• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Ekonomi dalam Keluarga

Dalam dokumen Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da (Halaman 61-77)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Perilaku Ekonomi dalam Keluarga

2.4.1. Pengertian Perilaku dan Perilaku Ekonomi

Perilaku merupakan manifestasi hidup kejiwaan dan intelektual yang didorong oleh motif tertentu, sehingga manusia itu berbuat atau melakukan sesuatu tindakan untuk tujuan tertentu. Pengertian ini didasarkan pada kerangka pemikiran Al-Ghazali yang memandang perilaku sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan agama dan kemanusiaan. Menurut Al-Ghazali (Langgulung, 1987:274-275), bahwa (1) perilaku mempunyai penggerak dan pendorong (motivasi) serta tujuan. (2) Motivasi bersifat dari dalam yang muncul dari diri manusia sendiri, tetapi ia dirangsang oleh stimulus dari luar ataupun dari dalam yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani dan kecenderungan alamiah, seperti rasa lapar, cinta, takut dan lainnya. Menghadapi motivasi tersebut, maka manusia mendapati dirinya terdorong untuk mengerjakan sesuatu. (3) Perilaku mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasana tersebut. (4) Perilaku bersifat individual yang berbeda menurut perbedaan faktor bawaan dan perolehan atau proses belajar. (5) Perilaku ada dua tingkatan, yaitu tingkat pertama perilaku dikuasai oleh motivasi-motivasi dan faktor-faktor kegopohan, sedangkan tingkat kedua perilaku dikuasai oleh kemampuan dan akal.

Di samping itu, perilaku bukanlah karakteristik yang kekal sifatnya melainkan dapat berubah, diubah dan berkembang sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya (Sadiman, 1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Mc.Conell, bahwa perilaku merupakan karakteristik individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Karakteristik yang dimaksud meliputi sifat, kemampuan,

nilai, ketrampilan, sikap serta intelegensi yang muncul dalam pola perilaku seseorang (Maryani & Ludigdo, 2001:53). Jadi perilaku merupakan manifestasi karakteristik seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Tetapi, menurut Solomon (Sumarwan, 2003:147), perilaku (behavior) merupakan komponen sikap yang menggambarkan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan obyek sikap. Oleh karena itu, perilaku seseorang dapat diramalkan dari sikap yang ditampilkannya, meskipun dalam kenyataan tidak selalu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang sesuai dengan sikap tersebut. Misalnya, tentang perilaku membuang sampah, diketahui bahwa sikap terhadap membuang sampah di kalangan sejumlah responden di Jakarta berkorelasi positif dengan taraf pendidikan (semakin tinggi tingkat pendidikan semakin positif sikapnya pada membuang sampah secara benar), akan tetapi dalam praktiknya, tidak ada perbedaan antara yang berpendidikan dan yang kurang berpendidikan dalam hal perilaku membuang sampah. Kedua golongan itu sama-sama membuang sampah sembarangan (Sarwono, 1999: 237).

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku seseorang tidak selalu identik dengan sikap terhadap obyek tertentu. Namun demikian bukan berarti temuan tersebut menunjukkan bukti tidak adanya keeratan hubungan antara perilaku dan sikap. Sebab, masih ada temuan lain yang menunjukkan bahwa sikap dapat menentukan perilaku jika ia muncul atau dimunculkan dalam kesadaran seseorang (Sarwono (1999:240).

Lagi pula, seseorang merasa, berpikir, bersikap dan bertindak karena adanya rangsangan dari luar, meskipun perilaku itu ditentukan oleh fungsi otak

dengan 10 trilyun sel syarafnya (Sadiman, 1999). Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perilaku manusia pada hakikatnya adalah segala aktivitas manusia itu sendiri, sehingga perilaku mempunyai cakupan yang sangat luas, baik berupa tindakan nyata maupun respon internal yang tidak dapat dilihat orang lain secara langsung, seperti perasaan, persepsi, emosi dan lainnya, baik yang bersifat positif ataupun negatif.

Adapun perilaku ekonomi (keluarga dan masyarakat) merupakan obyek kajian ilmu ekonomi, yaitu untuk memperoleh jawaban dari persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antara kebutuhan manusia dan alat pemuasnya. Kebutuhan manusia itu timbul dari hasrat manusia, semakin tinggi tingkat budaya manusia semakin besar dan bervariasi pula kebutuhannya. Oleh karena itu, Sulistyo dan Widayat (1986:5) mendefinisikan perilaku ekonomi adalah perilaku yang timbul sebagai tanggapan terhadap dorongan keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan yang bersifat kebendaan.

Menurut Sulistyo dan Widayat (1986:6), sebagian kebutuhan kebendaan tersebut berakar pada kebutuhan manusia sebagai makhluk biologis, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sedang yang lain lagi berakar pada kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan lingkungan dan budaya masyarakatnya. Jadi kebutuhan itu mula-mula tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri, baru kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya.

Dengan demikian perilaku ekonomi keluarga pada dasarnya menyangkut kegiatan ekonomi anggota keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup individu dan keluarganya. Yang dimaksud dengan kebutuhan keluarga adalah

keinginan keluarga untuk memperoleh dan mengkonsumsi barang dan jasa. Dalam hal ini, keinginan dibedakan dalam dua bentuk, yaitu (1) keinginan yang disertai kemampuan untuk membeli barang dan jasa yang diingini, dan (2) keinginan yang tidak disertai kemampuan untuk membeli (Sukirno, 1994:5).

Adapun yang dimaksud dengan barang adalah barang ekonomi, yaitu barang yang memerlukan usaha untuk memperolehnya, seperti sembako dan barang-barang industri yang tidak bisa dinikmati secara gratis seperti udara atau sinar matahari. Barang-barang ekonomi dapat pula dibedakan antara barang konsumsi (makanan, pakaian dan sepeda motor), dan barang modal (mesin, peralatan bengkel). Di samping itu terdapat pula penggolongan lain berdasarkan kepentingan barang tersebut dalam kehidupan manusia, yaitu barang inferior (seperti ikan asin dan ubi kayu), barang esensial (seperti sembako), barang normal (baju dan buku), dan barang mewah (mobil dan emas). Sedangkan jasa tidak berbentuk benda, ia merupakan layanan seseorang atau sesuatu barang yang akan memenuhi kebutuhan keluarga, seperti jasa pengasuhan anak, jasa angkutan, jasa kebersihan, jasa tukang cukur, tukang rias, dan siaran televisi yang memberikan hiburan (Sukirno, 1994:5-6).

Dengan demikian, perilaku ekonomi akan selalu dihadapkan pula pada masalah pokok ekonomi, yaitu masalah kelangkaan (scarcity), baik barang dan jasa yang tersedia maupun sumber daya untuk memperoleh barang dan jasa tersebut. Sebab, keinginan dan kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan tersebut relatif terbatas (Sukirno, 1994:5).

Oleh sebab itu, setiap individu ataupun keluarga tidak mungkin bisa mendapatkan semua yang diinginkan, atau bahkan yang dibutuhkan, maka dalam setiap kegiatan ekonomi pelaku harus membuat pilihan atau perioritas agar sumber-sumber daya yang tersedia dapat digunakan secara efisien untuk mewujudkan kesejahteraan (kepuasan) maksimum. Dengan kata lain, persoalan yang harus diselesaikan adalah dengan menggunakan pendapatan mereka, barang-barang apakah yang perlu dibeli dan berapakah jumlahnya agar pembelian dan penggunaan barang-barang tersebut akan memberikan kepuasan yang maksimum kepada diri dan keluarganya (Sukirno, 1994:8).

Namun harus pula dipahami, bahwa menurut Katona (Sjabadhyni & Wutun, 1999:22), perilaku ekonomi keluarga tidak hanya didorong oleh stimulus ekonomi semata, akan tetapi juga oleh peristiwa-peristiwa sosial lainnya. Ini artinya, Katona (sang tokoh utama yang mengembangkan psikologi ekonomi dan konsumen) memberikan wacana bahwa ruang lingkup perilaku ekonomi sangat luas, tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan yang secara jelas berlabel ekonomi, seperti belanja barang atau membayar ongkos jasa angkutan, tetapi kegiatan-kegiatan berlabel sosial pun selama mengandung konsekuensi ekonomi juga merupakan bentuk-bentuk perilaku ekonomi, seperti merayakan ulang tahun kelahiran, arisan, memberi kado pada perkawinan anak tetangga, pendidikan anak, dan lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini yang dimaksud dengan perilaku ekonomi keluarga adalah kegiatan anggota keluarga sebagai tindakan atas dorongan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup keluarganya.

2.4.2.1. Perilaku Ekonomi Keluarga Berdasarkan Teori Peluang Bersaing Teori peluang bersaing (comparative advantage) ini dikembangkan oleh Becker (1991:30-32) yang bertolak dari ide dasar bahwa penyatuan potensi suami dan istri dapat memberi keuntungan maksimal bagi keluarga melalui spesialisasi dalam pembagian kerja, pembelian barang (belanja), dan skala ekonomi. Karenanya menurut teori ini kesejahteraan (well-being) keluarga tergantung pada jumlah penghasilan dan komoditi yang dikonsumsi. Tetapi, Becker tidak hanya mengacu pada aneka macam barang yang dapat dikonsumsi, tetapi juga kelompok barang yang lebih luas seperti mainan anak-anak, barang-barang mewah, penataan ruangan, kesehatan, serta barang-barang-barang-barang untuk hadiah (kado), dan lainnya.

Menurut teori ini, anggota keluarga seharusnya menginvestasi jenis human capital yang mengarah pada spesialisasi yang berbeda sesuai dengan skill dan sumberdaya masing-masing. Spesialisasi ini akan sangat efisien dan meningkatkan investasi yang berdampak pada semakin efektif dan efisien dalam penggunaan waktu dan uang (Webley et al., 2001:79). Misalnya, jika istri memperoleh peluang bersaing (comparative advantage) dalam akses ekonomi (penghasilan istri jauh lebih tinggi daripada penghasilan suami), maka pekerjaan mengasuh anak maupun tugas-tugas domestik lainnya akan lebih efektif dan efisien bila dikerjakan oleh suami. Dengan perkataan lain bahwa salah satu dari suami atau istri meningkatkan pendapatan dengan mengembangkan ketrampilan lainnya agar semakin ahli dan produktif, sedangkan yang lainnya konsentrasi pada tugas-tugas rumah tangga.

Meskipun demikian, diakui bahwa banyak perilaku dalam keluarga yang berkarakter ekspresif sekaligus instrumental. Misalnya, memasak bagi keluarga adalah tugas penting tetapi juga sekaligus berarti ungkapan cinta. Bentuk ekpressif dan instrumental ini terkadang sulit diterima sebagai implikasi perilaku ekonomi dalam keluarga. Semua permasalahan keluarga seringkali dikaitkan dengan masalah uang. Padahal faktanya, uang merupakan sumber potensial dari ambiguity dan ambivalence (Webley et al., 2001:76).

Oleh karena itu teori“Peluang Bersaing”ini mendapat banyak kritik yang pada intinya juga mengabaikan tingkat keterbatasan yang lain. Seperti yang ditunjukkan oleh Belk (1995:62), bahwa keluarga bukan hanya sebagai unit pengambil keputusan konsumsi meskipun kehidupan keluarga itu ‘disibukkan’ oleh persoalan konsumsi. Belum lagi adanya tekanan normatif bahwa istri/ibu secara alami berperan dalam rumah tangga, sedangkan suami sebagai pemimpin dan pencari nafkah. Bahkan bukan rahasia lagi bahwa (di Inggris pun) masih terjadi diskriminasi gender di pasar kerja serta tekanan ideologi yang membuat laki-laki tidak mau melakukan tugas-tugas rumah tangga (Webley et al., 2001: 81). Oleh karena itu dalam konteks sosial dan ekonomi, tak heran jika suami memilih bekerja di luar rumah dan istri memilih untuk mengasuh anak, sehingga ketika istri memperoleh penghasilan yang lebih besar pun suami masih sulit merubah peran tradisionalnya. Meskipun demikian Berk & Berk (Webley et al., 2001:81) mengakui bahwa Becker dengan “model pembaharuan ekonomi rumah tangga” telah memberi sumbangan positif, yaitu keluarga bisa mencapai alokasi waktu dan sumber dana secara maksimal.

2.4.2.2. Perilaku Ekonomi Keluarga Berdasarkan Teori Utilitas

Pada hakikatnya seseorang membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa karena barang dan jasa yang dibelinya itu akan memberi kepuasan, manfaat atau guna. Kepuasan atau manfaat barang dan jasa tersebut dapat diperoleh secara langsung dari barang atau jasa itu sendiri, ataupun secara tidak langsung melalui orang lain. Seperti belanja makanan bisa memberikan kepuasan dan manfaat secara langsung, yaitu ketika dimakan rasanya lezat dan perutnya kenyang. Tetapi belanja perhiasan emas atau berlian baru memberi kepuasan bila dipuji dan dikagumi orang lain. Lagi pula kepuasan ini bersifat subyektif atau dalam ranah psikologis sehingga tidak dapat diukur secara kuntitatif kecuali dibandingkannya dengan nilai uang (Partadiredja, 1985:161). Jadi kepuasan yang diperoleh seseorang dari membelanjakan uangnya atau mengkonsumsi barang atau jasa itulah yang dinamakan nilaiguna atau utilitas (utility).

Menurut Sukirno (1994:152), nilaiguna (utilitas) tersebut dibedakan antara nilaiguna total (total utility) dan nilaiguna marginal (marginal utility). Nilaiguna total mengandung arti jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dari mengkonsumsi sejumlah barang atau jasa tertentu. Sedangkan nilaiguna marginal berarti pertambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari pertambahan (atau pengurangan) penggunaan satu unit barang tertentu.

Komparasi antara kedua macam nilaiguna tersebut melahirkan hipotesis utama dari teori utilitas, atau yang dikenal sebagai “hukum nilaiguna marginal yang semakin menurun”, yaitu bahwa tambahan nilaiguna yang akan diperoleh seseorang dari mengkonsumsi suatu barang akan menjadi semakin sedikit apabila orang tersebut terus menerus menambah konsumsinya pada barang

tersebut. Pada akhirnya tambahan nilaiguna akan menjadi negatif, yaitu apabila konsumsi atas barang tersebut ditambah satu unit lagi, maka nilaiguna total akan menjadi semakin sedikit (Sukirno, 1994:152). Artinya, pertambahan yang terus menerus dalam mengkonsumsi suatu barang justru tingkat kepuasan semakin menurun sampai pada titik kejenuhan (bosan). Oleh karena itu setiap orang akan berusaha memaksimumkan kepuasan yang dapat dinikmatinya dengan berbagai variasi (banyak pilihan) dan pada tingkat kuantitas mana yang memberikan tingkat kepuasan yang tinggi dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa.

Hipotesis lain yang tidak kalah menariknya adalah bahwa “setiap orang (konsumen) akan memaksimumkan utilitasnya dengan tunduk kepada kendala anggaran (pendapatan) yang ada” (Arsyad, 2000:99). Karenanya dalam teori kurva indiferens (ordinal utility) salah satu hipotesisnya ada yang mengatakan bahwa “konsumen mempunyai suatu skala preferensi”, yaitu suatu sistem atau serangkaian kaidah dalam menentukan pilihan (Arsyad, 2000:102). Oleh karena itu, menurut teori ekonomi, orang akan membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa sesuai dengan garis anggaran (budget line), yaitu garis yang menunjukkan jumlah dan mutu barang/jasa yang dapat dibeli dengan sejumlah pendapatan atau anggaran tertentu.

Dengan demikian, apabila kedua hipotesis tersebut selalu menjadi dasar dalam pengelolaan keuangan keluarga, terutama dalam penggunaan keuangan untuk membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa, berarti perilaku ekonomi keluarga tersebut didasarkan pada teori utilitas. Keuntungannya adalah dalam kehidupan sehari-hari keluarga itu akan bisa membuat keputusan tentang cara yang terbaik untuk melakukan suatu kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan untuk

memproduksikan ataupun mengkonsumsi (menggunakan) barang dan jasa berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia, dengan catatan individu-individu dari anggota keluarga tersebut tidak hanya memburu kepuasan semata.

Namun demikian pada praktiknya teori utilitas ini tidak sejalan dengan teori kepuasan yang menyatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara kepuasan yang diharapkan dengan kepuasan yang senyatanya diperoleh (Sumarwan, 2003:322), sekalipun keduanya sama dalam hal pemaksimuman kepuasan. Oleh sebab itulah model perilaku ekonomi yang mendasarkan pada kepuasan (utility) banyak mendapat kritik. Contoh Sen (Webley et al., 2001:81) mengkritik bahwa perilaku tersebut tidak realistis. Lagi pula, kepuasan itu bersifat subyektif (pada ranah psikologis) sehingga seseorang konsumen akan sulit membedakan antara barang atau jasa yang dibutuhkan dengan yang diinginkan.

2.4.3. Perilaku Ekonomi dalam Penggunaan Keuangan Keluarga 2.4.3.1. Perilaku Konsumtif dan Konsumeristik

Perilaku ekonomi keluarga di Indonesia nampaknya telah terkontaminasi oleh pandangan ekonomi liberal neoklasik (neoliberalisme), yang sejak awal rezim Orde Baru. ‘dibudidayakan’ sebagai mesin pencepat kemajuan ekonomi. Manusia dipandang semata-mata sebagai homo economicus yang berperilaku seperti ‘mesin pemaksimal keuntungan’. Yang lebih menarik lagi pandangan mereka tentang keluarga (rumah tangga) yang dianggapnya sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama berperan sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan kepuasan dengan mengkonsumsi barang yang diproduksi

oleh perusahaan. Kedua berperan sebagai ‘produsen’ tenaga kerja. Dampaknya, rumah tangga (keluarga) setiap hari dibombardir dengan iklan yang menawarkan berbagai produk yang seringkali tidak jelas manfaatnya. Di pihak lain, tenaga kerja hanya dipandang sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh, sehingga pemenuhan hak-hak pekerja hanya terfokus pada upah minimum yang memadai (Mas’oed, 2002).

Budiman (Sigit Sidi & Setiadi, 2000) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan.

Dari penelitian Evanita dkk. (2003) diperoleh keterangan bahwa iklan televisi, motivasi, umur, pendidikan, pendapatan, kelompok acuan, dan sikap pada produk secara bersama-sama berpengaruh terhadap perilaku konsumtif ibu rumah tangga. Hasil penelitian Zebua (2001) juga memberikan keterangan bahwa konformitas (mengikuti dengan pasrah pada tekanan kelompok) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku konsumtif remaja.

Menurut Tambunan (2001), istilah konsumtif (sebagai kata sifat) sering diartikan sama dengan kata konsumerisme. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai

kepuasan yang maksimal. Memang belum ada definisi yang memuaskan tentang kata konsumtif ini, namun konsumtif biasanya digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang (cost) lebih besar daripada nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Jadi, segi keperluan atau tingkat kebutuhan yang menjadi ukurannya.

Sedangkan kebutuhan pokok (primary needs) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis atau biologis yang berfungsi untuk mempertahankan hidup, seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan. Selain itu, ada kebutuhan sekunder atau kebutuhan yang diciptakan (innate needs), yaitu kebutuhan yang muncul sebagai reaksi terhadap lingkungan dan budayanya. Kebutuhan ini biasanya bersifat psikologis karena berasal dari sikap subyektif, seperti kebutuhan self-esteem, prestige, affection, dan power. Misalnya, rumah adalah kebutuhan primer, tetapi sebagian orang membangun rumah yang sangat mewah, karena ingin dipandang sebagai orang yang sukses, maka rumah mewah ini bisa disebut sebagai kebutuhan sekunder, atau bahkan tersier, karena merupakan kebutuhan yang tingkat keperluannya relatif rendah (Sumarwan, 2003:36).

Di samping itu ada jenis kebutuhan yang dirasakan (felt needs), Jenis kebutuhan ini, menurut Sumarwan (2003:36), dibedakan berdasarkan manfaat yang diharapkan. Pertama, kebutuhan utilitarian, yaitu kebutuhan yang didasarkan pada manfaat fungsional, seperti “obeng” untuk membuka dan memasang “mur”, obeng dibutuhkan karena mur tidak bisa dibuka dan dipasang dengan tangan kosong. Kedua, kebutuhan ekspresif atau hedonik, yaitu kebutuhan yang bersifat psikologis seperti rasa puas, gengsi, emosi, dan perasaan subyektif lainnya. Kebutuhan ini sering muncul untuk memenuhi tuntutan sosial

dan estetika, seperti minum kopi di restoran memberikan manfaat fungsional yang sama dengan minum kopi di warung kopi dalam hal kenyamanan atau kelezatannya, tetapi restoran bisa memberikan manfaat estetika dan tuntutan sosial yang lebi tinggi daripada warung kopi. Seperti halnya “dasi” tidak memberikan manfaat fungsional tetapi memberikan manfaat estetika dan tuntutan sosial.

Jadi perilaku konsumeristik maupun perilaku konsumtif adalah perilaku ekonomi yang tidak rasional, karena cenderung berorientasi pada keinginan untuk memenuhi kebutuhan ekspresif (hedonik) daripada kebutuhan fungsional, dan untuk memenuhi kebutuhan hedonik ini biasanya dibutuhkan pengorbanan (cost) yang lebih tinggi daripada kebutuhan fungsional. Padahal untuk bisa mendapatkan kepuasan dari pengkonsumsian atribut, konsumen harus membeli produk untuk memperoleh atribut tersebut. Dengan perkataan lain, produk itu merupakan alat untuk menyampaikan atribut dalam proses konsumsi (Arsyad, 2000:116).

