• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh substitusi tepung jagung HMT (0:6) terhadap karakteristik fisik mi jagung kering

DAFTAR LAMPIRAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT (0:6) terhadap karakteristik fisik mi jagung kering

a Waktu optimum pemasakan mi jagung kering

Metode pemasakan yang digunakan adalah perendaman dalam air yang telah dididihkan. Penggunaan metode perendaman tersebut didasarkan pada tujuan dari pengaplikasian mi kering jagung ini, yaitu untuk menggantikan mi basah yang digunakan oleh pedagang mi ayam. Metode pemasakan mi basah tersebut adalah dengan merendam mi basah dalam air mendidih. Hasil analisis waktu optimum pemasakan menunjukkan bahwa mi jagung HMT memiliki waktu pemasakan 8.5 hingga 13 menit, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah 7 menit

100

(Lampiran 14). Waktu pemasakan mi jagung berdasarkan penelitian terdahulu adalah 5 menit dengan cara perebusan (Putra, 2008). Berbedanya waktu pemasakan tersebut disebabkan karena perbedaan cara pemasakan yang digunakan.

Analisis anova (Lampiran 14) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi tepung jagung HMT (110:6) terhadap waktu pemasakan mi kering jagung. Berdasarkan uji lanjut LSD semua perlakuan memiliki waktu pemasakan

yang berbeda nyata (α = 0.05) dengan formulasi 0% atau kontrol (Gambar 13). Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi substitusi tepung jagung HMT akan meningkatkan waktu pemasakan. Diperoleh korelasi positif antara persentase tepung jagung HMT (110:6) dengan waktu optimum pemasakan (Gambar 14).

Gambar 14 Korelasi antara tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%) dengan waktu optimum pemasakan (menit) mi jagung kering.

Meningkatnya waktu pemasakan pada mi kering yang disubstitusikan tepung jagung HMT (110:6) disebabkan oleh perbedaan karakteristik gelatinisasi antara tepung jagung kontrol dengan tepung jagung HMT (110:6). Perlakuan HMT menyebabkan peningkatan bagian kristalin, dimana bagian tersebut memiliki struktur yang lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Oleh sebab itu tepung jagung setelah perlakuan HMT akan lebih sulit menyerap air dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menyerap air. Hal tersebut didukung dengan hasil pengukuran profil gelatinisasi yaitu, proses HMT (110:6) pada

y = 0.29x + 6.8 R² = 0.964 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 5 10 15 20 W ak tu op tim u m p em as ak an (M en it)

Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%)

101

tepung jagung menyebabkan pergeseran kurva profil gelatinisasi yang manandakan terjadinya kenaikan suhu gelatinisasi atau tepung jagung HMT (110:6) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk tergelatinisasi dibandingkan tepung jagung kontrol. Pernyatan tersebut didukung oleh hasil analisis profil gelatinisasi dengan RVA yang menunjukkan bahwa tepung jagung HMT (110:6) memiliki waktu gelatinisasi yang berbeda nyata dengan tepung jagung kontrol yaitu 5.8 + 0.23 menit untuk tepung jagung HMT dan 5.0 + 0.0 menit untuk tepung jagung kontrol (Tabel 8).

b Kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP)

Kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP) diukur berdasarkan besarnya padatan yang keluar setelah mi kering jagung direndam dalam air yang telah dididihkan sesuai dengan waktu optimum pemasakan. Kehilangan padatan selama pemasakan pada mi jagung HMT (110:6) adalah 7.92 hingga 6.12%, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah 8.31% (Lampiran 15).

Analisis anova (Lampiran 15) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi tepung HMT (110:6) terhadap KPAP mi jagung kering. Uji lanjut LSD menunjukkan hanya KPAP mi kering jagung persentase substitusi tepung jagung

HMT 5% saja yang tidak berbeda nyata (α = 0.05) dengan mi kering jagung

substitusi 0% (kontrol). Substitusi 10% dan 15% saling tidak berbeda nyata, sedangkan substitusi 20% berbeda nyata dengan semua formulasi. Berdasarkan hasil tesebut dapat dikatakan bahwa substitusi tepung jagung HMT sebesar 5% belum dapat memperbaiki KPAP mi jagung kering, sedangkan mi jagung kering substitusi 20% memiliki KPAP terendah. Substitusi 10% tidak berbeda nyata dengan 15%, sehingga persentase terbaik berdasarkan kehilangan padatan selama pemasakan adalah substitusi tepung jagung HMT 10% dan 20%.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat substitusi tepung jagung HMT (110:6) berkolerasi negatif dengan KPAP mi jagung kering yang dihasilkan (Gambar 15). Penurunan KPAP tersebut disebabkan karena perlakuan HMT mengubah karakteristik fisik tepung jagung yaitu peningkatan suhu awal gelatinisasi (PT) dan penurunan viskositas puncak (PV), breakdown, setback, kemampuan pengembangan, serta jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan.

102

Berdasarkan hal tersebut maka hasil penelitian memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Beta dan Corke (2001), yaitu KPAP berkorelasi negatif dengan suhu awal gelatinisasi dan berkorelasi positif dengan viskositas puncak, breakdown, dan setback.

Gambar 15 Korelasi antara tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%) dengan kehilangan padatan selama pemasakan (%) mi jagung kering. c Texture Profile Analysis (TPA)

Analisis tekstur pada mi jagung yang dilakukan adalah kekerasan, elastisitas, dan kelengketan. Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Kekerasan ditentukan dari gaya maksimum (nilai puncak) pada tekanan pertaman, sehingga semakin besar gaya yang dibutuhkan (nilai puncak makin tinggi) maka menandakan kekerasan semakin meningkat. Kekerasan mi diukur pada mi jagung kering yang telah direhidrasi sesuai dengan waktu optimum pemasakan. Kekerasan mi kering jagung tanpa HMT adalah 2801,5 gf, nilai tersebut masuk dalam kisaran kekerasan mi kering jagung hasil penelitian putra (2008), yaitu 3135 hingga 2408.83 gf. Mi kering jagung HMT memiliki kekerasan 1954 hingga 2574.88 gf (Lampiran 16a). Berdasarkan hasil tersebut kisaran tingkat kekerasan mi jagung kering HMT setelah rehidrasi lebih rendah dari penelitian terdahulu.

Analisis anova menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi tepung jagung HMT (110:6) terhadap kekerasan mi jagung kering (Lampiran 16a). Berdasarkan uji lanjut LSD hanya kekerasan mi kering jagung substitusi tepung jagung HMT (110:6) 5% yang tidak berbeda nyata (α = 0.05) dengan 0%

y = -0.108x + 8.386 R² = 0.985 0 2 4 6 8 10 0 5 10 15 20 K eh il an gan p ad at an se lam a p em asak an (% )

Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%)

103

(kontrol), dan juga berbeda nyata dengan 10%, 15%, dan 20%. Formulasi 10% tidak berbeda dengan 15%, tetapi berbeda dengan 20% (Lampiran 16a). Hasil tersebut menunjukkan bahwa, tingkat kekerasan mi jagung kering setelah rehidrasi dapat diturunkan dengan melakukan substitusi tepung jagung HMT (110:6) diatas 5%.

Berdasarkan hasil analisis tingkat kekerasan tersebut maka formulasi 10% dan 20% terpilih sebagai formulasi terbaik berdasarkan tingkat kekerasan karena memiliki tingkat kekerasan yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan mi jagung tanpa HMT. Formulasi 15% tidak terpilih karena memiliki tingkat kekerasan yang tidak berbeda nyata dengan 10%. Pemilihan dilakukan berdasarkan tingkat kekerasan yang terendah karena berdasarkan penelitian mi jagung terdahulu Putra (2008), mi jagung memiliki tingkat kekerasan yang tinggi yaitu 3135 hingga 2408.83 gf. Pengukuran kekerasan terhadap mi komersial (mi telor) adalah 243.37 + 72.60 gf, dimana tingkat kekerasan tersebut tidak berbeda nyata dengan mi jagung HMT formulasi 5%, 10%, dan 15%, tetapi berbeda nyata dengan 20% (Lampiran 16d).

Hasil penelitian menunjukkan tingkat substitusi tepung jagung HMT (110:6) berkolerasi negatif dengan tingkat kekerasan mi jagung kering yang dihasilkan (Gambar 16). Penurunan tingkat kekerasan tersebut disebabkan karena perlakuan HMT mengubah karakteristik fisik tepung jagung yaitu menurunkan

setback atau kemampuan untuk meretrogradasi. Berdasarkan hal tersebut maka, hasil penelitian memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Beta dan Corke (2001), yaitu tingkat kekerasan berkorelasi positif dengan setback. Seperti telah dijelaskan sebelumnya hal tersebut dapat terjadi karena pembentukan ikatan kompleks baru yang terjadi selama proses HMT (110:6) mengurangi jumlah amilosa yang dapat saling berikatan selama proses pendinginan.

Pengukuran elastisitas dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan mi matang untuk kembali ke kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama, dimana pengukurannya adalah berdasarkan ketebalan awal mi yang dibandingkan dengan ketebalan mi setelah diberi tekanan pertama. Berdasarkan hal tersebut maka nilai elastisitas akan semakin bagus apabila nilainya mendekati 1 yang artinya mi dapat kembali kekondisi (ketebalan) awal setelah diberi tekanan.

104

Gambar 16 Korelasi antara tingkat substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%) dengan tingkat kekerasan (gf) mi jagung kering.

Elastisitas mi jagung HMT memiliki kisaran 0.69 gs hingga 0.76 gs, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah 0.71 gs (Gambar 17). Nilai elastisitas mi jagung HMT maupun tanpa HMT lebih tinggi bila dibandingkan elastisitas mi jagung hasil penelitian Putra (2008), yaitu 0.32 gs hingga 0.42 gs. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa sudah terdapat perbaikan tingkat elastisitas mi jagung bila dibandingkan penelitian sebelumnya.

Gambar 17 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT (110:6) terhadap elastisitas mi jagung kering setelah direhidrasi.

Analisis anova (Lampiran 16b) menunjukkan tidak ada pengaruh substitusi tepung jagung HMT (110:6) terhadap elastisitas mi kering jagung setelah rehidrasi. Tetapi, berdasarkan uji lanjut LSD bila dibandingkan dengan mi komersial hanya mi kering jagung substitusi 20% yang tidak berbeda nyata

y = -42.50x + 2765. R² = 0.965 0 1000 2000 3000 4000 0 5 10 15 20 25 K ek er asan ( gf )

Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%) 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 5 10 15 20 E lastis itas (gs)

Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%)

105

(α = 0.05) dengan mi komersial atau mi telor (Lampiran 16d). Berdasarkan hasil tersebut maka, perlakuan substitusi tepung jagung HMT 20% merupakan formulasi terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya karena memiliki nilai elastisitas yang tidak berbeda nyata dengan mi komersial.

Kelengketan sering diamati pada produk mi, dimana mi yang memiliki nilai kelengketan yang tinggi kurang disukai karena akan memberikan penampakan yang kurang menarik saat matang. Pengukuran nilai kelengeketan pada mi jagung menunjukkan bahwa mi jagung HMT memiliki tingkat kelengketan -67.07 gf hingga -39.38 gf, sedangkan mi jagung tanpa HMT adalah -66.42 gf (Gambar 18). Tingkat kelengketan mi jagung dari penelitian terdahulu adalah -775.18 gf hingga -1057.20 gf (Putra 2008). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa telah ada perbaikan terhadap kelengketan mi jagung dengan melakukan substitusi tepung jagung HMT.

Gambar 18 Pengaruh substitusi tepung jagung HMT (110:6) terhadap kelengketan mi jagung kering setelah direhidrasi.

.

Analisis anova (Lampiran 16c) menunjukkan bahwa ada pengaruh persentase substitusi tepung jagung HMT (110:6) terhadap nilai kelengketan mi kering jagung setelah rehidrasi. Uji lanjut LSD (Lampiran 16c) menunjukkan bahwa hanya mi jagung formulasi 5% yang tidak berbeda nyata dengan 0%. Hasil tersebut menunjukkan kesamaan dengan hasil pengukuran elastisitas yaitu, formulasi tepung jagung HMT (110:6) 5% tidak memperbaiki tingkat kelengketan mi jagung kering setelah rehidrasi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat

-80 -60 -40 -20 0 0 5 10 15 20 K elengk etan (gf )

Persentase substitusi tepung jagung HMT 110:6 (%)

106

disimpulkan bahwa substitusi tepung jagung HMT (110:6) sebesar 10 dan 20% merupakan perlakuan terbaik untuk memperbaiki tingkat kelengketan mi jagung kering setelah rehidrasi.

Penurunan tingkat kelengketan mi jagung kering yang disubstitusi tepung jagung HMT (110:6) disebabkan karena, selama proses HMT dapat menyebabkan amilosa berikatan dengan lemak (Miyoshi et al 2002). Penurunan tingkat kelengketan mi pada fenomena amilosa yang membentuk kompleks dengan lemak adalah dengan cara menurunkan jumlah amilosa yang lepas atau berada di permukaan mi setelah rehidrasi (Matsuo et al 1986 yang dikutip oleh Kusnandar 1998). Selain itu didukung dengan hasil pengukuran jumlah amilosa yang lepas selama pemanasan yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang berbeda nyata pada tepung jagung setelah diberi perlakuan HMT (110:6) (Tabel 9).