarian Informasi

Evaluasi Alternatif Pembelian Konsumsi/Kepuasan

IMPLIKASI

FAKTOR LINGKUNGAN

KONSUMEN FAKTOR

PERBEDAAN INDIVIDU KONSUMEN

PROSES PENGAMBILAN

(56)

Pada Gambar 2.4 di atas terlihat bahwa kepuasan konsumen dalam membeli atau mengkonsumsi produk dan jasa akan dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu (a) kegiatan pemasaran, (b) faktor perbedaan individu konsumen; dan (c) faktor lingkungan konsumen. Sedangkan proses pengambilan keputusan konsumen meliputi lima tahapan, yaitu:

1. Tahap pengenalan kebutuhan. Tahap ini muncul ketika seseorang menghadapi suatu masalah, yaitu terdapat perbedaan antara yang diinginkan dengan yang sebenarnya terjadi. Seperti ibu yang bekerja menghadapi masalah tekanan waktu, dia harus mencuci baju keluarga tetapi tidak ada kesempatan untuk melakukannya. Kondisi seperti ini dapat membangkitkan pengenalan kebutuhan akan mesin pencuci atau pembantu rumah tangga.

2. Tahap pencarian informasi. Ketika si ibu menganggap kebutuhannya bisa dipenuhi dengan membeli mesin pencuci, maka ia akan mencari informasi tentang produk itu, seperti jenis mesin pencuci, merek dan harganya, di toko mana produk itu, dan bagaimana cara pembayarannya.

3. Tahap evaluasi alternatif. Setelah ibu tesebut mendapat banyak informasi tentang produk yang dibutuhkan, maka ia akan mengevaluasi pilihan produk dan merek, serta memilihnya sesuai dengan yang diinginkan. Pada tahap ini, konsumen biasanya membandingkan berbagai pilihan dengan menggunakan berbagai macam kriteria, misalnya kualitas, kapasitas, merek, harga, pembuat produk, dan terkadang aspek hedonik dan psikologis ikut pula menjadi kriteria evaluasi.

(57)

keputusan apakah membeli atau tidak, kapan membeli, di mana membelinya, dan bagaimana cara pembayarannya. Namun keputusan yang sudah bulat untuk membeli suatu produk terkadang harus batal karena beberapa alasan, seperti motivasi yang berubah, situasi yang berubah, atau produk yang akan dibeli tidak tersedia.

5. Tahap konsumsi dan kepuasan. Setelah memperoleh produk biasanya akan diikuti oleh proses konsumsi atau penggunaan produk, yang hasilnya tentu akan melahirkan perasaan puas atau tidak puas terhadap produk yang dikonsumsi atau yang digunakannya.

2.3.3. Peranan Suami-Istri dalam Pengambilan Keputusan Keluarga

Setiap pengambilan keputusan dalam keluarga akan selalu mengandung konsekuensi ekonomi dan psikologis, apalagi keputusan itu menyangkut uang (Webley et al., 2001:75). Sebab, semua anggota keluarga (suami, istri dan anak) saling mempengaruhi dalam penggunaan uang tersebut, dan masing-masing memiliki peran dalam pengambilan keputusan itu, bahkan seorang anggota keluarga mungkin saja memiliki lebih dari satu peran. Misalnya, dalam pembelian dan konsumsi suatu produk, masing-masing anggota keluarga bisa memiliki satu peran atau lebih dari beberapa peran sebagai berikut:

(58)

2. Pemberi pengaruh (influencer). Anggota keluarga yang biasanya diminta pendapatnya tentang suatu produk yang akan dibeli, ia akan diminta pendapatnya mengenai kriteria atau atribut produk yang sebaiknya dibeli. 3. Penyaring informasi (gatekeeper), yaitu anggota keluarga yang menyaring

semua informasi yang masuk ke dalam keluarga, seperti seorang ibu mungkin tidak akan menceritakan mainan-mainan baru yang ada di toko kepada anak-anaknya agar mereka tidak menjadi konsumtif.

4. Pengambil keputusan (decider), yaitu anggota keluarga yang memiliki wewenang untuk memutuskan apakah membeli suatu produk atau merek. Seperti seorang ibu biasanya yang memiliki wewenang untuk memutuskan menu makanan apa yang disajikan bagi keluarga sehari-hari, karenannya ia pula yang memutuskan jenis bahan makanan yang akan dibelinya.

5. Pembeli (buyer), yaitu anggota keluarga yang membeli suatu produk, atau yang diberi tugas untuk melakukan pembelian produk.

6. Pengguna (user), yaitu anggota keluarga yang mengkonsumsi suatu produk. Misalnya susu hanya dikonsumsi oleh anggota keluarga yang masih balita. Dari peran-peran itulah anggota keluarga bisa saling mempengaruhi dalam pengambilan keputusan keluarga untuk membeli dan mengkonsumsi suatu produk (Sumarwan, 2003:234).

(59)

dasarnya perilaku seseorang didorong oleh tiga kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan akan kesuksesan, kebutuhan afiliasi, dan kebutuhan kekuasaan.

