• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

H. Pengaruh Tanin Terhadap Intensitas Serangan

Intensitas serangan patogen penyakit hawar daun yang menyerang suren yang tidak diolesi kedua isolat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Tanpa Olesan Isolat Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin.

Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Konsentrasi Tanin

Hari 0% Tanin 0.5% Tanin 1% Tanin 2% Tanin 3% Tanin

2 0,67 0,00 0,00 0,00 0,00 4 2,00 0,00 2,14 0,00 3,08 6 3,33 3,64 4,29 0,65 5,38 8 4,67 11,82 9,29 2,58 13,08 10 6,67 16,36 9,29 3,23 14,62 12 8,67 18,18 9,29 3,23 15,38 14 12,67 19,09 10,71 4,52 17,69 16 14,67 19,09 13,57 6,45 20,00 18 18,67 19,09 13,57 6,45 20,00 20 20,67 19,09 13,57 6,45 20,00 22 22,00 20,91 21,43 11,61 20,00 24 23,33 23,64 28,57 17,42 23,08 26 24,67 26,36 30,71 20,00 25,38 28 24,67 28,18 32,86 21,94 25,38 30 24,67 29,09 33,57 22,58 25,38

Tabel 2 menjelaskan perkembangan intensitas serangan patogen hawar daun pada suren yang tidak diolesi kedua isolat. Pada tabel tersebut terlihat adanya perkembangan penyakit yang relatif sama dari hari ke-2 pengamatan sampai akhir pengamatan untuk setiap taraf perlakuan tanin. Pada akhir pengamatan kisaran intensitas serangan untuk setiap taraf perlakuan tanin antara 24 – 34%. Pola perkembangan intensitas penyakit diperjelas dengan grafik perkembangan di bawah ini (Gambar 11). Pada gambar tersebut terlihat perbedaan intensitas yang tidak terlalu nyata di akhir pengamatan. Pola perkembangan intensitas penyakitnya pun relatif sama.

Gambar 11. Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Tanpa Olesan Isolat Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin. ( ) 0 % Tanin, ( ) 0,5% Tanin, ( ) 1% Tanin, ( ) 2% Tanin, ( ) 3% Tanin.

Sementara intensitas serangan patogen penyakit hawar daun yang menyerang suren yang diolesi isolat I dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat I Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin.

Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Konsentrasi Tanin

Hari 0% Tanin 0.5% Tanin 1% Tanin 2% Tanin 3% Tanin

2 11,43 3,33 0,00 0,00 0,00 4 22,14 4,67 0,00 0,00 0,00 6 35,00 8,00 13,33 6,90 4,44 8 40,71 11,33 16,00 11,03 8,15 10 43,57 12,00 17,33 15,86 9,63 12 45,71 12,00 18,67 17,93 9,63 14 50,00 14,67 22,67 22,07 13,33 16 57,14 19,33 31,33 26,21 15,56 18 60,71 22,67 36,00 34,48 17,04 20 65,00 25,33 36,67 38,62 18,52 22 71,43 27,33 40,00 43,45 22,96 24 72,86 33,33 45,33 47,59 24,44 26 74,29 36,00 46,67 48,28 25,19 28 75,00 39,33 48,00 48,97 25,19 30 75,71 42,00 48,00 48,97 25,19 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (hari) Intensitas Serangan (%)

Pada Tabel 3 terlihat adanya pola penghambatan penyakit pada perlakuan tanin 3% sementara perkembangan intensitas penyakit pada perlakuan tanin 0% sangat cepat dan tinggi. Hal ini dapat diperjelas pada grafik di bawah ini (Gambar 12) dimana pada akhir pengamatan kisaran intensitas penyakitnya sangat jauh berbeda.

Gambar 12. Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat I Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin. ( ) 0 % Tanin, ( ) 0,5% Tanin, ( ) 1% Tanin, ( ) 2% Tanin, ( ) 3% Tanin.

Pada Gambar 12 terlihat pola intensitas serangan patogen isolat I yang berbeda pada setiap taraf perlakuan tanin. Tanin dengan konsentrasi 3% sangat menghambat intensitas serangan dengan kisaran intensitas pada akhir pengamatan 25,19%. Sementara pada perlakuan yang tidak diberi tanin, intensitas serangannya di akhir pengamatan sangat tinggi yaitu 75,71%.

Sementara intensitas serangan patogen penyakit hawar daun yang menyerang suren yang diolesi isolat II dapa t dilihat pada tabel berikut ini:

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (hari) Intensitas Serangan (%)

Tabel 4. Tabel Besarnya Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat II Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin.

Nilai Intensitas Serangan (%) Pada Konsentrasi Tanin

Hari 0% Tanin 0.5% Tanin 1% Tanin 2% Tanin 3% Tanin

2 10,83 2,50 3,20 0,00 0,00 4 23,33 16,67 16,00 1,82 0,00 6 33,33 25,83 22,40 4,55 0,00 8 40,00 29,17 23,20 5,45 0,00 10 44,17 29,17 24,00 6,36 0,00 12 45,00 30,83 24,00 9,09 0,00 14 51,67 32,50 24,80 11,82 0,00 16 57,50 35,83 28,80 14,55 0,00 18 60,83 36,67 31,20 15,45 3,48 20 66,67 37,50 33,60 15,45 6,09 22 69,17 41,67 36,80 17,27 6,09 24 71,67 45,00 40,00 20,00 6,09 26 73,33 45,00 41,60 21,82 6,09 28 75,00 45,00 41,60 22,73 6,09 30 75,00 45,00 41,60 22,73 6,09

Pada Tabel 4 terlihat adanya pola penghambatan penyakit pada perlakuan tanin 3% sementara perkembangan intensitas penyakit pada perlakuan tanin 0% sangat cepat dan tinggi. Hal ini dapat diperjelas pada Gambar 13 di bawah ini, dimana pada akhir pengamatan kisaran intensitas penyakitnya sangat jauh berbeda.

Gambar 13. Kurva Intensitas Serangan (%) Pada Kelompok Perlakuan Olesan Isolat II Patogen Pada Berbagai Konsentrasi Tanin. ( ) 0 % Tanin, ( ) 0,5% Tanin, ( ) 1% Tanin, ( ) 2% Tanin, ( ) 3% Tanin.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (hari) Intensitas Serangan (%)

Pada Gambar 13 terlihat pola intensitas serangan patogen isolat II yang berbeda pada setiap taraf perlakuan tanin. Tanin dengan konsentrasi 3% sangat menghambat intensitas serangan dengan kisaran intensitas pada akhir pengamatan 6,09%. Sementara pada perlakuan yang tidak diberi tanin, intensitas serangannya di akhir pengamatan sangat tinggi yaitu 75%.

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, diketahui bahwa faktor inokulasi (A) dengan cara pengolesan berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan penyakit hawar daun yang ditimbulkan. Sedangkan faktor penyemprotan tanin (B) pada berbagai konsentrasi juga berpengaruh sangat nyata terhadap penghambatan intensitas penyakit. Pengaruh waktu (C) juga memberikan penga ruh sangat nyata terhadap perkembangan intensitas penyakit. Interaksi ketiga faktor (A, B, dan C) atau interaksi dua faktor (A dengan B, A dengan C, atau B dengan C) semuanya berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas penyakit. Hal ini membuktikan bahwa semua perlakuan memberikan suatu pengaruh yang sangat nyata terhadap perkembangan intensitas penyakit. Pengaruh tersebut dapat berupa penghambatan atau peningkatan intensitas penyakit. Hal ini diperjelas dengan tabel sidik ragam di bawah ini (Tabel 5).

Tabel 5. Sidik Ragam Pengaruh Inokulasi (A), Konsentrasi Tanin (B), Waktu (C), Interaksi A&B, Interaksi A&C, Interaksi B&C, Interaksi Ketiganya (ABC), Serta Interaksi Ketiganya dengan Ulangan terhadap Intensitas Serangan Penyakit Hawar Daun pada Akhir Pengamatan

Sumber Keragaman DB Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Pr > f

Faktor inokulasi (A) Faktor konsentrasi Tanin (B)

Faktor interaksi antara A dan B (A*B)

Pengaruh ulangan (R) terhadap interaksi (A*B) Pengaruh Waktu (C) R(C)

Faktor interaksi A dan C (A*C)

Faktor interaksi B dan C (B*C)

Faktor interaksi A, B, dan C (A*B*C) Error 2 4 8 45 14 42 28 56 112 588 23814.62914867 59474.74644289 36076.75419244 34367.23227333 73844.03822733 1773.51225622 6736.18882800 12228.38233711 6737.62734756 16691.23067044 11907.31457433 14868.68661072 4509.59427406 763.71627274 5274.57415910 42.22648229 240.57817243 218.36397031 60.15738703 28.38644672 419.47 523.80 158.86 26.90 185.81 1.49 8.48 7.69 2.12 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0271 0.0001 0.0001 0.0001 Total 899 271744.34172400 .

Selanjutnya hasil uji jarak berganda Duncan semakin memperjelas pengaruh faktor isolat, tanin, dan waktu.

PEMBAHASAN

Identifikasi Penyebab Penyakit.

Berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis yang meliputi gejala-gejala dan tanda yang timbul pada tanaman inang dan pertumbuhan kolaninya di media PDA yang menghasilkan kumpulan benang tipis putih maka patogen ini dimasukkan kedalam kingdom Fungi. Kumpulan benang tipis putih tersebut dinamakan juga miselium. Menurut Agrios (1988), tubuh jamur disebut miselium, dan cabang-cabang tunggal atau filamen dari miselium disebut hifa. Beberapa jenis jamur diameter hifanya hanya 0,5 µm, sedangkan jamur yang lain tebalnya dapat lebih dari 100µm. Panjang miselium pada beberapa jenis jamur hanya beberapa mikrometer, tetapi ada jenis jamur lain yang dapat menghasilkan benang miselium sepanjang beberapa meter.

Secara mikroskopis, fungi ini termasuk sub divisi Deuteromycotina. Penentuan sub divisi ini dasarkan pada sifat miselium yang mempunyai sekat atau septa, tidak ditemukannya struktur dan organ reproduksi seksual, dan tidak ada sambungan apit. Lebih jauh lagi, fungi ini diketemukan tidak diketahui atau tidak biasa membentuk spora seksual dan aseksual. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka fungi ini dikelompokkan kedalam kelas Agonomycetes, bangsa Agonomycetales. Dua genus yang penting dalam kelas ini adalah Rhizoctonia dan Sclerotium

(Agrios, 1988; Semangun, 1996). Penampakkan makroskopis yang penting dari kedua kelas ini adalah terbentuknya gumpalan-gumpalan kecil putih yang kemudian berubah menjadi berwarna coklat dan menyebar tidak merata di permukaan miselium. Gumpalan-gumpalan tersebut dinamakan juga sklerotium.

Pengamatan lebih jauh secara mikroskopis menunjukkan kalau kedua isolat fungi ini dimasukkan kedalam jenis Rhizoctonia solani. Ciri-cirinya ditunjukkan dengan ditemukannya percabangan hifa yang tampak tegak lurus dengan penggentingan cabang pada pangkal cabang, ditemukannya sel monilloid dengan perbandingan diameter : panjang, 1:1. Diameter hifa kedua isolat 3 – 17 µm dengan panjang sel 50 – 250 µm Sneh B., Burpee L., dan Ogoshi A. (1994). Selanjutnya mereka juga menjelaskan bahwa R solani tidak harus menghasilkan sklerotium. Pernyataan ini menguatkan penggolongan isolat II kedalam jenis

Rhizoctonia solani.

