• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL PENELITIAN

5.2. Pengaruh Sikap Ibu terhadap Pemberian Makanan pada Balita

Berdasarkan analisis bivariat antara sikap ibu dengan pemberian makanan pada balita, diperoleh nilai probabilitasnya p (0,000). Artinya, ada hubungan sikap

ibu dengan pemberian makanan pada balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai. Demikian juga pada analisis regresi logistik ganda menunjukkan ada pengaruh sikap ibu terhadap pemberian makanan pada balita.

Sikap ibu dalam pemberian makanan pada balita masih belum baik. Sebanyak 41 responden (44,0%) memiliki sikap cukup. Hanya 26 responden (28,0%) yang

memiliki sikap yang baik terhadap pemberian makanan pada balita. Ibu kurang setuju pemberian buah pada anak diberikan 3 kali/hari (59,1%). Ibu juga kurang setuju jika anak usia 24 bulan atau lebih diperkenankan lagi untuk meminum ASI (46,2%). Selain itu, ibu masih memiliki sikap yang kurang baik dalam pemberian makanan yang manis-manis, sebanyak 59,1% ibu menganggap pemberian makanan yang manis-manis tidak mengganggu selera makan anak. Meskipun demikian, ibu telah memiliki sikap yang baik dalam waktu memperkenalkan makanan dewasa pada anak 12 - 24 bulan (82,9%). Seluruh ibu juga setuju jika frekuensi pemberian makanan 3 kali/hari (100,0%)

Sikap yang kurang baik pada ibu dalam pemberian makanan pada balita juga disebabkan oleh rendahnya rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian makanan pada balita. Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi penentuan sikap yang utuh. Pengetahuan akan membawa seseorang untuk berpikir dan berusaha untuk melakukan hal-hal yang dapat menunjang kesehatannya. Selain komponen pengetahuan terdapat berbagai komponen lain yang mempengaruhi sikap, seperti: keyakinan, emosi, pikiran dan berbagai komponen lainnya.

Sikap ibu yang kurang baik dalam pemberian makanan pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalifah juga disebabkan oleh kondisi lingkungan. Umumnya responden yang memiliki sikap yang tidak baik dalam pemberian makanan pada balita memiliki lingkungan yang tidak baik juga. Banyak ibu yang tidak setuju

bahwa pemberian makanan diberikan setelah enam bulan. Biasanya makanan lembek sudah diperkenalkan kepada anak pada usia tiga bulan. Selain itu, banyak ibu yang memiliki motivasi yang tidak tepat dalam mengikuti program yang dilakukan tenaga kesehatan. Para ibu hanya mengharapkan bantuan makanan tambahan dari posyandu, tanpa berusaha untuk memenuhinya sendiri. Menurut Mar’at (1984), yang dikutip Budiarto (2008) motivasi menjadi salah satu tahapan yang mempengaruhi sikap. Jika motivasi ibu tidak baik, maka akan menghasilkan sikap yang tidak baik juga.

Sikap ibu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Sikap yang kurang baik terhadap pemberian makanan pada ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi anak, sehingga menghasilkan anak yang kurang gizi. Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2005), menyatakan bahwa sikap adalah suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Kristiadi, E., (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan sikap ibu dengan kejadian kurang energi protein pada balita (p=0,034), bahkan ibu dengan sikap kurang baik berisiko mempunyai anak kurang energi protein 3,09 kali lebih tinggi dibanding ibu dengan sikap baik. Demikian juga dengan hasil penelitian dari Dewi, S. (2009) menyatakan bahwa ada hubungan sikap

dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 - 6 bulan di Kelurahan Jungke Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar.

Hasil tabulasi silang antara sikap dengan tindakan pemberian makanan pada balita, menunjukkan masih terdapat 6 responden (23,0%) yang memiliki sikap yang baik namun dalam hal pemberian makanan masih belum baik. Hal ini membuktikan bahwa sikap yang baik juga tidak selalu diikuti dengan tindakan yang baik. Menurut Notoatmodjo (2005), sikap merupakan salah satu domain perilaku. Biasanya sikap akan menjadi faktor penyebab timbulnya tindakan. Namun, sama dengan pengetahuan, sikap juga bukan satu-satunya penyebab timbulnya tindakan. Ada banyak faktor lain, seperti: nilai, kepercayaan, fasilitas, dukungan sosial dan lain-lain.

Berdasarkan hasil food frequency yang dilakukan ditemukan bahwa tidak ada

ibu yang memberikan sayuran dan buah lebih dari 1 kali dalam sehari. Hal ini menunjukkan bahwa sikap ibu dalam pemberian makanan pada balita belum baik. Sikap sering dihubungkan dengan pengetahuan. Semakin baik pengetahuan ibu, maka akan semakin baik juga sikap ibu terhadap kesehatan. Jika seseorang memiliki pengetahuan yang baik tentang makanan yang sehat, maka sikapnya juga akan semakin baik terhadap makanan tersebut. Sikap yang baik tersebut akan menunjang tindakan dalam pemberian makanan yang baik pada balita. Perilaku baru atau adopsi perilaku yang didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap positif akan bersifat langgeng (long lasting). Untuk itu, tenaga kesehatan perlu melakukan berbagai upaya

penyampaian informasi-informasi tentang makanan bergizi pada saat memberikan pelayanan kesehatan.

5.3. Pengaruh Dukungan Tenaga Kesehatan terhadap Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai

Berdasarkan analisis bivariat antara dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian makanan pada balita, diperoleh nilai probabilitasnya p (0,000). Artinya,

ada hubungan dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian makanan pada balita. Demikian juga pada analisis regresi logistik ganda menunjukkan ada pengaruh dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dukungan tenaga kesehatan dalam pemberian makanan pada balita sudah baik. Sebanyak 33 responden (35,5%) menyatakan bahwa dukungan tenaga kesehatan sudah baik. Ibu menyatakan tenaga kesehatan pernah memberikan penyuluhan tentang pemberian makanan pada balita (81,7%), menganjurkan ibu untuk memberikan ASI eksklusif pada anak (96,7%), menganjurkan ibu agar memberikan sayur dan buah pada anak (96,7%), menganjurkan kepada ibu agar memberikan vitamin A dua kali dalam setahun (83,8%), pernah menjelaskan dampak yang akan terjadi pada anak jika ibu tidak memenuhi kebutuhan gizinya (72,0%), menganjurkan agar ibu mengikuti program pemberian makanan tambahan dari Puskesmas atau Posyandu (82,9%), pernah memberikan makanan tambahan berupa bubur kacang hijau, roti atau susu (96,7%). Namun disisi lain, menurut responden tenaga kesehatan tidak pernah menjelaskan perlunya makanan selingan pada balita (92,4%), tenaga kesehatan tidak pernah

melatih ibu untuk menyusun menu makanan pada balita sehari-hari (95,7%) dan tenaga kesehatan juga tidak pernah mengajarkan pemberian jenis makanan yang tepat sesuai dengan usia balita (94,6%),

Dukungan tenaga kesehatan yang baik disebabkan oleh beberapa program yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam pemberian makanan. Bentuk dukungan yang telah dilakukan tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalifah selama ini berupa pemberian makanan tambahan, penyuluhan dan konseling tentang pemberian makanan pada balita pada saat pelaksanaan posyandu. Tenaga kesehatan juga melakukan pelatihan-pelatihan kepada kader tentang pemberian makanan pada balita, sehingga para kader dapat memperkuat intensitas informasi tentang pemberian makanan pada ibu, agar pola pemberian makanan pada balita semakin baik.

Dukungan atau peran tenaga kesehatan juga sangat berpengaruh terhadap tindakan pemberian makanan pada balita. Tenaga kesehatan seharusnya berperan dalam meningkatkan pengetahuan ibu dalam hal mengatur pola makan yang baik dan bergizi serta frekuensi pemberian makanan yang baik setiap hari. Gottlieb dalam Koentjoro (2002), berpendapat dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat

verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban

sosial atau dapat dikatakan karena adanya kehadiran mereka mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerimanya. Dukungan tenaga kesehatan masuk didalam lingkup dukungan sosial, dimana yang dimaksud dari dukungan sosial adalah bentuk dukungan dan hubungan yang baik untuk memberikan kontribusi

penting pada kesehatan. Dukungan sosial yang dibutuhkan adalah berupa dukungan informasional yang mendasari tindakan.

Dukungan sosial memiliki kekuatan sebagai pencegahan dan pendorong seseorang berperilaku sehat. Dukungan sosial berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan. Ciri-ciri bentuk dukungan sosial berkaitan dengan komposisi jaringan sosial atau sumber-sumber dukungan, karakteristik fungsional ditandai dengan penyediaan sumber daya tertentu atau jenis dari dukungan. Dukungan sosial berpengaruh terhadap penilaian individu dalam memandang seberapa berat suatu peristiwa yang terjadi dalam hidup yang bisa mempengaruhi pilihan dalam upaya penanggulangan. Menurut Cohen dan Wills (1985) dalam Bishop G.D. (1997) dukungan sosial berdampak langsung terhadap perilaku kesehatan.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siregar, L.T. (2008) menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Limun Medan. Beberapa bentuk dukungan yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah dukungan informasional (penyuluhan, pelatihan dan pendampingan) dan dukungan instrumental, seperti: pemberian makanan tambahan (roti, telur, bubur, kacang hijau dan makanan lainnya).

Dari hasil analisis multivariat yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat pengetahuan ibu, sikap ibu dan dukungan tenaga kesehatan berpengaruh terhadap pemberian makanan pada balita di Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai. Dari ketiga variabel tersebut, variabel dukungan tenaga

kesehatan merupakan variabel yang paling dominan memengaruhi ibu dalam pemberian makanan pada balita. Hal ini dapat dilihat dari nilai coeficient B, dukungan

tenaga kesehatan yang paling besar (81,823) jika dibandingkan dengan coeficient B

pengetahuan dan sikap ibu.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Theresiana K.L., (2002), tentang faktor-faktor yang memengaruhi pemberian makanan pada balita di Kabupaten Tangerang, yang menyatakan bahwa ada pengaruh tenaga kesehatan terhadap perilaku pemberian makanan pada balita. Bahkan, dari beberapa faktor yang diteliti (umur, pekerjaan, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap ibu dan dukungan tenaga kesehatan), dukungan tenaga kesehatan merupakan faktor yang paling dominan. Peluang ibu untuk memberikan makanan yang tepat pada balita pada yang memperoleh dukungan dari tenaga kesehatan, 3,6 kali lebih baik dibanding ibu yang tidak memperoleh dukungan dari tenaga kesehatan. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berupa; penyuluhan, pelatihan dan pendampingan pemberian makanan.

Dukungan tenaga kesehatan juga menjadi faktor penting yang memengaruhi pengetahuan dan sikap ibu. Selain itu, berbagai program-program penyuluhan tentang pemberian makanan pada balita dan upaya pemberian makanan tambahan pada balita menjadi faktor yang berpengaruh langsung terhadap kesehatan balita.

Dokumen terkait