Dari hasil penelitian Tombokan (2001) terhadap keluarga karir suku Jawa dan Minahasa, terungkap semakin setara kedudukan suami dan istri dalam proses pengambilan keputusan ekonomi keluarga, meskipun secara individual peranan istri lebih dominan daripada suami. Namun demikian bukan berarti secara individual istri lebih ‘berkuasa’ daripada suami. Sebab dari beberapa studi tentang pola pengambilan keputusan keluarga yang dianalisis Sumarwan (2003:236-237) menunjukkan bahwa istri yang dominan dalam pengambilan keputusan karena ia memiliki kewenangan untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya dan untuk anggota keluarganya. Alasan yang sama juga berlaku bagi suami yang dominan dalam pengambilan keputusan. Di samping itu terdapat pola keputusan otonomi, yaitu pengambilan keputusan yang bisa dilakukan oleh istri atau suami tanpa tergantung dari salah satunya. Istri bisa memutuskan pembelian produk tertentu tanpa harus minta persetujuan suami, seperti lampu neon mati dan harus diganti, maka istri bisa langsung membeli neon penggantinya tanpa harus menungu persetujuan suami, kecuali dalam pembelian produk yang berharga mahal biasanya pengambilan keputusan dilakukan bersama.

(60)

itu adalah (1) pengambilan keputusan oleh suami untuk urusan publik sederhana; (2) pengambilan keputusan oleh istri untuk urusan domestik sederhana; (3) pengambilan keputusan secara musyawarah suami-istri dengan dominasi istri untuk urusan domestik tingkat menengah; (4) pengambilan keputusan secara musyawarah suami-istri dengan dominasi suami untuk urusan publik tingkat menengah; dan (5) pengambilan keputusan dengan musyawarah suami-istri secara setara untuk persoalan-persoalan penting dan skala besar bagi ukuran keluarga.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi peranan suami-istri dalam pengambilan keputusan keluarga, menurut Kirchler (Webley et al., 2001:89), tergantung pada faktor ketertarikan dan kompetensi suami atau istri. Meski pendapat ini cenderung tidak melihat fakta bahwa persepsi tentang kompetensi bisa muncul dari struktur kekuasaan. Sebagai contoh, pengamatan Wilson (Webley et al., 2001:89) untuk keluarga berpendapatan rendah, perempuan dianggap lebih baik daripada laki-laki dalam mengelola uang, sedangkan pada tingkat pendapatan lebih tinggi, laki-laki dianggap ahli.

(61)

2.4. Perilaku Ekonomi dalam Keluarga

2.4.1. Pengertian Perilaku dan Perilaku Ekonomi

Perilaku merupakan manifestasi hidup kejiwaan dan intelektual yang didorong oleh motif tertentu, sehingga manusia itu berbuat atau melakukan sesuatu tindakan untuk tujuan tertentu. Pengertian ini didasarkan pada kerangka pemikiran Al-Ghazali yang memandang perilaku sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan agama dan kemanusiaan. Menurut Al-Ghazali (Langgulung, 1987:274-275), bahwa (1) perilaku mempunyai penggerak dan pendorong (motivasi) serta tujuan. (2) Motivasi bersifat dari dalam yang muncul dari diri manusia sendiri, tetapi ia dirangsang oleh stimulus dari luar ataupun dari dalam yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani dan kecenderungan alamiah, seperti rasa lapar, cinta, takut dan lainnya. Menghadapi motivasi tersebut, maka manusia mendapati dirinya terdorong untuk mengerjakan sesuatu. (3) Perilaku mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasana tersebut. (4) Perilaku bersifat individual yang berbeda menurut perbedaan faktor bawaan dan perolehan atau proses belajar. (5) Perilaku ada dua tingkatan, yaitu tingkat pertama perilaku dikuasai oleh motivasi-motivasi dan faktor-faktor kegopohan, sedangkan tingkat kedua perilaku dikuasai oleh kemampuan dan akal.

Gambar

Gambar  2.1: Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah ……….29Gambar  2.2: Fungsi Nilai Teori Prospek ……………………………….32Gambar  2.3: Teori Pengambilan keputusan Berdasarkan Perilaku …….36Gambar  2.4: Model Pengambilan Keputusan Konsumen ………………38Gambar  3.1: Kerangka Konseptual Penelitian ………………………….71Gambar  4.1: Rancangan Penelitian Model Crossbreak ………………...75Gambar  4.2: Prosedur Penelitian ……………………………………….80
Gambar  2.1 Pengambilan Keputusan dan Pemecahan MasalahSumber: Stoner & Wankel (1986:212)
Gambar 2.2 sebagai berikut:
Gambar  2.3  Model Pengambilan Keputusan Berdasarkan Perilaku36Sumber: Duncan (Indrawijaya, 1983:59)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian ini menyatakan ada hubungan yang signifikan antara hubungan kecerdasan emosi dengan proses pengambilan keputusan pada pimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa

Hasil yang didapat dalam penelitian ini berupa lima tema, yakni tahap awal melakukan perilaku seksual, proses yang terjadi saat pengambilan keputusan, proses yang terjadi sesudah

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi konsumen beras berdasarkan tingkat pendapatan di daerah penelitian, untuk menganalisis proses

Hipotesis 3: Switching Cost berpengaruh signifikan negatif dalam proses pengambilan keputusan di E-Commerce. Pengaruh Persepsi Risiko Finansial, Transaction Cost,

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data menunjukkan bahwa Sikap Kerja memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pengambilan Keputusan Individual pada Dosen

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden >80% memiliki tahap proses pengambilan keputusan yang baik yaitu proses pengenalan kebutuhan, pencarian informasi,

Analisis regresi sederhana menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dengan pengambilan keputusan memakai jilbab gaul pada mahasiswi

Kedua, model rasional, yakni proses pengambilan keputusan dengan membedakan keputusan menjadi dua tipe, yaitu: Keputusan Terprogram, yaitu suatu keputusan yang diulang- ulang, seperti: