• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SISTEM RELIGI DAYAK TERHADAP KEHIDUPAN

5 Pembahasan BAB V 103

1. Penerapan Hukum Pertanahan yang Disinkronisasi dan Inkonsisten

5.5 PENGARUH SISTEM RELIGI DAYAK TERHADAP KEHIDUPAN

Makna religi dari alam sekitar (termasuk dalam pembentukan aturan adat) dalam konsepsi masyarakat Dayak bermuara pada mite-mite tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mite-mite lainnya yang menggambarkan keterikatan hakiki antara insan dengan alam sekitarnya (kosmos), antara manusia dan kosmos serta isinya sama-sama mempunyai daya hidup yang berasal dari Yang Ilahi. Dan karenanya, orang Dayak memperlakukan alam sekitarnya sebagai makhluk bernyawa sehingga mereka memperlakukan alam sekitarnya dengan rasa takut, khidmat dan rasa terima kasih107. Demikian pula halnya tentang kisah penciptaan manusia dan alam semesta merupakan peristiwa yang tidak terlepas dari mite.

Mite-mite ini dipercayai oleh orang Dayak secara turun-temurun. Walaupun mite bukan merupakan peristiwa sejarah yang menceritakan tentang kronologis suatu kejadian dan dapat dibuktikan, namun mite merupakan cerita sejarah yang dipercaya masyarakat sebagai suatu cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, pada umumnya ditokohi dewa (istilah KBBI), telah menjadi landasan untuk menata kehidupan orang Dayak, yang memunculkan ketentuan seperti adat, ritus, kultus, dan kepercayaan108. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Van Peursen, yang memahami mite sebagai suatu cerita yang memberi pedoman dan arah tertentu kepada kelompok orang, termasuk masyarakat Dayak yang meyakini mite tersebut, sehingga mite memiliki fungsi :

107 Yanto Laung, Memahami Religiositas Orang Dayak : Dalam Kerangka Dialog Katolik dan Agama Asli (Sebuah Studi Misi di Kalim-antan Timur), Tesis, Tidak Diterbitkan, 2003, hal. 73.

108 Fridolin Ukur, Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak, dalam Paulus Florus, dkk (ed) Kebudayaan Dayak : Aktualisasi dan Transformasi, Institut Dayakologi, Pontianak, 2005, hal. 4.

133

a. Sebagai sarana untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib.

Mite ini tidak memberi bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan tersebut, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya.

b. Untuk memberi jaminan bagi masa kini, G. Van der Leeuw menerangkan fungsi ini dengan contoh, misalnya ketika orang akan menggarap ladang dengan menceritakan dongeng atau memeragakan tarian. Ini merupakan suatu upaya untuk menghadirkan kembali suatu peristiwa yang dulunya pernah terjadi, sehingga dijamin keberhasiln usaha serupa dewasa ini.

c. Untuk memberi pengetahuan tentang dunia. Mite dilihat sebagai suatu cara untuk memberi keterangan tentang terjadinya dunia, hubungan antara dewa-dewa, asal mula kejahatan. Dalam hal ini tidak dilihat apakah cerita tersebut bersifat spekulatif atau tidak, karena yang terpenting adalah bahwa cerita tersebut telah memberi pengetahuan kepada orang lain (pendengar) sehingga orang lain memiliki pengetahuan tentang apa yang telah didengarnya109.

Puncak dari pengalaman mitis hubungan antara manusia terhadap alam sekitarnya (kosmos), yakni ada sesuatu. Kenyataan tentang ada sesuatu tersebut baik berupa eksistensi dunia sekitarnya maupun eksistensi dirinya sendiri, pada suku Dayak merupakan suatu kekuatan yang mempesonakan pikiran dan perbuatannya. Pada akhirnya, bahwa kehidupan itu ada, ajaib dan berkuasa, penuh daya kekuatan karena pengalaman mitis dan cerita-cerita mitis yang bertalian dengan suku yang menyangkut kepemimpinan dan kerukunan suku tersebut.

Untuk memaknai hubungan manusia Dayak dengan aturan dalam konteks mitologi adalah dengan berusaha. Pertama menghubungkan apa yang terjadi di masa silam dengan apa yang terjadi saat ini sebagai satu rangkaian-rangkaian dan satu kesatuan, karena masa lalu menentukan masa kini dan masa kini adalah gambaran masa lalu sehingga menjadi masa kini.

Itulah sebabnya kita menemukan kebanyakan ajaran-ajaran hukum para ahli adat mengakar pada cerita-cerita masa lalu yang berfungsi sebagai justifikasi bagi ketentuan-ketentuan dan institusi adat bersangkutan110. Kedua adanya komitmen untuk saling menghormati satu sama lain dan hidup bersama dengan orang lain maupun dengan alam secara harmonis. Dengan demikian, hukuman yang keras dalam adat dipahami sebagai sarana yang diperlukan untuk memulihkan harmoni kehidupan yang dirusak oleh pelanggaran-pelanggaran tertentu.

Harmoni kehidupan dalam adat tidak hanya dimonopoli oleh hubungan akrab sesama orang di dunia ini, tapi juga ditentukan oleh hubungan manusia dengan alam.Sebuah komunitas dilihat sebagai suatu keseluruhan, yang didalamnya manusia tidak hanya berada di dalam dan menyesuaikan diri dengan alam. Sebab itu sebuah komunitas tidak hanya dianggap sebagai gabungan individu-individu. Hubungan internal semua bagian komunitas lebih baik dipahami dengan pengertian hubungan organisasi “yang meluas sampai pada lingkungan

109 C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1976, hal. 42.

110 Penelitian Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti, Inventarisasi dan Kompilasi Adat-Istiadat dan Hukum Adat, 2008, Tidak Diterbitkan.

134

yang di dalamnya serta darinya pula komunitas itu berasal”. Di sini penekanan diberikan pada tugas individu dalam hubungannya baik dengan alam maupun dengan sesama mereka.

Para individu, terutama yang berkedudukan tinggi dalam komunitas, memiliki tugas khusus masing-masing yang dibebankan kepada mereka. Pendeknya, dunia natural dipahami sebagai lokus kekuatan supranatural yang dipenuhi oleh entitas impersonal atau roh leluhur namun pada saat bersamaan memiliki kekuatan besar. Kepercayaan terhadap kekuatan tersebut merupakan kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan dan harmoni agar agen materi dan immateri dalam kehidupan. Sebab itu apa yang kita pahami sebagai nilai saling timbal balik, keseimbangan dan kerukunan diterapkan dan dipertahankan dalam dunia material serta dalam dunia immaterial, karena ia adalah rumah bagi roh atau entitas natural. Jadi, komunitas lebih sekedar kumpulan manusia yang memiliki realitas fisik; komunitas mencakup kumpulan entitas non-fisik yang mengitari manusia atau bersemayam di dalam objek material. Keyakinan tentang tidak terpisahkannya dunia material dari dunia immaterial ini adalah sesuatu yang menyatu dengan adat, sehingga adat pada dasarnya mengakomodasi konsep “kesakralan”.

Sifat sakral hukum adat itu sangat lazim diungkapkan dalam pengakuan terhadap sanksi yang bisa dijatuhkan oleh roh leluhur atau kekuatan supernatural. Namun dalam kenyataan, kesakralan tersebut merujuk pada kecenderungan hukum adat untuk menghindari sanksi kekerasan dan memberikan penekanan besar pada kekuatan moral-cerminan peran otoritas moral dalam mendukung insitutis hukum komunitas. Berbagai pertanda dan aktivitas yang bersifat magis bertujuan untuk mendukung aturan tertentu yang pada dasarnya berasal dari hubungan yang harmonis antara komunitas dengan alam dan dunia supernatural.

Ancaman apapun terhadap keseimbangan dan ketentraman hubungan ini selalu dihindari, sebab ketika keseimbangan itu hilang, berbagai akibat yang berbahaya pasti muncul karena lepasnya kekuatan magis alam111. Dan oleh karenanya, menurut Ter Haar keseimbangan tersebut harus dipulihkan kembali dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang112. Sedangkan barang-barang atau uang tersebut bermakna simbolik yang memiliki arti magi. Ketiga melihat pola relasi manusia dengan lingkungan sekitar dalam kerangka struktur sejarah kebudayaan manusia113, yang meliputi tahapan mitis, ontologis dan fungsional. Ketiganya tidak dilihat sebagai rangkaian anak tangga dalam posisi tinggi-rendah, akan tetapi dilihat sebaga suatu bangunan struktur. Pada tahap mitis, sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh keatan-kekuatan gaib sekitarnya, yakni kekuatan dewa-dewa, alam raya atau kesuburan, seperti yang dipentaskan dalam mitologi. Tahap kedua, sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Pada tahap ketiga atau tahap fungsional, merupakan sikap manusia yang tidak terpesona lagi oleh lingkungannya dan tidak mengambil jarak dengan

111 Ibid, hal. 34.

112 Op. Cit, hal. 226.

113 Op. Cit, hal. 6.

135

objek penelitiannya114. Pola bangunan struktur membuka pintu hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya, dimana alam sekitarnya dilihat sebagai suatu realitas kehidupan yang sangat mempengaruhi pandangan suku terhadap lingkungan sekitarnya, berupa adanya kekuatan-kekuatan magis. Kekuatan-kekuatan magis yang melindungi, memberi kekuatan dan kesejahteraan kepada orang Dayak dilihat sebagai bagian dari suatu sistem kepercayaan suku. Dalam sistem kepercayaan suku Dayak ada dua faktor utama yang melahirkan sistem kepercayaan suku, yaitu :

a. Pola relasi suku dalam hubungannya dengan roh-roh atau jiwa-jiwa yang melahirkan kepercayaan animisme.

b. Pola relasi suku dalam hubungannya dengan kosmos/alam melahirkan kepercayaan dinamisme.

Kedua sistem kepercayaan tersebut sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan suku Dayak dan selalu dilihat dalam kerangka tersebut karena seluruh kehidupan suku Dayak, kesejahteraan, kebahagiaan dan keberlangsungannya sangat bergantung pada persoalan bagaimana mereka menata kehidupannya dalam hubungan dengan kosmos dan roh-roh atau jiwa-jiwa. Demikian pula halnya dalam melakukan interaksi dengan dunia dalam suatu sistem sosial, bagaimana terbangunnya harmoni yang melandasi interaksi sosial. Filosofis tersebut terbangun dari cara pikir, pola tutur dalam kehidupan sosial, dari suatu realitas sosial budaya masyarakat lokal bahwa alam selalu berpasangan115. Ini merupakan suatu dinamika yang bersifat kontekstual, yang bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.

Pemahaman tentang nilai, itu bergantung pada proses penilaian yang diperoleh dari resultante pasangan nilai, antara baik-buruk, luhur-terkutuk, indah-jelek.

114 Ibid, hal. 18.

115 Dominikus Rato, Dunia Hukum Orang Osing, LaksBang Mediatana, Yogyakarta, 2009, hal. 250.

136

LAPORAN PENELITIAN KEBERADAAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DI KALIMANTAN

6 BAB VI 137

Kesimpulan Dan