• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HAMBATAN YURIDIS DARI KEGIATAN VERIFIKAS

C. Pengaruh Verifikasi Terhadap Kepastian Saat Beralihnya Hak

Pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun pajak daerah, seringkali terdapat hambatan atau kendala-kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak. Kendala-kendala tersebut antara lain:

1. Peraturan pelaksanaan undang-undang yang tidak konsisten dengan undang- undangnya.

Melaksanakan tax reformlebih pelik dan makan waktu dibandingkan dengan ketika merancang tax reform dalam undang-undang, apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang, tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak.

2. Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional.

Pajak daerah dan pajak nasional merupakan satu sistem perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi.

3. Database yang masih jauh dari standar Internasional.

Kendala lain yang dihadapi aparatur pajak adalah database yang masih jauh dari standar internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-assessment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau dikorup, juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di daerah, yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk menaikkan penerimaan pajak.

4. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara.

Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat yang

berwenang di bidang hukum, misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk disoroti pelaksanaan hukum di lingkungan birokrasi, khususnya badan pemerintahan di bidang perpajakan) dalam melakukan pemeriksaan terhadap para penyelenggara negara, ternyata

belum ada gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang bersih.151 Khususnya di Kota Pekanbaru hambatan yuridis kegiatan verifikasi menyebabkan kepastian hukum saat beralihnya hak atas tanah dan bangunan menjadi tertunda.152

Kegiatan verifikasi oleh Dispenda Kota Pekanbaru terkait transaksi peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terjadi di masyarakat menyebabkan ketidakpastian hukum, hal ini disebabkan karena Peraturan Walikota yang tidak sinkron dengan peraturan yang berada di atasnya yaitu dalam hal kewajiban verifikasi yang menyebabkan perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang sebenarnya.

Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang bermakna bahwa berapapun BPHTB yang dibayar oleh pembeli, maka para pihak dapat tetap melangsungkan peralihan haknya sepanjang telah melampirkan bukti pembayaran pajaknya (BPHTB).

Seharusnya NPOP hasil verifikasi lapangan tidak dapat mengalahkan bunyi aturan undang-undang PDRD yang menjadi acuan Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru dalam memberikan pelayanan masyarakat serta mengemban amanat tugas

151Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Bandung :

Refika Aditama, 2009), hal.129-130

menghimpun penerimaan daerah (apabila tidak ada dokumen/data yang kuat/valid rujukan yang benar maka menurut Undang-undang adalah NJOP PBB).

Apabila Dinas Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru hendak memaksimalkan peranannya sebagai dinas penerimaan daerah hendaknya harus tetap dalam aturan hukum dan peraturan yang berlaku, sehingga apabila NJOP PBB tidak sesuai maka harus dilakukan perubahan atau penyesuaian atas NJOP terkait sesuai dengan prosedur yang ada, bukan dengan verifikasi yang menimbulkan ketidakpastian.

Pada prinsipnya aparatur pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagai bentuk koreksi atas perhitungan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Surat Ketetapan Pajak merupakan alat paksa untuk wajib pajak agar melakukan kewajiban pajak sesuai data yang akurat dan terkini, karena wajib pajak pada umumnya menginginkan jumlah pajak yang terutang dalam BPHTB sekecil mungkin bahkan nihil.

Hal tersebut berdampak kepada tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris karena Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak Daerah.

PPAT tidak dapat meligitimasi perbuatan hukum pemindahan hak tanpa diselesaikannya BPHTB. Harga transaksi yang merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang tunduk pada pasal 1320 dan pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Oleh karena kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli maka

sistem perpajakan yang digunakan dalam pemungutan BPHTB adalah Self Assessment System.

Apabila PPAT menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tanpa menyerahkan bukti pembayaran wajib pajak berupa SSPD akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap pelanggaran. Atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, diatur mengenai pemberhentian, pelanggaran ringan, serta pelanggaran berat yang dilarang dilakukan oleh seorang PPAT.

Penerapan sanksi administrasi dan denda akan berkaitan dengan legitimasi yaitu persoalan kewenangan, yaitu wewenang pengawasan dan wewenang menerapkan sanksi. Wewenang pengawasan dan wewenang untuk menerapkan sanksi adalah mutlak.

Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, pemberian keterangan yang tidak benar dalam akta adalah termasuk pelanggaran berat oleh PPAT yang dapat dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia.

Mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota PPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat dikenai sanksi berupa:

a. Teguran; b. Peringatan;

d. Onzetting(pemecatan) dari keanggotaan IPPAT.

e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.153

Penjatuhan sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.154

Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.155 Jadi, sanksi yang dapat mengancam PPAT yang membuat akta tidak sesuai dengan nilai transaksi yang sebenarnya adalah sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya.

Dampak lain dari prosedur verifikasi NPOP dalam menentukan BPHTB Terutang juga berdampak bagi pelaku usaha yang menjadi Wajib Pajak BPHTB. Sebagai ilustrasi yaitu misalnya Tuan A dan Tuan B telah sepakat untuk mengadakan jual beli atas tanah dan / atau bangunan dengan harga transaksi tertentu dan Tuan B telah membayar uang pembelian tersebut kepada Tuan A. Selaku Wajib Pajak BPHTB, Tuan B telah menghitung dan membayar pajak BPHTB Terutang ke Kas Daerah Kota Pekanbaru melalui Bendahara Daerah di Kantor Dispenda Pekanbaru. Selanjutnya Tuan A dan Tuan B menghadap kepada PPAT/Notaris untuk menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan / atau bangunan tersebut akan tetapi PPAT/Notaris belum dapat melaksanakan penandatangan akta tersebut karena BPHTB tersebut masih harus dilakukan verifikasi di Kantor Dispenda.

153Pasal 6 ayat (1) Kode Etik PPAT 154Pasal 6 ayat (2) Kode Etik PPAT

155 Pasal 65 Jo. Pasal 1 ayat 10 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan verifikasi NPOP dapat mencapai hingga 2 minggu sehingga transaksi jual beli yang telah disepakati oleh pembeli dengan penjual akan tertunda hingga 2 minggu pula. Hal ini dikarenakan penandatangan akta peralihan hak dihadapan PPAT/Notaris harus menunjukkan bukti pembayaran pajak BPHTB yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh Fungsi Pelayanan Dispenda Pekanbaru.156

Verifikasi tersebut juga menimbulkan permasalahan lain terutama apabila transaksi jual beli tersebut dilakukan pada waktu atau hari yang bukan menjadi hari kerja pada Dispenda Kota Pekanbaru. Meskipun untuk mengatasi permasalahan tersebut para pihak dapat membuat suatu kesepakatan yang dituangkan dalam akta perikatan sebagai alternatif sementara, sehingga akan menambah biaya yang diperlukan untuk peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.157

Hal yang paling fatal adalah apabila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan para pihak belum menandatangani akta PPAT sebagai bukti otentik atas peralihan hak tersebut. Hal tersebut akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari terutama apabila ahli waris dari pihak yang meninggal tersebut tidak sepakat untuk melanjutkan perikatan tersebut. Dan bagaimana pula dengan uang penjualan yang telah diterima oleh pihak penjual dari pembeli apabila kesepakatan tersebut tidak dilanjutkan oleh ahli waris para pihak.

156Hasil wawancara dengan Isnadi, PPAT/Notaris di Pekanbaru pada tanggal 14 Juli 2014 157Hasil wawancara dengan Tuan Masrizal, Notaris di Pekanbaru pada tanggal 25 Juni 2014.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat 1 Ketentuan Umum Perpajakan, verifikasi dilakukan petugas verifikasi untuk menguji dokumen berdasarkan keterangan lain berupa : hasil klarifikasi/konfirmasi faktur pajak atau bukti pemotongan Pajak Penghasilan atau data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis SPT tidak disampaikan atau bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Artinya selain berdasarkan keempat data diatas, maka bukan data konkret dan tidak dapat dilakukan verifikasi. Apabila ada indikasi ketidakpatuhan Wajib Pajak tetapi tidak ada salah satu dari empat data konkret diatas, maka prosedurnya adalah himbauan dan pemeriksaan.

Tindakan pemerintah dalam hal ini Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru dalam melakukan kegiatan khususnya verifikasi pada hakekatnya harus ditentukan oleh 3 (tiga) unsur utama, yaitu wewenang, prosedur dan substansi, dengan menggunakan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Wewenang harus ditetapkan, baik melalui atribusi maupun delegasi. Atribusi pemberian wewenang terjadi karena ketentuan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan wewenang yang telah ada pada suatu badan (instansi) yang sebelumnya telah memperoleh wewenang atributif.

Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu

tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, maka keabsahan tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.

Ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peratutan Pemerintah. Hal ini berarti ketentuan Pasal 7 ayat 2 Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang mendelegasikan kepada Walikota untuk mengatur sistem dan prosedur pemungutan BPHTB tidak sesuai dengan wewenang yang diamanatkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut.