PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU SERTA DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN
PADA BALITA DI PUSKESMAS BANDAR KHALIFAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Oleh
MARIA POSMA HAYATI 097032136/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE INFLUENCE OF MOTHER’S KNOWLEDGE AND ATTITUDE AND THE HEALTH OFFICER’S SUPPORT ON THE FEEDING TO THE
CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD AT BANDAR KHALIFAH HEALTH CENTER SERDANG BEDAGAI DISTRICT
THESIS
BY
MARIA POSMA HAYATI 097032136/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU SERTA DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN
PADA BALITA DI PUSKESMAS BANDAR KHALIFAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARIA POSMA HAYATI 097032136/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU SERTA DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN PADA BALITA DI PUSKESMAS BANDAR KHALIFAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Nama Mahasiswa : Maria Posma Hayati Nomor Induk Mahasiswa : 097032136
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si) (Drs. Amir Purba, M.Si, Ph.D) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) ( Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji pada
Tanggal : 19 Desember 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si Anggota : 1. Drs. Amir Purba, M.Si, Ph.D
PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU SERTA DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN
PADA BALITA DI PUSKESMAS BANDAR KHALIFAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2011
ABSTRAK
Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Serdang Bedagai tergolong tinggi pada tahun 2010. Sebanyak 1.072 balita dari 63.292 balita mengalami gizi kurang dan 85 balita mengalami gizi buruk. Puskesmas Bandar Khalifah merupakan salah satu puskesmas yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai di mana di wilayah ini banyak balitanya mengalami gizi kurang dan gizi buruk.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011. Penelitian ini menggunakan jenis explanatory survey. Populasi adalah ibu yang memiliki balita dan melakukan penimbangan berat badan balitanya pada pelayanan kesehatan puskesmas/posyandu di Kecamatan Bandar Khalifah, yang berjumlah 1.421 ibu.
Jumah sampel sebanyak 93 ibu, yang diperoleh dengan cara simple random
sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pengetahuan ibu, sikap ibu dan dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita (p < 0,05). Variabel yang dominan memengaruhi pemberian makanan pada balita adalah dukungan tenaga kesehatan.
Disarankan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di pelayanan kesehatan agar lebih meningkatkan perencanaan promosi dan penyuluhan tentang pemberian makanan pada balita agar pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian makanan pada balita semakin baik.
ABSTRACT
The prevalence of under nutrition and severe under nutrition in Serdang Bedagai District relatively high in 2010. There were 1,072 children under five years old from 63,292 of them suffered from under nutrition and 85 of them suffered from severe under nutrition. Bandar Khalifah Health Center is one of the Health Center in Serdang Bedagai District where in this area had many children under five years old suffered from under nutrition and severe under nutrition.
The aim of this research was to analyze the influences of mother’s knowledge and attitude and the health officer’s support on the feeding to the children under five years old at Bandar Khalifah Health Center, Serdang Bedagai District, in 2011. This research used explanatory survey method. The population were 1,421 mothers who had children under five years old and weighed their children in the Health Center or Posyandu (Integrated Service Post) at Bandar Khalifah Subdistrict; 93 of these mothers were used as the samples, using simple random sampling. The data were analyzed by using multiple logistic regression tests.
The results of the research showed that there were the influences of mother’s knowledge and attitude and the health officer’s support on the feeding to the children under five years old (p < 0,05). The dominant variable which influence on the feeding to the children under five years old was the health officer’s support.
It is recommended that the health officers at the Health Service should increase the program of promotion and counseling about feeding to the children under five years old in order that the mother’s knowledge and attitude in feeding to their children become better.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang
berjudul ”Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Ibu serta Dukungan Tenaga Kesehatan
terhadap Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten
Serdang Bedagai”.
Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan, bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini izinkan penulis untuk
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H. M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan
pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan arahan
selama saya mengikuti pendidikan
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Drs.
meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam
memberikan bimbingan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
5. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes selaku ketua komisi pembanding dan Dra.
Jumirah, Apt, M.Kes sebagai anggota komisi pembanding, yang telah
memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
6. Kepala Dinas Kabupaten Serdang Bedagai, Kepala Puskesmas Bandar Khalifah
dan tenaga kesehatan yang bertugas di wilayah Puskesmas Bandar Khalifah.
7. Kedua orang tua, suami tercinta dan anakku tersayang, yang telah turut
memberikan doa restu serta kesabaran, karena kehilangan banyak waktu bersam
dalam masa-masa menempuh pendidikan ini.
8. Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak memberikan bantuan moril dan materil selama mengikuti
pendidikan, penelitian dan penulisan tesis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan dan
diucapkan terimakasih.
Medan, Desember 2011
RIWAYAT HIDUP
Maria Posma Hayati, lahir di Pangkal Pinang pada tanggal 29 April 1982,
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan M. Siahaan, S.H dan D. br.
Manullang, menikah dengan S. Panjaitan, S.T dan telah dikaruniai satu orang putra
yaitu Glenn Hezkiel Panjaitan.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di SD Swasta Husni
Thamrin pada tahun 1988 dan diselesaikan pada tahun 1994, SMP Swasta Husni
Thamrin pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 1997, SMA Swasta Husni Thamrin
pada tahun 1997 dan diselesaikan pada tahun 2000, S1 Profesi Dokter di Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Methodist Indonesia pada tahun 2000 dan selesai
pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 sampai tahun 2009 menjadi dokter PTT di Kabupaten
Humbang Hasundutan dan pada tahun 2010 sampai sekarang menjadi PNS di
DAFTAR ISI
2.5.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Makanan .... . 31
3.3. Populasi dan Sampel ... .. 40
4.7. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemberian Makanan pada Balita ... 63
4.8. Hubungan Sikap Ibu dengan Pemberian Makanan pada Balita ... 64
4.9. Hubungan Dukungan Tenaga Kesehatan dengan Pemberian Makanan pada Balita ... 65
4.10. Analisis Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Ibu serta Dukungan Tenaga Kesehatan terhadap Pemberian Makanan pada Balita ... 66
BAB 5. PEMBAHASAN ... 70
5.1. Pengaruh Pengetahuan Ibu terhadap Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai ... 70
Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah
Kabupaten Serdang Bedagai ... 78
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
6.1. Kesimpulan ... 82
6.2. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 83
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Pola Pemberian Makanan Balita ... 28
2.2. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Rata-Rata Per Hari ... 35
3.1. Perhitungan Jumlah Sampel Penelitian di Puskesmas Bandar Khalifah ... 41
3.2. Metode Pengukuran Variabel Penelitian... 48
4.1. Distribusi Karakteristik Responden di Wilayah Puskesmas Bandar
Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai ... 51
4.2. Distribusi Jawaban Responden tentang Pengetahuan Ibu dalam
Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah
Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011... .... 53
4.3. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang
Bedagai Tahun 2011 ... 54
4.4. Distribusi Jawaban Responden tentang Sikap Ibu dalam Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten
Serdang Bedagai Tahun 2011 ... 55
4.5. Distribusi Frekuensi Sikap Ibu tentang Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai
Tahun 2011 ... 56
4.6. Distribusi Jawaban Responden tentang Dukungan Tenaga Kesehatan
dalam Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar
Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011 ... 57
4.7. Distribusi Frekuensi Dukungan Tenaga Kesehatan tentang Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten
4.8. Distribusi Jawaban Responden tentang Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai
Tahun 2011 ... 59
4.9. Distribusi Frekuensi Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas
Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011 ... 62
4.10. Distribusi Frekuensi Food Recall Pada Makanan yang Dikonsumsi
Balita... .. 63
4.11. Tabulasi Silang Variabel Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalipah Kabupaten
Serdang Bedagai, Tahun 2011 ... 64
4.12. Tabulasi Silang Variabel Sikap Ibu dengan Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai,
Tahun 2011 ... 65
4.13. Tabulasi Silang Variabel Dukungan Tenaga Kesehatan dengan Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah
Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2011 ... 66
4.14. Hasil Akhir Analisis Regresi Logistik Ganda Pengaruh Pengetahuan, Sikap Ibu dan Dukungan Tenaga Kesehatan Terhadap Pemberian Makanan pada Balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 87
2. Formulir food frequency menurut jenis bahan-bahan makanan... ... 93
3. Hasil uji validitas dan Reliabilitas ... 94
4. Hasil Pengolahan data ... 104
5. Surat izin Penelitian ... 112
ABSTRAK
Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten Serdang Bedagai tergolong tinggi pada tahun 2010. Sebanyak 1.072 balita dari 63.292 balita mengalami gizi kurang dan 85 balita mengalami gizi buruk. Puskesmas Bandar Khalifah merupakan salah satu puskesmas yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai di mana di wilayah ini banyak balitanya mengalami gizi kurang dan gizi buruk.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011. Penelitian ini menggunakan jenis explanatory survey. Populasi adalah ibu yang memiliki balita dan melakukan penimbangan berat badan balitanya pada pelayanan kesehatan puskesmas/posyandu di Kecamatan Bandar Khalifah, yang berjumlah 1.421 ibu.
Jumah sampel sebanyak 93 ibu, yang diperoleh dengan cara simple random
sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pengetahuan ibu, sikap ibu dan dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita (p < 0,05). Variabel yang dominan memengaruhi pemberian makanan pada balita adalah dukungan tenaga kesehatan.
Disarankan kepada tenaga kesehatan yang bekerja di pelayanan kesehatan agar lebih meningkatkan perencanaan promosi dan penyuluhan tentang pemberian makanan pada balita agar pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian makanan pada balita semakin baik.
ABSTRACT
The prevalence of under nutrition and severe under nutrition in Serdang Bedagai District relatively high in 2010. There were 1,072 children under five years old from 63,292 of them suffered from under nutrition and 85 of them suffered from severe under nutrition. Bandar Khalifah Health Center is one of the Health Center in Serdang Bedagai District where in this area had many children under five years old suffered from under nutrition and severe under nutrition.
The aim of this research was to analyze the influences of mother’s knowledge and attitude and the health officer’s support on the feeding to the children under five years old at Bandar Khalifah Health Center, Serdang Bedagai District, in 2011. This research used explanatory survey method. The population were 1,421 mothers who had children under five years old and weighed their children in the Health Center or Posyandu (Integrated Service Post) at Bandar Khalifah Subdistrict; 93 of these mothers were used as the samples, using simple random sampling. The data were analyzed by using multiple logistic regression tests.
The results of the research showed that there were the influences of mother’s knowledge and attitude and the health officer’s support on the feeding to the children under five years old (p < 0,05). The dominant variable which influence on the feeding to the children under five years old was the health officer’s support.
It is recommended that the health officers at the Health Service should increase the program of promotion and counseling about feeding to the children under five years old in order that the mother’s knowledge and attitude in feeding to their children become better.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Arah kebijaksanaan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya menyebutkan
bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan
termasuk di dalamnya keadaan gizi masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup serta kecerdasan dan kesejahteraan rakyat pada umumnya (Suhardjo, 2003).
Pemerintah telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN, 2005-2009) di bidang kesehatan yang mencakup
program-program prioritas sebagai berikut: program-program promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat, program lingkungan sehat, program pencegahan dan pemberantasan
penyakit dan program perbaikan gizi masyarakat. Salah satu sasarannya adalah
menurunnya frekuensi gizi kurang menjadi 20% pada tahun 2009 dan penurunan gizi
buruk menjadi 5% (Depkes RI, 2005).
Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang
mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan
yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Anak balita merupakan kelompok umur
yang paling sering menderita kekurangan gizi. Di negara berkembang anak-anak
umur 0 - 5 tahun merupakan golongan yang paling rawan terhadap gizi, khususnya
Pada masa balita, anak sedang mengalami proses pertumbuhan yang sangat
pesat sehingga memerlukan zat-zat makanan yang relatif lebih banyak dengan
kualitas yang lebih tinggi. Hasil pertumbuhan menjadi dewasa, sangat tergantung dari
kondisi gizi dan kesehatan sewaktu masa balita. Gizi kurang atau gizi buruk pada
bayi dan anak-anak terutama pada umur kurang dari 5 tahun dapat berakibat
terganggunya pertumbuhan jasmani dan kecerdasan otak (Achmad Djaeni, 2000).
Gizi buruk mempunyai dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak
jangka pendek gizi buruk adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara
dan perkembangan. Sedang dampak jangka panjang adalah penurunan skor IQ,
penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori. Gizi buruk jika tidak
dikelola dengan baik pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan pada jangka
panjang akan menjadi ancaman hilangnya generasi bangsa. Penundaan pemberian
perhatian, pemeliharaan gizi yang kurang tepat terhadap balita akan menurunkan nilai
potensi mereka sebagai sumber daya pembangunan masyarakat dan ekonomi
nasional. Mereka memerlukan penggarapan sedini mungkin apabila kita
menginginkan peningkatan potensi mereka untuk pembangunan bangsa di masa
depan (Nency Y, Arifin M.T., 2005).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010,
menunjukkan angka balita kurang gizi sebanyak 17,9 persen, jumlah tersebut
menurun jika dibanding dengan tahun 2007, yaitu sebesar 18,4 persen. Demikian pula
36,8 persen pada tahun 2007 menjadi 35,6 persen pada tahun 2010, dan prevalensi
balita kurus menurun sebanyak 0,3 persen yaitu dari 13,6 persen pada tahun 2007
menjadi 13,3 persen pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan angka penderita
gizi kurang dan gizi buruk, namun masih terjadi disparitas prevalensi antar provinsi
yang cukup lebar. Angka gizi kurang dan gizi buruk terendah berada di Provinsi
Sulawesi Utara, yaitu sebesar 10,6%, sedangkan tertinggi berada di Provinsi Nusa
Tenggara Barat, yaitu sebesar 30,5%. Di propinsi Sumut prevalensi gizi kurang dan
buruk juga mengalami penurunan dari 22,8% pada tahun 2007 menjadi 21,4% pada
tahun 2010. Di kota Medan, prevalensi gizi kurang 12,89% dan gizi buruk 2,78%
(Depkes, 2010).
Untuk Kabupaten Serdang Bedagai dari 63.292 jumlah balita yang ada pada
tahun 2009, yang ditimbang 45.517 balita, ditemukan 1.072 balita menderita gizi
kurang dan gizi buruk sebanyak 85 balita. Di Kecamatan Bandar Khalifah sendiri dari
3.267 balita yang ada, yang ditimbang 3.004 balita, dijumpai 65 balita gizi kurang
dan 4 balita gizi buruk (Profil Dinas Kesehatan Serdang Bedagai, 2010).
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan, balita penderita gizi
kurang dan buruk pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu (miskin),
sehingga ibu tidak memiliki pilihan untuk memberikan makanan yang bervariasi dan
sesuai dengan kebutuhan jumlah kalori minimal dalam sehari (2.100 kkal). Selain itu,
pada keluarga penderita juga ditemukan perilaku ayah yang mengkonsumsi rokok,
yang bergizi bagi anak. Hal ini menyebabkan berbagai dukungan tenaga kesehatan
melalui pemberian informasi (penyuluhan) tentang pemberian makanan bergizi,
pemberian makanan tambahan tidak berdampak dalam upaya penurunan kasus gizi
kurang dan buruk. Berdasarkan laporan bulanan di Puskesmas Bandar Khalifah untuk
bulan Juni 2011, dari 1421 balita yang ditimbang, telah dijumpai 35 balita
diantaranya mengalami gizi kurang dan 2 balita mengalami gizi buruk.
Kekurangan zat gizi pada anak disebabkan karena anak mendapat makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan anak atau adanya
ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif
maupun kualitatif (Moehji, S., 2003).
Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada
bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian makanan pendamping ASI
yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta
adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung
menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada
anak usia dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2000).
Ibu adalah seseorang yang paling dekat dengan anak haruslah memiliki
pengetahuan tentang gizi. Pengetahuan minimal yang harus diketahui seorang ibu
adalah tentang kebutuhan gizi, cara pemberian makan, jadwal pemberian makan pada
balita, sehingga akan menjamin anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal
gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan dan pengaturan faal tubuh. Zat gizi
berperan memelihara dan memulihkan kesehatan serta untuk melaksanakan kegiatan
sehari-hari (Suharjo, 2003).
Kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan orang tua, khususnya ibu
merupakan salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi pada balita. Dalam
periode pemberian makanan pendamping ASI, balita tergantung sepenuhnya pada
perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu pengetahuan dan
sikap ibu sangat berperanan, sebab pengetahuan tentang pemberian makanan dan
sikap yang baik terhadap pemberian makanan pada balita akan menyebabkan
seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi balitanya. Semakin
baik pengetahuan gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan
jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Achmad Djaeni, 2000).
Pada keluarga dengan pengetahuan tentang makanan pendamping ASI yang
rendah, seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak
memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan. Kejadian gangguan gizi tidak
hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada
keluarga yang berpenghasilan relatif baik (cukup). Keadaan ini menunjukkan bahwa
ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh merupakan sebab
buruknya mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan balita.
Menurut hasil penelitian Sulistiyowati, H. (2007) di Desa Sendang Harjo,
(p=0.003) antara pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pada balita.
Pengetahuan ibu yang dominan kurang baik menjadikan pola pemberian makanan
pada anak balita juga kurang baik. Demikian juga dengan hasil penelitian Irawan, A.,
(2009) menyatakan ada hubungan pengetahuan ibu dalam pemberian makanan
pendamping ASI dengan kurang gizi di wilayah kerja Puskesmas Semurup
Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Penelitian Wijayanti, A. (2005), menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan (P<0,05) antara pengetahuan ibu balita tentang
gizi dan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) dengan tindakan ibu
dalam PMT-P di Kabupaten Semarang.
Menurut Mokoagow (2007) yang dikutip Hayati, N., (2009), pemahaman
bahwa kurang gizi sebenarnya dapat dicegah bila seseorang memiliki bekal
pengetahuan yang cukup, akan memicu keingintahuan semua orang untuk
memperluas pengetahuan serta wawasannya. Adalah hal ironis bila kurang gizi yang
terjadi di sekitar kita hanya karena pengetahuan yang kurang pada pola pemberian
makanan apalagi kita berada pada era yang penuh dengan informasi seperti sekarang
ini. Pengetahuan tentang pola pemberian makanan balita seharusnya didapat sejak
seorang ibu mengandung. Dengan pola pemberian makanan yang baik akan dapat
menjamin terhindarnya seorang balita dari kurang gizi.
Sikap ibu juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
gizi buruk. Sikap yang kurang baik terhadap pemberian makanan pada ibu
gizi. Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak
senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Menurut Campbell
(1950) yang dikutip Notoatmodjo (2005), menyatakan bahwa sikap adalah suatu
sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap
itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain.
