• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 PEMBAHASAN

5.2. Pengaruh Strategi Promosi Kesehatan terhadap tingkat PHBS

Hasil analisis menunjukkan bahwa Strategi Promosi kesehatan (Advokasi, Bina Suasana, dan Pemberdayaan Masyarakat) mempunyai pengaruh terhadap tingkat PHBS, dengan tingkat signifikansi seluruh variabel dibawah 5% atau 0,05. Adapun kontribusi strategi promosi kesehatan (advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat) terhadap terjadinya tingkat PHBS responden sebesar 56,6%. Dengan demikian, tingkat PHBS responden ditentukan oleh faktor lain atau faktor diluar Strategi Promosi Kesehatan sebesar 43,4%.

Hasil analisis juga memberikan perkiraan bahwa apabila strategi promosi (advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat) ditingkatkan atau bertambah baik, maka PHBS responden juga akan meningkat menjadi lebih baik. Selanjutnya, secara parsial, faktor pemberdayaan masyarakat mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar (0,104) terhadap tingkat PHBS, dibanding bina suasana (0,081) dan advokasi (0,043).

Hasil penelitian ini cenderung sesuai dengan pendapat para ahli (seperti Green, 1980; McKenzie, 2007; Notoadmodjo, 2005), yang dapat disimpulkan bahwa strategi promosi merupakan determinan penting perilaku sehat dari masyarakat, keluarga, dan individu.

Secara kelembagaan, hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan ketetapan Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip oleh McKenzie (2007), hasil Konferensi Internasional ke-4 tentang Promosi

Kesehatan yang dikutip oleh Liliweri (2007), dan Ketetapan Departemen Kesehatan RI, yang menjadikan Strategi Promosi kesehatan sebagai determinan penting dari perilaku sehat, dan menjadikan strategi promosi kesehatan sebagai program untuk meningkatkan perilaku sehat atau perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dari masyarakat, keluarga, dan individu.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa semakin baik pelaksanaan strategi promosi akan dapat membantu atau mendorong peningkatan mutu perilaku hidup sehat dari masyarakat, keluarga atau individu.

Pandangan di atas dapat dijelaskan melalui pendekatan perilaku dan promosi kesehatan yang dikembangkan para ahli (seperti Sarwono, 1993; Green, 1980; McKenzie, 2007), yang dapat diuraikan secara sederhana, sebagai berikut:

1. Perilaku sehat merupakan respon dari masyarakat, keluarga, atau individu terhadap stimulus tentang sehat, sakit, pelayanan kesehatan, makanan, minuman, dan lingkungan. Perilaku sehat meliputi tindakan pemeliharaaan kesehatan, pencarian pengobatan, dan tindakan penataan lingkungan yang mempengaruhi kesehatan.

2. Promosi kesehatan menciptakan dan memberikan ruang lingkup faktor pemungkin, faktor pemudah, dan faktor penguat untuk merubah perilaku dari tidak sehat menjadi perilaku sehat.

3. Strategi Promosi, yang meliput i faktor advokasi, gerakan pemberdayaan masyarakat, bina suasana, merupakan metode atau sekumpulan prosedur atau cara yang dilakukan untuk mewadahi implementasi faktor pemungkin, faktor

pemudah, dan faktor penguat, dalam rangka merubah perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat.

4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang berkualitas sebagai hasil dari pelaksanaan strategi promosi kesehatan, tetap harus terpeliharan dengan baik melalui pelaksanaan strategi promosi yang berkesinambungan atau terus menerus.

5. Diperluka n dukungan diluar faktor Strategi Promosi Kesehatan, untuk meningkatkan perilaku sehat seperti kebijakan sektor kesehatan, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan industri, serta pemahaman yang mendalam dari karakteristik keluarga atau masyarakat, yang mendukung terciptanya situasi yang lebih mudah bagi masyarakat, keluarga, dan invidu untuk membentuk perilaku hidup bersih dan sehat.

Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (46 orang; 46%) menilai strategi promosi kesehatan (advokasi, bina suasana, pemberdayaan masyarakat), dikategorikan kurang baik, dan sebanyak 31 responden (31%) menilai strategi promosi kesehatan dikategorikan tidak baik. Kondisi ini menunjukkan bahwa program strategi promosi kesehatan yang meliputi kegiatan advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat, yang dilakukan oleh puskesmas secara umum belum baik atau belum optimal.

Menurut Depkes RI (2006), Puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan terdepan untuk melaksanakan strategi promosi kesehatan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Dengan demikian, tingkat kinerja puskesmas

dalam pelaksanaan strategi promosi kesehatan akan mempengaruhi tingkat pencapaian PHBS masyarakat, keluarga, atau individu.

Hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas dan Penanggungjawab Program Promosi Kesehatan Puskesmas Patumbak (Mei, 2008) dapat diketahui bahwa strategi promosi kesehatan telah dilakukan oleh puskesmas, melalui tahapan proses sebagai berikut:

1.Penyusunan Perencanaan Strategi Promosi kesehatan, yang meliputi kegiatan advokasi, bina suasana, dan gerakan pemberdayaan masyarakat, disusun melalui kegiatan lintas program di puskesmas dan lintas sektor di tingkat kecamatan.

2.Pertemuan antar Kepala Puskesmas ditingkat Kabupaten/Dinas Kesehatan untuk merumuskan substansi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan strategi promosi kesehatan, meliputi kegiatan advokasi, bina suasana, dan gerakan pemberdayaan masyarakat.

3.Sosialisasi hasil pertemuan kabupaten kepada lintas sektor di kecamatan dan lintas program di puskesmas, sampai ke bidan desa dan institusi di desa, seperti perwiridan, posyandu, dan pada pelayanan pengobatan gratis.

4.Pelaksanaan kegiatan strategi promosi kesehatan, melalui kegiatan advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan dengan jenis sasaran, adalah perorangan, keluarga, kelompok masyarakat, dan massa (dibahas secara terinci pada sub bab advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat di bawah).

5.Evaluasi pelaksanaan kegiatan strategi promosi kesehatan, melalui evaluasi pelaksanaan kegiatan advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Patumbak (Mei, 2008), dapat diketahui, bahwa pelaksanaan program strategi promosi kesehatan untuk peningkatan PHBS masyarakat, keluarga, dan invidu oleh puskesmas; menghadapi masalah atau hambatan, antara lain: (1) Puskesmas tidak memiliki tenaga ahli atau profesional dalam bidang promosi kesehatan, (2) Kegiatan promosi kesehatan masih menjadi komponen tugas sebagian besar bidan atau perawat, (3) keterbatasan biaya, sarana dan prasarana promosi, (3) Jumlah penduduk yang relatif besar, dan heterogen dari karakteristik demografis, sosio budaya, dan ekonomi; (4) wilayah kerja yang relatif luas; (5) dukungan lintas sektor yang belum optimal baik ditingkat kecamatan maupun desa; dan (6) perkembangan lingkungan yang pesat, yang tidak dapat diatur atau dikelola oleh puskesmas.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penilaian sebagian besar responden bawa strategi promosi belum baik, adalah penilaian yang didukung oleh fakta kelemahan atau keterbatasan puskesmas dalam melaksanakan strategi promosi kesehatan ditengah-tengah masyarakat.

Fenomena strategi promosi kesehatan yang mempengaruhi PHBS responden, dapat digambarkan lebih terinci melalui pelaksanaan komponen strategi promosi, yaitu kegiatan advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat oleh puskesmas, yang diuraikan pada sub bab di bawah ini.

5.2.1 Pengaruh Pemberdayaan Masyarakat terhadap tingkat PHBS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 57% responden menilai aspek pemberdayaan masyarakat dikategorikan tidak baik, sebanyak 23% responden

menilai kurang baik, dan hanya 19% yang menilai baik. Selanjutnya, hasil analisis, menunjukkan bahwa secara parsial, faktor pemberdayaan masyarakat mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar (0,104) terhadap tingkat PHBS, dibanding faktor bina suasana (0,81) dan advokasi (0,043).

Berdasarkan fakta di atas, dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa pemberdayaan mempunyai pengaruh terhadap PHBS responden, relatif sesuai dengan pendapat para ahli (seperti Notoadmodjo, 2003; Green, 1980; dan McKenzie, 2007) yang menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat menentukan atau mempengaruhi perilaku manusia, seperti perilaku hidup bersih dan sehata atau PHBS. Pemberdayaan adalah pemberian informasi yang sifatnya terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran (masyarakat, keluarga atau invidu), membantu sasaran agar mau berubah dengan bertambahnya pengetahuan, selanjutnya sasaran mau melakukan, dan pada akhirnya mampu melaksanakan perilaku yang diharapkan.

Pendapat di atas diperkirakan menjadi pertimbangan Departemen Kesehatan RI, yang menetapkan pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu bentuk strategi promosi kesehatan yang diharapkan dapat meningkatkan status PHBS masyarakat. Selanjutnya, Departemen Kesehatan menetapkan Puskesmas sebagai sebagai sarana pelayanan kesehatan yang berada di ”garis depan” untuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam bidang PHBS.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sinaga dkk (2004) di Kabupaten Bantul, dan Darubaekti (2001) di Kabupaten Bengkulu Utara, bahwa

lemahnya pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya cakupan PHBS.

Hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas dan Penanggungjawab Program Promosi Kesehatan dan Program Puskesmas Patumbak (Mei, 2008) dapat diketahui bahwa pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh puskesmas. Adapun proses dan bentuk pemberdayaan yang dilakukan, adalah:

1.Penyusunan Perencanaan Gerakan Pemberdayaan Masyarakat, yang disusun melalui kegiatan lintas program di puskesmas dan lintas sektor di tingkat kecamatan.

2.Pertemuan antar Kepala Puskesmas ditingkat Kabupaten/Dinas Kesehatan untuk merumuskan substansi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.

3.Sosialisasi hasil pertemuan Kabupaten kepada lintas sektor di kecamatan dan lintas program di puskesmas, sampai ke bidan desa dan institusi di desa, seperti perwiridan, posyandu, dan pada pelayanan pengobatan gratis.

4.Bentuk kegiatan pemberdayaan dengan jenis sasaran, sebagai berikut: (1) Perorangan atau keluarga, kegiatannya adalah penyuluhan perorangan, peragaan, kunjungan rumah, membagikan poster; (2) Kelompok masyarakat, melalui wadah Perwiridan atau Posyandu, kegiatannya adalah ceramah, peragaan, pembinaan kader, dan membagikan poster; dan (3) Massa, kegiatannya adalah pengobatan gratis, peragaan, dan kegiatan ”Jum’at Bersih”.

5.Hasil dari kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan puskesmas, yaitu: (a) Posyandu aktif sebanyak 51 posyandu, (b) kelompok kesehatan yang

terorganisir belum ada; (c) Kader kesehatan aktif sebanyak 255 orang; (d) Pengetahuan masyarakat dan juga kader kesehatan diperkirakan meningkat,

tetapi ukuran peningkatannya tidak atau belum diukur; (e) Sebagian orang memperbaiki perilaku sehat, seperti cuci tangan sebelum makan, tetapi jumlah orang yang memperbaiki perilakunya tidak diketahui; dan (f) Sebagian kelompok masyarakat melaksanakan kegiatan ”Jum’at Bersih” 1 kali sebulan; dengan jumlah peserta tidak dihitung.

Hasil penelitian menunjukkan secara umum penilaian responden tentang kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan puskesmas, dan upaya yang dilakukan masyarakat secara mandiri (dihimpun dari alasan pilihan jawaban responden dalam kuesioner), yaitu:

1. Jumlah Posyandu relatif terbatas, sehingga tidak dapat mewadahi pelayanan kesehatan Ibu dan anak untuk semua desa/kelurahan (49 desa/kelurahan).

2. Penanganan dan informasi tentang kesehatan ibu dan bayi yang dilaksanakan di posyandu belum maksimal. Posyandu yang aktif lebih banyak melaksanakan tugas pemeriksaan keasehatan dan pengobatan.

3. Posyandu merupakan wadah yang tepat dalam memberi informasi tentang PHBS, tetapi prakteknya belum maksimal.

4. Kader kesehatan diperlukan dalam membantu petugas kesehatan di tengah-tengah masyarakat, tetapi jumlah masih dalam batas minimal dan kemampuanya sangat terbatas.

5. Pendataan mengenai hal-hal yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan PHBS (misalnya: jumlah penduduk, kepemilikan JPKM, rumah sehat, dll) belum dilaksanakan oleh kader kesehatan

6. Pengorganisasian dari dan untuk masyarakat dalam rangka olahraga untuk kebugaran bersama sudah ada, seperti untuk kegiatan sepakbola, bola voli, bulutangkis, tetapi atas inisiatif masyarakat sendiri, tidak ada dukungan dalam bentuk apapun dari puskesmas.

7. Pengorganisasian masyarakat dalam membentuk kelompok dana sehat tidak ada, tetapi ada anggota masyarakat yang diberi kartu sehat.

8. Puskesmas belum melakukan pengorganisasian masyarakat untuk menyediakan sumber air bersih. Pengadaan air bersih dilakukan oleh masing-masing keluarga. 9. Kegiatan arisan jamban untuk keluarga yang belum mempunyai jamban melalui

PKK atau lembaga swadaya masyarakat belum pernah dilakukan. Pengadaan jamban dilakukan oleh keluarga masing-masing

10.Tempat pembuangan sampah dilakukan oleh rumahtangga, tanpa ada intervensi puskesmas atau pengorganisasian masyarakat.

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh puskesmas cenderung belum maksimal untuk mendukung terciptanya PHBS yang baik atau memenuhi kategori Sehat IV.

Namun demikian, kesadaran sebagian masyarakat relatif sudah memadai untuk menyediakan berbagai sarana di rumah tangga (seperti jamban, tempat sampah, air bersih, membuat lantai rumah dari semen atau keramik, berobat,) yang

mendukung terciptanya PHBS keluarga, tanpa harus mendapat intervensi dari puskesmas.

Kesadaran masyarakat ini diperkirakan muncul dari latar belakang responden, seperti tingkat pendidikan, kondisi ekonomi keluarga, dan akses informasi yang mudah dan beragam dari media massa, sehingga keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam rumah tangga yang memenuhi rasa aman dan nyaman dapat dipenuhi, seperti pengadaan air bersih, membuat jamban, melantai rumah dengan semen atau keramik, membersihkan lingkungan rumah, dan berobat ke petugas kesehatan jika sakit.

Kesadaran masyarakat yang mendukung terjadinya PHBS, yang bukan sepenuhnya dari hasil intervensi puskesmas, tidak menjadi bagian dari penelitian ini. Namun fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa strategi promosi memberi konrtribusi sebesar 56,6% terhadap tingkat PHBS responden. Dengan demikian, hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.

5.2.2 Pengaruh Bina Suasana terhadap tingkat PHBS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor bina suasana dinilai oleh 50 responden (50%) dapat dikategorikan kurang baik, sebanyak 18 responden (18%) menilai tidak baik, dan hanya 32 responden (32%) menilai baik sampai sangat baik. Selanjutnya, hasil analisis menunjukkan bahwa secara parsial, bina suasana mempunyai pengaruh dan kontribusi (0,81) terhadap terjadinya tingkat PHBS.

Berdasarkan fakta di atas, dapat diketahui bahwa secara umum bina suasana yang diukur melalui indikator kegiatan pertemuan, perlombaan, dan penyuluhan yang

dilakukan oleh puskesmas dapat dikategorikan belum baik; dan kondisi ini berpengaruh terhadap PHBS responden.

Hasil penelitian ini, secara teoritis, menunjukkan kesesuaian dengan pendapat para ahli (seperti Notoadmodjo, 2006; Green, 1980; McKenzie, 2007), yang menjelaskan bahwa bina suasana sebagai unsur strategi promosi kesehatan dapat mempengaruhi perilaku sehat masyarakat, keluarga atau individu. Bina suasana melalui indikator pertemuan, perlombaan, dan penyuluhan, adalah sekumpulan kegiatan yang dapat menjadi sarana untuk menyampaikan isi pesan bidang kesehatan kepada sasaran (massa, kelompok, keluarga atau perorangan); yang diharapkan isi pesan dapat diterima sehingga menjadi pengetahuan, dipahami, dan selanjutnya isi pesan kesehatan dilaksanakan oleh sasaran.

Mekanisme penyusunan perencanaan Bina Suasana oleh puskesmas, sama dengan bahkan menyatu dengan proses penyusunan perencanaan pemberdayaan masyarakat yang telah dijelaskan pada sub bab 5.2.1.

Berdasarkan penjelasan kepala Puskesmas Patumbak (Mei, 2006) dapat diketahui bahwa kegiatan bina suasana (dalam bentuk pertemuan, perlombaan, dan penyuluhan) menjadi satu kesatuan yang utuh dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Secara umum kegiatan bina suasana yang dilakukan puskesmas masih sangat terbatas. Adapun kegiatan yang sudah dilakukan puskesmas, adalah: (1) penyebarluasan kartu PHBS tahap 1 sebanyak 1600 kartu masih dilakukan di satu desa, (2) penyuluhan kesehatan lingkungan, (3) pertemuan dan penyuluhan KIA di Posyandu; dan (4) penyebaran leaflet atau poster di posyandu yang aktif.

Terbatasnya kegiatan bina suasana ini, diduga menjadi penyebab sebagian besar responden (68%) menilai kegiatan bina suasana yang dilakukan puskesmas dikategorikan kurang baik sampai tidak baik. Penilaian ini diperkirakan berasal dari tingkata cakupan saasaran yang relatif terbatas pada saat penyuluhan, hanya sebagaian kecil anggota masyarakaat yang memperoleh brosur atau atau poster, dan hanya sebagian kecil ibu-ibu yang mengikuti posyandu.

Berdasarkan penjelasan yang diperoleh dari alasan pilihan jawaban responden dalam kuesioner, dapat diketahui kondisi bina suasana yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh puskesmas, sebagai berikut:

1. Umumnya reponden tidak mengetahui adanya kegiatan pertemuan rutin (1 kali perbulan) antar warga. Desa/ kelurahan sayang ibu sudah terlaksana

2. Umumnya responden tidak tahu atau tidak pernah mengikuti pertemuan yang diadakan di balai desa/kantor lurah dalam rangka penyelenggaran kebersihan lingkungan. Namun beberapa responden mengaku biasa melakukan gotong royong di tingkat gang jalan atau kompleks, atau RT sekitar 3 atau 4 bulan sekali. 3. Kegiatan olahraga biasanya hanya diikuti anak-anak, remaja dan sedikit orang

dewasa dan orangtua. Kegiatan olahraga biasanya bola kaki, voli, atau badminton. Kegiatan olahraga ini melibatkan hanya sebagian kecil warga.

4. Beberapa responden pernah mengikuti penyuluhan ASI Ekslusif hanya di Posyandu. Sebagian besar responden belum pernah mengikuti, dengan alasan tidak punya bayi atau punya bayi tetapi diberi PASI, serta belum pernah ke posyandu.

5. Umumnya responden belum pernah mengikuti perlombaan rumah sehat.

6. Umumnya responden belum pernah mengikutkan bayinya dalam lomba bayi atau balita sehat beberapa responden pernah mengikuti 1 kali saja, dan dianggap bagus untuk melihat langsung contoh bayi sehat.

7. Sebagian besar responden tidak pernah mengikuti penyuluhan tentang air bersih, sebab urusan kebutuhan air menjadi urusan rumah tangga sendiri.

8. Sebagian besar responden tidak pernah mengikuti penyuluhan tentang pentingnya jamban keluarga dan syarat-syarat jamban sehat. Beberapa responden pernah mendengar masalah jamban hanya sekilas informasi di posyandu.

9. Seluruh responden belum pernah mengikuti penyuluhan tentang bahaya merokok 10.Sebagian besar responden belum pernah mengikuti penyuluhan manfaat makan

buah dan sayur; dan beberapa respopnden pernah mengikutinya saat hadir di posyandu.

11.Sebagian besar responden belum pernah mengikuti penyuluhan pada kelompok atau organisasi dimasyarakat (PKK, keagamaan, dll). Beberapa responden pernah mengikutinya di PKK, dan para penyuluh kesehatan dinilai baik.

Lemahnya peran puskesmas dalam aspek bina suasana, tidak secara total dan langsung berdampak pada buruknya PHBS masyarakat. Kondisi ini disebabkan sebagian masyarakat telah memiliki kesadaran dan melakukan sendiri beberapa aspek PHBS, tanpa harus mengikuti program bina suasana yang dilakukan puskesmas, seperti pengadaan jamban di rumah, air bersih, mengkonsumsi buah dan sayur, olahraga, rumah sehat, dan gotong royong membersihkan lignkungan.

5.2.3 Pengaruh Advokasi terhadap tingkat PHBS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64 orang; 64%) menilai aspek advokasi dalam kategori kurang baik, 17 responden (17%) menilai tidak baik, dan 19 responden (19%) menilai baik sampai sangat baik. Selanjutnya, hasil analisis menunjukkan bahwa secara parsial, advokasi mempunyai pengaruh dan kontribusi (0,043) terhadap terjadinya tingkat PHBS. Dengan demikian, aspek advokasi merupakan variabel yang paling rendah kontribusinya terhadap terjadinya tingkat PHBS responden dibanding aspek pemberdayaan masyarakat dan bina suasana.

Advokasi sebagai komponen strategi promosi, yang secara parsial berpengaruh terhadap PHBS responden, secara teoritis menunjukkan kesesuaian dengan pendapat para ahli (seperti Notoadmodjo, 2006; Green, 1980; McKenzie, 2007), yang dapat dijelaskan bahwa advokasi sebagai unsur strategi promosi kesehatan dapat mempengaruhi perilaku sehat masyarakat, keluarga atau individu. Advokasi yang diukur melalui indikator ketersediaan sarana dan prasarana, sumber daya manusia, sosialisasi, dan kelengkapan data merupakan merupakan alat dan strategi pelaku (petugas promosi kesehatan) untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak terkait yang diharapkan nantinya dapat memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan kegiatan PHBS sehingga isi pesan PHBS dapat diterima menjadi pengetahuan, dipahami, dan selanjutnya dilaksanakan oleh sasaran.

Berdasarkan penjelasan Kepala Puskesmas Patumbak (Mei, 2008) dapat disimpulkan bahwa Proses Penyusunan Perencanaan Advokasi relatif agak berbeda

dengan pemberdayaan masyarakat dan bina suasana. Advokasi diartikan sebagai upaya untuk merencanakan dan dengan hasil memperoleh anggaran, sarana dan prasarana, serta tenaga yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan promosi kesehatan untuk PHBS. Adapun proses penyusunan advokasi adalah, sebagai berikut:

1. Kepala puskesmas beserta staf merumuskan usulan kegiatan beserta anggaran biaya, sarana dan prasaran, dan tenaga yang diperlukan

2. Usulan sesuai no. 1 disampaikan kepada Seksi PKM Dinas Kesehatan Kabupaten, untuk dipelajari dan hasilnya disampaikan kepada Kepala Dinas kesehatan kabupaten untuk dipelajari dan diperbaiki jika ada kesalahan.

3. Pertemuan antar Kepala Puskesmas di Dinas Kesehatan membahas permintaan puskesmas, dipimpin Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten.

4. Jika usulan puskesmas telah dinyatakan layak, maka Kepala Dinas mengajukan usulan kepada Pemerintah Kabupaten.

5. Jika pemerintah daerah menyetujui usulan, maka hasil usulan disampaikan kepada Dinas kesehatan, selanjutnya diserahkan kepada puskesmas untuk digunakan dalam kegiatan prmosi kesehatan untuk PHBS.

6. Hasil yang diterima oleh pihak puskesmas dari hasil advokasi, antara lain: anggaran, poster, leaflet, TOA atau pengeras suara, OHP, spanduk, flim, pelatihan petugas, dan reklame dijalan umum. Adapun jenis sarana/prasarana yang bersifat permanen atau kebutuhan rutin habis pakai (seperti mobil, sepeda motor, gedung), umumnya merupakan “jatah” puskesmas atau hasil advokasi puskesmas dalam

rentang waktu lama atau jangka waktu tertentu, bukan bagian dari kegiatan advokasi rutin setiap tahun.

Peneliti tidak memperoleh besaran jumlah dari setiap komponen hasil advokasi yang dilakukan dan diterima puksemas. Namun menurut penjelasan Kepala Puskesmas, bahwa jumlah hasil advokasi semuanya serba terbatas.

Hasil advokasi akan digunakan untuk menopang kegiatan promosi kesehatan khusunya kegiatan pemberdayaan masyarakat dan bina suasana dalam program PHBS. Dengan asumsi bahwa hasil advokasi yang relatif terbatas, termasuk jumlah tenaga promosi kesehatan di puskesmas yang juga terbatas, maka wajar apabila kegiatan pemberdayaan dan bina suasana juga relatif terbatas; sehingga pelaksanaan strategi promosi kesehatan oleh puskesmas tidak maksimal; dan selanjutnya diperkirakan berakibat tidak maksimalnya pengaruh strategi promosi kesehatan terhadap PHBS.

Berdasarkan penjelasan yang diperoleh dari alasan pilihan jawaban responden dalam kuesioner, dapat diketahui pandangan responden secara umum tentang kegiatan advokasi yang dilakukan oleh puskesmas, sebagai berikut:

1. Gedung atau tempat khusus yang disediakan pemerintah untuk promosi PHBS: umunya responden menyatakan tidak ada, kecuali puskesmas atau posyandu, atau prakatek bidan desa, atau balai desa. Kendaraan yang disediakan pemerintah untuk membantu pelaksanaan kegiatan promosi PHBS, biasa hanya ambulan, mobil petugas sendiri, atau sepeda motor puskesmas/pribadi.

2. Kelengkapan alat-alat yang disediakan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan kegiatan promosi perilaku hidup bersih dan sehat (TOA,

selebaran/ leaflet , poster, mik, dll); sebagian besar responden tidak mengetahui, sebagian kecil responden pernah memperoleh atau melihatnya.

3. Fasilitas yang disediakan pemerintah (misalnya tong sampah, sarana air bersih,)

untuk mendukung pelaksanaan kegiatan promosi PHBS: seluruh responden menyediakan sendiri, kecuali untuk air, sebagian berlangganaan air PDAM.

4. Sarana dan prasarana olahraga tidak ada yang disediakan pemerintah maupun stakeholder terkait : masyarakat mengadakan sendiri.

5. Ketersediaan petugas kesehatan/banyaknya petugas yang melaksanakan kegiatan promosi PHBS: sangat sedikit, biasanya dilakukan oleh perawat atau bidan desa. Seluruh responden tidak tahu ada petugas khusus promosi kesehatan.

6. Sikap petugas kesehatan dalam melaksanakan kegiatan promosi PHBS: sebagian besara tidak tahu, dan sebagian lainnya menganggap biasa saja, dan sebagian kecil menilai ramah dan baik, terutama terkait dengan pelayanan persalinan, pengobatan di puskesmas atau posyandu.

Dokumen terkait