Oleh karena itulah Organisasi Konsumen Internasional (CI-ROAP) dalam program “sustainable consumption” mengkampanyekan perilaku konsumsi yang selalu didasarkan pada kebutuhan, bukan keinginan. Sebab, menuruti keinginan tiada batasnya, bahkan langit pun tidak bisa menjadi batas. Yang jelas bahwa pola konsumsi yang berorientasi pada keinginan bukanlah perilaku konsumsi yang rasional (Prehati, 2001).

Namun dalam praktik, karena membanjirnya peluang, kesempatan dan pilihan untuk aktualisasi diri, maka akan bisa membuat orang ‘hanyut’ sehingga melupakan hakikinya yang sangat mendasar. Terbawanya manusia dalam banjir

informasi menyebabkan kekaburan manusia untuk memahami perbedaan antara kebutuhan dengan keserakahan (needs and greed), butuh dan ingin (wish and need), yang kemudian mendorong manusia untuk secara terus menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia lalu berkembang menjadi makhluk yang egosentris dan instrumental. Sebaliknya, disonansi, kesenjangan generasi, kesenjangan kelas sosial-ekonomi, adalah efek samping terutama bagi yang tidak mungkin bisa memenuhinya (Sigit Sidi & Setiadi, 2000).

2.4.3.2. Perilaku Menabung (Saving)

Tabungan (save) berarti pendapatan yang tidak dibelanjakan untuk keperluan konsumsi. Namun tabungan ini bukan suatu konsep sisa setelah semua keperluan konsumsi dipenuhi, melainkan suatu pilihan antara uang itu dibelanjakan atau tidak dibelanjakan (Partadiredja, 1985:64). Tetapi Sulistyo & Widayat (1986:125), menyatakan bahwa tabungan adalah sisa pendapatan yang tidak dikonsumsikan atau konsumsi yang ditunda.

Pendapat yang terakhir ini rupanya didasarkan pada hipotesis pendapatan absolut dari Keynes, bahwa tingginya tingkat tabungan rumah tangga (keluarga) tergantung pada besarnya pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Hasrat menabung dari pendapatan yang siap dibelanjakan tersebut akan meningkat sesuai dengan tingkat pendapatannya. Dengan perkataan lain, bahwa semakin tinggi tingkat pendapatannya, maka semakin tinggi pula tingkat tabungannya. Jadi menurut pandangan Keynesian, bahwa tabungan sangat erat hubungannya dengan pendapatan (Sulistyo & Widayat, 1986:125). Bahkan pendapatan merupakan faktor penentu utama perilaku menabung, tetapi bukanlah

satu-satunya faktor penentu perilaku menabung pada keluarga (Arsyad, 1999:157).

Menurut Sjabadhyni & Wutun (1999:21), subyek menilai penghasilan yang diperoleh bersifat tidak mantap yang disebabkan oleh faktor subyektif. Dengan jumlah penghasilan yang sama atau mungkin lebih tinggi oleh sebagian keluarga tetap merasa kurang memadai dan kurang memuaskan. Hal ini tidak disebabkan oleh penilaian individu membandingkan antara penghasilan dan meningkatnya harga barang kebutuhan hidup sehari-hari, akan tetapi lebih kepada seseorang melihat penghasilannya sebagai sumber rasa aman saat itu dan masa depan. Individu yang mempunyai rasa aman yang rendah cenderung lebih berhemat dan berusaha menabungkan penghasilannya.

Di samping itu, setiap keluarga tentu memiliki harapan yang tidak saja memanfaatkan uangnya saat ini, tetapi juga untuk memenuhi apa yang diharapkan di masa mendatang apabila terjadi kelangkaan masa depan. Harapan tersebut akan menentukan atau mempengaruhi keputusan untuk membelanjakan dan atau menabung (Sjabadhyni & Wutun, 1999:21-22).

Survey yang dilakukan oleh Sumarwan (2003:61-62) terhadap mahasiswa MMA-IPB tentang sikap atau pendapat atau opini mereka terhadap tabungan, ternyata semua responden sepakat bahwa menabung adalah perilaku yang baik dan harus ditanamkan kepada anak-anak. Hasil survey ini bila didekati dengan teori reasoned action dari Fishbein & Ajzen (Sarwono, 1999:243), maka dapat

Dalam dokumen Pengaruh Proses Pengambilan Keputusan da (Halaman 61-77)

Dokumen terkait