Menurut hasil penelitian Kristiadi, E., (2007) terdapat hubungan sikap ibu
dengan kejadian kurang energi protein pada balita (p=0,034), bahkan ibu dengan
sikap kurang baik berisiko mempunyai anak kurang energi protein 3,09 kali lebih
tinggi dibanding ibu dengan sikap baik. Demikian juga dengan hasil penelitian dari
Dewi, S. (2009) menyatakan bahwa ada hubungan sikap dengan pemberian makanan
pendamping ASI pada bayi usia 0 – 6 bulan di Kelurahan Jungke Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Karanganyar.
Dukungan atau peran tenaga kesehatan juga sangat berpengaruh terhadap
tindakan pemberian makanan pada balita. Tenaga kesehatan seharusnya berperan
dalam meningkatkan pengetahuan ibu dalam hal mengatur pola makan yang baik dan
bergizi serta frekuensi pemberian makanan yang baik setiap hari. Gottlieb dalam
Koentjoro (2002), berpendapat dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat
verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban
sosial atau dapat dikatakan karena adanya kehadiran mereka mempunyai manfaat
masuk didalam lingkup dukungan sosial, dimana yang dimaksud dari dukungan sosial
adalah bentuk dukungan dan hubungan yang baik untuk memberikan kontribusi
penting pada kesehatan. Dukungan sosial yang dibutuhkan adalah berupa dukungan
informasional yang mendasari tindakan.
Menurut hasil penelitian Siregar, L.T. (2008) menyatakan bahwa ada
pengaruh yang signifikan dari tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada
bayi di wilayah kerja Puskesmas Simpang Limun Medan. Beberapa bentuk dukungan
yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah dukungan informasional (penyuluhan,
pelatihan dan pendampingan) dan dukungan instrumental, seperti: pemberian
makanan tambahan (roti, telur, bubur, kacang hijau dan makanan lainnya).
Demikian juga dengan hasil penelitian Theresiana K.L., (2002), tentang
faktor-faktor yang memengaruhi pemberian makanan pada balita di Kabupaten
Tangerang, menyatakan bahwa ada pengaruh tenaga kesehatan terhadap perilaku
pemberian makanan pada balita. Bahkan, dari beberapa faktor yang diteliti (umur,
pekerjaan, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap ibu dan dukungan tenaga
kesehatan), dukungan tenaga kesehatan merupakan faktor yang paling dominan.
Peluang ibu untuk memberikan makanan yang tepat pada balita yang memperoleh
dukungan dari tenaga kesehatan, 3,6 kali lebih baik dibanding ibu yang tidak
memperoleh dukungan dari tenaga kesehatan. Bentuk dukungan yang diberikan dapat
Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang
pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap
pemberian makanan pada balita di Puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang
Bedagai tahun 2011.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
penelitian adalah apakah ada pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan
tenaga kesehatan terhadap pemberian makanan pada balita di puskesmas Bandar
Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan terhadap pemberian
makanan pada balita di puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai
tahun 2011.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan tenaga kesehatan
terhadap pemberian makanan pada balita di puskesmas Bandar Khalifah Kabupaten
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai
Sebagai bahan masukan dan informasi untuk mengambil kebijakan dalam
pengelolaan program gizi khususnya penerapan pola pemberian makanan yang
baik terhadap balita dalam rangka penanggulangan masalah kekurangan gizi
pada balita.
2. Bagi masyarakat
Memberikan informasi khususnya kepada ibu yang mempunyai balita tentang
pemberian makanan pada balita sehingga dapat meningkatkan pemahaman ibu
tentang manfaat pemberian makanan yang tepat pada balitanya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan pengaruh pengetahuan dan sikap ibu serta dukungan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,
sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap)
maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan
dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang
kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Notoatmodjo,
2005).
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada
domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang
berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada
subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap
subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang
telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respons lebih
jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus
dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau
berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya.
Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan
atau sikap.
2.2. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan
sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata).
Pengetahuan merupakan salah satu bagian dari perilaku, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2005), membagi perilaku
seseorang ke dalam tiga domain, ranah atau wilayah yakni pengetahuan (cognitive
domain), sikap (affective domain), dan tindakan (psychomotor domain). Kognitif
dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau tanggapan dan psikomotor
diukur melalui tindakan (praktik) yang dilakukan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (Overt Behaviour). Sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, terjadi proses yang berurutan yakni :
1. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya.
4. Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adaption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti
ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka
perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya, apabila perilaku
tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Jadi, pentingnya pengetahuan disini adalah dapat menjadi dasar dalam merubah
perilaku sehingga perilaku itu langgeng (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai intensitas dan tingkat
yang berbeda-beda, yang secara garis besar dapat dibagi dalam enam tingkatan
pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005), yaitu:
1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu (know) merupakan
2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan sebagainya terhadap
objek yang telah dipelajari.
3. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada atau kondisi sebenarnya.
4. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi yang
telah dipelajari dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis) adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk malakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu
kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas (Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan (Notoatmodjo, 2007):
1. Pengalaman
Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman baik dari pengalaman pribadi
maupun dari pengalaman orang lain. Pengalaman ini merupakan suatu cara untuk
memperoleh kebenaran suatu pengetahuan.
2. Ekonomi (pendapatan)
Dalam memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder,
keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih tercukupi bila dibandingkan
keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan akan informasi pendidikan yang termasuk ke dalam kebutuhan
sekunder.
3. Lingkungan sosial ekonomi
Manusia adalah makhluk sosial dimana di dalam kehidupan saling berinteraksi
satu dengan yang lainnya. Individu yang dapat berinteraksi lebih banyak dan baik,
maka akan lebih besar ia terpapar informasi.
4. Pendidikan
Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional
terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang
5. Paparan media massa atau informasi
Melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik berbagai informasi dapat
diterima oleh masyarakat sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media
massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang
yang tidak pernah terpapar informasi media massa.
6. Akses layanan kesehatan atau fasilitas kesehatan
Mudah atau sulitnya dalam mengakses layanan kesehatan tentunya akan
berpengaruh terhadap pengetahuan khususnya dalam hal kesehatan.
Menurut Suhardjo (2003), suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya
pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :
1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,
pemeliharaan dan energi.
3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi.
2.3. Sikap (attitude)
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell
dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan,
perhatian dan gejala kejiwaan yang lain.
Sikap, menurut Widayatun, 1999 (Setiana, L., 2005), adalah kesiapan
seseorang untuk bertindak atau berprilaku tertentu. Sikap juga dapat diartikan sebagai
suatu keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang
memberikan pengaruh dinamika / terarah terhadap respon individu pada semua obyek
dan situasi yang berkaitan dengannya.
Soedjito dalam Mardikanto (1993) mengatakan bahwa sikap sebenarnya
merupakan fungsi dari kepentingan, artinya sikap seseorang sangat ditentukan oleh
kepentingan-kepentingan yang dirasakan. Semakin ia memiliki kepentingan, atau
semakin banyak kepentingan yang dirasakan, maka sikapnya semakin baik dan
sebaliknya semakin merasa tak memiliki kepentingan atau kepentingannya tidak
dipenuhi maka sikapnya semakin buruk.
Sikap dapat pula didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan
seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam
lingkungannya. Komponen sikap adalah pengetahuan, perasaan-perasan dan
kecenderungan untuk bertindak, sikap adalah kecenderungan evaluasi terhadap suatu
obyek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang
berhadap-hadapan dengan obyek sikap ( Van den Ban, Hawkins, H.S., 1999).
Komponen sikap adalah: 1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep
3) kecendrungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan,
berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Pengetahuan akan
merangsang seseorang untuk berfikir dan berusaha untuk mencari penyelesaian
sehingga sikap seseorang terhadap obyek menjadi baik. Sikap yang didasari dengan
pengetahuan akan bertahan lebih lama daripada sikap yang tidak didasari oleh
pengetahuan.
Menurut Notoatmodjo (2005), tingkatan sikap terbagi menjadi 4, yaitu:
1. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding), merupakan indikasi dari sikap dalam bentuk memberikan
jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
Hal ini menunjukkan bahwa orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing), merupakan indikasi dari sikap dalam bentuk mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan sesuatu masalah.
4. Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.4. Dukungan Tenaga Kesehatan
Perilaku kesehatan seseorang juga sangat dipengaruhi oleh tenaga
kesehatan. Seseorang yang sudah mengetahui manfaat dari sebuah perilaku yang
mendukung dan memotivasi individu untuk melakukan sebuah perilaku kesehatan,
khususnya pemberian makanan pada balita. Selain itu, banyak ibu yang kurang
memahami cara pemberian makanan yang sehat kepada balita, sehingga sangat
dibutuhkan peran dan dukungan dari tenaga kesehatan.
Dukungan adalah menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang
lain. Dukungan juga dapat diartikan sebagai memberikan dorongan/motivasi atau
semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuat keputusan (Chaplin,
J.P., 2006).
Menurut Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), dukungan tenaga kesehatan
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam menimbulkan sebuah
perilaku kesehatan. Green membagi faktor-faktor yang memengaruhi tindakan atau
perilaku tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,
sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau
fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu,
3. Faktor penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat mencakup: dukungan sosial dari
tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga.
Gottlieb (1983), berpendapat dukungan sosial terdiri dari informasi atau
nasehat verbal dan non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh
keakraban sosial atau dapat dikatakan karena adanya kehadiran mereka mempunyai
manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerimanya. Dukungan tenaga
kesehatan masuk didalam lingkup dukungan sosial, dimana yang dimaksud dari
dukungan sosial adalah bentuk dukungan dan hubungan yang baik untuk memberikan
kontribusi penting pada kesehatan. Dukungan sosial yang dibutuhkan adalah berupa
dukungan informasional yang mendasari tindakan.
Dukungan sosial memiliki kekuatan sebagai pencegahan dan pendorong
seseorang berperilaku sehat. Dukungan sosial berdampak pada kesehatan dan
kesejahteraan. Ciri-ciri bentuk dukungan sosial berkaitan dengan komposisi jaringan
sosial atau sumber-sumber dukungan, karakteristik fungsional ditandai dengan
penyediaan sumber daya tertentu atau jenis dari dukungan. Dukungan sosial
berpengaruh terhadap penilaian individu dalam memandang seberapa berat suatu
peristiwa yang terjadi dalam hidup yang bisa mempengaruhi pilihan dalam upaya
penanggulangan. Dukungan sosial berdampak langsung terhadap perilaku kesehatan,
House (dalam Smet Bart, 1999) membedakan dukungan sosial ke dalam
empat bentuk yaitu:
1. Dukungan informasi (informational), dalam hal ini tenaga kesehatan
memberikan informasi, penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh seseorang. Mengatasi
permasalahan dapat digunakan seseorang dengan memberikan nasehat, anjuran,
petunjuk dan masukan.
2. Dukungan penilaian (appraisal) yaitu: tenaga kesehatan berfungsi sebagai
pemberi umpan balik yang positif, menengahi penyelesaian masalah yang
merupakan suatu sumber dan pengakuan identitas individual. Keberadaan
informasi yang bermanfaat dengan tujuan penilaian diri serta penguatan
(pembenaran).
3. Dukungan instrumental (instrumental) yaitu: tenaga kesehatan merupakan suatu
sumber bantuan yang praktis dan konkrit. Bantuan mencakup memberikan
bantuan yang nyata dan pelayanan yang diberikan secara langsung bisa
membantu seseorang yang membutuhkan, seperti: pemberian makanan secara
langsung (bubur, susu, roti, telur dan lain-lain)
4. Dukungan emosional (emotional) yaitu: tenaga kesehatan berfungsi sebagai suatu
tempat berteduh dan beristirahat, yang berpengaruh terhadap ketenangan
menunjukkan kasih sayang, kepercayaan, dan perhatian. Dukungan emosional
akan membuat seseorang merasa lebih dihargai, nyaman, aman dan disayangi.
Menurut Sarason, I.G. dan Sarason, B. (1997), ada tiga cara untuk mengukur
besarnya dukungan sosial, yaitu perceived social support, social embeddnes, dan
enacted support. Ketiganya tidak memiliki korelasi yang signifikan antara satu
dengan yang lain dan masing-masing berdiri sendiri, yaitu:
1. Perceived social support; cara pengukuran ini berdasarkan pada perilaku
subjektif yang dirasakan individu mengenai tingkah laku orang disekitarnya,
apakah memberikan dukungan atau tidak.
2. Social embeddnes; cara pengukuran ini berdasarkan ada atau tidaknya hubungan
antara individu dengan orang lain sekitarnya. Fokus pengukuran ini tidak melihat
pada kualitas dan keadekuatan, tetapi hanya melihat jumlah orang yang
berhubungan dengan individu.
3. Enacted support; cara pengukuran ini memfokuskan pada seberapa sering
perilaku dari orang sekitar individu yang dapat digolongkan kedalam pemberian
dukungan sosial tanpa melihat adanya persepsi akan dukungan sosial yang
diterima individu.
Pengukuran dukungan pada penelitian ini dilakukan dengan cara perceived
social support. Dalam hal ini faktor subjektifitas sangat berpengaruh karena
melibatkan persepsi penerimanya. Adanya penilaian kognitif bahwa individu telah
Menurut hasil penelitian Theresiana K.L., (2002), tentang faktor-faktor yang
memengaruhi pemberian makanan pada balita di Kabupaten Tangerang, menyatakan
bahwa ada pengaruh tenaga kesehatan terhadap perilaku pemberian makanan pada
balita. Bahkan, dari beberapa faktor yang diteliti (umur, pekerjaan, pendidikan,
jumlah anak, pengetahuan, sikap ibu dan dukungan tenaga kesehatan), dukungan
tenaga kesehatan merupakan faktor yang paling dominan. Peluang ibu untuk
memberikan makanan yang tepat pada balita pada yang memperoleh dukungan dari
tenaga kesehatan, 3,6 kali lebih baik dibanding ibu yang tidak memperoleh dukungan
dari tenaga kesehatan. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berupa; penyuluhan,
pelatihan dan pendampingan pemberian makanan.
2.5. Pemberian Makanan pada Balita
Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia/Persagi (1992) yang dikutip oleh
Kristiadi, E. (2007), berdasarkan karakteristiknya, balita usia 1-5 tahun dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari 1-3 tahun yang dikenal dengan
batita dan anak usia lebih dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia prasekolah.
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya. Pada usia prasekolah, anak menjadi
konsumen aktif, yaitu mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Laju
pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan
jumlah makanan yang relatif lebih besar. Namun, perut yang masih lebih kecil
kecil daripada anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang
diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.
Pada dasarnya makanan bagi balita harus bersifat lengkap artinya kualitas
dari makanan harus baik dan kuantitas makanan pun harus cukup dan bergizi, artinya
makanan mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dengan memperhitungkan :
1. Pada periode ini dibutuhkan penambahan konsumsi zat pembangun karena tubuh
anak sedang berkembang pesat.
2. Bertambahnya aktivitas membutuhkan penambahan bahan makanan sebagai
sumber energi.
3. Untuk perkembangan mentalnya anak membutuhkan lebih banyak lagi zat
pembangun terutama untuk pertumbuhan jaringan otak yang mempengaruhi
kecerdasan walaupun tidak secara signifikan.
2.5.1. Pemberian Makanan Sehat Seimbang
Pemberian makanan yang sehat dan seimbang memiliki peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan dan gizi masyarakat, terutama anak balita.
Pengertian makanan sehat seimbang menurut Nasoetion, A. dan Hadi, R. (1995)
adalah hidangan atau masakan yang mengandung energi dan zat gizi secara
seimbang, baik jenis maupun jumlahnya.
Menu seimbang menurut Ngadimin (1992) adalah susunan menu yang
menggunakan beberapa golongan bahan makanan dan penggantinya dengan
menyusun menu adalah menyusun macam-macam hidangan untuk setiap kali makan
dengan memperhatikan keseimbangan zat gizinya. Manfaat yang diperoleh dari
menyusun menu seimbang adalah kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi, dapat memilih
bahan makanan yang baik, serta mengurangi kebosanan akan menu makanan.
Penyusunan menu seimbang berpedoman pada menu empat sehat lima
sempurna yang terdiri dari:
1. Makanan pokok
Merupakan makanan yang mengandung karbohidrat yang berfungsi sebagai
sumber utama penghasil tenaga. Contoh bahan makanan yang mengandung
karbohidrat seperti beras, jagung, sagu, ubi kayu, talas dan sebagainya.
2. Lauk pauk
Merupakan sumber zat pembangun dan berfungsi sebagai sumber protein. Lauk
pauk dapat dibagi menjadi lauk pauk hewani dan lauk pauk nabati. Lauk pauk
hewani meliputi ikan, telur, daging ayam, daging sapi dan sebagainya, sedangkan
lauk pauk nabati terdiri dari tahu, tempe, oncom dan jenis kacang-kacangan.
3. Sayuran
Merupakan sumber vitamin dan mineral yang berfungsi sebagai zat pengatur.
Contohnya bayam, kangkung, wortel, tomat, kacang panjang dan sebagainya.
4. Buah-buahan
Merupakan sumber vitamin dan mineral yang mempunyai fungsi sebagai zat
5. Susu
Merupakan minuman yang mengandung protein yang tinggi sehingga memiliki
kandungan gizi paling lengkap yang dapat melengkapi kekurangan zat gizi pada
jenis makanan lainnya, dengan kata lain susu merupakan penyempurna hidangan
empat sehat lima sempurna untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Selain kecukupan gizi yang berpedoman pada menu empat sehat lima
sempurna, penyusunan menu juga harus memperhatikan variasi dan kombinasi dari
bahan makanan yang digunakan dan penampilan serta rasa makanan yang disesuaikan
dengan kebutuhan gizi dan kesukaan anak balita untuk menambah cita rasa. Sesuai
dengan pendapat Moehji, S., (1999) bahwa cita rasa makanan mencakup dua aspek
utama, yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan waktu
dimakan.
Penampilan makanan yang harus diperhatikan menurut Moehji, S., (1999)
diantaranya yaitu:
1. Warna makanan
Warna makanan harus terlihat menarik, sehingga menimbulkan selera makan
anak balita. Warna bisa didapatkan dari wortel untuk warna orange, warna hijau
dari buncis, warna merah dari tomat, warna putih dari kol, warna kuning dari
2. Konsistensi atau tekstur makanan
Tekstur makanan untuk anak balita harus lembut, tidak keras sehingga mudah
dikunyah dan dicerna. Makanan yang berkonsistensi padat atau kental akan
memberikan rangsang yang lebih lambat terhadap indera kita, khususnya anak
balita.
3. Bentuk makanan
Untuk membuat makanan menjadi lebih menarik harus disajikan dalam
bentuk-bentuk tertentu. Bentuk makanan untuk anak balita harus bervariasi dan menarik
sehingga menimbulkan ketertarikan anak balita untuk memakannya.
Rasa makanan yang harus diperhatikan untuk anak balita yaitu:
1. Aroma makanan
Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat
dan mampu merangsang anak balita sehingga membangkitkan selera. Tetapi
untuk anak balita aroma makanan sebaiknya tidak berbau tajam sehingga tidak
menyengat penciuman anak balita.
2. Bumbu masakan dan bahan penyedap
Untuk makanan anak balita bumbu yang digunakan sebaiknya tidak berbau
tajam, tidak pedas, tidak asam dan sebisa mungkin menggunakan bahan
penyedap yang alami, seperti menambahkan gula putih ke dalam masakan.
Anak balita masih mempunyai pencernaan yang belum sempurna dan
kemampuan mengunyah yang masih sangat kurang, sehingga makanan yang
diberikan untuk anak balita harus empuk.
4. Kerenyahan makanan
Makanan yang dimasak menjadi kering, tetapi tidak keras sehingga enak
dimakan. Misalnya menggoreng kerupuk yang salah, akan menghasilkan kerupuk
yang keras dan tidak renyah.
Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian
makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau
takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari. Waktu
pemberian makan untuk balita sebaiknya disesuaikan dengan waktu pada umumnya.
Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul
07.00 - 08.00, siang hari pada pukul 12.00 - 13.00, dan malam hari pada pukul
18.00 - 19.00, dan pemberian makanan selingan yaitu diantara dua waktu makan
yaitu pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00, seperti yang tercantum dalam
Tabel 2.1. Pola Pemberian Makanan Balita
Umur Bentuk Makanan Frekwensi
0-6 bulan ASI Eksklusif Sesering mungkin,
minimal 8 kali/hari
6-9 bulan Makanan Lumat/lembek 2x sehari, 2 sendok
makan setiap kali
2-3 potong sedang lauk hewani
piring nasi/pengganti
1-2 potong sdg lauk nabati
1
4-6 tahun 1-3 piring nasi / pengganti
2-3 potong lauk hewani 1-2 potong lauk nabati 1-11/2
Sumber : Depkes RI, 2006
Selain takaran dan frekuensi makanan untuk balita ada juga anjuran
pemberian makanan untuk anak balita berdasarkan Depkes RI (2006), yaitu:
1. Umur 1-6 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu:
a) Beri ASI setiap kali bayi menginginkan sedikitnya 8 kali sehari yaitu pagi,
siang maupun malam.
c) Susui bayi dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian.
2. Umur 6-12 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu:
a) Teruskan pemberian ASI sampai umur 2 tahun.
b) Umur 6-9 bulan, kenalkan makanan pendamping ASI dalam bentuk lumat
dimulai dari bubur susu sampai nasi tim lumat, 2 kali sehari. Setiap kali
makan diberikan sesuai umur:
- 6 bulan: 6 sendok makan
- 7 bulan: 7 sendok makan
- 8 bulan: 8 sendok makan
c) Beri ASI terlebih dahulu kemudian makanan pendamping ASI.
d) Umur 9-12 bulan, beri makanan pendamping ASI,dimulai dari bubur nasi
sampai nasi tim, 3 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur:
- 9 bulan: 9 sendok makan
- 10 bulan: 10 sendok makan
- 11 bulan: 11 sendok makan
e) Pada makanan pendamping ASI, tambahkan telur atau ayam atau ikan atau
tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau
atau santan atau minyak.
f) Bila menggunakan makanan pendamping ASI dari pabrik, baca cara
g) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur
kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya.
h) Beri buah-buahan atau sari buah seperti air jeruk manis, air tomat saring, dan
sebagainya.
i) Mulai mengajari bayi minum dan makan menggunakan gelas dan sendok.
3. Umur 1-2 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu:
a) Beri ASI setiap kali balita menginginkan.
b) Beri nasi lembek 3 kali sehari.
c) Tambahkan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi
atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak pada nasi
lembek.
d) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur
kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya.
e) Beri buah-buahan atau sari buah.
f) Bantu anak untuk makan sendiri.
4. Umur 2-3 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu:
a) Beri makanan yang biasa dimakan oleh keluarga 3 kali sehari yang terdiri dari
nasi, lauk pauk, sayur dan buah.
b) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur
kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya.
5. Umur 3-5 tahun, anjuran pemberian makanannya yaitu sama dengan anak umur
2-3 tahun.
2.5.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Makanan
1. Pendapatan
Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan
cenderung untuk membaik juga (Suhardjo, 1986). Besar kecilnya pendapatan
keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi dan pola konsumsi dipengaruhi
pula oleh faktor sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu bagi suatu masyarakat
dengan tingkat pendapatan rendah, usaha perbaikan gizi erat hubungannya dengan
usaha peningkatan pendapatan dan pembangunan sumber daya manusia (Roedjito
D., 1989).
2. Banyaknya Anggota Keluarga
Anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah paling rawan
terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling
kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya
besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan
banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda
memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua
3. Budaya
Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang
kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Misalnya
bahan-bahan makanan tertentu oleh sesuatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu
untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu (Suhardjo, 2003). Dikemukakan
juga oleh Nency Y, Arifin M.T. (2005), bahwa kebiasaan, mitos atau
kepercayaan/ adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian
makan akan sangat merugikan anak.
4. Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan
informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting dari
gangguan gizi (Suhardjo, 1986). Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan
bayi dan anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung
dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada
anak, khususnya pada umur dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2000). 2.5.3. Macam-Macam Zat Gizi
Pangan dan gizi sangat berkaitan erat karena gizi seseorang sangat
tergantung pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Masalah pangan antara lain
menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi
oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan adat/kepercayaan yang terkait dengan
Zat-zat makanan yang diperlukan tubuh dapat dikelompokkan menjadi 5
yaitu:
1. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber tenaga utama kegiatan sehari-hari. Karbohidrat
terdiri dari tepung terigu seperti : nasi, kentang, mie, ubi singkong, dll; gula
seperti: gula pasir, gula merah, dll. Dampak yang ditimbulkan apabila kekurangan
karbohidrat sebagai sumber energi dan kekurangan protein adalah KEP (Kurang
Energi Protein).
2. Protein
Dapat diperoleh melalui tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan melalui hewan
(protein hewan) berfungsi : membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk
zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, dan membentuk zat-zat anti energi. Apabila
tubuh menderita kekurangan protein, maka serangan penyakit busung lapar akan
selalu terjadi.
3. Lemak
Merupakan sumber tenaga, yang berfungsi : sebagai pelarut vitamin tertentu
seperti A, D, E, K, sebagai pelindung alat-alat tubuh dan sebagai pelindung tubuh
dari temperatur rendah.
4. Vitamin
Dikelompokkan menjadi vitamin yang larut dalam air, meliputi vitamin B dan C
5. Mineral
Mineral mempunyai fungsi : sebagai pembentuk berbagai jaringan tubuh, tulang,
hormon dan enzim, sebagai zat pengatur berbagai proses metabolisme,
keseimbangan cairan tubuh, proses pembekuan darah.
6. Air
Air merupakan salah satu komponen yang penting bagi tubuh. Air dapat
membantu mengatur suhu tubuh kita. Pasalnya, berat tubuh kita terdiri atas air
sebanyak 55% sampai 75%. Peranan air di dalam tubuh kita, sebagai pengatur
proses pengantaran zat gizi dan kimia tubuh lainnya ke dalam sel, dan membawa
perginya limbah yang dihasilkan tubuh. Air berfungsi sebagai pelarut dan alat
angkut dalam tubuh, katalisator dalam reaksi biologik dalam sel, termasuk saluran
cerna, pelumas pada sendi-sendi, memelihara konsentrasi fisik dan kimia dari
cairan intra dan ekstra seluler serta sebagai peredam benturan. Namun ada
kelompok ahli gizi yang belum menerima air sebagai sumber zat gizi. Alasan
menambahkan kedua zat ini sebagai kelompok zat makanan adalah karena pada
proses metabolisme zat gizi selalu diperlukan air dan oksigen. Alasan tidak
menyetujui dimasukkan air dan oksigen ke dalam kelompok zat makanan karena
kedua zat tersebut umumnya sangat mudah didapat (Sajah, A., 2011).
2.5.4. Kebutuhan Gizi Balita
Pengaturan makan anak usia dibawah lima tahun mencakup dua aspek
pokok, yaitu pemanfaatan ASI secara tepat dan benar dan pemberian makanan
kurang banyak menimpa anak-anak balita sehingga golongan anak ini disebut
golongan rawan gizi. Masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola
makanan orang dewasa atau bukan anak merupakan masa gawat karena ibu atau
pengasuh anak mengikuti kebiasaan yang keliru. Kebutuhan zat gizi tidak sama bagi
semua orang, tetapi tergantung banyak hal antara lain umur (Soekirman, 2002). Di
bawah ini adalah angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada bayi dan
balita.
Tabel 2.2. Kebutuhan Zat Gizi Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari
Golongan
Sumber: LIPI, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)
Pengetahuan tentang kadar zat gizi dalam berbagai bahan makanan bagi
kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya
tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Moehji, S., 2002).
Setiap anggota keluarga khususnya balita harus cukup makan setiap hari
untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sehingga keluarga perlu belajar menyediakan gizi
yang baik di rumah melalui pangan yang disiapkan dan dihidangkan serta perlu
makan cukup pangan yang beraneka ragam jenisnya guna memenuhi kebutuhan
seseorang (Suhardjo, 1986).
2.5.5. Status Gizi Balita
Menurut Suhardjo (2003), status gizi adalah keadaan kesehatan
individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan
energy dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak
fisiknya diukur secara antropometri.
Menurut Dorice M. dalam Waspadji, S. dan Suyono, S. (2003), mengatakan
bahwa status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan zat gizi dengan
kebutuhan zat gizi. Sedangkan, menurut Marsetyo (1991), status gizi adalah keadaan
yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat atau
kondisi yang dapat diukur, dimana salah satu ukurannya adalah ukuran tubuh
(antropometri) merupakan refleksi dari pengaruh faktor genetik dan lingkungan.
Menurut Moehji, S., (2002), ada beberapa hal yang sering merupakan
penyebab terjadinya gangguan gizi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagai penyebab langsung gangguan gizi, khususnya gangguan gizi pada bayi dan
balita adalah tidak sesuainya jumlah zat gizi yang mereka peroleh dari makanan
dengan kebutuhan tubuh mereka atau pola makan yang salah dan adanya penyakit
infeksi atau status kesehatan.
Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan pesat,
balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat
kekurangan gizi. Beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat justru
merugikan penyediaan makan bagi kelompok balita ini :
1. Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang
dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi.
2. Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi keluarga
sehingga anak itu sudah tidak diperhatikan dan pengurusannnya sering diserahkan
kepada saudaranya yang lebih tua, tetapi sering belum cukup umur untuk
mempunyai pengalaman dan keterampilan untuk mengurus anak dengan baik.
3. Ibu sering sudah mempunyai anak kecil lagi atau sudah bekerja penuh, sehingga
tidak dapat lagi memberikan perhatian kepada anak balita, apalagi mengurusnya.
4. Anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik, dan belum dapat
berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanannya.
5. Anak balita mulai turun ke tanah dan mulai mengenal berbagai kondisi yang
memberikan infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya belum cukup
mempunyai imunitas atau daya tahan untuk melawan bahaya kepada dirinya
(Achmad Djaeni, 2000).
2.6. Landasan Teori
Menurut Lawrence Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), ada 3 faktor
1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,
sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.
2. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau
fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu,
rumah sakit, tempat pembuangan sampah, makanan bergizi, dan sebagainya.
3. Faktor penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat mencakup: dukungan sosial dari
tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga.
2.7. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti yang tercantum pada gambar 2.1.
Variable Independen Variable Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian 1. Pengetahuan
2. Sikap
Pemberian Makanan pada Balita Dukungan Tenaga