• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toona sureni Merr.

Suren (Toona sureni Merr.) termasuk dalam famili Meliaceae. Jenis ini dikenal dengan nama perdagangan suren. Suren terdapat hampir di seluruh daerah pulau Jawa dan Bali. Penyebaran jenis ini juga terdapat di Sumatera Barat dan Ambon (Heyne, 1987). Di penjuru dunia, penyebaran alami jenis ini selain di Indonesia terdapat juga di regional Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti di Srilanka, India, Myanmar, Malaysia, Laos, Pakistan, Nepal, dan Philipina. Selain itu juga terdapat di bagian Timur Australia dan di daerah Pasifik yaitu di Hawaii (Edmonds, 1993).

Suren berbentuk pohon dengan ukuran sedang sampai besar dan mencapai tinggi 40 – 60 meter dan di daerah pegunungan diameternya sampai 300 cm, berbatang besar dan berbanir pada bagian bawahnya. Kulit batangnya beralur dangkal, berwarna abu-abu tua sampai abu-abu kecoklatan, berbau seperti kayu cendana. Batangnya mengeluarkan getah yang tidak berbau. Tajuknya lebar, lebat dan agak gepeng setengah kerucut. Perakarannya bercabang dan terdapat dekat permukaan tanah. Biji bersayap pada kedua sisinya (Sutarno, 1996).

Prosea (1997) menyatakan berat jenis rata-rata tanaman ini adalah 0,39 (0,27 – 0,67), dengan kelas awet IV/V, serta kelas kuat IV. Teras kayu berwarna merah pucat sampai coklat merah, lambat laun menjadi warna coklat merah tua dan mudah dibedakan dengan kayu gubal yang berwarna putih kelabu atau kemerah-merahan. Teksturnya agak kasar dan tidak rata, permukaannya mengkilap, kekerasan lunak sampai agak keras, serta memiliki riap tumbuh yang jelas.

Jumlah biji suren 64.000 – 468.000/kg biji. Perkecambahan suren 45% dari biji yang disimpan selama 3 bulan. Viabilitas biji biasanya tahan hanya selama 2 – 3 bulan. Perbanyakan berakar 60% pada suren yang berumur 2 – 4 tahun dari stek batang yang dirangsang dengan indolebutyric acid (IBA). Di alam suren memperbanyak diri dengan bijinya ynag bersayap dan disebarkan oleh angin. Karena bijinya halus, maka penanaman langsung tidak dianjurka n karena kemungkinan besar bijinya akan hanyut sehingga perlu disemaikan terlebih dahulu (Sutarno, 1996).

Rhizoctonia solani Kuhn

Morfologi hifa vegetatif merupakan dasar dalam identifikasi R. solani. Cara identifikasi yang dilakukan sebelum tahun 1970 ini kurang teliti karena banyak fungi yang mirip dengan fungi ini dianggap R. solani. Semula fungi ini dimasukkan ke dalam kelas Deuteromycetes dengan ordo Agonomycetales, tetapi hasil penelitian yang terakhir menunjukkan bahwa R. solani merupakan stadium “imperfect” fungi Thanatephorus cucumeris (Frank) Donk sehingga masuk ke dalam kelas Basidiomycetes dengan ordo Tulasnellales dan famili Ceratobasidiaceae (Alexopoulos dan Mims, 1979).

Alexopoulos dan Mims (1979) mengemukakan beberapa ciri khas R.

solani sebagai berikut: Miselium tumbuhnya relatif cepat dan percabangan terjadi dekat dengan sel-sel hifa yang bersepta (bersekat), hifanya berwarna coklat muda sampai tua. Cabang hifa terjadi pada bagian ujung sel hifa (normal). Menghasilkan gumpalan massa hifa yang mengeras yang dinamakan sklerotium yang ukuran dan bentuk serta teksturnya hampir seragam dan berdiameter kurang dari 1 mm. R. solani Menghasilkan sel-sel moniloid dan bersifat patogenik

terhadap banyak spesies tumbuhan. Stadium “perfect” berupa fungi T. cucumeris yang termasuk kelas Basidiomycetes. Memiliki sel yang berinti banyak pada hifa yang aktif.

Menurut Ogoshi (1975) ciri khas R. solani yang berdiameter hifa vegetatif 8 – 12 mikrometer; percabangan tegak lurus; pada hifa dewasa mempunyai suatu stadium perfek yaitu T. cucumeris (Frank) Donk.

Menurut Agrios (1997) fungi ini mempunyai dua macam siklus hidup, yaitu siklus hidup pada tingkat “imperfect” dan tingkat “perfect”. Pada tingkat “imperfect” R. solani hanya membentuk miselia steril, sedangka n pada tingkat perfect yaitu T. cucumeris menghasilkan basidiospora yang dibentuk dalam basidium.