Aktivitas Selulolitik dan Pektolitik Fungi Patogen

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedua isolat R. solani

menunjukkan adanya aktivitas selulase dan pektinase. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji analisis aktivitas enzim. Salah satu cara patogen menembus jaringan inangnya adalah dengan cara menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi dinding sel inang. Agrios (1988) menambahkan bahwa proses penetrasi oleh fungi dan tumbuhan tingkat tinggi parasit pada inang yang mempunyai penghalang hamper selalu dibantu oleh enzim yang disekresikan oleh patogen pada tempat terjadinya penetrasi, sehingga melunakkan atau melarutkan penghalang tersebut.

Komponen terbesar dinding sel baik lapisan primer, sekunder, maupun lamella tengah adalah pektin dan selulosa. Sehingga untuk menembus dinding sel mutlak diperlukan enzim yang dapat mendegradasi kedua komponen tersebut. Dari hasil uji aktivitas enzim ditemukan bahwa kedua isolat menghasilkan enzim selulase dan pektinase. Kedua enzim tersebut digunakan sebagai senjata yang dapat digunakan untuk menembus dinding sel daun suren.

Uji Mekanisme Infeksi I. Pengamatan Gejala Penyakit.

Penyakit hawar daun terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk kelompok yang tidak diolesi isolat. Perbedaan antar perlakuan adalah kecepatan mulai awal timbulnya gejala sampai gugurnya daun akibat terputusnya lapisan absisi pada pangkal daun. Ini me mbuktikan bahwa patogen sudah berada di alam dan sudah menginokulasi benih sebelum perlakuan diberikan.

Gejala penyakit hawar daun pada suren diawali dengan menguningnya organ daun secara keseluruhan dan terjadi dengan cepat. Kemudian dilanjutkan dengan be rgugurannya daun. Menurut Agrios (1988), kejadian seperti ini dikenal dengan istilah Hawar (Blight). Agrios (1988) menambahkan bahwa penyebab penyakit ini pada umumnya disebabkan oleh jamur. Cirinya ditandai dengan nekrosis secara lokal atau nekrosis secara umum atau membunuh jaringan tumbuhan, hipotrofi, dan hipoplasia (kerdil) organ-organ tumbuhan atau keseluruhan tumbuhan, dan hiperplasia (pertumbuhan lebih) bagian tumbuhan atau keseluruhan tumbuhan.

Perkembangan gejala penyakit berbeda pada setiap kelompok perlakuan. Kelompok yang tidak diolesi isolat, perkembangan gejala penyakitnya relatif sama untuk setiap taraf konsentrasi tanin (0, 0,5, 1, 2, 3%). Perkembangannya lambat dan tidak teratur. Gugurnya daun pun relatif lebih lama sejak timbulnya gejala a wal. Hal ini adalah mekanisme alami yang terjadi di alam.

Sementara kelompok yang diolesi Isolat I dan II, perkembangan gejalanya relatif lebih cepat dan gugurnya daun pun relatif lebih cepat jaraknya dari awal timbulnya gejala. Rata-rata hari ke-2 sudah terlihat gejala yang cukup serius

bahkan kematian yang ditandai dengan gugurnya daun. Tetapi kecepatannya semakin berkurang seiring dengan bertambahnya konsentrasi tanin. Perlakuan konsentrasi tanin 3% adalah yang paling lama menimbulkan gejala dan kecepata nya rata -rata sama dengan kelompok perlakuan yang tidak diolesi isolat. Hasil ini membuktikan bahwa tanin dapat menghambat timbulnya gejala yang ditimbulkan oleh isolat I dan II.

B. PengaruhTanin Terhadap Intensitas Serangan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap timbulnya intensitas penyakit. Faktor perlakuan pengolesan isolat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dibanding perlakuan tanpa pengolesan. Begitu juga dengan penyemprotan tanin pada berbagai konsentrasi ternyata memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap intensitas penyakit. Peningkatan intensitas penyakit bertambah terus seiring pertambahan waktu. Sehingga faktor waktu juga berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas penyakit. Faktor interaksi ketiga faktor tersebut juga memberikan pengaruh terhadap intensitas penyakit.

Selanjutnya dari hasil uji jarak berganda Duncan diketahui bahwa serangan isolat yang paling ganas adalah isolat I diikuti kemudian dengan isolat II. Kelompok perlakuan yang tidak diolesi penyakit tetap menimbulkan penyakit hanya jaraknya cukup jauh dengan isolat II. Inilah yang menyebabkan kurva intensitas serangan penyakit kelompok perlakuan tanpa diolesi penyakit (Gambar 10) tidak terlalu teratur. Walau diberi perlakuan tanin tetap menimbulkan penyakit karena penyakitnya sudah terbentuk sebelum perlakuan. Tetapi perkembangannya sangat lambat. Besar intensitas penyakitnya rata -rata sama dengan persentase

intensitas penyakit perlakuan tanin 2 – 3% pada perlakuan pengolesan dengan isolat I dan II. Sehingga dapat dilihat efek penghambatan tanin yang sangat nyata pada perlakuan isolat I dan II.

Selanjutnya dari uji jarak berganda Duncan diketahui juga bahwa perlakuan tanin 3% adalah yang paling menghambat intensitas penyakit sehingga intensitasnya sangat rendah baik perlakuan isolat I maupun perlakuan isolat II. Sementara intensitas yang ditimbulkan kedua isolat pada perlakuan tanin 0% sangat besar. Selisih yang sangat besar ini membuktikan fa ktor penghambatan oleh tanin dalam proses mekanisme serangan awal.

Agrios (1988) menjelaskan bahwa dalam proses awal serangan, patogen mensekresikan enzim, toksin, zat pengatur tumbuh, dan/atau polisakarida. Tetapi untuk merombak zat penyusun dinding sel mutlak diperlukan satu atau beberapa enzim. Selanjutnya, Achmad (1997) menemukan bahwa R. solani mensekresikan selulase-C1 dan pektinase dalam aktivitasnya pada media CMS dan media pektin. Selulase -C1 adalah salah satu senyawa enzim selulase dan menggambar kan secara umum aktivitas enzim selulase. Sehingga dapat diketahui bahwa salah satu alat bantu R. solani dalam menginfeksi inangnya adalah enzim selulase dan pektinasi. Maka apabila enzim tersebut terhambat atau tidak bekerja maka kemampuan R. solani dalam menginfeksi akan jauh berkurang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Porter dan Schwartz (1962) yang berhasil mengisolasi zat penghambat enzim selulase dan pektinase dari daun anggur dan setelah diteliti ternyata zat tersebut bernama tanin. Bell dkk (1962), Bell dkk (1960), Bell dan Etchells (1958) memperkuat fungsi tanin sebagai zat inhibitor enzim selulase dan pektinase

dengan mengisolasi tanin dari tanaman lain dan menguji kemampuannya dalam menghambat enzim tersebut.

Tidak ada efek negatif atau efek racun yang terjadi pada ujicoba pendahuluan terhadap benih suren. Selain itu tanin juga tidak mempengaruhi pertumbuhan R. solani pada media PDA selama 10 hari. Hal ini bisa dilihat pada gambar berikut

A B C D E F G

Gambar 14. Pertumbuhan R. solani Isolat II pada Tanin dengan Berbagai Konsentrasi; A. 0%; B.0,1%; C.0,3%; D.0,5%; E. 1%; F. 2%; G. 3%.

Dari Gambar 14 terlihat jelas bahwa tanin tidak mempengaruhi pertumbuhan R. solani pada media PDA bahkan setelah 10 hari. Sementara Agrios (1988) menyatakan bahwa infeksi terjadi setelah 2 sampai 4 hari setelah inokulasi ditandai dengan munculnya gejala. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa rata -rata gejala sudah muncul dalam 2 hari setelah inokulasi terutama pada perlakuan dengan konsentrasi tanin yang rendah.

Dokumen terkait