Siklus Hidup Rhizoctonia solani Kuhn

R. solani dikenal sebagai patogen yang dapat bertahan hidup di dalam tanah dalam bentuk sklerotium atau miselium dorman. Dapat juga bertahan hidup pada biji dan umbi. Dengan demikian R. solani merupakan patogen yang bersifat tular tanah dan tular benih (Walker, 1975). Sklerotium R. solani merupakan tubuh istirahat yang unsur hifanya jelas terlihat, jaringannya berupa prosenkima dengan unsur hifa yang longgar. Lamanya sklerotium bertahan hidup di dalam tanah bervariasi, bergantung pada keadaan tanahnya. Chao et al. (1986) mengemukakan, bahwa sklerotium dapat bertahan hidup pada tanah kering selama 21 bulan sedang pada tanah basah selama 130 bulan.

Fungi bersifat patogenik apabila suhu tanah rendah dan virulensinya berkurang dengan meningkatnya suhu. Suhu optimum untuk terjadinya penyakit

pada kentang, buncis, kapas, dan kubis berturut -turut adalah 18oC, 17 – 23oC, dan 23oC (Walker, 1975; Chao, 1986).

Anastomosis merupakan salah satu dari tiga bentuk mekanisme rekombinasi variasi formasi (Heterokaryon) pada R. solani selain reproduksi binukleat dan mutasi. Adanya variasi adalah untuk dapat memperpanjang daya tahan hidup. Anastomosis merupakan salah satu cara reproduksi aseksual yaitu terjadinya fusi antara hifa yang bersentuhan yang kompatibel atau peleburan antara hifa untuk membentuk reproduksi. Terjadi hanya diantara isolat R. solani

yang sama dalam satu kelompok anastomosis (Agrios, 1997; Hawksworth et al., 1983). Bruehl (1987) selanjutnya menyatakan bahwa antara isolat yang berbeda kelompok anastomosisnya selain tidak akan terjadi anastomosis juga tidak akan terjadi pertukaran genetik.

Kondisi hifa R. solani yang bersifat multinukleat memberikan kemungkinan terbentuknya heterokariosis. Hal inilah yang mengakibatkan fungi ini mempunyai keragaman genetik yang sangat besar. Variabilitas yang besar berkaitan erat dengan patogenitas, daya tahan dalam tanah, juga ekobiologi fungi tersebut.

Mekanisme Serangan Patogen

Patogen menyerang inang dengan melibatkan beberapa me kanisme. Mekanisme serangan patogen biotrof atau nekrotrof, mencakup kekuatan mekanik atau senjata struktural, enzim, toksin, zat pengatur tumbuh, keseimbangan metabolik, materi genetik, serta lingkungan ionik dan pH (Williams, 1979). Kekuatan mekanik atau senjata struktural terutama digunakan oleh patogen yang dalam proses infeksinya perlu menembus permukaan utuh inang (Brown, 1980).

Enzim-enzim hidrolitik yang menghidrolisis pektin, selulosa, lemak, dan protein menjadi monomernya, berperan dalam patogenesis. Fungi patogen nekrotrof sering mensekresikan enzim ekstraseluler yang mencukupi untuk memaserasi jaringan pada stadia infeksi lanjut. Di antara enzim hidrolitik, pektinase merupakan enzim yang dihasilkan oleh hampir seluruh fungi nekrotrof. Enzim ini memegang peranan penting dalam maserasi jaringan pada panyakit yang disertai gejala busuk lunak (Williams, 1979).

Aktivitas suatu enzim hidrolitik sering didukung oleh beberapa enzim. Sebagai contoh, glukanase, glukan-selobiohidrolase (CBH), dan β-glukosidase (β -G) merupakan senzim-enzim yang berperan dalam degradasi selulosa. Glukanase sendiri terdiri atas eksoglukanase dan endoglukanase (EG). Enzim-enzim pektin metil esterase (PME), poligalakturonase (PG), pektin metil galaktorunase (PMG), pektin transeliminase (PTE) dan ‘pectic acid’ transeliminase (PATE) merupakan pendukung aktivitas pektolitik (Goodman dkk 1986; Dahm dan Strzelczyk, 1987).

Pada kasus yang melibatkan patogen biotrof, jaringan terinfeksi sering menjadi ‘sink’ metabolit yang mengubah arah pergerakan fotosintat dari bagian lain ke jaringan yang terinfeksi tersebut. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya gangguan terhadap keseimbangan metabolit akibat infeksi patogen (Williams, 1979).

Pada jaringan tempat terjadinya patogenesis, aspek lingkungan yang penting pada tempat terjadinya interaksi patogen – inang tersebut adalah kondisi ionik medium untuk berlangsungnya proses molekuler dalam patogenesis. Dera jat keasaman (pH) medium beserta karakteristik ioniknya merupakan hal penting

yang menentukan efektivitas aktivitas enzim, toksin, atau ZPT, yang selanjutnya mempengaruhi keberlangsungan proses infeksi (Williams, 1979).

Dokumen terkait